Pukul 13.05 kami selesai santap siang di Rumah Makan Seafood BBA Doro Belo. Setelah sebelumnya kami jajaki Desa Palama dengan susu kuda liarnya, kini tiba saatnya kami lanjutkan perjalanan menuju Labuan Bajo via Pelabuhan Sape. Feroza Fans Club Sumbawa mengiringi kami dalam kecepatan sedang cenderung kencang. 5 mobil mengawal di depan, belasan lainnya mengekor di belakang. Tanah merah memisahkan rentang aspal mulus dengan air pantai kecoklatan di sebelah kiri jalan. Atmosfer gersang masih mendominasi di sini.
Category: Terios 7 Wonders
Hari ini Tim Terios 7 Wonders Hidden Paradise resmi memasuki hari ke-11—Oktober 11, 2013. Berdasarkan itinerary, agenda hari ini akan diisi dengan mengunjungi Desa Palama yang terletak di Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima. Kami akan melihat proses pemerahan susu kuda liar Sumbawa, kalau perlu sekalian mencicipi rasanya.
Pukul 23.00 malam sebelumnya, kami tiba di Aman Gati Hotel. Kondisinya terlalu gelap untuk mengungkap kondisi sebuah tempat. Awalnya saya mengira penginapan ini sama seperti penginapan-penginapan sebelumnya – berada di tengah-tengah kota. Ternyata salah. Karena, begitu hari berganti pagi, saya baru menyadari kalau penginapan yang dimiliki I Gede Sudantha ini berada di tepian Pantai Lakey.
Puas menjelajah Pantai Tangsi (Pink Beach) di Kabupaten Lombok Timur, Tim Terios 7 Wonders coba peruntungan, memburu surga tersembunyi kedua—Pantai Selong Belanak. Sebenarnya bila merujuk pada itinerary, sejak pukul 12.30 siang, di hari kesembilan ini kami tidak lagi punya kegiatan. Praktis, kedua pantai yang kami kunjungi hari ini merupakan hasil improvisasi.
Pukul 16.00 iring-iringan berangkat menuju Pantai Selong Belanak (koordinat: -8.866585,116.159692). Lokasinya cukup jauh. Berada di Desa Selong Belanak, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Bila dikonversikan dalam bentuk waktu, maka jarak antara keduanya terpaut sejauh 3 jam perjalanan darat.
Tiada gambaran kami hendak ke mana begitu keluar dari gerbang SMA Al-Masyhudien NW Kawo. Yang ada di pikiran saya hanya pulang kembali ke penginapan. Membayar hutang tidur yang tak juga tertutup. Walau sesekali tidur di perjalanan, nyatanya tetap saja tak bisa mengembalikan kesegaran badan. Saya hampir-hampir bosan. Niat hati ingin sekali menggantikan Boski pegang kemudi, tapi apa daya, bakat saya tak punya. Kalau sudah begitu, lebih baik tidur lagi saja.
1.5 jam mata terpejam seharusnya sudah membawa saya ke alam mimpi, sayangnya, telinga yang masih terjaga menahan saya di 2 dunia berbeda; alam sadar dan tidak sadar. Chaos.
Entah kenapa, saya hobi sekali menggunakan kata “chaos” ini. Asalkan merujuk pada 2 hal yang saling bertentangan tapi masih dalam satu kesatuan, maka kata itu akan saya gunakan. Secara definisi, jelas tidak tepat, karena sejatinya saya terlalu menyederhanakan arti Chaos Theory itu sendiri. Kalau diterjemahkan secara suka-suka, mungkin bunyinya menjadi, “keteraturan tidak teratur dalam ketidak-teraturan teratur.” Pusing? Sama.
Acara Corporate Social Responsibility (CSR) Daihatsu selesai pukul 12.30 siang. Bila merujuk pada agenda yang telah diberikan, maka pukul 13.00 – 18.00 nanti, acara akan dilanjutkan dengan eksplorasi Sade – Rembitan. Masalahnya, Desa Wisata Sade pun sudah selesai kami jelajahi pada awal-awal itinerary. Tak mungkin mengulang lagi kan? Wong bukan gagal ujian.
Mau melanjutkan makan siang, sepertinya juga tidak mungkin. Kami baru saja disuguhi makan besar di tengah-tengah acara CSR. Suguhan penghormatan yang semula saya kira hanya cemilan ringan, ternyata menyusul di belakangnya nasi bungkus daun pisang yang banyaknya gak ketulungan. Persis seperti belanja nasi padang yang dibawa pulang, tapi ditambah ¼ lagi.
Kalau untuk menghabiskan cemilannya saja sampai harus menahan napas, maka untuk menghabiskan main course-nya, saya hampir-hampir tak bisa bernapas. Lambung kiri-kanan kelebihan muatan. Kalian mau tahu isi cemilannya? Enggak? Baiklah kalau enggak. Berikut akan saya berikan daftarnya: #maksa
Masih di Pulau Lombok dengan hari yang telah berganti. Tim Terios 7 Wonders – Hidden Paradise baru saja memasuki hari kesembilan—Oktober 9, 2013. Rencananya hari ini kami akan menelusuri beberapa sisi Pulau Lombok, diselingi kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) Daihatsu.
Iring-iringan memulai hari dengan service ringan kendaraan di bengkel Daihatsu Mataram, kemudian melanjutkan ke Bandara Internasional Lombok untuk menjemput Rokky Irvayandi yang tak lain adalah teman sejawatan David Setyawan, dari PT. Astra Daihatsu Motor (ADM) Jakarta.
Setengah jam menunggu, akhirnya teman kami ini datang juga. Tapi bukan berarti kami langsung pergi. Demi kebutuhan dokumentasi, semua peserta (sangat) rela unjuk gigi. Pasang senyum termanis, dengan gaya paling narsis. Yah, siapa tahu besok wajah-wajah kami terpampang di media massa. Jadi, kalau emak di kampung melihatnya, pasti beliau akan merasa bangga, kemudian memamerkan foto anaknya ke setiap tetangga.
Lepas makan siang di Rumah Makan Taliwang, Tim Terios 7 Wonders kembali melanjutkan perjalanan ke penginapan. Kalau kalian mengikuti cerita saya dari awal, pasti tahu kan arti kata ‘penginapan’ yang dimaksud? Ya. Dan, yang beruntung menampung tampang-tampang lusuh kami kali ini adalah Hotel Santika Mataram, Lombok. Selamat! Berarti, bukan hanya label AKAP (Antar Kota Antar Propinsi) saja yang kami pertahankan hingga saat ini. Tapi juga AKAS. Antar Kota Antar Santika.
Satu jam istirahat telah berlalu. Pak Endi kembali mengumpulkan semua peserta di lobby. Kecuali panitia, kami belum tahu hendak makan di mana malam ini. “Asik nih, jalan-jalan lagi. keliling Kota Mataram malam-malam.” Bathin saya seraya menghiraukan menu makanan.
Seperti yang telah saya janjikan pada artikel sebelumnya, obrolan dengan nahkoda Kapal Motor Penumpang (KMP) Trima Jaya 9 saat menyeberang dari Pelabuhan Ketapang ke Pelabuhan Gilimanuk akan dibahas di sini. Seperti apa ceritanya? Ikuti terus kelanjutannya.
Di kapal ferry KMP Trima Jaya 9, 24 peserta Ekspedisi Terios 7 Wonders – Hidden Paradise terbagi menjadi beberapa grup. Sebagian tinggal di dek dasar untuk menjaga keamanan kendaraan, sebagian pilih berkeliaran di dek penumpang, sementara sebagian yang lain pilih naik hingga dek paling atas, bahkan masuk ke anjungan—atas seijin petugas yang berwenang tentunya.
Di kursi komando, duduk seorang pria paruh baya berseragam putih-hitam lengkap dengan topi hitamnya. Kumis tebalnya menimbulkan kesan seram bagi siapapun yang melihatnya. Sekilas, pria berkulit sawo matang ini tampak seperti orang yang tak suka banyak bicara (baca: pendiam), namun begitu ia mengembangkan senyumnya, jiwa bersahabat perwira kapal penumpang KMP Trima Jaya 9 ini bisa saya rasakan.