Masih di Pulau Lombok dengan hari yang telah berganti. Tim Terios 7 Wonders – Hidden Paradise baru saja memasuki hari kesembilan—Oktober 9, 2013. Rencananya hari ini kami akan menelusuri beberapa sisi Pulau Lombok, diselingi kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) Daihatsu.
Iring-iringan memulai hari dengan service ringan kendaraan di bengkel Daihatsu Mataram, kemudian melanjutkan ke Bandara Internasional Lombok untuk menjemput Rokky Irvayandi yang tak lain adalah teman sejawatan David Setyawan, dari PT. Astra Daihatsu Motor (ADM) Jakarta.
Setengah jam menunggu, akhirnya teman kami ini datang juga. Tapi bukan berarti kami langsung pergi. Demi kebutuhan dokumentasi, semua peserta (sangat) rela unjuk gigi. Pasang senyum termanis, dengan gaya paling narsis. Yah, siapa tahu besok wajah-wajah kami terpampang di media massa. Jadi, kalau emak di kampung melihatnya, pasti beliau akan merasa bangga, kemudian memamerkan foto anaknya ke setiap tetangga.
Dari pelataran parkir bandara yang tampak lengang, tim bertolak ke Desa Wisata Sade, Rembitan. Belasan kerbau milik warga tampak asyik merumput di lapang ilalang sepanjang kiri-kanan jalan. Pak Endi menginstruksikan tim untuk berputar beberapa kali begitu bertemu bundaran yang letaknya tak jauh dari pintu keluar bandara. Kalian tahu kan maksudnya apa? Do-ku-men-ta-si.
Tanpa kemacetan semisal Kota Jakarta, Desa Sade Rembitan yang berada di Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, kami tempuh dalam waktu 15 menit saja. Jaraknya bagaimana? Tentu sedikit lebih jauh kalau mau kita bandingkan dengan Kota Jakarta yang sebegitu padatnya.
Area parkir di depan Desa Sade Rembitan tak berubah sedikitpun dibandingkan dengan 2 tahun lalu. Miniatur beruga masih tampak berdiri di sana. Siap menyambut siapapun tamu yang datang. “Welcome to Sasak Village Sade, Rembitan – Lombok.” Begitu kira-kira tulisan pada plang berwarna putih di bawahnya.
Jelajah budaya Desa Sade
Bak tamu kehormatan pada jaman raja-raja, kami disambut dengan riuh orkestra dan Tarian Gendang Beleq—alat musik tradisional khas Lombok. Tanpa dipersilahkan, masing-masing otomatis memposisikan diri di pinggiran tanah lapang—dekat dengan pintu gerbang—dan pada sebuah bangunan khas Lombok (Bale Soko Enem?). Yang penting tempatnya teduh.
Atraksi budaya khas Lombok yang pertama mereka peragakan adalah Tari Peresean. Tarian tradisional ini melambangkan kegagahan yang digambarkan melalui 2 orang prajurit yang saling pukul/bertarung (pepadu) menggunakan tongkat kayu atau batang rotan (penjalin). Dalam perang sesungguhnya, ujung-ujung batang rotan ini biasanya dilumuri aspal yang dibalut tumbukan beling. Fungsinya untuk memperparah luka, bila sang lawan terkena senjatanya.
Sebagai perlindungan, pada tangan lainnya, para petarung melengkapi diri dengan tameng (ende), yang berfungsi sebagai penghalau serangan lawan. Ende-ende yang mereka gunakan biasanya terbuat dari kulit sapi atau kerbau.
Tari Peresean tidak hanya menggambarkan luapan kegembiraan sehabis pulang dari peperangan. Pada musim kemarau, masyarakat Lombok juga biasa menyelenggarakan tarian ini sebagai ritual pemanggil hujan.
Tak disangka, pemandu wisata desa mempersilahkan penonton untuk ikut merasakan ketegangan tari perang yang baru saja kami saksikan. Awalnya, semua orang tampak ragu-ragu, tapi lama-kelamaan, ada juga yang mau. Sebagai perwakilan, terpilihlah 2 orang dari kami, yaitu; Irman dan Boski. Ternyata ‘permainan’ ini tidak mengenal tinggi-pendek badan, buktinya tak lama mereka adu tenaga, akhirnya yang menang Irman juga, padahal postur tubuhnya lebih pendek. Hahaha.
Seorang anak desa usia Sekolah Dasar menjadi penarik perhatian kami yang kedua. Walau usianya masih belia, liuk-liuk tubuh anak lelaki ini tampak dinamis membawakan tarian khas Desa Sade dengan iringan orkestrasi Gendang Beleq yang dimainkan para kaum tua desa.
Amaq Temenges rupanya tak mau kalah, begitu anak kecil tadi selesai, ia langsung masuk ke arena tari. Pipinya dikempotkan ke dalam, membuat bibirnya terapit lebih mancung dari hidung, membentuk seperti paruh burung. Sebentar menari, sebentar tertawa. Sekali-dua, ia ajak penonton untuk foto bersama. Kemudian menari lagi, diiringi lantunan musik tradisional yang gegap gempita.
Menjelang berakhirnya tari-tarian sambutan, salah seorang panitia berkeliling, membawa bakul nasi kosong, meminta iuran secara sukarela. Demi pemberdayaan perekonomian lokal, hal ini sah-sah saja untuk dilakukan—menurut saya.
20 menit baru saja berlalu, tari-tarian pun telah usai. Acara kami lanjutkan dengan menjelajah Desa Sade, dipandu seorang guide lokal. Sambil menikmati suasana desa, ia ceritakan apa saja tentang desanya ini. Setiap kalimatnya mengalir lancar, bukti pengetahuan di luar kepala. Segala pertanyaan selalu mendapat jawaban.
“Oh, di sini—Desa Sade—ada pasar ya, Mas?” Percaya diri Toni bertanya.
“Hah? Pasar? Maksudnya?” Guide bingung. Kami pun ikut bingung. Bingung kuadrat.
“Itu apa? Banyak sayur begitu. Ibu-ibu rame-rame?” tanya Toni lagi, seraya menunjuk kerumunan ibu-ibu desa di depan kami, yang sekilas memang mirip kegiatan di pasar.
Semua mata praktis mengikuti arah jari telunjuk Toni.
“Hahaha…” Guide kami tertawa secukupnya. Sambil senyum-senyum, ia menjelaskan, “itu bukan pasar, Mas. Itu lagi ada acara di desa. Ibu-ibunya lagi gotong-royong.”
“Hahahahaha…”
Kami semua terpingkal-pingkal demi mendengar penjelasan ini. Apalagi sambil melihat reaksi Toni yang masih sok cool setelah mendapatkan penjelasan tadi. Apapun ekspresinya, di ‘mata’ kami, dia tak ubahnya seperti sedang memperkuat alibi. Menahan malu demi jaga gengsi. Hahaha. Sori ya, Ton. Terpaksa! Kapan lagi bisa begini. :p
Sebenarnya kami semua telah menyadari, ‘pasar’ macam apa yang dimaksud Toni tadi. Namun, entah mengapa, semua seolah kompak untuk bungkam. Dan, begitu moment-nya dirasa tepat, kompak pula semua buka suara, tertawa sekeras-kerasnya. Ah… senang rasanya bisa berbahagia di atas penderitaan orang lain. #ehhh
CSR Daihatsu untuk SMA Al-Masyhudien NW Kawo
Langit Lombok terasa pengap siang itu. Tak banyak waktu tersedia untuk menjelajah Desa Sade, baru 20 menit, kami harus segera pergi. Melaksakan agenda selanjutnya, CSR Daihatsu bertajuk “Pintar Bersama Daihatsu.”
Bagi yang memperhatikan, mungkin kalian akan bertanya dengan nada, “jadi, cerita tentang Desa Sade cuma segitu aja?” tenang, cerita tersebut memang sengaja saya sisakan untuk artikel mendatang. Sebab, kalau dibahas di sini, khawatir kalian cepat bosan, karena ceritanya akan terlalu panjang. 😀
***
Dari Desa Wisata Sade, letak SMA Al-Masyhudien NW Kawo, tempat kami berkegiatan CSR, tidak terlalu jauh, hanya terpaut perjalanan darat selama 15 menit saja. Sekolah ini sendiri beralamat di Jalan Pariwisata, Desa Kawo, Kelurahan Kawo, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Di depan sekolah, sebagian siswa-siswi sibuk menyambut kedatangan kami sambil mempersembahkan kesenian daerah mereka yang berbau Islami. Sebagian kecil mengenakan pakaian adat Lombok, sementara sisanya menggunakan seragam pramuka. Sambutan hangat ini masih dilakukan sampai kami semua benar-benar masuk ke aula masjid yang menjadi tempat perhelatan acara.
Pada CSR kali ini ADM menyerahkan 400 buah buku bacaan secara langsung dan bantuan pengecatan ruangan agar para siswa didik merasa lebih nyaman dalam proses belajar.
Di samping serah terima bantuan, kami juga dihibur dengan pembacaan puisi dan pementasan teatrikal dari sebuah cerita rakyat—Legenda Putri Nyale—berbahasa Inggris, yang bercerita tentang seorang putri flamboyan yang menerima lamaran semua pangeran yang datang melamarnya. Putri Mandalika.
Akibat dari perbuatannya ini, para pangeran tersebut saling bermusuhan. Sang putri pun merasa bersalah karenanya. Demi menebus kesalahan, serta agar tidak terjadi pertumpahan darah, maka putri cantik Kerajaan Tunjung Biru (Tonjeng Beru) ini melompat ke lautan dari sebuah tebing batu karang. Namun, sebelum melompat ia berpesan kepada seluruh hadirin yang datang, bahwa kelak setiap tanggal 20 bulan 10 (penanggalan Sasak), dirinya akan muncul dalam wujud yang berbeda.
Dalam kehidupan masyarakat Sasak Lombok saat ini, dipercaya bahwa sang putri telah mewujudkan dirinya dalam bentuk cacing laut. Karenanya, pada setiap tanggal yang telah ditentukan tersebut, masyarakat berbondong-bondong mengumpulkan cacing laut di pantai. Yang kemudian kita mengenalnya dengan Bau Nyale. [BEM]
mohon izin, ambil 2 pict untuk tugas kuliah. Mata kuliah Perancangan arsitektur, materinya adalah perancangan area penunjang KEK Pariwisata Mandalika.
Silahkan. Semoga bermanfaat.
“pengetahuan di luar kepala”? Kata bu guruku, pengetahunan yang semacam ini bisa hilang kalo ketiup angin #dibahas
Besok, pinjem foto tari2annya yes? 😆
monggo dipinjem saja
mantap deh si bemboy…apa kabar bro?????
kabar baek sang. lo sendiri apa kabar?
ya elah hari ini gw masih di panggil pisang sama si bemboy. alhamdulilah baik bro