Induk dan Anak Kuda Sumbawa

Induk dan Anak Kuda Sumbawa

Masih di Desa Palama. Masih pula tentang susu kuda liar Sumbawa. Sementara teman-teman lain sibuk dengan kuda-kuda warga yang memang sengaja dibawa pulang—atas permintaan, karena kami akan datang—saya justru memilih kesibukan lain; menggali informasi perihal kuda-kuda Sumbawa ini.

Dan, yang beruntung mendapatkan pertanyaan bertubi dari saya adalah Pak Hasan, salah seorang pamong Desa Palama yang saat itu ikut memandu kami menjelajah desa yang menjadi tanggung jawabnya. Berikut ini adalah hasil perbincangan saya dengan beliau:

***

BEM: Ini kuda-kuda yang diambil susunya, Pak?

PAK HASAN: Iya.

BEM: Mulai kapan bisa diambil susunya?

PAK HASAN: Ya, setelah dia melahirkan selang-selang 2 bulan. Sampe si anak (berumur) 6 bulan bahkan sampe 1 tahun bisa. Masih bisa. (Menunjuk seekor anak kuda yang sengaja dipisahkan dari induknya) Ini. Ini anaknya. (Sudah) besar ini.

BEM: Oh, ini anaknya?

PAK HASAN: Iya. Itu kan induknya itu. Ibunya yang diambil susunya (kali ini ia menunjuk ke induk kuda yang diikat terpisah di ujung halaman).

BEM: Itu kalo susunya diperas gitu nanti untuk anaknya gimana?

PAK HASAN: Kita, setelah ini dilepas lagi anaknya. Kan dilepas dari ikatannya. Itu untuk ambil susu.

[Bagi kalian yang pusing mencerna maksud kalimat Pak Hasan, mungkin bahasa mudahnya akan terdengar seperti ini: jadi, setelah kami selesai berkunjung nanti, anak-anak kuda yang semula diikat terpisah itu, akan dilepaskan kembali, agar bisa berkumpul dan menyusu pada induknya.]

BEM: Berapa lama biasanya anaknya dilepas, Pak?

PAK HASAN: Setelah 3 jam nanti, kita ikat lagi anaknya kan. Kasih makan. Gitu terus. Dilepas aja. Kalo kadang-kadang males, siang hari dilepas, malamnya (juga dilepas). Tapi kalo ini. Melihat situasi sekarang, orang lagi bersih-bersih lahan. Kan, kalo kasih kuda istilahnya dilepas.

[Bingung? Sama.]

BEM: Dilepas di mana biasanya, Pak?

PAK HASAN: Kadang-kadang, (jeda yang agak lama) kalo sekarang lagi di Tembora (Gunung Tambora).

BEM: Banyak jumlahnya?

PAK HASAN: Bangsa ratusan ekor itu. Bawa ke Tembora itu.

BEM: Ada yang gembalain gak, Pak?

PAK HASAN: Ada.

BEM: Siapa?

PAK HASAN: Kalo di Tembora itu ada yang empunya.

BEM: 1 orang biasanya menggembala kuda Sumbawa berapa ekor?

PAK HASAN: Kadang-kadang 1 orang itu 70 ekor. 1 orang yang melihara itu. Jadi orang sana, kan, juga banyak yang punya kuda itu.

BEM: Biayanya gimana, Pak?

PAK HASAN: Patungan. Kumpulin duit untuk orang yang pelihara itu.

BEM: Nominal bayarnya berapa?

PAK HASAN: Tergantung. Kadang-kadang, biasanya tradisi orang di sini, (jeda berpikir) tumpulah 1 suami istri itu, katakanlah (memiliki) 10 ekor yang betina, 1 ekor jantan. 1 tahun itu biasanya 1 ekor dikasih keluar (diberikan) untuk yang pelihara. Anaknya itu. 10 dikasih 1.

[Maksudnya adalah, dari setiap 10 ekor kuda Sumbawa yang dipercayakan untuk digembalakan kepada seseorang, sang penggembala akan mendapatkan 1 ekor anak kuda, setelah salah satu dari kuda-kuda yang digembalakan tersebut beranak. Jadi, dalam kasus ini bisa dikatakan, sistem pembayaran yang mereka anut masih menggunakan sistem barter. Simbiosa mutual.]

BEM: Ooo, begitu ya, Pak?

PAK HASAN: Tapi, gak ada lagi resiko kita, kan. Tinggallah nanti taun depan, kalo kita mau, itu (kuda-kuda bisa) diambil abis melahirkan. Lebih banyak yang betinanya.

BEM: Selain untuk diperah susunya, ada untuk keperluan lain?

PAK HASAN: Kadang-kadang kalo yang jantan itu untuk pacuan. Dipake pacuan.

BEM: Jokinya dari mana?

PAK HASAN: Kalo joki, kan, ada di Bima. Tempat pacuan kuda. Itu lokasi tempat pacuan kuda, kan, ada itu. Jadi nanti kadang-kadang ada orang Kota Bima (jeda), Kabupaten Dompu (jeda), datang ke sini. Antara itu kuda yang kecil, yang jantan itu. Di sini masih Kabupaten Bima ini.

BEM: Tiap keluarga di Desa Palama ini punya kuda?

PAK HASAN: Punya. Punya semua.

BEM: Paling sedikit berapa ekor biasanya?

PAK HASAN: Paling sedikit 1 ekor. Kalau yang baru-baru. Seandainya yang baru itu, paling dikit 1 ekor.

[Agak rancu memang. Dan sayangnya, saya lupa bertanya perihal “baru-baru” yang dimaksud Pak Hasan ini. Mungkinkah keluarga yang baru menikah? Atau mereka-mereka yang baru saja berkemampuan untuk membeli satu ekor kuda Sumbawa untuk dipeliharai? Entahlah.]

BEM: Harga kuda di sini berapa Pak?

PAK HASAN: Harga kuda (berpikir agak lama. Mencoba mengingat-ingat.) kalau yang induknya begini (menunjuk seekor kuda), sama anak baru itu, sekitar 10 juta (rupiah). Yang baru itu, anaknya yang baru lahir. Karena dia punya airnya itu. Air susunya.

BEM: Kalo susunya sendiri dijualnya berapa?

PAK HASAN: Kalo di sini, 1 botol itu, akua tangggung itu. Kan, per botol di sini. Ndak  per liter. 50 (ribu rupiah) itu per botol itu.

BEM: Gunanya apa?

PAK HASAN: Kurang tau juga kita-kita di sini itu. Apanya itu, anunya itu. Kita minum aja itu pegal-pegal apa-apa itu gak terasa sudah.

[Anunya.’ Sebuah kata berbahaya dalam grey area yang berpotensi menciptakan makna ganda, tergantung siapa yang mencerna.

Kalau merujuk ke beberapa sumber di internet, selain yang baru disebut Pak Hasan, khasiat dan manfaat susu kuda liar Sumbawa ini sangat beragam. Mulai dari meningkatkan stamina, mengobati gangguan pencernaan, gangguan pernapasan, darah tinggi, sampai penyembuhan beberapa penyakit berat, dan lain sebagainya. Namun untuk kebenarannya, masih banyak orang yang memperdebatkan. Karena itu, silahkan kalian klarifikasi sendiri ya. Hahaha.]

BEM: Dijualnya ke mana aja, Pak?

PAK HASAN: Kadang-kadang, kan, ada temen-temen di sini yang sampe ke Bandung, bawa.

***

Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang berseliweran di kepala dan belum saya ajukan. Namun sekali lagi, karena keterbatasan waktu, kami harus segera meninggalkan Desa Palama dengan susu kuda liar Sumbawanya—yang sebenarnya tidak liar itu. Semoga lain kali saya punya waktu lebih banyak lagi. [BEM]