Gunung Kerinci berlatar depan Perkebunan Teh Kayu Aro

Yang namanya waktu, seminggu itu, ternyata cepat juga ya. Perasaan baru kemarin tayang artikel Gunung Kerinci pertama, sekarang sudah harus tayang lagi artikel yang kedua. Ngomong-ngomong, kalian sudah baca artikel pertama—terkait perjalanan panjang dari Jakarta ke Kayu Aro yang penuh drama itu?

Kalau belum, ada baiknya artikel itu dibaca juga, karena ia masih satu kesatuan dengan yang akan kita bahas sekarang. Di artikel ini, saya akan membahas pengalaman mulai dari suka duka bermalam di Basecamp Jejak Kerinci, hingga proses pendakian menuju Shelter 3. Tak lupa, satu-dua data langka saya tebar di dalamnya. Baiklah, supaya tidak berlama-lama, mari kita mulai saja kelanjutan ceritanya…

 

Basecamp Jejak Kerinci

Hujan tiba-tiba deras saat memasuki kawasan Kayu Aro. Ia terus menemani hingga kami tiba di Basecamp Jejak Kerinci yang letaknya hanya terpaut 3 rumah dari Simpang PLN, Desa Kersik Tuo. Posisi basecamp persis di sebelah kiri jalan utama. 200 meter sebelum Simpang Tugu Macan yang cukup terkenal di kalangan pendaki Gunung Kerinci yang kadang disebut Gunung Gadang itu, dan dibangun tahun 1996, berbarengan dengan Latihan Integrasi Taruna Wreda (Latsitarda) Nusantara XVII.

PLN Rayon Kersik Tuo, Jl. Sudirman No. 4

PLN Rayon Kersik Tuo, Jl. Sudirman No. 4

Simpang Tugu Macan

Simpang Tugu Macan

Tiang listrik yang berdiri kokoh di sisi tengah luar halaman depan, sedikit mengganggu pergerakan mobil saat memasuki pelataran halaman, apalagi kondisi saat itu baru saja mati lampu.

“Di sini—Kersik Tuo—emang sering begini, Mas. Gak tau kenapa,” terang Heru, tuan rumah yang juga merangkap sebagai salah satu motor penggerak Basecamp Jejak Kerinci. Dan, entah mengapa, tiap disebutkan nama Heru, embel-embel Sutimbul selalu muncul di benak saya.

Diselingi sedikit basa-basi, setiap orang mulai menyambi bongkar-muat barang-barang bawaan. Tuan rumah tak mau ketinggalan. Mereka ikut sibuk mempersiapkan penerangan lilin alakadarnya di dalam sana. Hujan yang turun begitu lebat, rupanya sanggup membuat proses bongkar-muat sedikit lebih cepat.

“Aman? Gak ada yang ketinggalan? Kalo begitu, saya langsung saja (ke Sungai Penuh),” seru sang supir yang tiba-tiba nongol entah dari mana, saat masing-masing kami sedang sibuk meyakinkan diri, bahwa tak ada satu pun barang-barang bawaan ketinggalan di dalam mobil.

“Oke Pak!” Harry menjabat tangan sang supir mesra erat. “Terima kasih banyak.”

Basecamp Jejak Kerinci

Basecamp Jejak Kerinci

Di dalam rumah, Heru dan Levi menyambut kami seraya memperkenalkan diri. Ramah tamah standar ala Indonesia.

3 orang yang kami kenal berikutnya; Murdam (calon porter kami. Contact person: 0877.1326.5778), Redho (adik Heru—fans berat Iwan Fals), dan Dirga (tamu /pendaki asal Makassar), telah lebih dulu duduk bersila di lantai pelur beralaskan gitar tikar tua di bawah sana. Mereka tengah sibuk memainkan smartphone game rupanya.

Ruang tamu basecamp telah disulap menjadi kamar tidur massal. Seluruh lantainya yang berukuran jembar itu telah berlambar tikar macam arisan akbar. Dalam perkiraan saya, luasnya sekitar 4×7 meter persegi.

Di pojok kiri ruangan, terdapat sebuah meja yang sengaja disingkirkan. Beberapa eksemplar majalah terbitan lama tergeletak di sana. Satu buku tamu lusuh dengan sampul depan belakang yang nyaris terpisah, tampak berkuasa di atas tumpukan.

5 power outlet tersedia di dinding, tapi tak satu pun yang menganggur—walau dua diantaranya sudah ditambah power extention cabang tiga bertumpuk dua—kalau pun ada, itu juga karena ia tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya. Semua penuh terisi kabel-kabel charger berikut ponsel yang tergeletak mengakar bagai ubi jalar. Padahal aliran listrik pun masih padam.

Yah, di jaman modern seperti ini, siapa bisa hidup tanpa ponsel pintar mereka (dan sosial media?). Eksistensi diri bisa terancam nanti. Bahaya! Itu sudah syarat mutlak kalau ogah dibilang manusia prasejarah.

Interior, bagian dalam Basecamp Jejak Kerinci

Interior, bagian dalam Basecamp Jejak Kerinci

Pada dinding yang lebih tinggi, terpampang sekian banyak koleksi foto para pendaki yang telah lebih dulu mendahului kita… menggapai Puncak Indrapura, Gunung Kerinci. Umumnya, foto-foto ini memang sengaja dikirim dari daerah asal masing-masing. Selain biar eksis, kan, foto-foto ini juga bisa jadi semacam bentuk kenang-kenangan untuk tuan rumah yang ditinggalkan.

Dari sekian banyak foto yang terpajang, sebagian dibiarkan telanjang kotak (tidak bulat). Sebagian di-laminating sebelum dikirim. Sebagian lagi diberi bingkai seukuran burung bangkai. Ok. Tidak sebesar itu. 8R, lah. Khusus untuk yang terakhir, pengirimnya harus mereka-mereka yang punya niat kuat sekaligus cukup modal.

Pada bagian jendela, kaca depan basecamp tampak penuh dengan berbagai macam stiker komunitas pecinta alam dari berbagai wilayah di Indonesia yang pernah mampir ke tempat ini.

Ke teras depan, saya keluar barang sebentar. Perkebunan teh Kayu Aro berlatar belakang Gunung Kerinci nyaris tak terlihat terselubung gelap. Intensitas hujan belum juga berkurang.

 

Pemetaan Basecamp Jejak Kerinci

Bagi kalian yang berencana menggunakan basecamp ini sebagai starting point pendakian Gunung Kerinci, berikut saya berikan denahnya:

  • Halaman depan. Ukuran halaman ini bisa dibilang cukup lapang. Bisa menampung hingga 3 buah mobil bertipe MPV (Multi Purpose Vehicle).
  • Ruang depan. Terdiri dari 2 buah ruangan, yaitu; ruang tamu, yang sering dialih fungsi menjadi ruang tidur berjama’ah, dan sebuah kamar tidur di sisi kanan.
  • Ruang tengah. Terbagi menjadi 3 ruangan, yaitu; 2 kamar tidur yang masing-masing berada di sisi kanan dan di sisi kiri. Sementara bagian tengahnya berfungsi sebagai ruang penghubung antara ruang depan dengan ruang belakang.
  • Ruang belakang. Dari seluruh bagian rumah, hanya ruang belakanglah yang berukuran paling megah. Ukurannya; 3 kali lipat ruang depan.

Ruang belakang bagian kiri, digunakan sebagai ruang kumpul keluarga Cemara yang dilengkapi sebuah dipan berukuran lumayan, plus dapur yang menyatu dengan dinding paling belakang.

Sementara, ruang belakang bagian kanan, terbagi menjadi 3 bagian yang berurutan ke belakang, yaitu; kamar tidur, kamar mandi, dan ruang makan yang dilengkapi meja makan kayu tempo dulu berwarna legam macam dakocan.

Kamar mandi letaknya agak menjorok ke dalam. Bila kita berjalan ke arah meja makan, ia akan berada di sebelah kanan. Ukurannya lumayan lega, dilengkapi bak mandi tadah hujan yang mengokupasi lebih dari setengah ruangannya.

Kalau tidak tahan dingin, jangan sekali-kali coba mandi menggunakan air dari bak ini. Bisa breakdance nanti.

Bicara soal aman, saya pilih mandi menggunakan air sedotan mesin jet pump dari lubang sumur setengah menganga persis di bawahnya. Yah, walau dinginnya masih terasa, setidak-tidaknya tidak sampai naudzubillah.

Sama dengan bajaj Jakarta, pintu kamar mandi Basecamp Jejak Kerinci juga berjumlah 3; 1 pintu depan, 1 pintu keluar-masuk halaman samping, dan 1 lagi pintu ruang semedi. Poop booth.

  • Halaman belakang. Berukuran paling kecil di antara bagian rumah yang lain. Fungsinya hanya untuk meletakkan beberapa peralatan dapur, ajang nyupir (nyuci piring), dan tempat hangout favorit 6 anak mentok berikut emak-bapaknya.

Sebenarnya saya sudah mempersiapkan sebuah gambar denah supaya kalian bisa memperoleh gambaran tentang basecamp ini dengan cara yang lebih mudah. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, rugi bandar. Bikin denah lebih dari 1 jam, sementara kalian yang melihat, cuma butuh waktu sekilasan bisa langsung paham. Jadi, biar terkesan adil, sekali ini saya ajak kalian berimajinasi. Kan, Einstein bilang; Imagination is more important than knowledge.

 

Hampir hilang 6 juta gara-gara cuaca

Heru, Levi, Murdam dan Redho adalah penghuni tetap Basecamp Jejak Kerinci, Jambi. Sementara status Dirga (0853.9612.7733) sama dengan kami berlima. Tamu dari seberang lautan, pengguna jasa mereka. Bedanya, Dirga baru selesai mendaki Kerinci, sementara kami baru akan memulai.

Di daerah asalnya, Makassar, Sulawesi Selatan, Dirga, teman baru kami ini, adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Guru lebih tepatnya. Dia baru turun gunung sore pukul 16.00, sebelum kedatangan kami.

Menurut pengakuannya, Kerinci adalah gunung tertinggi ketiga di Indonesia yang sudah dia daki selain Semeru dan Rinjani.

7 summit Indonesia. Itu targetnya. Dengan pendekatan 1 tahun 1 gunung seperti yang dia utarakan, rasa-rasanya tidak mustahil target tersebut bisa terlaksana. “Tahun depan, kalo gak ada halangan, rencananya Kalimantan. Gunung Bukit Raya.” Penuh keyakinan, sorot mata Dirga ikut bicara.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, cuti panjang liburan sekolah kali ini dia manfaatkan lagi untuk mengejar target 7 Summit. Ditambah istri yang sedang mengambil beasiswa kuliah di Australia, tentunya membuat peluang semakin terbuka.

Tak terasa, obrolan ringan ini sampai juga pada tema biaya. Dibanding kami, pengeluaran Dirga ternyata jauh lebih besar. Saat itu direct flight Makassar-Padang lumayan mahal, karenanya dia cari alternatif lain.

“Setelah dihitung-hitung, kalau saya ke Jakarta dulu, terus lanjut ke Padang, kok, lebih murah. Ya, sudah, pilih itu aja. Emang sih jadi muter-muter, tapi karena lebih murah, gak papalah.”

Semurah apa?

Nah! Untuk memberi gambaran se-‘murah’ apa biaya transportasi yang harus dia tanggung—dibanding dengan biaya yang harus kami keluarkan—kalian bisa lihat perhitungan berikut:

 

Dirga

  • PP Makassar – Jakarta = @600,000Rp x 2 = 1,200,000Rp
  • PP Jakarta – Padang = @900,000Rp x 2 = 1,800,000Rp
  • PP Padang – Kersik Tuo = @100,000 x 2 = 200,000Rp

Total pengeluaran transportasi = 3,200,000Rp

 

Kami

  • PP Jakarta – Padang = 475,000Rp (tiket promo PP Mandala Tiger Airways)
  • PP Padang – Kersik Tuo = @130,000Rp x 2 = 260,000Rp

Total pengeluaran transportasi = 735,000Rp

 

Bayangkan. Rasio perbandingan biaya transportasi antara Dirga dengan kami, terpaut demikian jauh. 4.35:1! Atau 435%! Itu pun belum menghitung biaya airport tax yang harus ditanggung.

Tapi fakta ini belum seberapa jika dibandingkan dengan kejadian di Shelter 3, di mana ritual pendakiannya tiba-tiba terkendala cuaca buruk (hujan, angin kencang, dan berkabut) menjelang detik-detik summit attack.

“Kalo kondisinya begini, sih, kita gak bisa muncak nih,” terang Murdam, sang pemandu jalan. Matanya jalang menantang medan di depan. Tangan bertolak pinggang.

“Yang bener!?”

“Bener!”

“Alamaaakkkkk… tiga jutaaa…” Dirga pusing tujuh keliling. Tak cuma satu, dia butuh kedua tangannya buat modal garuk-garuk kepala. Semangatnya seketika lenyap entah ke mana.

Bukan perkara pengeluaran 3 juta yang sekarang, yang dia pikirkan. Tetapi 3 juta berikutnya, yang terpaksa harus dikeluarkan lagi kalau gagal muncak kali ini. Yah, beginilah suka-duka mendaki. Di gunung, cuaca berkuasa atas siapa saja. Tak peduli pendaki kacangan atau pendaki veteran. Dan Dirga, dipaksa mengalah oleh keadaan.

“Hahahahaha… becanda, Bro! Ntar dikit lagi juga (biasanya) cerah. Tunggu aja. Kita tetep bisa muncak, kok.” Berhasil menjebak lawan, Murdam puas bukan kepalang.

“Hahahahaha…” Yang terjebak, tak kuasa menahan tawa. “Anak setannn!…” Antara tawa bahagia, Sherina (baca: geregetan), atau emosi jiwa. Agak sulit membedakannya.

 

Mendaki Gunung Leuser dipandu orang-orang GAM

Levi, yang sedari tadi sibuk ke sana kemari, kini ikut bergabung lagi. Sambil duduk bersila beralaskan tikar tua, kami semua bertukar cerita tentang apa saja. Kadang tentang pengalaman, kadang tentang pekerjaan, tapi lebih sering tentang kita. Tentang kamu dan aku. #eaaa

Hampir 2 jam aliran listrik masih padam. Kata mereka, ini sudah biasa. Sebagai ganti sumber cahaya, kami gunakan lilin dan lampu teplok seadanya—yang sialnya, karena agak remang-remang, malah membuat diskusi ini lebih mirip ajang judi koprok daripada konversasi kelompok.

Ya, koprok. Itu lho, kasino jongkok yang wajib eksis tiap ada yang nanggap layar tancap. Las Vegas kerakyatan. Anak-anak angkatan 80-90an pasti paham.

Kawan baru kami, Levi, bukan tipikal orang yang suka banyak bicara. Jika dirasa tidak perlu, dia lebih suka bertanya ketimbang bercerita. Tak jarang, dia menjebak lawan bicaranya—yang ndilalah, kok, ya, saya! Awalnya pura-pura tak tahu apa-apa, tapi begitu lawan bicara bercerita lebih banyak, ujung-ujungnya langsung di-skak mat.

Menakar dari gerak tubuh dan gaya bicaranya, saya yakin ia termasuk senior di Basecamp Jejak Kerinci. Dari segi ‘tongkrongan’ dan rentang pengalamannya pun bisa dikatakan demikian.

Dahulu, dia pernah bekerja sebagai volunteer di World Wide Fund for Nature (WWF). Sebuah organisasi internasional non-pemerintah yang lahir pada April 29, 1961 (zodiak Taurus?), dan memfokuskan diri pada isu-isu konservasi, penelitian, dan restorasi lingkungan.

Tugasnya saat itu memasang tracking chip dan camera trap untuk memantau pergerakan Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Taman nasional ini sendiri—ditetapkan berdasarkan surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 901/Kpts-II/1999, tanggal 14 Oktober 1999—merupakan yang terbesar di Pulau Sumatera. Luasnya mencapai hingga 1,375,349.87 Ha (13,753 km²), dengan titik koordinat: -0.842787, 100.528871 (berdasarkan aplikasi Google Maps).

“Kerinci itu rangkuman beberapa gunung,” katanya. “Di sini ada padang savana, pasir Semeru, juga taman edelweiss ungu.”

Sayang, kami tak sempat mampir ke lokasi-lokasi yang disebutkannya itu. Kendalanya klasik, keterbatasan dana sekaligus waktu.

Kalian boleh percaya, boleh juga tidak. Menurutnya lagi, Gunung Kerinci kurang begitu suka dengan segala hal yang ‘berbau’ loreng-loreng. Entah siapa atau apa “loreng-loreng” yang dimaksud, saya sungkan menanyakannya lebih lanjut.

“6 bulan lalu, ada harimau Sumatra yang nyasar ke perkampungan warga,” katanya, sambil memperlihatkan bukti kejadian berupa foto yang masih tersimpan baik di handphone-nya, kepada saya. “Masih di sekitar (desa) sini kejadiannya.”

Sang teman ini bisa dikatakan tipe petualang lone wolf. Solitaire. Dia lebih sering dan senang mendaki sendiri, terutama pada musim-musim tutup gunung. Kadang sampai lupa tanggalan. Contohnya seperti di Danau Gunung Tujuh beberapa tahun lalu.

19 hari dia menjadi ‘warga’ sana. Kalau pun harus turun ke peradaban, itu cuma terjadi sekali, akibat kehabisan perbekalan/logistik. Setelah itu, ya, naik lagi.

Yang paling ‘ekstrim,’ perjalanannya mendaki Gunung Leuser. Saat itu, perhatian negara sedang hangat-hangatnya tertuju pada isu Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Peningkatan keamanan sedang digalakkan.

Di lain pihak, dia dan timnya juga diburu-buru target pekerjaan yang mengharuskan mereka sampai ke puncak Gunung Leuser sesegera mungkin. Masalahnya, beberapa kawasan Gunung Leuser saat itu, dipercaya telah menjadi basis kekuatan GAM. Tak peduli nekat, atau (salah-salah) tak sengaja melintasi area kekuasaan GAM, sama artinya dengan cari perkara.

Mereka coba cari cara lain. Sialnya, tak ada. Satu-satunya pilihan ‘aman’ yang tersedia, ya, cuma,“Bayar upeti kalau mau melintasi daerah kekuasan kami!”

Dan, dengan membaca Basmallah, keluar juga uang sebesar 20 juta rupiah. Akibat terjebak kepentingan pekerjaan yang mendesak, terlebih lagi keselamatan diri, siapa pun pasti terpaksa ‘rela’ menyerahkan upeti sebanyak ini.

Berenam, dipandu orang-orang GAM, sampai juga mereka di tujuan; Puncak Gunung Leuser. Tapi jangan salah, perjalanan ini bukan perkara mudah. Karena menurut penuturannya, butuh 9 hari perjalanan untuk sampai di lokasi tujuan. Itu pun belum bicara soal perbekalan, kondisi medan, lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan penelitian, dan… 5 hari perjalanan pulang.

 

Satu hati sama Mbak Krisdayanti

Sejatinya, Basecamp Jejak Kerinci adalah rumah kediaman Heru dan keluarganya. Obrolan ringan antara Heru dan Murdam pada pertengahan 2011 silam telah mengubah sedikit fungsinya hingga menjadi basecamp, seperti yang kita kenal sekarang. Ya, kita. Tanpa luh aja, kali. “Daripada begini-begini terus (mendaki untuk kesenangan pribadi, gak ada perkembangan, gak ada pemasukan),” kata mereka.

Heru tinggal bersama ibu dan seorang adiknya, Redho. Mereka 5 bersaudara, tapi ketiga saudaranya yang lain memutuskan hijrah karena sudah menikah.

Awalnya saya kira keluarga ini asli keturunan Jambi, tapi begitu Murdam terlibat obrolan ringan dengan Bu Jasnawati (ibunya Heru), agak kaget juga mendengarnya. Ternyata percakapan mereka menggunakan pengantar berbahasa Jawa. Antara logat Jogja dengan Surabaya. Saya agak lupa.

Dan, walau kami tidak mendaki pada waktu yang sama, kisah tentang keluarga Bu Jasna bisa kalian baca di sini. Adhi Kurniawan, teman saya, berhasil mengulas kisah mereka secara apik dalam perspektif yang ciamik.

Pengembaraan 12-12-12 Taman Nasional Bukit 12

Pengembaraan 12-12-12 Taman Nasional Bukit 12

Pada Desember 12, 2012 yang lalu, di Taman Nasional Bukit 12, teman-teman Basecamp Jejak Kerinci ikut pula mengajar di kampung suku Anak Dalam. Kegiatan bertema “Tatanan Tradisi Kearifan Suku Anak Dalam” itu kabarnya berlangsung sampai sebulan. Di sana, mereka bertugas sebagai relawan pengajar Sokola Rimba yang didirikan oleh Saur Marlina Manurung, atau yang biasa kita kenal dengan sebutan Butet Manurung.

Hujan belum mau berhenti malam itu. Tidak rintik, tidak juga deras. Pas. Sebuah tanda alam yang mengisyaratkan kalau berkah Tuhan ini bakal memanjang.

“Ayo, semuanya. Makan dulu!” Bu Jasna tiba-tiba sudah berdiri di pintu penghubung antara ruang tamu dengan ruang belakang. Beliau baru selesai memasak untuk kami semua. Keluarganya dan tamu-tamunya.

Dingin, hujan, kelaparan, dapat undangan makan…

Cuma mereka-mereka yang berotak somplak saja yang berani menolak tawaran menggiurkan seperti ini. Kalau saya sih, jelas Ku Tak Sanggup. Bukan begitu, Mbak Krisdayanti?

Judulnya memang di desa, tetapi pelayanan makanan di sini menerapkan standar kota; Buffet… model lesehan macam angkringan. Mau ambil sedikit? Boleh. Mau ambil banyak-banyak? Juga boleh—kalau gak tahu malu.

Dari penampakannya, saya bisa menduga, kalau masakan Bu Jasna ini, pedas semua—kecuali nasi. Hawa dingin dikombinasi masakan panas lagi pedas. Wih! Benar-benar menggugah selera. Maknyus! Begitu, kan, Pak Bondan?

Walau tahu bagian tubuh mana yang bakal sengsara merasakan pedasnya sisa makanan ini saat dikeluarkan nanti, saya tak ambil peduli. Tetap nekat ambil banyak. Apalagi, setelah dicicipi, rasanya memang enak (alibi lapar plus gak tahu malu, sebenarnya).

 

Malam pertama itu indah… kata siapa!

Malam beringsut semakin larut. Seluruh materi ghibah rasa-rasanya sudah tuntas dibahas. Kami tak tahu lagi harus melakukan kegiatan apa. Bingung. Sepertinya benar apa kata mereka; kecerdasan seseorang ikut berkurang begitu perut kenyang. Tapi… kecerdasan macam mana yang bisa dikurangi dari saya? Tahu kalau punya pun, tidak.

Ah, biarlah. Waktunya tidur.

Suhu udara di kaki Kerinci, semakin malam semakin dingin. Cadangan air di awan yang mengambang, terasa mulai berkurang. Guyuran hujan di luar sana tak lagi sederas saat kami datang.

Teman-teman lain telah masuk ke dalam sleeping bag hangat mereka. Sementara saya, hanya bisa berdoa kepada Yang Kuasa gara-gara sleeping bag tak punya.

Hampir 2 jam saya berjuang dengan mata yang tak juga mau dipejam. Setan! Badan saya mulai menggigil kedinginan. Padahal pagi baru beranjak buta, tapi badan ini sudah rajin betul vibrasi sana-sini.

Kalori hasil makan tadi malam, yang seharusnya bisa jadi sumber panas, telah habis terbakar tak bersisa. Cadangan penghangat tubuh yang saya punya, tinggallah jaket dan celana pendek. Mau bakar api unggun, jelas tidak mungkin. Ini kan ruang tamu. Mau, digebukin?

Tambahkan kondisi ini dengan tingkah Fery, yang ngoroknya mengaduh-aduh pura-pura menggigil kedinginan dan tiba-tiba keram betulan. Fiuh!

Raung mesin kendaraan di jalan raya depan basecamp jauh berkurang dibanding tadi malam. Kalau pun ada kendaraan yang lewat, paling-paling hanya satu dua. Seperti yang ini misalnya. Suara mesin satu ini terdengar lebih fals daripada kendaraan lainnya. Seperti mesin potong rumput renta, yang hanya bisa di-starter sekali hanya untuk mati lagi.

Suaranya semakin mendekat.

Tapi, kenapa terlalu dekat, ya…

Argh! Harry ngorok rupanya. Dan dia, tidur di sebelah saya!

Di luar, angin bertiup demikian kencang. Sebentar menderu, sebentar mendesis. Lembaran-lembaran seng dari setiap atap rumah warga yang dilaluinya, rajin benar mengibas-ngibaskan ekor mereka. Satu sama lain saling beradu. Menciptakan suara bising yang mengganggu kuping dan membuat atmosfer malam terasa mencekam macam kerusuhan ‘98.

Desa ini benar-benar sepi.

Ok! Tidak benar-benar sepi. Karena setelah ‘panggilan’ pertama Harry tadi, Bayu dan Fery bergantian menimpali. Dan ketiganya asyik berkomunikasi dalam bahasa yang sulit saya cerna. Tanpa kesadaran dan tanpa satu pun mata mereka membuka. Lebih absurd lagi, satu kambing congek demikian setia mendengarkan obrolan mereka; saya.

Di sebelah sini, menimpali dengan suara dengkuran kucing (yang sedang dielus-elus lehernya). Di sebelah sana, ganti menimpali dengan suara desisan keran bocor. Di sebelah situ tak mau kalah, ikut-ikutan menimpali dengan suara mengaduh.

Tapi itu belum seberapa. Karena 2 suara terakhir berikutnya tiba-tiba saja membuat imajinasi saya mengalir liar. Suara “uh ah uh ah” dari seberang kiri, berbalas-balasan dengan erangan “emphh…” dari seberang kanan.

Entah apa yang tengah mereka perbuat di alam sana. Sungguh, saya tidak ingin mengetahuinya. Sangat tidak ingin. Apalagi saya tahu gender mereka bertiga ini, kan, pria semua!

Jika dengan insomnia dan hawa dingin saja sudah bisa membuat saya sengsara, tak henti-henti mengutuki diri sendiri, kenapa juga mesti ditambahi dengkur mesum macam begini. Ya Tuhan, jadi pusing pala barbie…

 

Berhenti di pendakian Kerinci ke-80

Dalam perhitungan kami sebelumnya, per-orang wajib membawa minimal 3 botol air mineral besar. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan air selama masa pendakian nanti. Maklum, tak satu pun dari kami yang pernah mendaki Gunung Kerinci. Jadi, segala perhitungan sengaja dilebihkan dari jumlah perkiraan.

Perkiraan yang akhirnya ditertawakan Levi dan Murdam, sing mbaurekso Gunung Kerinci. “Untuk apa bawa air banyak-banyak? Di sana banyak sumber air,” jelas Murdam dengan raut muka heran dipadu logat Jawa Timur-an.

“Satu botol aja cukup. Ntar aku cariin air di sana, kalo kurang. Wong di sana itu ada ‘bak’ penampungan—alami—kok. Airnya banyak. Mau berenang juga bisa,” imbuhnya lagi.

Dari informasi ini, akhirnya, saya dan keempat teman lain memutuskan untuk mengurangi jumlah botol air yang akan dibawa. Tapi, bukan satu botol seperti yang dianjurkan. Kami bawa dua. Lagi-lagi, ini dilakukan sebagai upaya antisipasi, karena kami belum tahu secara pasti kondisi medan Gunung Kerinci nanti. “Hope for the best, plan for the worst.” Begitu kira-kira isi slogan kita.

Proses repacking pagi itu dapat disimpulkan dengan satu kata, ‘Bingung.’ Kutukan yang seringkali kita alami ketika dihadapkan pada pertanyaan tentang barang mana yang harus dibawa dan mana yang tidak. Apalagi, kalau barang-barang dalam keril/backpack kita memang dianggap penting semua.

Namun demikian, ada satu prinsip yang tetap saya pegang teguh sampai sekarang;

Intinya, barang apa pun yang masuk dalam daftar repacking, jangan sampai di gunung nanti mengalami yang namanya, “ditinggal kurang, dibawa kelebihan.” Bersikaplah bijaksana. Sesuaikan barang bawaan dengan kondisi lapangan dan kemampuan.

Fery kiri, Murdam kanan - Kembar yang Tertukar Season 599

Fery kiri, Murdam kanan – Kembar yang Tertukar Season 599

Murdam, yang berperan sebagai porter, kami bingkiskan beberapa barang bawaan yang bobotnya dirasa berat, seperti; lemari, tivi, tenda, peralatan masak, dan beberapa botol besar air mineral. Selebihnya, kami bawa sendiri-sendiri. Biar kelihatan seperti pendaki betulan.

Teman yang hobi olahraga lari ini (seminggu sekali, 40 km), sudah 68 kali mendaki Gunung Kerinci dan 58 kali summit Puncak Indrapura. Dengan menjadi porter kami, berarti ini akan menjadi pendakiannya yang ke-69. Akankah dia summit lagi? Kita lihat nanti.

Dari pengakuannya, dia baru akan berhenti pada pendakian ke-80. Entah apa makna angka ini baginya.

Teman baru kami ini memiliki postur tubuh macam pendekar. Pendek besar. Tapi tidak pendek-pendek amat. Kalau mau dibanding-bandingkan, mungkin posturnya mirip-mirip prajurit Kerajaan Majapahit. Bedanya, pada dirinya tak ada lekukan-lekukan otot menonjol yang bisa membuatnya dibilang kekar—kecuali sektor betis. Pokoknya, settingannya porter abis. #ThumbsUp

 

Dehidrasi dan penyakit ginjal

Pak Sugiono, supir mobil L300 yang kami sewa, baru datang pas selesai sarapan. Tak menunggu lama, semua keperluan pendakian langsung diangkut ke mobil. Keril berukuran besar diletakkan di bagasi, sementara tas-tas kecil digembol sendiri-sendiri.

Sebenarnya, jarak antara basecamp dengan pintu rimba ‘tidak’ terlalu jauh. Hanya terpaut sekitar 5 km saja. Jadi, bagi kalian yang senang atau terbiasa melakukan pemanasan sebelum kegiatan pendakian dilaksanakan, pilihan jalan kaki atau trekking bisa dipertimbangkan.

Panorama Perkebunan Teh Kayu Aro berlatar belakang Gunung Kerinci

Panorama Perkebunan Teh Kayu Aro berlatar belakang Gunung Kerinci

Bentang pemandangan di sekitar Perkebunan Teh Kayu Aro 1

Bentang pemandangan di sekitar Perkebunan Teh Kayu Aro 1

Bentang pemandangan di sekitar Perkebunan Teh Kayu Aro 2

Bentang pemandangan di sekitar Perkebunan Teh Kayu Aro 2

Jangan khawatir. Bentang pemandangan perkebunan teh Kayu Aro berlatar belakang Gunung Kerinci siap memanjakan mata kalian di sepanjang perjalanan hingga tiba di Pintu Rimba.

Bagi yang butuh petunjuk arah. Dari Basecamp Jejak Kerinci, jalan ke kiri (arah Sungai Penuh) sejauh kurang lebih 200 meter. Begitu ketemu Tugu Simpang Macan (posisinya berada di sebelah kanan, seberang jalan), tinggal belok kanan. Dari sana, lurus terus ikuti jalur utama. Pada akhir jalan aspal, di situlah letak di mana Pintu Rimba berada.

Ongkos L300 (basecamp – pos registrasi pendakian) = 10,000Rp per orang

Jarak tempuh = 5 menit

Suara Burung Rangkong menyambut kami di awal pendakian. Di tempat ini, tak ada pendaki lain kecuali kami. Jauh di belakang sana. Di tengah-tengah Perkebunan Teh Kayu Aro yang luasnya mencapai 600 hektar itu. Para pekerja masih bergelut dengan pucuk-pucuk daun teh yang siap dipanen. Topi caping dari anyaman bambu telah bertahta di atas kepala wanita-wanita pemetik teh tersebut. Kerucut caping mereka mempecundangi cahaya mentari pagi yang masih enggan menyinari. Tak seorang pun bicara. Semua fokus bekerja.

Kabarnya, pada tahun 2006 silam, tenaga pemetik daun teh pada Perkebunan Teh Kayu Aro milik PTPN VI ini telah dikurangi hingga 60%. Tenaga mereka digantikan dengan 15 mesin pemotong daun, di mana dari setiap 1 mesin pemotong/pemetik daun tersebut mampu menggantikan hingga 25 tenaga kerja.

Bagi perusahaan, ini sama artinya dengan penghematan besar-besaran; 27.5 juta Rp/bulan/mesin. Tetapi, bagi karyawan yang tergantikan?

Pos Ranger Kerinci - pos pertama yang akan kita temui

Pos Ranger Kerinci – pos pertama yang akan kita temui

Di ujung aspal, tanah merah terbuka lapang. Pos Jaga/Pos Retribusi Gunung Kerinci berdiri ringkih di belakang baliho tua yang telah berkarat dimakan usia. Kami masih punya cukup waktu, tak salah kiranya jika ingin stretching barang sebentar.

Pukul 07.55 pagi, kaki Kerinci mulai kami tapaki. Sisa hujan tadi malam masih terbaca di jalur pembuka. Tanah yang semula berwarna merah darah ini berubah jadi legam kehitaman. Semakin sering terinjak, semakin berlumpurlah ia.

Gapura Selamat Datang Wisata Alam Gunung Kerinci di Taman Nasional Kerinci Seblat

Gapura Selamat Datang Wisata Alam Gunung Kerinci di Taman Nasional Kerinci Seblat

Plang Pintu Rimba - Ekspedisi Bukit Barisan Kopassus-Kostrad

Plang Pintu Rimba – Ekspedisi Bukit Barisan Kopassus-Kostrad

Batu Prasasti Ekspedisi Bukit Barisan Juli 01, 2011

Batu Prasasti Ekspedisi Bukit Barisan Juli 01, 2011

Jalur setapak selepas Pintu Rimba

Jalur setapak selepas Pintu Rimba

Kebun sayur mayur warga di kiri-kanan jalan setapak, tampak kosong tak bertuan. Hama tanaman merajalela mengunyah setiap daun yang ditemuinya. Hampir 75% berlubang macam koreng gocapan.

10 menit trekking ringan, sampai kami di gapura selamat datang wisata alam Gunung Kerinci, Taman Nasional Kerinci Seblat. Sebagian teman masih di belakang. Dengan senang hati saya menanti sambil memuaskan pandangan. Tak perlu diburu-buru. Toh, Pintu Rimba hanya berjarak 5 menit perjalanan dari sini.

Lepas dari Pintu Rimba, jalan setapak kami dilambari gugur dedaunan mati. Jalur ini kembali mengingatkan saya pada jalur trekking menuju spot bird watching Cendrawasih Merah di Yenbeser, Raja Ampat, beberapa tahun yang lalu.

Bedanya, di Kerinci sejuk, sementara di sana, panas lagi lembab. Khas hawa hutan yang posisinya bersandingan dengan lautan—tak jauh beda dengan hutan Pulau Wayag (masih di Raja Ampat) dan hutan Pulau Sempu, di Malang.

Pos 1 Gunung Kerinci

Pos 1 Gunung Kerinci

Plang Pos 1 (1,800 mdpl) - Ekspedisi Bukit Barisan Kopassus-Kostrad

Plang Pos 1 (1,800 mdpl) – Ekspedisi Bukit Barisan Kopassus-Kostrad

Secara overall, kontur jalur mulai dari Pintu Rimba sampai Pos 2 relatif ringan untuk didaki. Yang membuatnya sulit hanyalah perut yang mulai membuncit dan semangat betul bergejolak. Konsumsi masakan serba pedas kemarin malam plus sarapan pagi tadi, saya curigai sebagai biang keladi. Dan, ugh!… ia bereaksi lagi.

Kepingin kentut, takut saudaranya ngikut. Tapi semakin ditahan, semakin menggigil gemetaran. Amit-amit. Semoga tidak sampai kecirit (cepirit). Sebab kalau sampai terjadi, saya berani pastikan para cirit itu bakal segera menemui ajal mereka. Saya buang di mana suka. Kalau tak percaya, silahkan coba!

Pos 2 (1,909 mdpl) - dekat sumber air

Pos 2 (1,909 mdpl) – dekat sumber air

Full team minus satu

Full team minus satu

Trek menuju Pos 3

Trek menuju Pos 3

Pos 3 (2,225 mdpl)

Pos 3 (2,225 mdpl)

Shelter 1 (2,510  mdpl) - Dekat dengan sumber air

Shelter 1 (2,510 mdpl) – Dekat dengan sumber air

Jalur uji coba baru saya temui pada Pos 2, Pos 3, hingga Shelter 1. Kemiringan trek yang semula melandai, kini mulai terangkat beberapa derajat. Masih terbilang ringan. Belum terlalu berat.

Pada setiap pos yang ditemui, istirahat barang sebentar wajib dilakukan. Tujuannya untuk merehabilitasi sekaligus menghindari stress pada otot-otot kaki. Tak lupa minum, untuk menghindari dehidrasi (jangka pendek) dan penyakit ginjal (jangka panjang).

Bagi kalian yang belum tahu, mari saya beritai (agak kurang enak bahasanya). Berdasarkan sebuah penelitian—maaf saya lupa sumbernya—penyakit ginjal adalah jenis penyakit yang paling banyak diderita pendaki aktif di masa tuanya.

Mengapa bisa demikian? Karena para pendaki ini, pada masa aktif mereka, sering lupa (bahkan cenderung mengabaikan) minum pada setiap kegiatan pendakian berlangsung. Alasannya bisa; “Entar ajalah, gampang,” Gue belum haus,” Repot ngeluarin airnya,” Tanggung, dikit lagi sampe,” dan beragam alasan lain yang semacam.

Pada sebagian pendaki Indonesia (baca: sebagian teman-teman seperjalanan dan mayoritas mereka yang baru saya kenal di lokasi pendakian), gejala dehidrasi umumnya cenderung diabaikan. Bahkan kadang masih diperparah lagi dengan mengkonsumsi kopi, rokok, dan minum-minuman beralkohol—yang nota bene termasuk penyebab dehidrasi.

Perlu dicatat! Sampai di sini kita belum menghitung keringat yang dikeluarkan saat mendaki, serta udara dingin pegunungan yang memang sangat berpotensi mempercepat proses dehidrasi.

Urine Color Chart

Urine Color Chart

Cara paling mudah mendeteksi apakah kita menderita dehidrasi atau tidak adalah dengan melihat warna urine yang dikeluarkan saat kencing. Semakin pekat warnanya, indikasi dehidrasi semakin tinggi.

Metode lainnya adalah skin pinch test, yaitu dengan cara mencubit kulit punggung telapak tangan. Kalau ia kembali normal dalam waktu 1 detik atau kurang, bisa dibilang aman. Tetapi kalau tidak kembali, atau kembali normal tetapi prosesnya berjalan lamban, maka ini berarti kalian telah mengalami gejala dehidrasi. Karenanya, perbanyaklah minum walau tidak merasa haus sekali pun.

 

Restricted Access! Puncak Kerinci via Solok Perjan

Pendakian kembali dilanjutkan. Tiger-infested trail sedikit demi sedikit kami tinggalkan di belakang, menyambut trek di depan yang mulai menantang. Gaya jalan saya mulai goyang ke kiri-kanan macam kapal nelayan diterjang gelombang.

Secara alami tim kecil kami mulai terbagi jadi 2 kongsi. Yeni, Bayu, dan Murdam, memimpin jauh di depan. Sementara saya, Fery dan Harry menyengajakan diri tertinggal di belakang. Kecepatan kami buat pelan namun konstan. Ini penting. Demi menghindari somplak kaki.

Pada tim yang tertinggal, Harry ambil posisi pimpinan. Mmm… sebenarnya bukan begitu keadaannya. Harry memang sengaja ‘diposisikan’ di depan, supaya kami berdua, yang di belakang, lebih mudah mentertawakannya. Kenapa?

Karena teman satu ini sedikit ajaib. Bayangkan. Dari sekian banyak jalur mudah, kenapa juga dia malah pilih jalur susah? Sudah itu, terpeleset jatuh pula. Mending kalau cuma sekali. Lah ini, berkali-kali. Keahliannya terbilang jempolan dalam menciptakan sound effect bedug sekali gebuk.

Yah, manusia macam mana yang mau melewatkan melihat momen-momen membahagiakan seperti ini? Saya sih, jelas tidak ingin. Apalagi ini jenis hiburan langka. Gak setiap waktu ada. Masak mau dilewatkan begitu saja? Rugi. Sumpah, rugi!

Dari kejadian ini, kita bisa belajar tentang satu hal; ternyata, tertawa-tawa di atas penderitaan orang lain itu memang menyenangkan adanya. Tak heran kalau banyak orang yang melakukannya. Jadi, mari kita lakukan lagi.

Shelter 2 (2,950 mdpl)

Shelter 2 (2,950 mdpl)

View dari Shelter 2

View dari Shelter 2

Pada Shelter 2, kami istirahat lebih lama. Hampir 1 jam berdasarkan catatan saya. Kontur shelter sedikit miring. Posisinya berada di sebelah kanan jalan dengan salah satu sudut yang serba terbuka. Saking terbukanya, kita bisa tebarkan penglihatan sejauh mata memandang—ke bukit-bukit yang berbaris tak beraturan di seberang sana. Yang warnanya semakin pucat seiring rentangan jarak.

20 menit menjelang pukul 15.00. Kami harus segera bergegas ke Shelter 3. Takut kelamaan di jalan. Kami belum makan siang.

 

Jalur ringan – sedang

Pos 1 (1,800 mdpl) – Pos 2 (1,909 mdpl) = 25 menit

Pos 2 – Pos 3 (2,225 mdpl) = 45 menit

Pos 3 – Shelter 1 (2,510 mdpl) = 80 menit

 

Jalur berat

Shelter 1 – Shelter 2 (2,950 mdpl) = 210 menit (3.5 jam)

Shelter 2 – Shelter 3 (3,200 mdpl) = 90 menit

Setiap orang mulai sibuk membenahi keril masing-masing. Saya, tak terkecuali. Bolak-balik mengeluarkan kamera dari balik keril sana, lama-lama membosankan juga. Kalau tak ingat butuh dokumentasi foto ciamik, kamera seberat ini pasti sudah saya tinggalkan sejak di Jakarta.

Satu per satu teman naik lebih dulu. Saya pilih belakangan, seperti yang sudah-sudah. Tak perlu terburu-buru. Saya bukan anak pecinta alam. Saya cuma seorang penikmat alam.

Trek menuju Shelter 3 (3,200 mdpl)

Trek menuju Shelter 3 (3,200 mdpl)

Begitu hendak melangkah, entah bagaimana, tiba-tiba saja rasa putus asa melanda saya. Memang, pergelangan kaki sedikit cidera, kepala pusing, badan pun lemas karena tenaga telah banyak terkuras. Tapi semestinya kondisi ini tak lantas membuat saya berputus asa. Kan, perjalanan ini begitu saya nikmati.

Agak aneh. Tak biasanya.

Teman-teman sudah semakin jauh di depan. Sementara saya, setapak pun belum melangkah. Damn! Saya harus melakukan sesuatu.

“Untuk siapa pun yang ada di sini (seluruh penghuni Gunung Kerinci). Yang kelihatan dan yang gak kelihatan. Gw datang ke sini sebagai tamu. Tamu yang berkunjung ke rumah teman lamanya. Kalian.” Kedua belah tangan, saya rentangkan lebar-lebar. Tak lupa, pinggang ikut diputar seiring pandangan yang mengedar.

“Sekarang gw lagi kepayahan. Karena kalian tuannya, dan ini rumah kalian, tolonglah bantu gw. Masak teman yang bertamu lagi kesulitan, kalian gak mau kasih bantuan. Pinjemin gw sebentar, kekuatan kalian. Benerin (cidera) kaki gw. Seenggak-enggaknya sampai Shelter 3.” Macam kepala suku Indian, atau lebih tepatnya; orang edan, saya terus bicara sendirian.

Ajaibnya, begitu kelar berucap, putus asa dan cidera, seketika itu juga lenyap!

Tentu kalian tak akan percaya begitu saja, bukan? Sama. Saya pun demikian. Tapi, apa mau dikata, begitulah kenyataannya. Atau jangan-jangan, ini cuma sugesti saja?

Mari saya beritai lagi. Tingkah absurd ini tentu tidak berdiri sendiri. Ada alasan yang melatarbelakangi. Sudah sejak lama, mindset “sahabat alam,” saya tanamkan dalam pikiran. Ke gunung mana pun mendaki, saya akan selalu berusaha menjadi teman dan tamu yang baik. Prinsip saya; Respect nature, and they’ll ‘respect’ us. Protect nature, and they’ll protect us. Do the contrary, and they’ll do the same. Terdengar klise, tapi saya suka.

Dengan tenaga dan kesembuhan ‘pinjaman,’ sampai juga saya di Shelter 3. Di ujung sana, satu tenda tampak telah berdiri. Pemiliknya ramah menyapa kami.

“Dari Jogja, Mas,” jawab salah seorang dari mereka ketika ditanya. “Sudah dari kemarin. Hari ini rencananya pulang.” Walau berbahasa Indonesia, logat kental Jawa masih terbawa-bawa.

“Timnya berapa orang, Mas?” tanya saya kemudian.

“Bertiga, Mas.”

Kepala saya refleks mengangguk-angguk, mengiringi jawaban sejuta umat yang akhirnya terlontar keluar, “Ooo…” Jenis jawaban standar yang biasanya menandakan suatu kebosanan, ketidaktahuan, bingung mau meneruskan, atau ingin segera mengakhiri pembicaraan.

Kami mulai sibuk mendirikan tenda. Satu kali salah pasang frame, satu kali kurang teliti pasang flysheet terbalik, dan voila!… akhirnya tenda tercinta berdiri juga.

Tenaga saya kembali hilang sebagaimana layaknya di Shelter 2, begitu pun dengan cidera kaki. Kini ia kembali lagi.

Di hadapan teman-teman lain, tak mungkin menggunakan cara yang sama seperti yang saya lakukan di Shelter 2 sebelumnya. Ucapan terima kasih untuk “teman-teman,” para penghuni Gunung Kerinci yang kasat mata dan yang tidak, hanya bisa disampaikan via jalur telepati.

Ah, hampir lupa. Sebenarnya, akses atau jalur pendakian ke puncak Gunung Kerinci tak hanya dari Desa Kersik Tuo saja. Via Solok Perjan (Perusahan Jawatan?) pun pernah ada. Tapi, karena kontur jalurnya terlalu curam bin terjal alias sadis, maka jalur ini ditutup kembali. “Bisa tembus di Shelter 3,” kata Levi. “Gak banyak yang pernah lewat sana. Cuma sekitar 50 orang aja.” [BEM]

Bersambung…