Sebenarnya ini agak memalukan. Tapi, atas nama ingatan yang bisa kapan saja terlupa, tak ada salahnya kalau pada akhirnya saya pilih untuk bercerita. Toh, selain berguna sebagai catatan perjalanan, ia juga bisa berperan sebagai hiburan.
Peristiwa ini sendiri terjadi di sekitar basecamp Cemoro Sewu, Gunung Lawu, beberapa tahun lalu. Kalau kita lihat pada peta, maka pintu masuk pendakian ini akan berada di sisi Jawa Timur. Kami sengaja tidak berangkat lewat Cemoro Kandang, Jawa Tengah, karena jalurnya yang lebih panjang dan berdebu. Bagi yang belum tahu, jarak antara kedua gerbang pendakian ini hanya terpaut sekitar 700 meter atau 11 menit berjalan kaki menelusuri Jalan Cha Cha Lesahan.
Baiklah, mari kita mulai saja ceritanya…
Perjalanan panjang dari Jakarta membuat saya dan kelima teman lain kelaparan. Ketimbang pingsan, cepat-cepat kami datangi warung makan terdekat.
“Pada mau makan apa nih?”sambil melihat-lihat menu yang ada.
“Gue soto aja, Bem,” jawab teman pertama.
“Gue juga soto deh,” timpal teman kedua, kurang kreatif. Di antara sekian banyak menu yang tersedia, kenapa pula pilihannya harus sama.
“Mbak!” yang dipanggil, datang mendekat. “Soto dua, ya.”
“Masnya, makan apa?”
Apa pun yang kamu masak, pasti aku makan.
“Mmm…” lembar menu saya sisir dari atas, ke bawah, ke atas lagi, dan ke bawah lagi. “Indomie telor ada, Mbak?” atas nama kreatifitas, pilihan saya harus berbeda, walau pada lembar itu menu apa yang diminta jelas-jelas tidak tersedia.
“Ada, Mas,” jawabnya ramah. Tangan mengapurancang. Kepalanya turut mengangguk menyesuaikan gerakan badan yang sedikit membungkuk-bungkuk.
“Kalo begitu, indomie telor satu, ya,” telunjuk kanan diacungkan. Sebelum badannya sempat berbalik, “Oh, iya, Mbak. Telornya empat!”
“Hah!?” seketika dia lupa adat istiadat Jawa, berganti ekspresi keheranan ala orang kota. Entah disengaja, entah tidak, mulut itu dibiarkannya menganga agak lama. Mungkin otaknya tiba-tiba korslet saat mendengar ada kelainan dalam permintaan itu.
Semua variasi menu indomie telor dia ingat-ingat. Tetap, tak ditemukannya satu pun sejarah pesanan indomie telor, yang telor-nya empat!
Sebelum otaknya benar-benar rusak, permintaan itu kembali saya perkuat. “Iya, Mbak. Em-pat!”
Ke arahnya, empat jari tangan kanan, saya acungkan. Tatap mata kanan dipasang tajam, lagi kejam. Sementara mata kiri dikedip-kedip, sedikit genit.
“Oh, i-iya, Mas…” jawabnya cepat. Antara bingung, geli, juga jijik.
Di balik pintu dapur, dia menghilang. Meninggalkan kami bertiga merubungi satu meja kecil di pojokan ruang makan.
Sambil menunggu, obrolan demi obrolan mulai mengalir tanpa tentu arah. Sesekali diselingi pengecekan ulang barang-barang bawaan, mana tahu ada yang tertinggal di rumah, belum masuk ke keril buluk.
Selain kami, belum ada pembeli lain yang datang ke tempat ini. Kondisi warung benar-benar sepi. Dan meja-meja makan itu tampak tenang dalam penantian.
***
Satu per satu, soto pesanan kedua teman mulai diantarkan. Pesanan saya? Mungkin belakangan.
10 menit sudah berlalu, tapi yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang. Padahal kalau mau ditakar dengan nalar, menyiapkan seporsi indomie telor itu seharusnya sama cepat dengan menyiapkan 2 porsi soto ayam.
Tiga empat pembeli mulai mengisi meja-meja kosong di belakang saya. Isi mangkuk soto kedua teman pun sudah berkurang separuhnya. Tapi kenapa indomie telor Cemoro Sewu saya belum diantar-antarkan juga? Kenapa malah orang-orang baru itu yang dilayani lebih dulu?
Gerombolan predator di dalam perut mulai melancarkan aksi propaganda mereka. Mau tidak mau saya datangi juga pintu dapur tempat si Mbak Soto menghilang. Rupanya dapur ini tak kalah lapang dengan ruang makan.
Di seberang bawah sana, pada arah diagonal kiri, tampak dua orang perempuan sedang sibuk mempersiapkan pesanan. Salah satunya cepat menoleh saat menyadari keberadaan saya di pintu dapur mereka. Mungkin dia punya semacam indera keenam, dan saya dirasa-rasainya sebagai setan yang bisa mengancam ketentraman.
Tatap mata yang sebelumnya penuh curiga itu seketika berubah jadi ratap penyesalan begitu tahu siapa yang datang. “Pesenan saya udah jadi, Mbak?”
“Iya, Mas. Maap. Sebentar lagi…” dalam Bahasa Indonesia, logat Jawanya kental terasa. Isyarat tubuhnya semakin memantapkan permintaan maafnya. Kalau sudah begini, tak bijaksana rasanya jika saya tetap memaksa.
***
10 menit lewat, mangkuk idaman saya belum juga menunjukkan batang hidungnya. Padahal soto teman yang dua sudah habis tak bersisa. Bahkan kini, eksistensi pemesannya telah berganti dengan 3 teman seperjalanan lain. Seperti kedua teman sebelumnya, ketiganya pun mulai memesan menu yang sama.
Dan entah bagaimana, warung ini tiba-tiba saja dipenuhi para pendaki Gunung Lawu yang kelaparan. Yang baru turun, wajahnya kusam kelelahan. Yang baru akan mendaki, wajahnya masih putih berseri-seri. Oke! Yang benar-benar putih cuma satu dua. Sisanya, putih tua. Dan sialnya, saya termasuk dari jenis yang kedua.
Di luar sana, adzan Dzuhur mulai bersahut-sahutan. Suara paling lantang terdengar datang dari pengeras suara Masjid An-Nur di seberang jalan. Daripada emosi jiwa menunggu terlalu lama, mungkin ada baiknya kalau saya rehat sejenak lewat sholat.
Kalau nanti dianggap perlu, sekaligus mengadu kepada Tuhan tentu patut dipertimbangkan. Menyampaikan betapa tidak adilnya pemilik warung ini memperlakukan saya sebagai pelanggannya.
***
Sholat Dzuhur baru selesai ditunaikan. Sebelum mie menjadi dingin dan berubah jadi tali sepatu ABRI, cepat-cepat saya kembali.
“Pesenan gue udah jadi belom?”
“Belom, Bem.”
“Lah!”
Hampir 45 menit, dan pesanan yang cuma seporsi indomie telor ini belum juga jadi!???
Sekeras apa mie pesanan saya, sampai-sampai harus direbus sedemikian lama? Berbahan dasar meteor kah, jadi, semacam indomie custom, begitu? Atau, fosil indomie mungkin?
***
Menit terus bertambah. Pengunjung warung pun silih berganti berubah wajah. Satu selesai, dua datang. Empat selesai, satu datang. Dua selesai, tiga datang. Dan lagi-lagi, pesanan mereka-mereka juga yang duluan terhidang.
Isi mangkuk ketiga teman lain semakin mengering. Kalau yang tiga ini selesai, itu artinya prosesi pendakian bakal segera dimulai. Artinya lagi, saya akan menjadi satu-satunya hambatan terbesar tim, karena mereka terpaksa menunggu lebih lama.
Baiklah. Kalau sebelumnya si Mbak bisa bebas bergerak keluar masuk dapur-ruang makan menyajikan pesanan, maka kali ini akan saya buat hidupnya sama tidak tentram. Saya akan benar-benar menjadi setan pengganggu kenyamanan masyarakat dapur.
Tak seberapa lama, si Mbak keluar lagi dari dapurnya. Nampan di tangan, penuh berisi mangkuk dan piring pesanan. Begitu melirik dan didapatinya saya ada di tempat, cepat-cepat lirikan itu dibuang. Mudah-mudahan dia (maksudnya: saya) kagak ngeliat, begitu mungkin yang ada di pikirannya.
Kalau memang itu yang ada di pikiranmu, ketahuilah Mbak… aku sudah melihat kamu semenjak pertama kali kita bertemu.
Penduduk nampan baru kelar dia sebar ke para pemesannya. Nampan kosong itu dijinjingnya ringan. Jalannya sedikit terburu-buru, dan pintu dapur itu juga yang dia tuju.
“Mbak!” mau ke mana lu sekarang, heh! *devilsmirk, yang dipanggil terpaksa menengok dan berhenti. “Indomie telor saya udah jadi?”
“Belom, Mas. Sebentar lagi.” Pada wajahnya tercadang penyesalan, sekaligus kesialan karena dipergok setan yang ini ini lagi.
“Haduh biyung… gimana ini, Mbak?”
***
Setelah hampir satu jam, pesanan yang ditunggu-tunggu akhirnya datang.
Pengantarnya?
Si Mbak sendiri.
“Maap, Mas,” ketahuilah, Mbak. Tembolok ini sudah kadung jadi fakir yodium. Jadi, tiada maaf bagimu. “Lama nunggu airnya mendidih.” Sekarang, mendidih pula yang kau jadikan kambing hitam.
Tapi, tunggu dulu…
Setelah dipikir-pikir ulang, sepertinya alasannya itu cukup bisa diterima logika.
Di ketinggian antara 1,600-1,800 mdpl seperti Cemoro Sewu ini, air tanah pun bisa menjadi sangat dingin—saya merasakannya sendiri saat mengambil air wudhu di masjid tadi.
Mendidihkan air yang sangat dingin, tentu butuh waktu yang lebih lama ketimbang air bersuhu normal. Itu pun belum menghitung efektifitas kayu bakar yang digunakan sebagai bahan dasar untuk memasak. Belum lagi mempertimbangkan berapa persen kadar airnya, dan dari jenis apa kayu bakar yang digunakannya itu. Kayu lunak, kah? Atau kayu keras?
Selain itu, tekanan udara yang dihasilkan kompor kayu bakar, tentu tidak sebesar tekanan yang dihasilkan kompor gas. Jadi, tidak heran kalau perbedaan tekanan ini pada akhirnya juga turut mempengaruhi cepat lambatnya proses memasak.
Baiklah, Mbak. Engkau kumaafkan…
Disorongkannya kepada saya mangkuk laknat itu.
“Lah! Telornya mana, Mbak? Kok, mie doang?”
Padahal baru saja dimaafkan, tapi lagi-lagi dia membuat kesalahan.
“Ini, Mas, telornya.” Dengan cekatan, disorongkannya mangkuk kedua.
“Innalillahi… jadi ini yang bikin lama!”
Keempat telur yang seharusnya dijadikan satu dan dimasak berbarengan dengan indomie itu, rupanya sengaja dia pisah di mangkuk berbeda… dalam bentuk TELUR REBUS! Utuh dengan cangkang-cangkangnya.
Sontak, kelima teman seperjalanan lain—yang entah bagaimana caranya, tiba-tiba bisa berkumpul bersama—tertawa tak ada habis-habisnya. Bahagia betul mereka menyaksikan penderitaan saya.
“Lagi elu sih, Bem, ada-ada aja! Pesen indomie lah pake telornya empat. Mbaknya kan jadi keder! Hahaha…” [BEM]
Bahahaha, bisaaa aja pesen telornya empat 😀
Yah, namanya juga terpaksa, Qy. #eh!
Uhuk! *keselek mie telor* :v
Wkwkwk… :p
Penasaran apa yg terjadi dengan mie telor empat eh taunya.. Hahaha..
Menarik mas. Salam kenal 😀
Salam kenal kembali, Mas. 😀
lagian si mas ada ada-ada aja telor empat aku juga baru denger hahaha…. gagal paham jadi kelaperan ya mas hahaha
Mmm… nganuh… kan ceritanya biar anti-mainstream. :p
alamat imelnya apa yak? lupaaa…..
Alamat email? Ada tuh di page About.
boleh2 nanti sya imel ya, abis nyesel banget blm bilang makasih dan ga minta kontak mas Rudi.
doyan apa laper koq ndognya sampe 4? trus catper lawunya mana *ngacirr*
Itu lebih ke arah nyari modal tenaga buat mendaki. Heee…
Catper Lawu?
Mmm… sebenernya yang mau diceritain banyak. Mulai dari:
– Ketemu kakek-kakek yang belum pernah mendaki Gunung Lawu, tapi nekat nanjak sendirian. Celana bahan, baju batik. Itu pun cuma modal satu kantong kresek item ukuran sedang. Gak tau isinya apaan. Entah makanan, entah kembang, entah menyan.
– Belum lagi cerita soal kabut lokal di Warung Mbok Yem yang bikin mata pedih banget sama paru-paru berasa sesak.
– Mandi jam 1 pagi, padahal waktu itu lagi puncak-puncaknya musim kemarau–yang nota bene, sangat berpengaruh ke turunnya suhu udara gunung secara drastis.
– Ketemu Mbah Pur, yang menurut ceritanya, baru aja turun dari Gunung Lawu (turun gunung) setelah semedi dan moksa selama 15 tahun. Si Mbah juga cerita kalo di sekitar puncak itu banyak juga orang-orang yang semacam dirinya. Semedi. Yang saking lamanya, sampai raganya hilang gak kelihatan, dan cuma yang punya ‘ilmu’ aja yang bisa lihat. Maka dari itu doi juga sempat kasih wejangan, kalo di Gunung Lawu itu jangan sembarangan. Entah kencing, entah buang barang, entah bicara. Harus sopan. Tapi ini sih, dikembalikan lagi sama pribadi masing-masing. Boleh percaya, boleh juga enggak. :p
berarti bakalan trilogi lawu nih, apa lebih?hehehehe…..
sy dan misua (berdua) jg kmrn abis dr ciremai , dan ada kejadian yg menurut sy sih aga gimana gitu.Jadi ketika di pos 2 (jalur apuy) tiba2 ada rombongan penduduk yg mau muncak juga, mreka lewat jalur yg bukan jalur pendaki.
Nah salah satu mas2nya( salah satu penduduk ) tsb, nungguin saya, sedangkan rombongan mreka lebih dlu jalan. Mas2 ini baeeek banget ama sy, sopan, dan sangat ramah. Dia nemenin sy dr pos 2 ampe pos 5 (ngecamp) smp muncak besoknya. Dan beliau slalu menawarkan diri utk bawain keril sy, tdnya sih sy tolak krn ga enak baru kenal, padahal mah seneng ( lha wong suami sy aja cuek liat sy engap2an wkwkwk).
Tapi akhirnya sy nyerah, mksdnya di bawain keril sy dr pos 3 ampe pos 5. Dan beliau slalu nungguin kita, apalagi klo setiap ada tanjakan kita disuruh istrht dulu baru deh jalan. Dan dlm sepanjang perjalanan ini beliau cerita smua tentang ciremai, tentang sejarah, mitos, mistik dan kesedihan beliau yg melihat cerimai yg beralih fungsi, tentang kecelakaan pesawat, dan liat pendaki yg sendirian krn ditinggal temen2nya.Pokoknya berasa ngobrol ama tuan rumah, kaya bertamu gitu.
Tapi pas pulang mas Rudi ini ninggalin kita, padahal kita blm berterima kasih. Dia bilang mau nungguin di pos 3 ternyata sy ga ketemu lagi :(. Eh iya beliau juga bantuin kita nyari lapak nenda dan ngasih air hangat ketika sy kehujanan pulang muncak.
Ktnya sih mas Rudi ini udh dr kecil hidup di ciremai dan dah udh biasa muncak bahkan turun ke kawah ciremai. Pokoknya alhamdulillah banget dan sy berterima kasih buat mas Rudi. Sesampai rumah sy baru ngeh koq bisa ya ketemu ama org yg baru kenal trus baek banget. Kalo ketemu pendaki lain kan paling say helo hahahihi sebentar trus capcuss deh…
Maap ya curhat, nyampah di sini.hehehe….
Terima kasih buat mas Rudi, smg aja suatu saat beliau baca blog ini. Smg Allah yg membalas kebaikan mas Rudi.
Kalo jadi “Trilogi Lawu” kayaknya agak susah. Soalnya foto-fotonya udah pada ilang, gak tau ke mana. Jadi kurang menarik entar. :p
Eh, tapi itu cerita Ciremai-nya seru kedengerannya! Jadi penasaran sama ceritanya Mas Rudi.
Gimana kalo Mbak Wis ceritain detilnya panjang lebar ke email saya, nanti saya bantu edit, trus saya taro di SimplyIndonesia sebagai artikel baru? Hahaha…
Untung pesen telurnya cuma 4, jadi cepet matengnya.
Coba kalau khilaf pesen setengah kilo, pasti pahalanya banyak 😆
Kalo pesen setengah kilo, kayaknya mesti nyantren. Khusus memperdalam mata pelajaran Kesabaran Tiada Tara. T_T