Pendakian Gunung Ciremai Via Jalur Apuy

Jika Jawa Timur punya Semeru (3,676 mdpl), dan Jawa Tengah punya Slamet (3,428 mdpl), maka Jawa Barat punya Gunung Ciremai (Ceremai/Cermai?) sebagai puncak tertingginya. Gunung berketinggian 3,078 mdpl ini sendiri terletak di antara 3 kabupaten, yaitu; Cirebon, Kuningan, dan Majalengka.

Setidaknya ada 3 jalur pendakian Gunung Ciremai yang bisa dipilih para pecinta kegiatan alam bebas, yaitu; via Apuy (Majalengka), via Palutungan (Kuningan), atau via Linggarjati (Kuningan). “Kabar baiknya,” di antara beberapa gunung yang terdapat di Pulau Jawa, hanya Gunung Ciremai saja yang memiliki titik awal pendakian paling rendah: 700 mdpl (via jalur Linggarjati).

Peta Gunung Ciremai (Cerme) relatif terhadap beberapa kota dan kabupaten di sekitarnya

Peta Gunung Ciremai (Cerme) relatif terhadap beberapa kota dan kabupaten di sekitarnya

Letak Desa Argamukti relatif terhadap kawah Gunung Ciremai

Letak Desa Argamukti relatif terhadap kawah Gunung Ciremai

Berdasarkan pertimbangan beratnya medan dan waktu yang terbatas, jalur Linggarjati jelas harus dihindari. Sebagai pengganti, saya pilih start mendaki via jalur Apuy yang terletak di Kampung Apuy, Desa Argamukti, Kecamatan Majalengka.

Dalam pikiran saya, gunung bertipe stratovolcano aktif ini termasuk gunung yang sangat menakutkan. Baik ‘menakutkan’ secara fisik (dengan trek yang menyiksa), maupun secara mental (dengan banyak bertebarannya cerita-cerita misteri yang lumayan bikin ciut nyali).

Kalau boleh jujur, sebetulnya acara pendakian Gunung Ciremai (kadang disebut Cerme) tak ada dalam agenda kami—saya dan suami. Tapi, demi melihat jadwal libur yang terlalu sayang untuk dilewatkan itu, pasangan keluarga dari kasta pekerja ini nekat berangkat juga. Tanpa rombongan, tanpa komunitas. Hanya berdua. Biar romantis. Yah, walau sempat berharap juga, moga-moga di perjalanan nanti bisa bertemu dengan teman sependakian lain yang mau menemani saya.

Persiapan dilakukan dengan sangat mendadak. Pulang kerja, yang dituju pertama kali bukan rumah, melainkan minimarket – untuk membeli dan melengkapi perbekalan logistik.

Seperti biasa, anak-anak saya selalu ngomel setiap melihat kedua induknya mulai bongkar-bongkar perabotan lenong dan siap-siap packing. “Pasti mau kabur!” katanya.

By the way, anak saya sudah 3 lho… *Iklan layanan masyarakat ini sangat bisa diabaikan

 

30 Desember 2015

(Serang – Slipi)

Pukul 20.30, perjalanan kami mulai dari Kota Serang menggunakan armada Bus Luragung jurusan Merak-Cirebon. Kalau diingat-ingat, ini adalah kali pertama saya mencoba bus jurusan Cirebon. Di luar dugaan, supir bus ekonomi ini ternyata seorang pribadi yang amat luar biasa! Luar biasa ahli bikin hati penumpang keki. Bayangkan: Ngetem sampai 3.5 jam! Start dari Slipi setelah berganti hari—pukul 00.00.

Itu pun belum menghitung jajaran bangku-bangku bakso yang dijejalkan hampir menutupi seluruh bagian lowong kabin bus. Mungkin kalau gerobaknya muat, bakal dimasukkannya juga.

 

31 Desember 2015

(Palimanan – Apuy – Pos 5 (Sanghyang Rangkah))

Pukul 03.00 dini hari, kami tiba di Palimanan. Melanjutkan perjalanan dengan menumpang Elf jurusan Kadipaten. Ongkos 20,000 Rp per orang dibayar kontan. Dan sebagai imbalan dari mereka; kami dioper!

Ah, jangan lupa tambahkan bumbu tipu-tipu. Karena ongkos sebenarnya tidak sebesar itu. “Cuma kurang dari 10,000 Rp.” Begitu kata penumpang lain yang saya temui. Dikarenakan informasi ini didapat dari orang-orang yang tidak berkepentingan mengambil keuntungan dari saya, maka saya anggap apa yang dikatakannya itu adalah benar adanya.

Ya wes, gak papa. Yang penting kami sampai dengan selamat.

Pada elf operan, kami bertemu dengan para pendaki domisili Maja yang baru saja turun dari Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Kalau Gunung Slamet juga mereka daki, maka lengkaplah istilah “Triple S” yang biasanya dijadikan target pendakian simultan hiker kawakan dalam sekali perjalanan.

Dari para pendaki Maja ini, saya memperoleh petunjuk ke jalan yang benar. Eh… jalan menuju Basecamp Apuy, maksudnya.

Sesampainya di Kadipaten, perjalanan kami lanjutkan dengan menumpang elf (again) jurusan Bandung-Cikijing, dengan target: Pasar Maja. Ongkos dikutip 10,000 Rp per orang. Entah ini nominal tipuan atau betulan, saya tidak peduli lagi. Pada titik ini, perasaan ‘malas’ dan kantuk terasa lebih menarik untuk dijadikan pilihan.

Pukul 05.00 sampai juga kami di Pasar Maja. Ternyata sudah banyak pendaki lain yang datang lebih dulu daripada kami. Demi mengembalikan tenaga, kami sarapan di areal pasar, sekaligus melengkapi kekurangan logistik yang belum sempat dibeli.

Di sini kami berkenalan dengan 2 orang pendaki asal Bekasi. Dari rapat pasar yang dihadiri oleh 4 pendaki dari dua fraksi berbeda ini, akhirnya ditandatanganilah kesepakatan proyek pendakian bersama Gunung Ciremai 2016.

Kuota mobil pick-up (bak terbuka) adalah 10-13 orang

Kuota mobil pick-up (bak terbuka) adalah 10-13 orang

Area parkir mobil pick-up di sekitar Basecamp Apuy

Area parkir mobil pick-up di sekitar Basecamp Apuy

Untuk mencapai Basecamp Apuy, setidaknya ada 2 alternatif transportasi yang bisa kita gunakan dari sini, yaitu: ojek sepeda motor atau mobil bak terbuka/pick up/mobil pin. Mobil ini biasanya digunakan oleh warga Desa Apuy untuk mengangkut dan mendistribusikan hasil pertanian mereka dari kebun ke pasar-pasar di sekitar Majalengka.

Demi optimalisasi pendapatan, sebelum kembali ke Desa Apuy, umumnya para pemilik mobil pin ini menggeser fungsi kendaraan angkut barang mereka menjadi kendaraan angkut orang (pendaki), dengan tarif 30,000 Rp per orang. Dan tidak akan berangkat sebelum kuota penumpang (10-13 orang) terpenuhi.

Pemandangan alam menuju Basecamp Apuy 1

Pemandangan alam menuju Basecamp Apuy 1

Pemandangan alam menuju Basecamp Apuy 2

Pemandangan alam menuju Basecamp Apuy 2

Pemandangan alam menuju Basecamp Apuy 3

Pemandangan alam menuju Basecamp Apuy 3

Perjalanan dari Pasar Maja menuju Desa Apuy ternyata sangat indah. Kita bisa melihat pemandangan Kota Majalengka membentang luas. Jadi, jangan simpan kamera kalian.

Jalan menuju Desa Apuy relatif sempit, diapit perkebunan warga di sisi kanan dan kiri. Rentan nyungsep. Kenyataan bahwa mobil ini tidak terperosok, cukup membuktikan kalau sang supir sangat lihai dan berpengalaman.

Butuh waktu kurang lebih 1 jam, dari Pasar Maja ke Basecamp Apuy. Tidak seperti Gunung Gede Pangrango yang mewajibkan booking terlebih dahulu, di sini kita bisa langsung registrasi.

 

Pos 1 (Berod)

Berdasarkan informasi yang saya peroleh, sumber air hanya terdapat di sekitar pos ini. Jadi, untuk memenuhi kebutuhan air selama masa pendakian, saya dan suami harus rela membawa 4 botol air mineral ukuran 1.5 liter dan 3 botol ukuran 600 ml. Tugas saya? Cuma minum dan jadi pemandu sorak, supaya suami tetap semangat.

Gerbang Selamat Datang Basecamp Apuy

Gerbang Selamat Datang Basecamp Apuy

Di sekitar Pos 1 juga terdapat mushola dan warung yang menyediakan makanan serta kebutuhan standar lainnya. Namun demikian, perlu saya ingatkan; jangan jadikan/rencanakan warung-warung ini sebagai pemasok utama suplai logistik pendakian kalian.

Kenapa? Karena kita tidak akan pernah tahu jadwal buka-tutup mereka. Plus, ada kemungkinan barang-barang yang kita butuhkan sudah habis atau malah tidak tersedia sama sekali di sana. Bukannya tidak mendukung perkembangan perekonomian lokal. Ini lebih kepada antisipasi saja. Cari aman.

Dibandingkan dengan gunung-gunung lainnya, biaya registrasi di sini ternyata cukup mahal: 50,000 Rp per orang!

Tapi jangan khawatir, dengan membayar biaya registrasi sebesar itu kita akan mendapatkan cinderamata berupa nasi putih, sebutir telur, dan seplastik teh manis! Dasar rejeki anak soleh… T_T

Rencana awal kami adalah turun via Palutungan, tapi itu pun tergantung situasi dan kondisi – medan, fisik, mental, dan logistik (terutama air). Saya tidak akan memaksakan diri. Maklumlah, namanya juga emak-emak.

Bahkan untuk bisa menjejakkan kaki sampai di puncak pun saya tidak terlalu berharap. Kalau memang tidak memungkinkan, saya ikhlas turun kembali. Yang penting pulang dengan selamat.

Pukul 08.30 pendakian kami mulai. Sesuai perjanjian sebelumnya, 4 pendaki dari 2 fraksi berbeda ini dengan setia mendaki bersama-sama. Yah, setidaknya sampai 30 menit pertama. Selebihnya, fraksi Bekasi lebih memilih walk out. Mereka menyerah. Tidak sanggup mengimbangi langkah Sang Putri Keraton. Padahal sudah berkali-kali saya bilang supaya jalan duluan, tapi mereka tetap kekeuh mau jalan bareng. Hahaha…

Celakanya, beberapa menit kemudian saya baru ingat kalau jatah konsumsi kami terbawa oleh mereka. #TepokJidat

Oh, ya. Perjalanan dari Pos 1 hingga Pos 2 ini bisa dibilang ringan, karena jalurnya masih beraspal – walau pada titik-titik tertentu terdapat tambal sulam bekas aspal/cor-coran. Menurut perkiraan saya, muat untuk 1 mobil.

Menurut informasi dari Mbah Google, perjalanan dari Pos 1 sampai ke Pos 2 itu seharusnya hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit saja. Tapi, kenapa saya malah sampai 2 jam!? Sungguh mesin pencari yang tak bisa dipercaya.

 

Pos 2 (Arban)

Di areal Pos 2 terdapat sebuah bangunan yang lumayan besar untuk tempat beristirahat para pendaki. Karena tidak tersisa satu pun celah di sana, akhirnya kami pilih duduk-duduk di bawah pohon sambil meluruskan kaki.

Pos 2 (Arban)

Pos 2 (Arban)

Dari balik pepohonan di depan saya, tiba-tiba muncul rombongan lain yang tampaknya penduduk dari daerah sekitar. 3 lelaki dewasa, 2 anak laki-laki usia SD, dan 2 remaja putri usia SMP.

Terus terang saya terkejut, karena tempat mereka muncul itu jelas bukan jalur pendakian umum. Ketika saya tanyakan pada suami, dia pun hanya bisa berspekulasi, “Mungkin jalur penduduk.”

Seorang laki-laki dari rombongan tersebut, dengan langkah pasti mendatangi satu per satu pendaki untuk disalami. Kepada teman-teman seperjalanannya, dia isyaratkan agar jalan terlebih dahulu dan menunggunya di atas.

Dalam hal berkomunikasi, pada umumnya seseorang memiliki kecenderungan merasa lebih nyaman memulai perbincangan dengan memilih kelompok yang lebih kecil. Mungkin atas dasar itu lah, setelah berakhirnya ritual salam-salaman tadi, dia pilih mendatangi kami kembali.

“Dari mana, A’?”

“Dari Serang,” jawab suami.

“Berapa orang?”

“Ini, cuma duaan sama istri”

“Mau ke atas?”

“Nuhun.”

“Mangga atuh. Bareng aja.”

Lewat isyarat, suami mengajak saya untuk kembali melanjutkan perjalanan.

Pukul 10.00 kami start dari Pos 2. Dari obrolan panjang di perjalanan saya ketahui namanya adalah Rudi. Mas Rudi. Asal Kadipaten, Majalengka. Agak aneh memang, panggilan ‘Mas’ disematkan kepada orang Sunda. Tapi apa daya, saya kadung terbiasa menghormati orang yang baru dikenal dengan panggilan ini.

Sejak kecil, Mas Rudi tinggal di sini. Bahkan kebiasaan naik-turun Gunung Ciremai pun sudah dia mulai sejak usia TK. Jadi, kalau ditanya sudah berapa kali ke tempat ini, pasti sulit mencari angka pastinya. Yang jelas, gunung ini ibarat sudah menjadi rumah keduanya. “Kadang, saya sampai 2 minggu di sini.”

“Terus, tadi siapa? Keluarga, ya?”

“Iya, Teh. Anak saya, adik, dan ponakan.”

Like father like son, anaknya yang masih duduk di bangku kelas 3 SD itu—termasuk dalam rombongan—ternyata sudah 9 kali naik Ciremai!

Untuk membuatnya lebih epic lagi, suatu kali anak Mas Rudi terjangkit Demam Berdarah. Segala daya sudah diupayakan, namun kesembuhan yang diharapkan tak kunjung datang. Karena tidak tahu harus berbuat apa lagi, akhirnya sang anak dibawanya naik ke gunung berkawah ganda ini. Luar biasanya, langsung sembuh!

Kondisi trek pendakian Ciremai via Jalur Apuy 1

Kondisi trek pendakian Ciremai via Jalur Apuy 1

Kondisi trek pendakian Ciremai via Jalur Apuy 2

Kondisi trek pendakian Ciremai via Jalur Apuy 2

Kondisi trek dari Pos 2 ke Pos 3, relatif moderat. Tidak terlalu curam, juga tidak terlalu landai. Yang membuat penasaran adalah, adanya gemericik air seperti aliran sungai di sisi kiri jalur – dengan kontur berudak-undak seperti air terjun. Padahal berdasarkan informasi yang saya peroleh dari internet, di sini susah atau tidak ada sumber air.

“Iya, Teh. Air itu cuma ada kalo musim hujan. Kalo musim kemarau, kecil airnya. Malah, kadang-kadang kering,” terang Mas Rudi.

“Ooh… kenapa gak dibikin jalur ke sungai itu, Mas? Kan, lumayan membantu para pendaki yang kekurangan air. Dan, kalo di sini ada air, berarti di atas juga ada sumber air, dong?”

“Ada sih, Teh, jalurnya. Cuma agak curam. Kalau saya sih udah biasa turun ke situ.” Dan dia pun lupa menjawab pertanyaan kedua.

Karena air termasuk barang langka di tempat ini, sedikit perhatian dari pihak Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC)—dengan membuat jalur yang layak, walau medan untuk turun ke bawah lumayan curam—tentu akan sangat membantu para pendaki.

Dahulu, Mas Rudi sering aktif turun tangan saat terjadi insiden di gunung ini. Baik itu orang hilang, kecelakaan, evakuasi, dan lain sebagainya. Namun sekarang keterlibatannya lebih ke arah pasif, karena sekarang tugas tersebut kebanyakan telah diambil alih oleh warga Cirebon. Tidak seperti dulu, yang banyak melibatkan warga Majalengka. Kecewa? Sepertinya, ya.

“Kalo pun saya ikut serta, Teh, paling kalo udah ditelpon sama pihak Koramil, atau keinginan sendiri. Dulu pernah ada kecelakaan pesawat Cesna. Saat itu Tim SAR udah angkat tangan. Pesawat itu gak ketemu-ketemu, padahal udah berhari-hari dicari, tapi tetap gak ada. Lalu saya dan teman-teman turun (ikut mencari). Gak sampai 24 jam pesawat itu bisa kita temukan. Memang, sebelum mencari, kami berdoa terlebih dahulu. Memohon supaya diberi petunjuk. Makanya kami langsung tahu kalo lokasi pesawat ada di daerah… (maaf saya lupa namanya).”

“Terus, bagaimana kondisi pesawatnya, Mas?”

“Masih utuh, Teh. Gak hancur seperti Sukhoi di Gunung Salak itu. Malah menurut saya, pesawat itu seperti diletakkan di hutan gitu.”

Anehnya lagi, area di sekitar pesawat itu jatuh, tidak ditemukan adanya tanda-tanda kerusakan, baik pada pepohonan mau pun pada tebing-tebing. Bahkan kondisi pesawat itu sendiri pun tampak biasa saja. “Seperti ketarik medan magnet gitu, Teh.”

Setelah ditemukan, hanya korban saja yang diambil. Sementara pesawat itu sendiri dibiarkan sebagaimana adanya. Sempat terdengar rumor bahwa tak ada satu pun pilot atau perwakilan pihak perusahaan yang mau mengambilnya. Mereka lebih memilih dipecat, karena tahu kalau daerah tempat pesawat tersebut jatuh, seperti memiliki medan magnet yang sangat kuat.

“Lha, kok Mas Rudi mau ikut bantuin?”

“Kasihan aja, Teh, sama keluarga korban. Ada yang (sampai) berhari-hari nginep di desa untuk memantau pencarian. Saya juga sering kok, Teh, pas naik atau turun, ketemu pendaki yang sendirian ditinggal grupnya, lalu saya temenin sampe bawah. Takut nyasar atau sakit. Kasihan, temen-temennya ternyata udah pada sampe di basecamp.”

Sejak Pos 2, sebetulnya Mas Rudi sudah berulang kali menawarkan diri untuk membawakan keril (ukuran 30 liter) saya. Awalnya, saya memang menolak tawaran ini. Tapi lama kelamaan kok menggiurkan juga, ya – dan keril pun segera berpindah tangan. :p

“Saya tunggu di atas ya, Teh. Enak kok, di atas ada tempat lega buat istirahat.”

Setelah mengucapkan kalimat andalan ini, dengan 2 keril di badan, dia segera pergi lebih dulu meninggalkan saya. Dan entah mengapa, kata-katanya ini bisa membuat saya tambah bersemangat.

Pertanyaannya: Kenapa suami tercinta malah diam saja, ya—hashtag: GakCemburu—ketika melihat kejadian ini? Tahu kalian apa katanya? Dia bilang, “Lha! Kita juga pengen dibawain.” @,@

Tapi kalau boleh jujur, sebetulnya sempat juga terlintas pikiran negatif di otak saya. Bagaimana tidak? Baru kenal, tapi bisa sebegini baik. Di kota-kota besar, kebaikan semacam ini lebih sering dimiliki para penipu.

Hmm, jangan-jangan dia bakal curi keril saya?

Tapi sudahlah, ikhlaskan saja. Toh isinya cuma pakaian dan makanan.

Mendekati Pos 3 (Tegal Masawa), jalur mulai terasa menyiksa. Treknya relatif sempit dengan kemiringan bervariasi mulai dari 45-70 derajat. Sesekali berpegangan pada akar pohon, jelas sudah menjadi keharusan. Penggunaan trekking pole bukannya membantu, malah menyulitkan.

Pada salah satu titik jalur sempit, ternyata Mas Rudi betul menunggu. Dan keril saya masih aman bersamanya. Duh! Maafkan saya, Mas, karena sudah suudzon.

“Kok berhenti di sini, Mas?” tanya saya.

“Di sini dulu, Teh. Jalur depan lumayan tinggi. Istirahat aja dulu. Nyantai.”

“Kira-kira, bisa gak ya, nge-camp di Pos 6 (Gua Walet)?”

“Ya, liat ntar, Teh. Kalo gak bisa, kita nge-camp di Pos 5 (Sanghyang Rangkah). Pelan-pelan aja, gak usah maksa.”

“Iya. Saya juga gak ngoyo, Mas. Kalo pun gak bisa muncak, saya gak papa kok turun lagi.”

“Kalo muncak, mah, insyaallah bisa, Teh.”

***

Tanjakan curam yang sebelumnya saya dengar lewat cerita, sekarang betul-betul nyata di depan mata. Dan Mas Rudi, lagi-lagi sigap membantu emak-emak yang lemah ini. Tawaran meninggalkan saya dengan iming-iming keluarga yang sudah menunggu terlalu lama di atas, tidak dia gubris.

“Gak papa, Teh. Udah biasa, kok. Di sini kan banyak jalur hewan. Kalo gak tahu, mah, ntar dikira jalur pendaki. Lagian, ada adik saya ini. Anak saya juga biasa ke sini. Malah pernah nyasar di sini, tapi saya biarin. (Karena) saya tahu kok, dia kalo nyasar ke mana.”

“Denger-denger, di sini serem, Mas. Banyak penunggunya. Malah ada macan segala?”

“Paling mah, cuma suara, Teh, kalo macan. Paling di sini ada babi dan burung sejenis burung puyuh. Tapi di sekitar Pos 4 ke Pos 5 ada bagong.”

“Apa! Bagong???”

“Iya, Teh, bagong. Tapi gak ganggu kok. Cuma gede aja babinya. Karena dia tuli, gak bisa denger kalo ada orang. Jadi suka ngagetin aja (tiba-tiba muncul entah dari mana).”

Mas Rudi sering mengantar orang naik ke atas (puncak). Ada yang dari Jakarta, Semarang, Bandung, dan lainnya. Dia pun tahu kalau di antara mereka ada yang berniat jelek atau datang ke Gunung Ciremai ini hanya untuk bersemedi demi mendapatkan benda-benda pusaka tertentu.

“Kan ada petilasan Sunan Gunung Jati, di sini. Di atas juga ada batu yang menyerupai Al-Qur’an. Ada juga yang menyerupai tempat duduk. Bahkan orang-orang jaman dulu sering melakukan kegiatan yang menyerupai ibadah haji, seperti memutari Ka’bah, melempar jumrah, dan lain-lain. Kalo ada yang berniat jelek, kaki saya biasanya akan terasa berat untuk melangkah, dan banyak kejadian-kejadian aneh, seperti batu terbang misalnya, dan lain-lain.”

“Ada kayak gitu, Mas?”

“Iya. Ada, Teh. Tapi, cuma orang-orang tertentu aja yang bisa melihat tempat tersebut, di atas.”

***

Suatu kali dia pernah secara tidak sengaja masuk ke pasar setan. Dari kesaksiannya, pasar setan ini ternyata tidak jauh berbeda dengan pasar tradisional yang kita kenal—banyak pembeli dan pedagang yang bertransaksi. Hanya bedanya, di pasar setan ini, semua kepala menunduk. Namun setelah membaca doa, selangkah berjalan, seketika itu pula semua menghilang.

Soal perubahan status Gunung Ciremai—dari Hutan Lindung menjadi Taman Nasional (tahun 2004)—jangan ditanya. Jelas dia kecewa. Masyarakat sekitar, yang sejak turun temurun menggantungkan sebagian besar penghidupannya pada alam dan hutan, tiba-tiba saja dicabut paksa hak-haknya dari pengelolaan bersama. Status baru ini telah menjadi tembok China tak kasat mata yang siap menghalau siapa saja yang nekat mengambil manfaat dari hutan di dalamnya.

Bagi kalian yang tertarik pada isu seputar perubahan status Gunung ciremai ini, bisa membaca jurnal tulisan Ratna Isnaini dari The Indonesian Tropical Institute (LATIN), yang berjudul, “Enabling Policy and Procedures in a National Park: A Struggle for Equity – Case Study in Kuningan District, West Java.”

Kalian tentu masih ingat, kan, jalur aspal dari Pos 1 ke Pos 2?

Menurut keterangan Mas Rudi, pengaspalan ini dulunya memang sengaja dibuat untuk kepentingan proyek Mbak Tutut (Hak Penebangan Hutan?). Tapi, entah karena apa (tanpa kejelasan), rencana itu tiba-tiba berhenti begitu saja.

“Nanti setelah Pos 5 Teteh akan ditemani burung Jalak hitam. Tenang aja. Gak papa, kok. Burung itu cuma ngikutin sampai sebelum puncak. Pokoknya pesan saya, kalo kemalaman di jalan, kalo udah jam 12 malam, harus nge-camp. Daripada kenapa-kenapa,” nasihat Mas Rudi penuh misteri. Semisterius gunung ini sendiri.

Waktu yang baik jika kalian hendak mendaki Gunung Ciremai adalah pada bulan Agustus, karena pada bulan itu biasanya cuaca cukup bagus.

Sebaliknya, hindari mendaki di bulan Mei, karena selain sering terjadi badai, suhu pun sedang ekstrim-ekstrimnya. Bahkan kadang, embunnya bisa membuat kulit kita berdarah. Kalau sampai terkena embun itu, jangan diusap. Biarkan saja kering/hilang dengan sendirinya, sehilang-hilangnya.

Mengenai larangan atau mitos yang menyebutkan bahwa di Ciremai tidak boleh pipis di tanah alias harus ditampung di botol, itu tidak benar. Yang penting, sebelum buang air, kita permisi atau izin terlebih dahulu.

***

Penjelasan nama-nama pos Gunung Ciremai via Jalur Apuy versi Mas Rudi:

  • Pos 3 (Tegal Masawa)

Kata ‘Tegal,’ berarti kebon. Sementara ‘Masawa,’ artinya pohon kecil. Sesuai fakta di lapangan, area Pos 3 didominasi oleh pepohonan kecil seukuran tiang telepon PSTN.

  • Pos 4 (Tegal Jamuju)

Kata ‘Jamuju,’ berarti pohon besar. Sesuai fakta di lapangan, area di sekitar Pos 4 didominasi oleh pepohonan besar. Rata-rata butuh sekitar 3 orang dewasa untuk memeluknya. Nah! Pohon-pohon inilah yang diincar Mbak Tutut saat itu.

  • Pos 5 (Sanghyang Rangkah)

Istilah “Sanghyang Rangkah,” artinya ada, tapi tiada. Jadi, semacam orang yang bertapa/semadi, tapi saking lamanya (sampai bertahun-tahun), tubuh fisiknya menjadi tak kasat mata, dan hanya bisa dilihat oleh orang-orang dengan kemampuan tertentu.

  • Pos 6 (Gua Walet)

Pada Pos 6 terdapat sebuah gua yang dihuni oleh banyak burung walet. Namun demikian, tak ada satu orang pun yang berani mengambil sarangnya, karena dipercaya bisa terkena musibah atau celaka.

Sebagai informasi saja. Dari ketiga jalur (Apuy, Palutungan, dan Linggarjati) telah tersedia, rencananya Mas Rudi akan membuat jalur baru yang lebih singkat menuju puncak.

***

 

Pos 3 (Tegal Masawa)

Pukul 14.30, saya sampai di Pos 3. Menurut Google, dari Pos 2 ke Pos 3 itu seharusnya hanya butuh waktu tempuh selama 2 jam saja. Tapi setelah saya jalani, kenapa butuh sampai 4.5 jam? Uh! Dasar pemberi harapan palsu.

Pos 3 (Tegal Masawa)

Pos 3 (Tegal Masawa)

Karena perjalanan yang baru saja ditempuh cukup jauh, kami sengaja istirahat lebih lama di Pos 3. Pemandangan alam Ciremai tentu layak dinikmati dengan segenggam roti yang ditemani secangkir kopi. Ketimbang roti, rupanya Mas Rudi lebih tertarik dengan kopi yang saya tawarkan.

Istirahat

Istirahat

(Ki-Ka) Suami dan Mas Rudi

(Ki-Ka) Suami dan Mas Rudi

 

Pos 4 (Tegal Jamuju)

Pukul 16.30 kami sampai di Pos 4. Cuaca mulai gelap. Kabut sekejap turun, sekejap kemudian menghilang. Pepohonan tinggi berlumut basah hampir-hampir menghalangi cahaya matahari menusuk tanah. Berbeda dengan Semeru, Merbabu, Prau, dan Papandayan yang pernah saya kunjungi, yang hutannya cenderung terbuka dan kering.

Jika kekurangan air, beberapa pohon di sini bisa kita manfaatkan untuk diambil airnya. Caranya, dengan memilih pohon yang memiliki batang kecil dan menjuntai ke bawah. Yah, agak-agak mirip sedikit lah dengan serial “Man vs Wild”-nya Edward Michael “Bear” Grylls di Discovery Channel UK.

Pos 4 (Tegal Jamuju)

Pos 4 (Tegal Jamuju)

Pukul 17.30 kami menjumpai areal yang cukup lapang. 4-5 tenda sudah berdiri di sana. Karena hujan sudah mulai turun, Mas Rudi meminta kami berdua untuk menunggu sambil menumpang di salah satu tenda tersebut. Sementara dirinya melanjutkan perjalanan ke Pos 5 untuk mengecek ketersediaan lahan mendirikan tenda. Perkara tersedia atau tidak, dia berjanji akan turun kembali mengabari kami.

Dari informasi yang saya peroleh melalui beberapa pendaki yang baru saja turun, baik di Pos 5 maupun Pos 6, lapak penuh. Maklum, hari ini bertepatan dengan malam tahun baru 2016.

Pada salah satu tenda teman pendaki lain, kami menumpang berteduh sambil mengisi perut yang mulai protes – juga mengkhawatirkan hujan yang semakin deras saja.

Hampir 30 menit tidak ada kabar dari Mas Rudi. Suami tercinta mulai gelisah, karena telah menumpang terlalu lama. Untuk mengurangi kegundahannya itu, dia bahkan sudah berniat hendak mendirikan tenda. Namun tiba-tiba Mas Rudi datang dengan seseorang. Dengan sigap dia ambil keril saya. Sementara saudaranya mengambil keril suami.

“Ayo, Teh. Pos 5 sebentar lagi,” ajaknya menyemangati.

Sebelum melanjutkan perjalanan, headlamp dan jas hujan kami kenakan. Dan benar saja. Tidak sampai 30 menit, kami tiba di Pos 5.

 

Pos 5 (Sanghyang Rangkah)

Pukul 18.30 kami tiba di Pos 5. Di sini terdapat tanah lapang yang bisa menampung 8-10 tenda (kapasitas 3 orang). Sementara suami mendirikan tenda, saya berteduh di tenda keluarga Mas Rudi yang mirip tenda pramuka kapasitas 8 orang itu. Rupanya mereka sudah sampai Pos 5 sejak pukul 15.00. Selisih 3.5 jam dengan kedatangan saya. 😀

Pos 5 (Sanghyang Rangkah)

Pos 5 (Sanghyang Rangkah)

Foto bersama keluarga Mas Rudi

Foto bersama keluarga Mas Rudi

Di sini, saya berkenalan dan mengobrol dengan anak Mas Rudi yang bernama Fajar, kelas 3 SD. Kepribadiannya sangat menyenangkan. Dan, sebagaimana ayahnya, adik kita ini juga sering menemani pendaki sambil memberi semangat kepada mereka-mereka yang kelelahan. “Masak anak kecil aja kuat, yang gede gak kuat,” begitu katanya penuh semangat.

Tenda idaman sudah berdiri, saya pamit kepada Mas Rudi sekeluarga untuk pindah ke tenda sendiri. Ganti kostum, masak, makan malam, dan tidur! Badan ini capek bukan kepalang, pinginnya cepat-cepat selonjoran.

Rupanya ritual tidur saya tidak bisa tenang. Batuk yang tiada henti, pada akhirnya memaksa saya muntah juga. Sempat terdengar Mas Rudi memanggil-manggil, tapi terpaksa tidak dihiraukan. Tubuh saya terlalu lelah.

Dalam tidur ayam, saya sempat mendengar Mas Rudi sekeluarga mengaji bersama-sama. Sungguh luar biasa! Ingin rasanya keluar, tapi sayang, mata ini tidak bisa diajak kompromi.

Sekitar pukul 12 malam, mulai terdengar ledakan petasan bersahut-sahutan dan tak jarang diselingi teriakan, “Happy New Year.” Suara itu pula yang kembali mengingatkan saya kalau malam ini adalah malam tahun baru 2016.

 

Januari 01, 2016

(Pos 6 – Puncak – Basecamp Apuy)

Pukul 04.00 pagi. Sebelum summit attack (muncak) dimulai, supaya tubuh sehat dan kuat, saya sempatkan sarapan terlebih dahulu – keputusan yang kemudian saya sesali, karena malah membuat saya muntah-muntah di jalan.

Mas Rudi dan keluarga lebih dulu siap ketimbang suami dan saya. Tampaknya, karena mereka semua memang sengaja tidak tidur. Syarat ritual? Mungkin.

Persiapan muncak telah selesai. Saatnya berangkat. Bersama dengan keluarga Mas Rudi, kami kembali menyusuri jalur menuju Pos 6, kemudian mentarget puncak. 10 menit pertama, memang kami bersama. Tapi sisanya, mereka tidak tahan juga. Saya terlalu lambat, mereka terlalu cepat. Konsekuensinya? Kami ditinggalkan di belakang. Hahaha…

Dan, seperti sebelumnya, Mas Rudi masih berbaik hati memperlambat langkah, menemani saya dan suami.

Pukul 05.00 matahari mulai muncul dari ufuk timur. Gelap langit malam perlahan mulai menghilang, disapu cahaya kuning keemasan. Di bawah sana, lautan awan mulai terlihat, menutupi sebagian Kota Kuningan dan Majalengka. Pemandangan seperti ini, ditambah ratusan ribu pendar lampu dari rumah-rumah penduduk, sungguh membuat saya betah memandangnya berlama-lama.

“Teh, saya ke atas duluan, ya. Nanti saya tunggu di Pos 6.” Saya pun langsung setuju, karena tidak enak sudah terlalu banyak merepotkannya.

Simpang Apuy-Palutungan

Simpang Apuy-Palutungan

Pukul 06.58 kami tiba di simpang Apuy, yang merupakan titik pertemuan antara jalur Apuy dengan Palutungan. Seperti yang sebelumnya telah diberitahukan oleh Mas Rudi, di sini kami ditemani seekor burung kecil (jalak hitam). Saat kami melangkah, ia akan terbang rendah. Tapi saat kami istirahat, ia akan berjalan-jalan tidak jauh dari kami.

Selain jalak hitam, sebetulnya masih banyak jenis burung lain di gunung ini. Walau begitu, bagi mereka-mereka yang tahu, umumnya tidak akan berani menangkapnya. Kenapa?

Suatu ketika, pernah ada kejadian, seorang warga mengambil burung di sini. Begitu sampai di rumah, tidak lama kemudian orang tersebut meninggal dunia. Sementara burungnya, hilang entah ke mana. Pernah ada kejadian juga, seorang warga melukai burung di sini. Anehnya, orang tersebut juga mengalami luka yang sama seperti yang dialami burung tersebut. Wallahualam

 

Pos 6 (Gua Walet)

Pukul 08.00 pagi kami tiba di Pos 6. Seperti biasa, waktu tempuh normal yang seharusnya cuma 2 jam, jadi 2 kali lipat lebih lama begitu saya yang menjalaninya. Maklumlah, ya. 😀

Di Pos 6 ini, terdapat sebuah gua (Gua Walet) yang dapat menampung hingga 10+ tenda. Saat saya tiba, lahan gua sudah penuh dengan tenda. Bahkan banyak di antara pendaki yang terpaksa mendirikan tenda di sepanjang jalur, akibat keterbatasan tempat.

Pos 6 (Gua Walet) 1

Pos 6 (Gua Walet) 1

Pos 6 (Gua Walet) 2

Pos 6 (Gua Walet) 2

Dari hasil googling, saya memperoleh informasi kalau di sekitar sini sebetulnya terdapat sumber air. “Tapi sekarang, udah gak kelihatan,” kata Mas Rudi. “Tapi kalo saya yang nyari, pasti ketemu.”

Sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak, saya butuhkan rehat sejenak. Rombongan Mas Rudi baru saja turun. Fajar, anaknya, penuh semangat melompat-lompat dari batu satu ke baru lainnya. Begitu melihat saya, dia tertawa, seraya memberikan semangat, kemudian terus meluncur ke bawah.

Sebagai “Juru Angon,” Mas Rudi terlihat berjalan paling belakang di antara rombongannya. Sebelum turun ke Pos 5, dia sempatkan menghampiri kami berdua. “Puncak di depan, Teh. Gak jauh. Nanti ambil jalan di sebelah kanan aja. Saya tunggu di bawah, ya. Sambil jagain tenda.”

Jalur menuju puncak 1

Jalur menuju puncak 1

Jalur menuju puncak 2

Jalur menuju puncak 2

Bersama suami tercinta

Bersama suami tercinta

Setelah Pos 6, batu-batu besar dan pepohonan mulai jarang. Sebagai gantinya, bunga Edelweiss bisa kita jumpai di sini. Di kejauhan, Waduk Darma, Kuningan, cukup jelas kelihatan.

Pendaki yang turun dari puncak, sudah banyak. Yang naik? Sepertinya tinggal saya dan suami. But, it’s OK. Saya tetap semangat jalan berdua bersama ‘porter’ tercinta. Kami melangkah pelan-pelan, sambil berpegangan dari satu akar ke akar lain, atau bebatuan yang ada.

“Semangat Bu! Semangat Pak!” selalu begitu kata mereka setiap berpapasan dengan kami berdua. Duh! Jadi berasa tuwa. @,@

 

Puncak Ciremai

Pukul 09.00 akhirnya kami sampai di puncak! Alhamdulillah

Pemandangan di puncak Ciremai cukup terbuka. Dari sini, selain bisa melihat Gunung Cikuray beserta jajaran gunung-gunung lainnya di kejauhan, sebetulnya kita juga bisa melihat Gunung Slamet (Jawa Tengah). Tapi saya kurang beruntung. Gunung itu tidak kelihatan, tertutup awan.

Puncak Gunung Ciremai (3,078 mdpl)

Puncak Gunung Ciremai (3,078 mdpl)

View puncak Gunung Ciremai

View puncak Gunung Ciremai

Penampakan kawah Gunung Ciremai dilihat dari satelit

Penampakan kawah Gunung Ciremai dilihat dari satelit

View ke arah kawah Gunung Ciremai

View ke arah kawah Gunung Ciremai

Di bawah sana, mulut kawah menganga lebar. Posisinya hampir-hampir berada di bagian tengah puncak. Untuk mengitari bibir kawah ini, setidaknya dibutuhkan waktu sekitar 1 jam.

Oh, ya. Gunung ini tidak terlalu dingin. Buktinya, jaket hanya saya gunakan saat berangkat muncak. Selebihnya, dilepas. Gerah. Sangat berbeda dengan Gunung Semeru, yang di Ranu Pani saja saya sudah kedinginan.

Sebagai kenang-kenangan, tentu perlu mengabadikan foto diri kami sendiri. Karenanya, fotografer tembak, kami daulat. “Mas/Mbak, tolong potoin, dong.” 😀

 

Trekking down

Mengingat persediaan air yang mulai menipis (600 ml + 1 termos), pukul 10.00 kami turun kembali ke Pos 5.

Hujan kembali turun di simpang Apuy. Jas hujan harus segera dikenakan. Beberapa benda penting kami masukkan ke dalam keril. Turun dalam kondisi hujan seperti ini, jelas sangat menyiksa. Beberapa kali saya terpeleset dan jatuh karena licin.

Kabar baiknya, hujan ini bisa menjadi sumber air dadakan kami. Pada salah satu tenda yang sedang ditinggalkan pemiliknya, kami berteduh sambil menampung air yang terkumpul dan mengucur pada tepian flysheet. Mengisi botol dengan jongkok menengadah. Begitu penuh, perjalanan segera kami lanjutkan.

Hujan semakin deras. Sepatu saya sudah penuh dengan air. Jas hujan murahan sekali-pakai-buang sudah sobek di mana-mana.

Pukul 12.00 kami tiba di Pos 5. Mas Rudi sudah menunggu, bahkan menyiapkan air hangat untuk kami. Saya pilih ganti pakaian kering terlebih dahulu.

Setelah waktu istirahat dirasa cukup, kami segera bersiap-siap untuk turun. Mas Rudi membantu suami membereskan tenda kami. Sungguh, betapa baik orang ini. Sebagai balas budi, saya dan suami sudah berniat dalam hati, akan memberikan sedikit uang jajan untuk Fajar, anaknya. Juga, sempat mengutarakan niat untuk mampir di rumahnya nanti. Dia pun mengiyakan.

Pukul 15.00 kami mulai turun tanpa Mas Rudi. Dia baru akan menyusul setelah salah satu saudaranya selesai buang air. Dan, seperti sebelumnya, kebersamaan kami hanya pada beberapa menit pertama, selebihnya saya ditinggalkan. Tentu kalian tahu alasannya. :p

Pada salah satu tanah lapang, kami berhenti sebentar untuk memakai headlamp. Cuaca mulai gelap. Dan, seperti biasa, Mas Rudi selalu muncul tiba-tiba. Dia pamit untuk jalan lebih dulu dan mengatakan akan menunggu kami di Pos 4. Pada pos yang dimaksud, sampai di Basecamp Apuy, ternyata tak kami temui lagi Mas Rudi beserta keluarga. Niat memberikan uang jajan sekaligus mampir = gagal total.

Jalur mulai dari Pos 5 sampai Pos 3 benar-benar sangat menyiksa. Turunannya serba curam, itu pun belum ditambah tanah yang menjadi licin disiram hujan. Profesi suster ngesot terpaksa saya jalani.

Begitu sampai di Pos 3, ada sesuatu yang menarik perhatian saya. Pihak basecamp membuka tenda untuk memantau kondisi para pendaki yang mungkin kelelahan, kekurangan air, atau membutuhkan sesuatu bantuan. Semua diberi air dan ditawarkan makanan. Termasuk saya. Tapi, karena belum terlalu lapar, hanya air saja yang saya terima.

Lepas dari Pos 3, kami berjalan sendirian. Group lain yang kami temui di tengah perjalanan, akhirnya memutuskan membarengi. Mereka sempat merasa tidak yakin. “Bu. Kita nyasar gak sih?”

“Dah! Istirahat aja dulu. Nyantai-nyantai dulu.” Mereka menerima ini sebagai saran, padahal saya mengatakan ini sebagai modus, supaya bisa istirahat dan ada temannya. 😀

Sambil istirahat makan, headlamp saya arahkan ke jalan. Jalurnya masih jelas. Sampah pun berserakan di mana-mana – bungkus permen, rokok, botol, dan lain-lain. Dari fakta ini jelas terbukti, bahwa kami tidak tersesat.

Tapi, sesuai amanat Mas Rudi tempo hari, kalau kami sampai kemalaman di jalan, harus buka tenda. Dan suami saya pun setuju.

Pukul 21.00 kami tiba di Pos 2. Tidak seperti di Pos 3, di sini pihak basecamp berperan sebagai “Bea Cukai” gunung. Mereka meminta kami membuka keril, kemudian memeriksa isinya guna mencari bunga Edelweiss yang biasanya diselundupkan oleh para pendaki. And, I told them, “Saya gak tertarik sama Edelweiss.”

Setelah pemeriksaan selesai, kami putuskan istirahat sebentar, sambil sesekali memperhatikan tim basecamp yang sedang sibuk menangani para pendaki sakit dan kelelahan. Kesigapan mereka sangat patut diacungi jempol. Apalagi jika melihat kenyataan, bahwa hampir tidak pernah sekali pun saya temui pihak pengelola Taman Nasional lain yang sepeduli ini.

Tawaran makanan berupa mie instan (sedang dimasak) sekali lagi kami tolak. Saya ingin segera sampai di basecamp dan beristirahat.

Pukul 21.30 kami putuskan melanjutkan perjalanan. Targetnya: sebelum pukul 24.00, harus sudah sampai di Basecamp Apuy.

1.5 jam perjalanan, mulai tampak cahaya penerangan dari rumah-rumah penduduk. Artinya, sebentar lagi kami akan sampai di Pos 1. Agar waktu tempuh semakin singkat, langkah sengaja kami percepat. Penjaga basecamp langsung menyambut kami bagaikan peserta lomba yang baru saja sampai di garis finish.

Dan, untuk kesekian kalinya, pertanyaan, “Apakah ada yang sakit dan butuh pertolongan?” Kami terima.

Tenaga kami sudah terkuras demikian banyak, karenanya, sebelum istirahat kami sempatkan minum teh terlebih dahulu di salah satu warung terdekat.

Meski sudah tengah malam, rupanya masih ada saja pendaki-pendaki yang baru datang. Sementara bagi mereka yang melanjutkan pulang, umumnya karena sebelumnya telah menentukan tanggal dan waktu penjemputan dengan pemilik mobil sewaan. Jenisnya? Ada mobil bak terbuka/pick up, ada pula mobil pribadi semacam Avanza.

Niat kami beristirahat di tempat yang sudah ‘ditentukan,’ terpaksa diurungkan. Tempat tersebut sudah penuh sesak oleh para pendaki lain. Akhirnya kami minta ijin pihak pengelola untuk tidur di mushola.

 

Januari 02, 2016

(Basecamp Apuy – Pasar Maja – Serang)

Pukul 04.00 pagi ruang mushola sudah ramai oleh para jamaah yang hendak melaksanakan sholat Shubuh. Kami terpaksa bangun, kemudian menyusul masuk ke dalam barisan.

Demi mengembalikan tenaga yang hilang, kami sarapan seperlunya di warung yang sama seperti malam sebelumnya.

Penampakan area parkir mobil bak terbuka Jalur Apuy

Penampakan area parkir mobil bak terbuka Jalur Apuy

Pukul 06.30 kami segera turun menuju parkiran mobil bak terbuka. Tujuannya, apalagi kalau bukan mencari tumpangan menuju Pasar Maja. Sialnya, kami hanya berdua, jadi harus rela menunggu 2 jam lamanya sampai kuota penumpang yang mereka tetapkan, terpenuhi.

Pukul 10.00 kami tiba di Pasar Maja. Perjalanan ke Terminal Leuwi Panjang kami lanjutkan dengan menumpang elf jurusan Bandung – Cikijing. Setelah itu, untuk mencapai Kota Serang, kami lanjutkan dengan menumpang bus jurusan Bandung – Merak.

***

Alhamdulillah. Beribu ungkapan terima kasih saya ucapkan sebesar-besarnya kepada:

  • Allah SWT, karena sudah mengijinkan saya menginjakkan kaki di puncak Gunung Ciremai. Tanah tertinggi Jawa Barat.
  • Mas Rudi dan keluarga, atas segala bantuan, support, dan kesediaannya menemani saya dan suami di sepanjang perjalanan.
  • Teman-teman pendaki yang saya temui di perjalanan.
  • Pihak Basecamp Apuy untuk kepeduliannya.

*

**

***

Tulisan kiriman: Mbak Wismayanti

Editor: [BEM]

***

**

*