Gunung Kerinci, Berlima di Perjalanan Penuh Drama

Sunter, pukul 04.30 pagi. Taksi pesanan kemarin malam baru datang di depan pintu gerbang kompleks perumahan, di mana Bayu, sang teman, tinggal. Taksi yang sama, berhasil memaksa kami terjaga dari ritual tidur ayam yang baru dimulai 3 jam sebelumnya. Namun begitu, tetap saja taksi ini tak mampu memaksa kami bergerak lebih cepat. Efek tidur ayam berkuasa di atas segala-galanya. Buktinya, kami masih sempat melakukan persiapan dan sarapan dalam irama yang agak lambat.

Sang supir memacu mobil menyusuri jalan raya Jakarta yang masih sepi. Pendar kuning lampu jalan eks landasan pacu Kemayoran, mengawali keberangkatan kami menuju Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Berdasarkan perhitungan, kami berempat—saya, Fery, Bayu, dan Yeni—bisa dibilang terlambat. Apalagi bila mengingat departure time Mandala Tiger Airways yang pukul 06.40 pagi itu. Karenanya, walau berlagak tenang, sejatinya jantung ini deg-degan.

***

Sebelum dilanjutkan…

Pada awalnya, catatan pendakian Gunung Kerinci ini akan saya sajikan secara single shot. Seluruh materi perjalanan disiram tumpah dalam satu wadah (baca: artikel) seperti yang sudah-sudah. Namun, karena jumlah halaman perkiraan semula malah membengkak mencapai angka puluhan (seperti biasa), dan berdasarkan pertimbangan daya tahan membaca setiap orang yang berlainan, maka cerita ini terpaksa saya belah tiga, di mana;

  • Bagian pertama menceritakan tentang perjalanan panjang dari Jakarta hingga Kayu Aro, Jambi.
    • Ujian pertama di bandara
    • Akibat karma
    • Insiden kecil di kabin pesawat
    • Azab Ilahi sebelum mendaki
    • Jagung bakar yang bukan
    • Dituntut jadi cenayang

 

  • Bagian kedua menceritakan tentang pengalaman di Basecamp Jejak Kerinci dan permulaan pendakian hingga Shelter 3.
    • Basecamp Jejak Kerinci
    • Pemetaan Basecamp Jejak Kerinci
    • Hampir hilang 6 juta gara-gara cuaca
    • Mendaki Gunung Leuser dipandu orang-orang GAM
    • Satu hati sama Mbak Krisdayanti
    • Malam pertama itu indah… kata siapa!
    • Berhenti di pendakian Kerinci ke-80
    • Dehidrasi dan penyakit ginjal
    • Restricted Access! Puncak Kerinci via Solok Perjan

 

  • Bagian ketiga menceritakan tentang detik-detik summit attack yang menentukan, hingga kembali pulang ke Jakarta.
    • Summit attack brother
    • Misteri Tugu Yudha
    • Poop perjuangan
    • Kopet setan!
    • Penunggu pohon bolong atau Harimau Sumatra, pilih mana?
    • Harus diteruskan sekarang! Atau… besok juga gak papa
    • Kepala dan kaca, kuat mana?
    • Bandara Internasional Minangkabau: Stupid to the max!

 

Nah! Supaya tidak berlama-lama, mari kita lanjutkan saja ceritanya…

 

Ujian pertama di bandara

Tak lebih dari 40 menit, kami tiba di Soekarno-Hatta. Selepas pos pemeriksaan pertama di depan lobby bandara, hal berikutnya yang harus dikerjakan tentu saja mengurus check-in sekaligus bagasi. Alhamdulillah… kami menempati posisi paling belakang dari barisan antrian yang telah mengular demikian panjang.

Dari 3 counter check-in yang tersedia, masing-masing hanya dijaga seorang petugas saja. 1 counter paling kiri, khusus penumpang non-bagasi. Sementara sisanya (counter tengah dan kanan) berfungsi ganda; untuk pengurusan check-in sekaligus bagasi.

Akibatnya gampang ditebak. Terjadi bottle neck pada kedua counter yang berfungsi ganda. Karenanya pula kami berempat berlima (Harry menyusul tak lama setelah kami tiba. Dia sengaja memisahkan diri sebelumnya, karena ada lemburan kantor, di Bogor) baru mendapatkan giliran check-in setelah hampir satu jam kemudian.

Mengingat waktu yang terbatas, begitu administrasi check-in dan bagasi selesai, kami berlima segera menuju ruang tunggu keberangkatan. Langsung mendapat panggilan, dan bergegas menuju feeder bus.

 

Akibat karma

Di dalam bus yang cepat sarat oleh penumpang, hati saya merasa tenang. Selain antrian panjang, semua urusan administrasi bandara bisa dibilang sama sekali tak terkendala. Yah, setidaknya, sampai pada suatu ketika, di mana saya merasakan ada suatu kejanggalan. Tangan kanan yang semula berat menenteng jinjingan, kok bisa-bisanya kini terasa ringan…

Damn!

Tas kamera saya ketinggalan!

Ah, sepertinya ini karma, karena belum lama tadi, rajin betul mem-bully Dori, salah satu teman yang hobinya pelupa itu.

Tak boleh buang waktu. Saya berlari sekencang-kencangnya menuju Airport Security Gate terakhir. Irama jantung rasanya berantakan. Dag-dig-dug seperti kulit bedug digebuk-gebuk. Orang bilang, kurang olahraga. Tapi, bukan. Ini lebih kepada perasaan takut kehilangan tas kamera beserta segala isinya.

Sekilas meminta ijin kepada petugas jaga pintu pemberangkatan Mandala, saya kembali berlari menghampiri petugas Security Gate. “Pak, tas saya ketinggalan.” Masih terengah-engah, saya tunjuk sebuah backpack hitam yang sengaja dikucilkan sebatang kara.

“Yang ini?” tanya petugas.

“Betul!”

“Isinya apa aja?” penuh curiga, seorang petugas lain di ujung sana, latah bertanya. Dia ingin mengklarifikasi kebenaran kepemilikan tas tadi, seraya menghapal-hapal wajah saya. Mungkin dia khawatir, ini cuma tipu daya.

“Kamera merk nganu-nganu. Lensa fix merk nganu-nganu. Printilan nganu-nganu. Semua yang nganu-nganu.” Napas, setengah memburu.

Bagai adegan dalam film panas, seorang petugas membuka resleting perlahan-lahan. Petugas yang bertanya ikut memperhatikan satu per satu isi tas kamera dengan seksama.

“Ok. Silahkan.”

“Terima kasih!” jawab saya cepat. Secepat sambaran tangan dan langkah kaki saya kembali ke feeder bus semula.

Menjelang pintu pemeriksaan terakhir, seorang petugas wanita pemeriksa tiket, berwajah manis jilbab putih, tiba-tiba menggoda, “Gak jadi moto-moto, deh.” Tak lupa, dia kembangkan senyum manisnya.

Ah… seandainya saya tidak sedang tergesa-gesa, pasti sudah kupinang kau dengan Bismillah. #eaa

 

Insiden kecil di kabin pesawat

Kecuali kursi 4F—yang letaknya persis di samping jendela kanan—seluruh kursi baris keempat, pesawat Mandala Tiger Airways tipe Airbus A320, telah kami duduki.

“Mas, bisa geser (duduk)? Buat ibu saya. Kasihan, orang tua.” Pinta seorang bapak berbadan gempal dengan kumis tebal lagi jembar. Persis pangkal sarung keris/warangka Gayaman ala Surakarta.

“Oh, boleh, Pak. Silahkan,” pindah posisi.

Beberapa menit kemudian, di kabin depan, seorang pramugari yang wajahnya mirip teman kami, Dori—diamini teman-teman seperjalanan lain—sedang adu argumentasi. “Maaf. Bapak sama Ibu (lansia), gak boleh duduk di sini—bangku paling depan. Demi keselamatan. Aturannya sudah begitu.” Sayangnya, saya kurang memperhatikan, apakah kursi bersangkutan berdekatan dengan pintu Emergency Exit atau tidak. Sebab, kalau memang berdekatan, maka argumentasi pramugari tadi, benar adanya.

Demi menyaksikan kejadian ini, seorang bapak yang entah di mana duduknya, tiba-tiba berkomentar dengan nada kesal. Tentu saja, ini langsung memancing perhatian hampir seluruh penumpang lain tertuju kepadanya, kemudian ke kabin depan.

Dari kalimat dan frekwensi suaranya, saya yakin betul, kalau bapak ini adalah orang yang sama, yang mengeluhkan antrian panjang akibat lamanya pelayanan di counter check-in lobby bandara sebelumnya. Sepertinya dia masih memendam kecewa.

Anehnya, saya dan Harry tiba-tiba kompak curiga. Jangan-jangan, kami bakal jadi ‘tumbal’ (lagi) dari aksi cekcok mulut ini…

“Mas, boleh tukar bangkunya 2, untuk mereka?” pinta bapak berbadan gempal berkumis lebar tadi.

Tuh, kan! Bener kata gua!

“Boleh, Pak. Silahkan (lagi),” jawab saya refleks. Lupa, kalau bangku yang dimintanya berjumlah dua. Sementara bangku yang saya punya cuma satu.

Begitu melirik ke arah kiri, benar saja dugaan saya. Dari ekspresi wajahnya, Harry terlihat sedikit menahan emosi. Karena terlanjur kelepasan bicara, akhirnya saya terpaksa melakukan ta’aruf secara persuasif kepada sang teman. Bukan untuk jadian, tapi untuk memecahkan persoalan.

“Lu gimana Ry? Ngasih gak?”

“Iya Bang, ntar dulu.” Sambil menahan emosi, dia menganalisa situasi.

Alhamdulillah, sang teman akhirnya bersedia dipinang. Kami segera berdiri, dengan maksud bertukar posisi. Sialnya, gang menuju kabin depan masih sarat oleh penumpang yang baru datang. Kami, yang terlanjur berdiri, terpaksa menanti.

“Ayo, Mas. Cepat!” Si Kumis, kini memaksa-maksa dengan mendorong-dorong saya.

Sabar dikit dokter Rudolpho! Gua jambak juga nih kumis luh!

Leher saya seketika bertembolok menahan gondok. Niat tulus tadi langsung terkontaminasi emosi. Ah… seandainya yang namanya dosa itu tidak ada, pingin rasanya ngelitikin si Kumis ini sampai is dead. Se-is-dead-is-dead-nya!

***

Pelajaran dari kejadian ini:

Ketika kita sedang membutuhkan pertolongan dari orang lain (di luar konteks hirarki organisasi atau institusi), maka secara otomatis, “posisi tawar” kita langsung berada di bawah mereka.

Dan, begitu mereka bersedia membantu, bukan berarti “posisi tawar” kita menjadi setara atau di atas mereka. Posisi tawar kita tetap di bawah mereka. Kita tidak berhak memerintah atau memaksa seenaknya, supaya kondisinya benar-benar sesuai dengan keinginan kita. Bagaimana cara membantunya, ya, terserah mereka. Ingat! Yang butuh bantuan itu, kita. Bukan mereka. Intinya, tahu diri, lah.

 

Azab Ilahi sebelum mendaki

Penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta ke Bandara Internasional Minangkabau, Padang—bandara satu-satunya di dunia yang menggunakan nama berdasarkan suku bangsa—hanya membutuhkan waktu tempuh selama 1.5 jam.

Pagi itu hujan baru saja turun. Beberapa orang tak dikenal, datang kepada kami silih berganti. Motifnya sama, menawarkan jasa antar mereka. Tawaran yang tentu saja kami tolak, karena kami sedang menunggu jemputan yang telah di-booking beberapa hari sebelumnya.

Jemputan yang semula kami kira menunggu di depan lobby area kedatangan bandara, ternyata malah menunggu di area parkir keberangkatan. Kami berjalan pelan menuju area parkir yang dimaksud.

“Di sana punglinya banyak Mas, makanya kita tunggu di sini,” ujar supir yang menjemput. Badannya gempal berkulit sawo setengah matang. “Mari, kita ke sana (mobil).”

Saya dan keempat teman lain bergegas menuju lokasi parkir mobil yang letaknya tidak terlalu jauh dari teras bandara. Kalau pun terasa jauh, pasti karena efek guyuran air hujan yang semakin tinggi intensitasnya.

Jumlah bangku yang tersedia, pas untuk kami berlima. Tapi, begitu duduk di dalam kabin Avanza merah maroon ini, perasaan sempit masih terasa.

Harry, yang postur tubuhnya paling besar, sengaja diposisikan di samping pak supir yang sedang bekerja, mengendarai kuda mobil supaya baik jalannya. Saya, Bayu, dan Yeni memposisikan diri di kursi baris kedua. Sementara Fery, artis kita, sengaja diposisikan ditempat yang paling mulia. Jok belakang. Demi mengemban tugas kenegaraan, menjaga barang-barang supaya tidak jatuh berantakan. Yah, siapa tahu pak supir meleng, mendadak injak rem.

Siang itu hujan begitu setia mengiringi perjalanan kami menuju pool travel sewaan di bilangan Ulak Karang, Padang. Malang nian nasib awak. Pintu tengah Avanza merah tiada bisa menutup sempurna. Ia menyisakan celah. Sebagai akibatnya, air hujan merembes hingga membasahi tempat duduk di bagian kiri, tempat saya memilih posisi. Alhamdulillah, rejeki… T_T

Apakah rejeki yang saya terima pada hari pertama cukup sampai di sini saja? Ternyata tidak saudara-saudara. Karena rejeki berikutnya adalah, sang supir yang merasa tak berdosa itu, dengan santai menyalakan rokoknya. Padahal AC mobil sedang menyala dan tak satu pun kaca mobil terbuka.

Acute Mountain Sickness (AMS) saya derita lebih cepat dari biasanya. Belum juga sampai di ketinggian, kepala sudah keliyengan. Hembusan AC membuat efek buangan asap sang ahli hisab jadi berkali lebih tajam begitu terhirup indera penciuman saya yang bukan seorang perokok ini.

Darah militer saya tiba-tiba mendidih. Beramai-ramai mereka hijrah ke ubun-ubun kepala, dan tak henti-hentinya thawaf di sana.

Ah… ngidam tombol lontar kursi supir, enak juga kayaknya…

***

30 menit perjalanan, kami tiba di Ulak Karang. Tempat di mana pool travel agent sewaan berada. Bila kita menghadap ke arah selatan, maka pool ini akan berada di sebelah kanan. Posisi kantor, 45 cm lebih rendah dari ketinggian jalan, akibat adanya pengaspalan berulang-ulang.

Ruang kantor travel agent ini tidak terlalu besar. Berdasar perhitungan kasar, hanya berukuran sekitar 4×6 meter persegi. Beberapa spanduk terpampang di tembok atas bagian dalam. Tak salah lagi, tempat ini pasti kantor bersama beberapa travel agent di Kota Padang. Dengan salah satu rute yang mereka layani; Padang – Sungai Penuh.

Persis di sebelah kiri kantor travel agent, terdapat sebuah warung kelontong yang menjual berbagai keperluan harian standar rumah tangga. Ke kiri tiga rumah lagi, Rumah Makan Padang melambai-lambaikan tangan ke arah perut kami. Karena godaannya terlalu kuat untuk ditolak, apa boleh buat, kami harus cepat puaskan syahwat. Yah, apalah daya kami insan yang lemah ini.

Pilihan menu siap santap, belum begitu banyak. Maklum, hari masih terbilang pagi. Beruntung, bila tak ada yang disuka, kita bisa memesan menu lain untuk dimasakkan. Selama tidak merepotkan tentunya—seperti; telur dadar.

Soal harga, angka yang dipatok ayam relatif standar. Untuk seporsi menu berisi sepiring nasi, 1 perkedel, dan 1 telur dadar, hanya dihargai 14,000 Rp saja.

Sial sungguh sial, saya lupa bayar satu lagi porsi nasi tambahan. Sebagai hadiahnya, perut ini rajin betul melintir di sepanjang perjalanan menuju Basecamp Jejak Kerinci. Damn!

 

Note:

Hutang dimaksud sudah saya bayarkan dalam bentuk sedekah atas nama rumah makan bin fulan bersangkutan dengan nilai yang sesuai. Mudah-mudahan putuslah perkara tak disengaja ini, antara saya dengan mereka. Amin.

 

Jagung bakar yang bukan

“Ayo kita berangkat. Sudah kesiangan. Takut kena macet nanti di Solok. Ada perbaikan jalan soalnya,” seru supir gembul kami dari luar rumah makan dengan logat kental Padang.

Semua orang segera sibuk dengan tagihan makanan masing-masing. 30 menit terlalu cepat untuk sebuah ritual santap.

Di pelataran parkir pool, mobil yang akan dipakai baru selesai dicuci. Eksteriornya tampak bersih mengkilat. Sialnya, mobil ini masih yang tadi-tadi lagi. Mobil dengan pintu yang sangat baik hati, mau mengundang air hujan mampir ke dalam. Padahal, kalau diperhatikan, tak satu pun tanda-tanda kekerasan atau bekas tabrakan saya temukan di sekujur bodi mobil ini. Bahkan, lecet pun tidak ada.

“Gak ada mobil lain, Bang?”

“Gak ada, Mas. Tinggal ini,” alibi supir kedua yang belakangan saya paham, ternyata sang juragan. Yah, apa boleh buat. Terima saja. Ketimbang harus jalan kaki sampai Jambi, pilihan ini tentu lebih manusiawi.

***

Rintik kecil kembali mengiringi awal perjalanan panjang kami menuju Desa Kersik Tuo, Jambi…

***

Larangan membawa barang-barang berbahaya ke dalam kabin pesawat mau pun bagasi, membuat beberapa kaleng persediaan gas dan spirtus terpaksa kami tinggal di Jakarta. “Ntar kita beli di Padang aja.” Begitu kira-kira isi kesepakatannya.

Walau Kota Padang termasuk salah satu kota besar di Pulau Sumatera, mencari penjual kaleng gas kecil dan sebotol spirtus itu, ternyata bukanlah perkara mudah. Buktinya, dari beberapa toko yang kami datangi (padahal cuma dua), hanya satu toko saja yang menjual barang yang dicari. Itu pun yang ada hanya spirtus saja.

Dari yang saya ingat, di sepanjang jalan Kota Padang yang kami lewati, tak satu pun mini market terlihat. Seandainya ada, formatnya pun berupa toko kelontong biasa. Tradisional. Bukan mini market modern seperti yang kini banyak bertebaran di kiri-kanan jalan ibukota Jakarta.

Bagi penikmat alam seperti saya, landscape Kota Padang di seperlima pertama perjalanan ini terasa amat membosankan. Untungnya ia tak berlangsung lama, karena kenikmatan berkendara segera saya rasakan setelahnya. Pemandangan alam dan suasana pedesaan silih berganti terbentang di sepanjang perjalanan hingga ke lokasi tujuan. Kayu Aro.

Siang itu, perjalanan sedikit terganggu. Di tengah hutan, jalan raya Solok – Padang, antrian kendaraan telah mengular panjang hingga 1-2 kilometer ke depan. Kami kebagian ritual buka-tutup akibat adanya perbaikan jalan. Mungkin ini yang dimaksud supir gembul kami di awal tadi.

Tapi, tak mengapa. Kalau macetnya di tengah hutan seperti ini, mau lama pun saya rela. Apalagi begitu buka jendela, udara yang terasa, bukan main segarnya. Jenis udara langka di Jakarta.

Baru 5 menit, hujan tiba-tiba turun begitu deras. Kaca jendela yang semula terbuka lebar menganga, terpaksa ditutup kembali serapat-rapatnya.

Dan sejarah… kembali berulang. Tanpa satu pun kaca jendela terbuka, dengan AC menyala, kepulan asap rokok sang supir yang memenuhi kabin dalam, segera membuat dada ini sesak. Emosi jiwa pelan tapi pasti merangkak naik ke level Super Saiya III.

Seandainya tombol lontar kursi supir itu benar-benar ada… otak mulai fragile.

***

20 menit waktu berlalu. Kepulan asap sang ahli hisab berhasil membuat kepala ini pusing bukan main. Walau hujan tak lagi mengguyur deras di luar sana, saya tak ambil peduli. Kaca jendela segera saya buka selebar-lebarnya. Ketimbang napas sesak, basah sedikit kena rintik tentu masih jauh lebih baik. Lagi pula, saya suka aroma hutan diguyur hujan macam begini. Yah, seperti kata Bob Marley, “Some people feels the rain. Others just get wet.”

Kalau mau dibanding-bandingkan, tempat ini mengingatkan saya pada jalur Alas Roban di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, jalur hutan Situbondo – Taman Nasional Baluran (TN Baluran), dan jalur sepi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), di Lampung. Sayang, jalur Lintas Sumbawa tidak bisa dimasukkan ke dalam daftar, karena walau sama-sama membelah hutan, sebagian jalurnya bersisian dengan tepi laut.

Setengah badan jalan ke arah Padang di sisi kiri belum bisa dilalui. Beton jalan setebal lebih kurang 20-30 cm masih setengah kering. Ruas jalan yang tersisa terpaksa digunakan untuk memfasilitasi aliran kendaraan dari 2 arah berlawanan secara bergantian.

Kontur berbukit yang kadang terjal kadang curam cukup membuat truk-truk bermuatan besar melenggang kewalahan, apalagi kalau sampai terpaksa berhenti di kemiringan. Sebagai alat bantu pendukung rem tangan, batu yang rata-rata seukuran kepala manusia dewasa terpaksa digunakan. Amat disayangkan, setelah selesai dipakai, batu-batu ini tidak disingkirkan lagi. Mereka dibiarkan berserakan di bahu- bahu jalan. Melengkapi kerikil-kerikil berukuran kecil hingga sedang sisa proyek perbaikan jalan yang lebih dulu berserakan.

Samar-samar tercium aroma jagung bakar. Terjebak macet di tengah hutan berudara segar, sambil menikmati jagung bakar, pasti asyik, nih. Pikir saya.

Mata segera saya tebar ke segala penjuru arah demi mencari sang penjual jagung bakar. Sial, tak satu pun pedagang jagung bakar kelihatan. Yang ada malah 3 orang pedagang asongan penjual tahu Sumedang bungkusan. Eh! Tahu Sumedang! Di tengah hutan! Di Padang!???

Saya tetap tekun mencari. Dasar rejeki anak sholeh. Tak berapa lama setelahnya, sumber aroma jagung bakar, akhirnya saya temukan juga.

Jadi beli? Enggak!

Lah!?

Ya, bagaimana mau beli? Tukang jagung bakarnya saja tidak ada. Wong bau jagung bakar tadi, ternyata berasal dari sisa gas buang salah satu kendaraan di depan!

Bangke banget gak sih? T_T

 

Dituntut jadi cenayang

“Itu danau apa namanya Pak?” saya penasaran, seraya menunjuk ke bawah, arah kanan jauh.

“Itu Danau Atas,” katanya, sambil menoleh ke arah danau yang dimaksud.

“Kalo itu Danau Atas, terus, Danau Bawah-nya di mana?”

“Ada di sana. Gak kelihatan,” jawabnya ringan dengan pandangan tetap fokus ke depan. Tanpa mengisyaratkan sesuatu yang bisa membantu saya mengira-ngira, di mana gerangan letak danau yang dimaksudnya. Jangankan jari yang menunjuk, tolehan kepala pun tidak ada.

Mungkin dia pikir saya ini cenayang yang bisa membaca pikiran orang?

Belakangan baru saya ketahui, Danau Bawah berada di bagian barat laut Danau Atas. Posisinya dekat dengan Gunung Talang (2,597 mdpl)—kadang disebut Gunung Salasi atau Sulasi—dan terletak di Kabupaten Solok.

Dari posisi saya bertanya, Danau Bawah yang dimaksud rupanya sudah terlewat jauh. Bila kita berkendara dari Kota Padang ke arah Kayu Aro, posisi danau ini berada di sebelah kiri jalan dan tidak akan kelihatan, karena tertutup lebatnya hutan.

Bila dibandingkan dengan Danau Toba, Danau Atas jelas jauh lebih kecil. Namun begitu, untuk melintasi setengah sisi danau ini saja (dari bagian barat daya ke bagian barat laut) ternyata lumayan memakan waktu. Dalam perkiraan saya, sekitar 45 menit berkendara dengan kondisi jalan lancar.

Untungnya, posisi jalan yang kami lalui cukup tinggi, sehingga membuat sudut pandang ke arah Danau Atas—yang selalu berada di bawah! Dan di sebelah kanan jalan—terasa demikian lapang. [BEM]

Bersambung…