Tips Mendaki Gunung Untuk Pemula

Tips Mendaki Gunung Untuk Pemula

Pemula/newbie/nubie merupakan status paling dasar dalam setiap pekerjaan apa pun. Karena umumnya tidak berpengalaman, sah-sah saja bila mereka kemudian bingung harus memulai dari mana dan melakukan apa. Dalam dunia petualangan pun sama. Hal ini pernah saya alami belasan tahun lalu. Karena bingung harus mempersiapkan apa, membawa apa, bagaimana caranya, dan sebagainya, akhirnya semua yang saya kerjakan, ya seadanya. Tapi tenang. Hal ini tak perlu terulang pada diri kalian, karena saya akan membagikan beberapa pengalaman dan tips mendaki gunung untuk pemula seperti kita-kita—secara mendetil.

Nah, hal-hal seperti apa sajakah yang perlu dipersiapkan sebelum kalian memulai petualangan? Baca terus artikel ini sampai tuntas. Jangan disisakan. Karena senang menyia-nyiakan itu sifatnya setan. Gak mau kan, jadi setan?

 

Mulai dari gunung yang paling mudah

Gunung yang dituju pendaki pemula biasanya berbeda dengan gunung yang dituju oleh pendaki moderat atau advance. Walau sebenarnya tidak menutup kemungkinan, gunung yang dituju oleh ketiga jenis pendaki ini akan saling bersinggungan/overlapping antara satu sama lain.

Mulai Dari Gunung yang Paling Mudah

Mulai Dari Gunung yang Paling Mudah

Misalnya; Gunung Gde dan Gunung Papandayan yang dalam ‘aturan’ tak tertulis selalu dianggap sebagai gunungnya pemula, seringkali didaki para pendaki kawakan. Sementara (puncak) Gunung Semeru yang medannya cukup berat, bahkan telah beberapa kali meminta korban, tak jarang dijadikan sebagai gunung pertama bagi para pendaki pemula.

Tak ada yang salah dengan pola ini. Sah-sah saja. Toh tak ada pasal baku yang mengatur bahwa pendaki pemula hanya boleh mendaki Gunung A, B, dan C, dan tidak boleh mendaki Gunung X, Y, dan Z. Selama mental dan fisik dirasa kuat, sikat!

Namun… alangkah baiknya bila para pendaki pemula memulai petualangannya dari gunung-gunung yang relatif mudah. Alasannya, selain menghindari kemungkinan trauma (baca: kapok), juga sebagai sarana latihan penyesuaian diri—baik secara fisik, mau pun mental—terhadap lingkungan yang baru.

 

 

Rencanakan waktu eksekusi dan durasi pendakian

Para pemula, sangat dianjurkan memilih waktu pendakian pada musim panas/kemarau atau musim pendakian. Sebisa mungkin, hindari pendakian di musim hujan. Karena, selain usaha yang dibutuhkan jauh lebih banyak, baik secara fisik mau pun mental, mendaki (hiking) di musim hujan sangat rentan dihadang berbagai ancaman perjalanan, seperti; basah kuyup, jalur yang licin, badai gunung, pohon tumbang, dan lain sebagainya.

Tentukan Waktu dan Durasi Pendakian

Tentukan Waktu dan Durasi Pendakian

Untuk durasi perjalanan, bisa dimulai dengan rentang 2 hari 3 malam pergi-pulang. Jangan terlalu panjang. Ingat! Suhu di gunung itu, dingin(nya bukan main). Bila kalian belum terbiasa, terlalu lama berada di sana pasti akan sangat menyiksa.

Kabar baiknya, peluang melakukan perjalanan dengan rentang sesingkat ini bisa kita peroleh sebanyak 4 kali dalam sebulan, pada setiap akhir minggu (weekend). Jadi, bagi kalian yang berstatus karyawan, tentu tidak perlu pusing-pusing lagi memikirkan ijin cuti, kan?

Sementara bagi yang masih berstatus pengangguran, mari kita doakan semoga mereka segera mendapatkan pekerjaan. Amin. *Pendaki syariah mode

 

 

Persiapan fisik

Suhu di pegunungan dengan suhu kota, kontras berbeda. Perubahan suhu yang relatif cepat tentu akan berdampak pada menurunnya daya tahan tubuh seseorang. Persis seperti dampak yang ditimbulkan oleh perubahan musim atau pancaroba.

Bila perubahan aktifitas dari kota ke gunung ini tidak didahului dengan persiapan fisik dan persiapan aklimatisasi yang optimal, dikhawatirkan dapat mengganggu jalannya proses pendakian. Entah itu mengganggu diri sendiri, terlebih lagi mengganggu teman-teman lain dalam satu tim.

Persiapan Fisik

Persiapan Fisik

Contoh sederhananya; terkilir.

Otot kaki yang jarang digunakan untuk berolahraga cenderung rentan cedera bila tiba-tiba dipaksa melakukan pekerjaan berat seperti berjalan selama berjam-jam (trekking). Padahal itu pun belum menghitung kondisi medan yang menanjak dan beban tambahan di punggung kita—yang berat rata-ratanya, minimal 5 kg per orang.

Bila cederanya masih ringan, yang kewalahan paling-paling, ya, diri kita sendiri. Tapi, bila otot yang cedera ringan tersebut terus dipaksakan, lambat laun pasti menjadi cedera berat. Kalau sudah begini, atas nama solidaritas, teman-teman lain tentu bakal ikut menanggung akibatnya.

Sekarang coba bayangkan:

Bila cedera ini terjadi pada masa awal-awal pendakian, padahal jarak camp site (tempat mendirikan tenda) yang dituju masih jauh, serta harus melewati beberapa pos/shelter lagi dengan medan yang terjal pula. Serepot apa kira-kira yang akan dirasakan si cedera dan anggota tim lain? Bagaimana pula repotnya saat pulang atau turun gunung nanti?

Di gunung, segalanya mungkin terjadi, bahkan kadang sulit dipahami. Orang yang kita kenal paling kuat, belum tentu menjadi yang terkuat saat berada di sana. Si Kerempeng belum tentu lebih lemah daripada Si Kekar.

Lalu, persiapan fisik seperti apa sajakah yang bisa dilakukan sebelum aktifitas naik gunung ini dilaksanakan? Berikut, beberapa di antaranya:

  • Lari. Olahraga murah meriah ini bisa kita lakukan di mana saja dan kapan saja. Asal jangan terlalu larut malam, apalagi sambil membawa banda orang. Target yang disasar dari olahraga lari ada 2, yaitu; stamina dan kekuatan kaki. Di mana, keduanya merupakan komponen fisik vital yang menjadi faktor penentu berhasil tidaknya seseorang saat melakukan kegiatan pendakian.
  • Jalan dengan beban. Selain sebagai alat bantu simulasi mendaki, latihan ini juga bertujuan untuk menguatkan sektor kaki serta tubuh bagian atas. Ia bisa dilakukan secara rutin. Boleh seminggu sekali, seminggu 2 kali, atau seminggu 3 kali. Berat bebannya boleh bervariasi, mulai dari 3 kg, 5 kg, 10 kg, 1 kuintal, 1 ton. Terserah. Itu hak kalian. Sekuatnya saja.

Saya sendiri, biasa latihan dengan menggendong beban seberat 10 kg sambil berjalan pelan selama 1-2 jam. Semakin berkontur jalur latihannya, semakin baik pula kualitas simulasinya.

  • Renang. Latihan ini bermanfaat untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan kapasitas oksigen yang mampu kita hirup. Bila oksigen yang kita butuhkan semakin meningkat seiring level kedalaman yang dicapai saat melakukan kegiatan menyelam, begitu pun dengan kegiatan mendaki.

Semakin tinggi elevasi gunung yang didaki, semakin tipis pula kadar oksigen yang tersedia. Yang karenanya, tubuh kita akan membutuhkan lebih banyak asupan oksigen daripada biasanya. Dan renang berguna untuk mempersempit celah, antara pola kebutuhan oksigen di kota dengan di ketinggian.

  • Aklimatisasi. Secara umum, aklimatisasi berarti membiasakan diri dengan perubahan suhu, iklim, atau kondisi baru. Untuk aktifitas pendakian, latihan ini menempati urutan vital kedua setelah lari. Bagi kalian yang tinggal di daerah pegunungan, proses aklimatisasi ini mungkin tak lagi diperlukan. Namun bagi yang terbiasa tinggal di wilayah perkotaan atau dataran rendah, latihan ini sangat disarankan untuk dilakukan. Bagaimana caranya? Silahkan baca artikel sebelumnya.

Ada beberapa catatan yang perlu kalian pertimbangkan terkait proses aklimatisasi di lokasi pendakian nanti, yaitu; perbanyak minum, mendaki secara perlahan, hindari kafein dan nikotin, serta hentikan pendakian bila gejala altitude sickness—seperti; mual, muntah, pusing, hyperventilation (bernapas secara berlebihan dan dalam), limbung, dan lain sebagainya—tiba-tiba menyerang, sekecil apa pun itu.

  • Makan teratur dan istirahat cukup. Para pakar percaya, bahwa penyakit itu paling banyak diakibatkan dari pola hidup yang tidak sehat. Mulai dari mengkonsumsi minuman dan makanan yang tidak sehat, sampai pola tidur yang tak teratur.

Bila ukuran ‘latihan’ hanya sebatas pada aktifitas melatih otot dan membakar kalori saja, tentu poin terakhir ini tidak termasuk dalam kategori, bukan?

Tapi jangan salah. Melulu melatih otot dan membakar kalori tentu tidak akan berarti jika tidak diimbangi dengan proses recovery yang memadai. Baik recovery fisik mau pun mental.

Nah! Terkait memilih makan makanan yang sehat, sebenarnya kita bisa berguru pada binatang kambing. Ia rajin betul mengkonsumsi “sayur-sayuran hijau” dan selalu menghindari mengkonsumsi makan-makanan berkolesterol. Makanya mereka selalu sehat wal’afiat.

Kalau tidak percaya, coba saja kalian cari. Mana ada kambing yang mengidap penyakit darah tinggi atau stroke? Padahal kita semua tahu, mereka itu satu badan isinya kolesterol semua. Ya, kan? Hail Shaun the Sheep!

 

 

Persiapan mental

Naik gunung jelas membutuhkan kesiapan fisik yang prima. Namun itu saja tidak cukup. Kita juga butuh kesiapan mental yang optimal. Jadi, bila diibaratkan, fisik itu mesinnya, sementara mental adalah bensinnya. Sesangar apa pun tenaga yang dimiliki mesin, kalau tidak ada bensin, tetap tidak bisa bekerja.

Persiapan Mental

Persiapan Mental

Maka tak heran bila setiap peserta baru hampir seluruh organisasi pecinta alam harus mengalami yang namanya masa perploncoan. Bahkan kadang harus rela menerima kekerasan fisik dari para seniornya. Dan yang disebutkan terakhir inilah yang membuat saya mengurungkan niat mendaftarkan diri pada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pecinta Alam di kampus dahulu. *Curhat colongan

***

Terkait persiapan mental. Ada teknik sederhana untuk mengontrol emosi yang pernah saya temukan, coba sendiri, dan berhasil. Dan kabar baiknya, kita tak perlu mengeluarkan biaya sama sekali alias gratis! Yah, cocok lah untuk ukuran kantong saya. Apalagi kalian. :p

Untuk mengetahui seperti apa wujud latihannya, ini dia tekniknya:

Antara pukul 11.00 – 13.00 siang, cobalah jalan kaki/trekking ringan di bawah terik sinar matahari langsung. Hindari bayang-bayang pohon dan gedung. Usahakan sebisa mungkin, mimik/ekspresi wajah kalian tidak berubah walau panasnya sangat menyengat.

Bayangkan layaknya kalian sedang berjalan di dalam ruangan ber-AC yang nyaman. Posisi badan tegap, dengan pandangan lurus ke depan. Jangan menunduk!

Bila mengontrol mimik/ekspresi wajah dirasa sulit, gantilah dengan senyum ringan, tapi jangan ditujukan ke setiap orang. Takut dikira gila.

Lakukan latihan ini sesering mungkin, dengan rentang minimal 30 menit per sesi latihan. Saya pribadi melakukan latihan ini rutin selama 3-6 bulan, hampir setiap hari. Dan sebagai hasil akhirnya, tidak hanya mental/emosi saya saja yang lebih terkendali, tapi warna kulit pun jadi jauh lebih eksotis. Persis tanning overdosis.

***

Dalam kamus saya, naik gunung itu lebih kepada perkara mental daripada fisik. Bukan berarti fisik tidak penting. Ia juga penting. Hanya, mental lah yang seringkali menjadi faktor penentu berhasil tidaknya seseorang mencapai puncak/tujuan.

Jika memungkinkan, perhatikan juga kondisi fisik dan mental rekan-rekan satu tim kalian. Bersikaplah proaktif. Siapkan diri memberikan dukungan moral kepada teman-teman yang membutuhkan.

Berpikirlah layaknya masing-masing dari kalian adalah ketua panitia pelaksana, yang sangat ingin acara pendakian tersebut berhasil. Leave no one behind. Hope for the best, plan for the worst.

 

 

Cari info sebanyak-banyaknya

Di dunia maya atau internet, semua informasi tersedia. Mulai dari yang paling umum, sampai yang paling aneh sekali pun. Semua tumplek blek di sana, sehingga yang namanya merencanakan perjalanan, di masa sekarang, bisa dibilang relatif gampang. Tinggal mengetik keyword di textbox pencarian, tekan tombol cari, dan dalam sekejap semua tersedia di depan mata. Kita tinggal pilih saja mau yang mana.

Terlihat mudah, ya?

Pastinya!

Sayangnya, kemudahan ini hanya berlaku untuk pencarian topik-topik yang bersifat umum saja. Sementara informasi yang sifatnya “rare item” atau langka seringkali demikian sulit didapatkan. Sesulit menagih hutang menahun.

Cari Informasi Sebanyak-banyaknya

Cari Informasi Sebanyak-banyaknya

Informasi langka ini bisa mewujud dalam beragam rupa, seperti misalnya;

  • Detil destinasi wisata yang relatif baru dan jarang orang tahu (baca: destinasi wisata anti-mainstream).
  • Data spesifik dan valid tentang sesuatu hal. Pada beberapa kasus yang pernah saya alami, jenis data ini bahkan sangat sulit dicari, walau ia berada dalam ranah topik populer sekali pun. Contohnya saat penggarapan artikel Gunung Bromo beberapa waktu lalu.

Untuk mencari tanggal pasti pembangunan tangga Gunung Bromo saja, saya harus mengacak-acak puluhan dokumen sejarah. Itu pun, hanya mendapatkan tahun perkiraannya saja—yaitu; 1901. Dan tahukah kalian, alasan mengapa tangga tersebut dibangun?

Ia dibangun hanya karena pada saat itu, Gubernur Jendral Hindia Belanda (Willem Roosenboom?) ingin mampir dan melihat dari dekat kawah gunung yang dianggap sakral oleh masyarakat Suku Tengger tersebut.

Secara garis besar, informasi yang sebaiknya dicari sebelum kita melakukan kegiatan naik gunung, terbagi dua, yaitu; informasi yang terkait dengan perjalanan menuju lokasi, dan informasi yang terkait dengan lokasi pendakian itu sendiri. Jadi, bila kita breakdown, kedua jenis informasi ini akan tampak seperti berikut:

Terkait perjalanan

  • Estimasi/perkiraan biaya perjalanan. Mulai dari transportasi, akomodasi, makan, guide, dan lain sebagainya.
  • Moda transportasi yang bisa digunakan untuk sampai di tujuan—darat, laut, dan/atau udara. Banyak tersedia atau jarang, mahal atau murah, sewa atau umum, bila menyewa maksimal bisa mengangkut berapa orang, harus booking terlebih dahulu atau langsung on the spot, dan lain-lain.

Terkait lokasi pendakian

  • Peta topografi (peta kontur). Banyak pendaki Indonesia menganggap peta kontur “tidaklah terlalu penting.” Alasannya sederhana; pertama, jalur pendakian yang ada umumnya sudah sangat jelas karena memang sering dilalui. Kedua, kalau pun jalurnya sulit, toh masih bisa mengandalkan guide atau teman-teman yang lebih senior atau lebih dahulu datang ke gunung bersangkutan. Dan yang ketiga, selain peta kontur ini biasanya sulit didapat, harganya pun relatif mahal.

Sejauh yang saya ingat dari bertahun-tahun aktifitas naik gunung, baru sekali saya menggunakan peta kontur plus tambahan perangkat Global Positioning System (GPS), yaitu pada saat mendaki Gunung Papandayan via jalur Cibutarua menuju ke Tegal Panjang.

Jalur tersebut sangat jarang dilalui pendaki (jalur penduduk) sehingga membuat trek yang ada, rata-rata telah tersamarkan oleh ilalang-ilalang baru. Jadi, tanpa peta kontur dan GPS, kemungkinan tersesatnya cukup tinggi. Apalagi bagi yang baru pertama kali bertandang ke Tegal Panjang.

Untuk gunung-gunung yang sering didaki dan memiliki trek serta papan petunjuk yang jelas, bagian “Peta Topografi” bisa kalian lewati. Namun untuk gunung-gunung yang jarang didaki, sebisa mungkin, usahakanlah membawa, menggunakan, dan mempelajarinya. Karena peta ini bisa jadi penolong bilamana, amit-amit jabang baby, tersesat.

Tentu, sebelum bisa membaca peta topografi, kalian diharuskan mempelajari materi navigasi. Pe-er memang. Tapi begitu dikuasai dan dibutuhkan, kemampuan ini bisa menyelamatkan nyawa banyak orang termasuk diri kalian.

  • Pos/shelter. Carilah informasi terkait jarak antar pos/shelter, elevasi, perkiraan lama perjalanan antar masing-masing pos tersebut, serta di pos/shelter mana saja kalian bisa/boleh mendirikan tenda. Tujuannya, tentu untuk menyusun strategi pendakian terbaik agar berkesesuaian dengan kemampuan seluruh anggota tim.
  • Sumber air. Setiap gunung memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri. Ada yang berkelimpahan sumber air (seperti; Gunung Semeru, Gunung Gede Pangrango, Gunung Papandayan, dan Gunung Rinjani), ada pula yang tidak memiliki sumber air sama sekali (seperti; Gunung Merapi dan Gunung Cikuray).

Ketahuilah status ketersediaan sumber air pada gunung yang akan kalian daki. Dalam kegiatan petualangan alam liar, air termasuk dalam salah satu komponen vital. Kekurangan air bisa menyebabkan dehidrasi, dan pada level yang lebih tinggi lagi, ia berpotensi membahayakan nyawa.

Perlu dicatat. Semakin dingin suhu gunung yang didaki, semakin cepat pula proses dehidrasi yang akan kalian alami. Karenanya, mengkonsultasikan volume kebutuhan air kepada pendaki-pendaki yang lebih senior atau ranger gunung setempat adalah perbuatan bijak.

  • Nomor-nomor telepon penting. Di antara semua poin yang ada, mungkin cuma poin ini saja yang paling absurd. Karena kita wajib menyediakannya, namun sangat tidak dianjurkan menggunakannya. Sebab, bila sampai menggunakannya, artinya kita sedang ‘celaka.’

Catat dan simpanlah nomor-nomor telepon penting, seperti; Search and Rescue (SAR), ranger/volunteer/kelompok pecinta alam setempat, rumah sakit terdekat, dan pihak-pihak berwenang lainnya. Buat beberapa kopi, dan bagikan kepada masing-masing peserta, sehingga bila sesuatu yang buruk terjadi, semua peserta memiliki informasi, dan tahu harus menghubungi siapa.

  • Prakiraan cuaca. Berdasarkan pengalaman pribadi, cuaca di gunung itu cenderung tidak bisa diprediksi. Walau misalnya, sekarang sedang musim hujan, belum tentu saat kita naik gunung nanti juga akan hujan. Bisa saja, sepanjang berhari-hari masa pendakian, cuacanya malah cerah secerah-cerahnya. Begitu pun sebaliknya.

Maka jangan heran bila suatu saat nanti, kalian bertemu dengan pendaki yang baru turun gunung dan mereka mengatakan diguyur hujan selama berada “di atas,” tapi setelah kalian mendaki selama beberapa hari, malah tak ada hujan sama sekali. Jadi, menurut istilah saya, gunung itu seperti ‘memiliki’ prakiraan cuacanya sendiri.

Namun demikian, potensi hujan, cerah, badai, atau berkabut itu memang lebih berpeluang terjadi di musim yang bersangkutan. Rasionya berkisar antara 75:25, 85:15, sampai 100:0.

Misal:

Diketahui, saat ini mayoritas sedang musim hujan. Dengan menggunakan perhitungan rasio di atas, maka potensi cuaca yang akan kita hadapi saat mendaki akan tampak seperti ini:

  • 75% hujan, 25% cerah
  • 85% hujan, 15% cerah
  • 100% hujan, 0% cerah

Pun sebaliknya. Jika saat ini sedang musim panas/kemarau, maka, kemungkinannya akan seperti ini:

  • 75% cerah, 25% hujan
  • 85% cerah, 15% hujan
  • 100% cerah, 0% hujan

Untuk mengetahui kondisi cuaca pada gunung yang hendak kalian daki, sebaiknya konsultasikan dengan contact person atau petugas ranger setempat—bisa via telepon, email, atau datang langsung bila lokasinya relatif dekat.

Atau, alternatif lainnya, bisa dilakukan dengan cara memantau terus situs Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terkait prakiraan cuaca di Indonesia.

  • Pengalaman pendaki senior. Walau faktor usia kadang sering menentukan rentang pengalaman mendaki seseorang, namun di dunia petualangan, tak jarang, ia overlapping dengan level pengalaman.

Cukup banyak kasus di mana pendaki yang jauh lebih muda, ternyata memiliki lebih banyak pengalaman ketimbang pendaki-pendaki… aduh, gak enak ngomongnya… tua.

Galilah informasi dari mereka-mereka yang sudah pernah, minimal satu kali, mendaki gunung yang hendak kalian tuju. Bila tak ada satu pun teman yang pernah ke sana, kalian bisa memanfaatkan blog, situs, atau forum-forum petualangan yang banyak tersebar di internet.

Tak punya akses internet sendiri? Bisa menumpang pada teman. Tak ada teman yang punya akses internet? Tinggal mampir ke warnet. Tak punya uang untuk main di warnet? Patungan dengan teman-teman. Tak punya uang, teman, akses internet, dan warnet?

Lah! kalian bisa mampir ke sini (simplyindonesia) lewat mana?

  • Peraturan yang berlaku. Setiap gunung memiliki peraturannya (larangan dan anjuran) sendiri-sendiri yang harus ditaati. Mulai dari cara booking/registrasi pendakian (online dan/atau offline) hingga prosedur pendakian, Tujuannya, selain untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang terlibat, juga menjaga kelestarian alam tempat mereka berkegiatan.

Peraturan ini sendiri terbagi dua; tertulis, dan tidak tertulis. Yang tertulis biasanya berupa peraturan resmi yang memang dikeluarkan oleh pihak pengelola gunung bersangkutan. Sementara peraturan tidak tertulis—walau tidak mesti—umumnya lebih banyak melibatkan unsur-unsur klenik/mistis.

Contoh aturan tak tertulis versi mistis;

Di Gunung Kerinci, Jambi. Saat mendaki gunung ini, kita tidak dianjurkan menyebut-nyebut kata harimau atau macan. Dan harus mengganti kata tersebut dengan sebutan lain, seperti ‘si-mbah’ misalnya.

Saya melanggar ‘aturan’ ini, dan sebagai akibatnya, 4 kali saya mencium santer aroma pipis segar mereka di 4 titik berbeda—antara Pos Batu Lumut hingga Pintu Rimba—di pinggir kiri, tak jauh dari jalur pendakian.

Beruntung saya tidak ketemu langsung. Kalau sampai ketemu.. wah… pasti saya suruh siram bekas dia punya pipis.

Contoh aturan tak tertulis versi non-mistis;

Pada gunung yang sama (Gunung Kerinci), kita tidak dianjurkan mendirikan tenda/kemping di bawah ketinggian 1,500 mdpl, karena ketinggian tersebut masih termasuk dalam wilayah jelajah Harimau Sumatera, serta untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Contoh aturan tak tertulis versi non-mistis yang terbukti mistis;


Di Gunung Gede, Bogor. Pada malam hari, tidak dianjurkan mengarahkan cahaya senter ke segala arah, kecuali 3-5 meter jalur di depan. Tujuannya, selain agar perjalanan malam jadi tak terasa, juga agar para pemula tidak cepat putus asa. Karena mereka jadi tidak mengetahui kondisi medan seperti apa yang merentang di depan sana—jarak, kontur, dan tingkat kesulitannya.

Kebetulan, teman saya—yang saat itu masih pemula/newbie—tidak mau mendengarkan nasihat tersebut. Maka ia langgarlah dengan hati sumringah.

Saat itu, ritual pendakian kami lakukan pada malam hari. Di sepanjang perjalanan, sang teman ini cerewetnya bukan main. Masalah apa pun dia bahas. Dan tak lupa, cahaya senter diarahkan ke mana-mana.

Hingga pada suatu titik, yang entah mengapa, ia tiba-tiba diam seribu bahasa. Cahaya senternya pun tiba-tiba hanya difokuskan ke jalur di depannya saja.

Pada awalnya teman-teman lain agak Sherina (baca: geregetan). Tapi demi mendapati sang teman ini akhirnya mengerti, hati teman-teman lain senangnya bukan main—walau memang tidak diungkapkan.

Singkat cerita. Setelah masa pendakian selesai, dan kami telah turun kembali ke peradaban, akhirnya ia pun membeberkan alasan mengapa tiba-tiba diam.

Akunya, saat itu, ia baru saja melihat sebuah sosok yang sangat menakutkan. Matanya merah menyala. Giginya taring semua, panjang pula. Bulu-bulunya lebat, tak cuma di dada, tapi seluruh tubuh. Plus, kuku-kuku (cakar) kaki dan tangannya pun panjang-panjang. Secara detil, ia sebutkan semua ciri-ciri setan bersangkutan.

“Kenapa kemaren lu gak cerita sama kita-kita?” tanya saya.

“Kalo gw langsung cerita sama lu-lu pada. Terus lu pada lari. Lah, gw mau lari ke mana? Tau jalan juga kagak!?” jawabnya dengan nada sewot.

Hmm, iya juga sih.

Tapi ada satu yang bikin saya heran. Dengan tiba-tiba diam, berarti, kan, dia merasa takut. Nah! Kalau dia takut, kenapa masih bisa menceritakan ciri-ciri setan bersangkutan secara mendetil? Bukankah itu sama artinya dengan, dia tetap menyenteri seluruh tubuh setan itu satu per satu?

Sungguh teman yang absurd. Padahal ketakutan, tapi masih penasaran.

  • Jadwal buka dan tutup gunung. Berdasarkan pengalaman, jadwal buka dan tutup gunung ini paling sering disebabkan karena 3 hal, yaitu; pertama. Cuaca buruk. Kedua. Gunung bersangkutan menunjukkan gejala aktifitas kegunung-apian yang dianggap dapat membahayakan pengunjung. Dan yang ketiga. Gunung bersangkutan tengah dijadwalkan untuk proses rehabilitasi dan recovery.

Gunung Gede Pangrango misalnya. Setiap tahun, pengelola gunung ini biasanya akan memberlakukan penutupan area Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dari aktifitas pendakian. Bisa 3 bulan (1 Januari sampai 31 Maret), bisa juga 1 bulan (Agustus). Tergantung dari kebijakan pengelolanya. Sementara Gunung Papandayan, paling sering ditutup karena adanya aktifitas kegunung-apian.

Selain ketiga alasan di atas, ada penyebab lain penutupan gunung untuk aktifitas pendakian, di antaranya yaitu; sedang terjadi proses pencarian pendaki yang hilang, evakuasi korban kecelakaan (contoh; kecelakaan Sukhoi Super Jet di Gunung Salak pada Mei 9, 2012), bencana alam (contoh; erupsi Gunung Merapi, Jogja, tahun 2010), latihan militer, dan lain sebagainya.

Karenanya, saat merencanakan kegiatan naik gunung, pastikan kalian juga mengetahui jadwal buka dan tutup jalur pendakian tersebut. Apa gak keki, kalau sudah jauh-jauh datang ke lokasi, eh, begitu sampai di sana, ternyata, disuruh pulang lagi?

 

 

Organisasi Logistik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), logistik berarti; pengadaan, perawatan, distribusi, penyediaan (untuk mengganti) perlengkapan, perbekalan, dan ketenagaan. Sementara dalam dunia militer, kata logistik berarti; segala persiapan dan tindakan yang diperlukan untuk memperlengkapi pasukan dengan alat dan perbekalan agar dapat bertempur di kondisi yang paling baik dan menguntungkan.

Manajemen Logistik (Perbekalan)

Manajemen Logistik (Perbekalan)

Namun, dalam dunia petualangan seperti mendaki gunung, makna kata logistik menjadi sedikit berbeda. Ia seringkali diterjemahkan dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu hanya berfokus pada perbekalan/makanan saja.

Dinilai dari segi kepraktisannya, makanan yang dibawa sebagai perbekalan naik gunung, terbagi dua, yaitu; jenis makanan harus dimasak, dan jenis makanan jadi.

Demi optimalisasi sumber daya, membawa perbekalan makanan jadi seperti orek tempe/teri, kerupuk, rendang kering, atau makanan sejenisnya, lebih saya sukai dan sangat dianjurkan untuk kalian.

Optimalisasi sumber daya? Maksudnya bagaimana?

Begini. Setiap makanan yang harus dimasak sebelum disajikan, biasanya akan membutuhkan minimal 4 sumber daya untuk memasaknya, seperti; air/minyak goreng, bahan bakar, waktu, dan tenaga.

Sekarang, bayangkan kondisi ini;

Kalian baru tiba di basecamp/pos/shelter pada tengah malam, dan harus mendirikan tenda setelah 8 jam perjalanan yang melulu diguyur hujan. Padahal tubuh teramat lelah dan mengantuk, tapi karena perut terasa lapar, kalian tentu butuh makan, bukan? Masalahnya, semua makanan yang dibawa, harus dimasak terlebih dahulu.

Dengan kondisi seperti itu, apa kalian akan merasa bersemangat untuk masak? Tentu tidak.

Apakah kalian masih bisa dan bersedia untuk memasak? Ya. Masih bisa dan bersedia. Walau dengan kondisi terpaksa.

Lalu, apakah ini praktis? Menurut saya, tidak.

Kalau begitu, gak usah masak, gak usah makan. Langsung tidur aja. Jauh lebih praktis, kan?

Betul sekali. Itu jauh lebih praktis. Tapi perlu dicatat…

Tidur di gunung bersuhu udara dingin dengan perut kosong akan membuat kita tambah kedinginan. Ingat! Stok kalori kalian telah habis terbakar pada saat mendaki. Tanpa adanya kalori cadangan yang bisa dibakar, sama artinya dengan tubuh kita tidak menghasilkan panas yang dibutuhkan untuk menghangatkan badan.

***

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan kedua jenis makanan tersebut—jenis makanan yang harus dimasak, dan jenis makanan jadi—ada beberapa parameter yang perlu dipertimbangkan saat kalian merencanakan kebutuhan logistik/perbekalan makanan menjelang masa pendakian, seperti;

  • Lebihkan jumlah logistik. Biasakanlah membawa perbekalan makanan 1-2 hari lebih banyak dari total kebutuhan pendakian. Jadi, bila durasi pendakian kalian adalah 5 hari, maka bawalah perbekalan logistik untuk 6-7 hari. Just in case sesuatu yang buruk terjadi.

Fungsi lain dari logistik lebih ini adalah, bila ternyata gunung yang didaki sangat menarik hati, kalian tidak perlu merencanakan ulang kapan harus kembali bertandang. Tinggal melanjutkan 1-2 hari lagi sampai hati puas.

Terkait perbekalan makanan. Prinsip saya adalah, lebih baik berlebihan ketimbang kekurangan. Sebab kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi nanti.

Perlu dicatat. Melebihkan membawa bekal makanan 1-2 hari lebih banyak, seringkali dianggap sebagai sebuah kebijakan yang tidak populer bagi mayoritas anggota tim. Berkali-kali saya mengalaminya. Bila hal ini terjadi pada kalian, fokuskan melebihkan stok perbekalan untuk diri sendiri. Hope for the best, plan for the worst.

  • Selera peserta. Setiap orang punya selera makan yang berbeda-beda, dengan rentang varian sangat beragam pula. Berikanlah kepada masing-masing calon peserta pendakian, kesempatan mengemukakan pendapat. Kemudian diskusikan alternatif terbaik dari beberapa input yang masuk tersebut.

Usahakan suara mayoritas dan minoritas terfasilitasi dengan baik. Jangan mentang-mentang menang suara, lantas selera minoritas dikorbankan.

Selama selera minoritas masih bisa masuk di lidah mayoritas, tak ada salahnya menerapkan sedikit prinsip “mix and match.” Tempatkan diri kalian di posisi minoritas. Berempatilah.

  • Makanan sehat. Kecukupan nutrisi sangat penting untuk aktifitas berat seperti mendaki. Sayangnya, masih banyak pendaki yang mengabaikan hal ini, dengan hanya mengandalkan mie instan sebagai menu utama mereka. Termasuk saya di dalamnya, kadang. :p

Dari segi harga, jelas mie instan lebih ekonomis. Dari cara memasak pun, ia jauh lebih praktis. Tapi dari segi kebutuhan gizi, ia jelas miris.

Jika memungkinkan, fungsikan mie instan sebagai pelengkap varian perbekalan makanan saja. Atau, sebanyak-banyaknya menempati porsi sebesar 25% dari total logistik yang dibawa.

Utamakan makanan yang kaya protein, tinggi serat, minim lemak tak sehat, serta tinggi kandungan kalori dan nutrisi, seperti; sayur-sayuran hijau, kacang-kacangan, buah-buahan, telur, dan lain sebagainya.

  • Pantangan yang berlaku. Kata ini cukup populer di kalangan manusia-manusia Indonesia, bahkan masih berlaku hingga hari ini. Walau pamornya tak sehebat dahulu, ‘peraturan’ tak tertulis yang biasanya diwariskan secara turun-temurun secara verbal (dari mulut ke mulut) ini, di beberapa tempat, masih diyakini kebenarannya.

Pada kenyataannya, sebagian kita menilai pantangan hanya sebatas produk tahayul/ mitos/klenik/mistis. Sementara bagi sebagian yang lain, boleh jadi maknanya benar-benar sakral.

Sekarang mari kita ambil contoh; Gunung Agung.

Di gunung api tertinggi di Bali ini, terdapat pantangan atau larangan membawa dan memakan daging sapi dalam bentuk apa pun. Sayangnya, alasan dan akibatnya apa, seringkali kita sebagai orang awam tidak diberitai—agak kurang enak bahasanya, ya.

Seringnya, jika sesuatu telah ditetapkan sebagai pantangan, siapa pun wajib mentaati tanpa terkecuali. Tidak boleh tanya-tanya lagi. Titik.

“Praktek-praktek” seperti inilah yang pada akhirnya mengobarkan sikap pembangkangan dari mereka-mereka yang awam. Karena tidak mudah percaya, mereka akan cenderung mencari sendiri jawabannya. Dan, sebelum jawaban itu ditemukan, segala pantangan, apa pun itu, hanya akan ditempatkan pada posisi mitos/tahayul. Tak lebih dari itu.

Padahal, kalau kita mau sedikit berusaha mencari tahu saja, sebenarnya jawabannya sangat sederhana:

Bagi masyarakat Hindu Bali, sapi adalah binatang suci kesayangan Ida Bhatara Siwa (Tuhan Yang Maha Esa) yang tidak boleh disakiti, dibunuh, atau dimakan dagingnya. Aturan-aturan mengenai tidak menyakiti, membunuh, dan memakan daging sapi ini ada dalam Parasara Dharmasastra (Smrti Kaliyuga) Bab IX.

Sementara Gunung Agung sendiri, dipercaya masyarakat Bali sebagai poros tengah alam semesta, replika Gunung Semeru di Pulau Jawa, yang menjadi tempat bersemayamnya para dewa. CMIIW.

Nah! Setelah mengetahui fakta ini, apakah kita, selaku pendaki awam, masih menganggap pantangan membawa dan memakan daging sapi di Gunung Agung hanya sebatas produk tahayul/mitos semata?

Analogi sederhananya begini:

Kalian menetapkan larangan (pantangan) yang mengatakan bahwa siapa pun, tak tekecuali setiap anggota keluarga, dilarang merokok di dalam rumah, di ruangan mana pun.

Kemudian datanglah seorang tamu yang tetap nekat merokok di dalam rumah, padahal sebelumnya ia sudah diberitahu perihal larangan ini. Sebagai tuan rumah, kira-kira bagaimana reaksi kalian? Senang, atau marah?

Yah. Biar bagaimana pun. Terlepas dari tahayul atau tidak. Yang namanya pantangan, umumnya sengaja di-‘ada’-kan untuk menjaga keseimbangan dan menghindari sesuatu yang dipercaya dapat menimbulkan bencana bila seseorang melakukannya.

Karenanya, pada setiap gunung yang hendak kalian daki, bila memungkinkan, tanyakanlah kepada mereka-mereka yang mengerti, perihal pantangan apa saja yang berlaku di sana.

Perkara percaya atau tidak, tentu dikembalikan lagi kepada pribadi masing-masing. Intinya, pahamilah makna pepatah, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”

  • Pilih yang berbobot ringan. Hari gini sudah gak jaman yang namanya ‘kontes’ berat-beratan beban. Tren yang berkembang sekarang, semua serba mengarah ke ultralight, ultra ringan. Pun demikian dengan perbekalan makanan.

Membawa makanan yang memiliki bobot berat semacam kornet kemasan kaleng, sarden kemasan kaleng, nata de coco kemasan jumbo, pisang setandan, nangka utuhan, atau singkong 5 pohon, lebih baik dihindari. Sebab, logistik jenis ini lebih banyak mendatangkan mudharat ketimbang manfaat.

Beban yang berat dapat memperlambat proses pendakian. Apalagi kalau jalur pendakiannya relatif panjang dengan kontur terjal. Resiko yang paling gampang ditebak, paling-paling, ya, kecengklak (terkilir atau salah urat).

Bila memang berniat membawa perbekalan jenis tersebut, bawalah yang berukuran kecil. Atau, bila kemasan berukuran kecil tidak tersedia, kemasan besar pun tak mengapa, asalkan isinya dipisahkan ke dalam beberapa ukuran yang lebih kecil, kemudian dibagi-bagikan ke beberapa anggota tim. Sehingga beban bawaan masing-masing kalian jadi lebih ringan.

  • Mudah dibuat/dimasak. Pengertian mudah dimasak di sini adalah, setiap menu makanan yang tidak memerlukan bahan-bahan dan sumber daya besar—seperti; tenaga, waktu, air atau minyak goreng, dan bahan bakar—untuk mengolahnya menjadi makanan siap saji.

Menu hemat sumber daya semisal tumis kangkung, orek tempe-teri, goreng tempe-tahu, telur mata sapi/ceplok, telur dadar, roti bakar, pisang bakar, tenda bakar, dan yang sejenisnya, bisa kalian pertimbangkan.

Hindari membuat menu-menu makanan berat seperti opor ayam, gulai rendang, ketupat sayur, empal gentong cirebon, kambing guling, dan lain-lain. Mengapa mengolah jenis makanan ini lebih baik dihindari? Lah! kalian, kan, mau kemping, bukan mau usaha katering.

  • Persiapkan perbekalan dari rumah atau beli di lokasi? Kedua pilihan ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dengan mempersiapkan perbekalan dari rumah, membuat peluang mendapatkan bahan-bahan makanan yang kita cari jadi semakin tinggi—yang karenanya, dapat mengurangi kerepotan di lokasi pendakian.

Sayangnya, ‘keamanan’ ini berbanding terbalik dengan kenyamanan. Karena itu sama artinya dengan, kita harus menggembol (bahasa mana, nih?) atau menggendong perbekalan sejak dari rumah. Semakin jauh lokasi pendakian yang dituju dan semakin panjang durasi pendakiannya, maka semakin besar pula kebutuhan tenaga untuk membawanya.

Sebaliknya, membeli perbekalan di sekitar lokasi pendakian tentu jauh lebih praktis, bukan? Karena kita tidak perlu membawanya berat-berat dari rumah.

Owh, pastinya!

Asal… warung/toko/pasar yang menjual kebutuhan kita, tersedia di sana.

Kalo ternyata, gak tersedia di sana, gimana?

Ya sudah. Nangis bagong saja.

Kalian pernah membaca artikel sebelumnya, tentang ‘survival’ di Gunung Semeru? Itu salah satu contoh nyata terkait resiko yang harus saya dan teman-teman tanggung, akibat memutuskan membeli perbekalan di sekitar lokasi pendakian. Karena sedih ceritanya, lebih baik jangan dibaca.

Sekarang, keputusannya ada di tangan kalian. Pertimbangkanlah secara matang perihal pilihan mana yang lebih baik.

Perlu dicatat. Walau tersedia banyak toko/warung di sekitar lokasi pendakian, bukan berarti barang yang kalian cari lantas mudah didapat. Ada kalanya ia cuma fatamorgana untuk mengecoh pikiran kita, alias jebakan betmen.

  • Antara siap santap dan butuh dimasak. Poin ini mungkin akan terasa overlap dengan poin sebelumnya. Tapi maksud saya pada poin sebelumnya adalah lebih terfokus pada bahan-bahan mentah. Sementara fokus pada poin ini lebih kepada menu jadi.

Kalian bisa mengkombinasikan keduanya dengan rasio mulai 45:55 sampai 55:45, antara makanan siap santap dan yang butuh dimasak.

Setiap mendaki, seringkali saya menyediakan lauk siap santap yang bisa tahan sampai berhari-hari. Seringnya sih, kerupuk, kering tempe, atau orek tempe/teri. Kalau rendang kering cuma sekali. Mahal soalnya. 250,000 Rp sekilo. Jadi, kalau mau dirasa-rasa, sakitnya tuh di sini (elus-elus dada), sama di sini (ganti elus-elus dompet).

Dan, dengan menerapkan prinsip tersebut, saya (atau kalian) bisa menghemat tenaga dan waktu memasak saat cuaca di gunung sedang tidak bersahabat—suhunya terlalu dingin, sedang turun hujan, atau badai.

Tentu tidak semua makanan bisa dibuat siap santap, dengan expired date sampai berhari-hari. Karenanya, kita tetap membutuhkan makan-makanan yang butuh untuk dimasak, demi menjaga cita rasa dan kesegarannya.

Mie instan, misalnya. Tidak mungkin, kan, kita menyiapkan rebusan mie instan yang telah dimasak 1-2 hari yang lalu, untuk dimakan hari ini. Bentuknya sudah bukan mie lagi pasti. Tapi lebih mirip tali jemuran ABRI. Yakin, masih mau dimakan?

 

 

Daftar Perlengkapan dan Peralatan Mendaki Gunung

Sebagai pendaki pemula, wajar bila daftar perlengkapan pendakian kalian belum terlalu panjang. Namun, jangan jadikan ini sebagai alasan untuk tidak membawa perlengkapan mendaki yang memadai, karena itu sama saja cari ‘mati.’

Perlengkapan Pendakian

Perlengkapan Pendakian

Mari saya beri 1 contoh nyata dari pengalaman pribadi:

Belasan tahun lalu, saat pertama kali saya mengenal dunia petualangan, gunung yang pertama kali saya daki adalah Gunung Papandayan. Di zaman itu. Saya ulangi. Di zaman itu—supaya terkesan lebih senior, padahal kita sama juniornya—istilah backpacker belum sampai di telinga manusia desa macam saya. Istilah standar yang sering digunakan saat itu adalah ‘nanjak.’

Saat itu, walau masih berstatus sebagai pendaki pemula, saya sudah pandai mengira-ngira perihal barang-barang apa saja yang harus kami bawa. Sekiranya punya, bawa. Sekiranya perlu, bawa. Sekiranya tidak punya, serahkan kepada teman saja. Sekiranya teman pun tidak punya, ya sudah tidak apa-apa, jangan dipaksa. Dan seterusnya.

Dan, sebagai hasil akhirnya, daftar perlengkapan pendakian kira-kira tadi akan tampak seperti ini;

  • Tas punggung ukuran minimum
  • Sweater murmer kelas pasar uler
  • 1 gitar tua non Rhoma Irama
  • 1 tenda pramuka ukuran 5 anak TK yang diisi 8 orang dewasa remaja, dengan atap bolong-bolong seperti baru ditimpa kerikil meteor, plus sekeliling dinding yang menerawang dan rajin melambai bagai celana hawai
  • 1 tenda doom ukuran 3 orang yang diisi 5 orang
  • Celana pendek
  • Kaos alay 1-2 helai
  • Sandal jepit
  • Sekardus mie instan rebus
  • 1 slop rokok jarcok
  • Teh dan kopi
  • Beras seperlunya
  • Dan segelintir daftar lain yang terlalu memprihatinkan untuk disebutkan

Hebatnya, daftar perlengkapan seperti ini sudah kami anggap keren, waktu itu. Maklum, masih sangat newbie. Alay, lagi.

Kami kemping selama 3 hari 3 malam di Gunung Papandayan.

Hari pertama cuacanya cerah. Dengan hawa pegunungan yang sangat sejuk, semua orang begitu bahagia. Seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan permintaannya. Bahkan rasa-rasanya, hal apa pun rela kami lakukan agar kebahagiaan itu tidak terbuang sia-sia.

Sialnya, masa-masa bahagia tidak berlangsung lama. Karena pada hari kedua dan ketiga, langit seakan tak terima menyaksikan kami, para pendaki newbie, bersuka cita.

Sepanjang hari kabut menyelimuti. Hujan pun semangat betul membasahi bumi, tenda, sekaligus pakaian kami. Saat itu, wajah matahari hanya bisa dipandang-pandang selama satu jam. Sepanjang pukul sembilan.

Bagi teman-teman yang menempati tenda doom, walau sama merananya, tetap saja mereka lebih bahagia daripada kami-kami yang menghuni kavling tenda pramuka. Bagaimana tidak? Tenda ini ramah betul mau menampung siapa saja di dalamnya. Ya, kami. Ya, air hujan.

Skor terakhirnya, tentu bisa ditebak. Semua pakaian, mulai dari pakaian ganti (yang masih tertata rapi di backpack) sampai yang sedang kami kenakan, basah semua tak bersisa. Sepanjang ingatan saya, pada saat itu dinginnya naudzubillah. Apalagi bila mengingat pada saat yang sama global warming belum lewat Indonesia.

Tenda pramuka yang seharusnya nyaman dan lega bila diisi 5 anak TK, jelas menjadi sempit setelah dipaksa menampung 8 orang remaja idola kawula muda. Ini ibarat celana hawai ukuran balita yang dipakai bapak-bapak anak 5. Ketat, sih. Tapi tetap tidak membuat si pemakai jadi terlihat sexy.

Bagaimana mau sexy? Lah, tidur saja terpaksa jongkok. Sedikit pun tak tersisa ruang untuk selonjor. Kaki itu rasanya gak karu-karuan. Mulai dari kesemutan, pegal-pegal, kram, sampai ba’al bin kebal alias mati rasa.

Dan, begitu pagi menjelang, alhamdulillah, kaki kami mengunci. Jadi, kalau kami paksakan langsung berdiri, dijamin saat itu juga langsung ng-gelempang (jatuh, Jawa)—entah ke depan, ke kiri, ke kanan, atau ke belakang. Tinggal pilih mana suka.

Meringkuk jongkok selama berjam-jam…

Curah hujan berkelimpahan…

Tenda sempit, lagi bocor…

Ditambah lagi dengan gaya tidur ayam (antara sadar dan tidak sadar)…

Sungguh racikan sempurna siksa dunia.

Mungkin bisa dibilang, kalau orang-orang itu mendaki untuk menikmati alam, maka kami mendaki untuk mensimulasi pedihnya jadi tahanan perang.

Yah, begitulah kami. Status boleh pendaki newbie. Tapi soal cara, kami jelas anti-mainstream. Mengerjakan persoalan sederhana dengan cara-cara yang luar biasa—bodohnya.

Untungnya kami semua bermental baja. Sebab kalau tidak kuat-kuat, besar kemungkinan, berangkat sehat, pulang sarap.

***

Sampai di sini, kita baru membahas satu perlengkapan mendaki yang tidak memadai, yaitu tenda pramuka neraka. Sekarang mari kita bicara soal makanan yang juga alakadarnya; mie instan.

Bagi para pendaki pemula, yang namanya mie instan itu bagai nasi bagi orang Indonesia. Bagaimana pun caranya, ia wajib ada. Sebab kalau tidak, mungkin haram hukumnya.

Tak bisa disalahkan juga, karena ia memang termasuk salah satu alternatif paling praktis yang tidak akan membuat kantong kita bolong.

Pada kasus saya, dengan mengkonsumsi mie instan, ternyata semakin memperparah keadaan. Bila mendaki gunung tanpa proses aklimatisasi terlebih dahulu saja bisa membuat tubuh kita mudah sakit (layaknya efek yang ditimbulkan masa pancaroba), maka dengan mengkonsumsi makanan dan minuman yang memiliki efek mempercepat dehidrasi seperti kopi, teh, rokok, dan mie instan setiap hari selama masa pendakian, akumulasi hasil akhirnya ternyata cukup luar biasa. Setibanya di rumah, sariawan langsung menyerang area mulut dan kerongkongan.

Dalam pikiran saya, yang namanya sariawan, tinggal dibasmi menggunakan obat-obatan warung atau apotik saja, biasanya seminggu juga sembuh. Anehnya, treatment ala kampung yang biasanya berhasil, tak kunjung menunjukkan hasil. Derita yang saya rasa semakin menjadi-jadi saja. Bahkan, seminggu kemudian, perihnya sampai di perut.

Karena saya termasuk orang yang anti mantri, dokter, rumah sakit, klinik, puskemas, dan yang sejenisnya, maka, pengobatan ala kampung tetap dijalankan.

Perih di perut, yang kadang datang, kadang hilang, semakin menunjukkan eksistensinya di bulan kedua setelah masa pendakian berakhir. Menyertai sariawan mulut dan kerongkongan. Kondisi ini akhirnya memaksa saya melakukan diet makanan—hanya makan bubur dan air putih saja—setiap hari selama sebulan. Karena, mulut, kerongkongan, dan perut, sakitnya bukan main saat kemasukan makanan.

Hingga memasuki awal bulan ketiga, rupanya sakit yang saya derita tak kunjung membaik juga. Karena kata guru agama, “Tak baik menahan-nahan rejeki orang,” akhirnya saya ikhlaskan juga uang di tangan untuk diberikan kepada dokter kesayangan.

Dari hasil analisanya, diketahui bahwa saya menderita sariawan/radang usus. Katanya, penyakit ini timbul akibat alergi cuaca. Tentu setelah sebelumnya ia memarahi saya karena tidak pergi ke dokter secepatnya.

Yah, bukan apa-apa, Dok. Sayang duitnya. Kemarin-kemarin saya belum ikhlas.

Setelah periksa dan minum obat-obatan dari dokter, lambat laun kesehatan saya pun membaik. Dalam perhitungan kasar saya, radang/sariawan usus ini baru sembuh 1-1.5 bulan kemudian. Artinya, gara-gara tenda pramuka neraka dan mie instan jahanam itu, saya harus menanggung rasa sakit selama 3-3.5 bulan. Damn!

Eh. Astagfirulloh. Maap, kelepasan.

***

Jadi, spirit dari cerita ini adalah, jangan sekali pun menyepelekan kelengkapan peralatan pendakian kalau tidak siap dengan segala konsekuensinya. Kalkulasi segalanya dengan matang, pasti, dan rapi. Lebih baik lebih daripada kurang. ‘Lebih’ dalam artian proporsional, alias tidak berlebihan.

Pastikan perlengkapan yang kalian bawa, dalam keadaan prima. Kompor tidak macet, gas tidak bocor, tenda tidak bolong-bolong, kondisi flysheet baik, pakaian layak, keril/backpack + rain cover sehat, korek api dan senter/headlamp selalu terjaga dalam kondisi kering, rain coat/ponco/jas hujan tidak sobek, no jeans!, dan seterusnya.

Akan lebih baik lagi bila setiap perlengkapan pendakian yang hendak kalian bawa, dites terlebih dahulu. Untuk memastikan apakah mereka masih berfungsi dengan semestinya atau tidak.

 

 

Kenali penyakit dan cedera yang mungkin terjadi selama masa pendakian

Kenali Penyakit dan Cedera yang Mungkin Terjadi Selama Masa Pendakian Berlangsung

Kenali Penyakit dan Cedera yang Mungkin Terjadi Selama Masa Pendakian Berlangsung

Di gunung, setiap orang berpeluang menderita sakit atau cedera—yang kadang datang begitu saja tanpa disangka-sangka sebelumnya. Mulai dari yang ringan, sedang, sampai yang berat. Untuk mengetahui seperti apa sajakah penyakit dan cedera yang bakal kita hadapi selama masa pendakian berlangsung? Silahkan simak daftar berikut:

  • Lelah. Dalam kegiatan petualangan yang namanya kelelahan itu sangatlah wajar. Siapa pun pasti akan merasakannya, entah cepat atau lambat. Selain karena medan yang berat, lelah juga bisa terjadi lantaran jarak tempuh yang teramat jauh, kurang makan, kurang tidur, kurang berolahraga, atau kurang darah.

Bila ini terjadi saat trekking, istirahat barang sejenak tentu bisa jadi obat mujarab. Dan, untuk mengembalikan tenaga yang hilang, cobalah mengkonsumsi makan-makanan yang manis semisal coklat, madu, permen, atau buah pisang.

Sementara bagi kalian yang menderita anemia, jangan lupa membawa dan mengkonsumsi vitamin atau suplemen makanan penambah darah yang banyak tersedia di toko-toko obat (apotik).

  • Kram. Ini adalah kondisi kelumpuhan otot sementara. Penyebab paling umum yang dapat memicu terjadinya kram selama proses pendakian berlangsung, biasanya cuma 2, yaitu; berkurangnya cairan di dalam tubuh kita (dehidrasi), dan terjadinya akumulasi kontraksi pada otot yang dipaksakan bekerja.

Untuk menghindarinya, minum dan istirahatlah secukupnya setiap interval jarak tertentu. Sambil beristirahat, lakukan peregangan (stretching) agar otot kembali bugar. Kurangi kecepatan langkah kalian bila dirasa perlu. Lebih lama sampai di shelter/pos/camp site, tak mengapa, yang penting semuanya lancar jaya.

  • Salah urat (Whiplash). Di dunia kedokteran istilah salah urat merujuk pada cedera leher akibat adanya gerakan mendadak yang memaksa otot/urat leher meregang di luar batas normal.

Sesuai dengan namanya dalam bahasa Inggris, whip berarti cambuk, dan lash berarti lecutan atau kibasan. Jadi, secara harfiah, whiplash berarti cedera akibat gerakan—serupa lecutan cambuk—mendadak yang dialami bagian kepala dan leher.

Saat pendakian, walau kepala dan leher kita tidak harus bergerak mendadak seperti lecutan cambuk untuk mengalami cedera tersebut, efek yang ditimbulkan dari membawa beban berlebih di punggung, dalam jangka panjang akan sama saja, yaitu tertariknya urat-urat leher kita. Gejala yang paling gampang dikenali, biasanya kepala pusing atau leher terasa sakit saat digerakkan selain ke arah depan.

Bila ini terjadi, segeralah beristirahat. Letakkan beban bawaan seperti keril, tenda, dan lainnya, agar darah di sekitar pundak dan leher kembali mengalir normal.

  • Keseleo atau Terkilir (Sprain). Karena yang terdampak adalah otot-otot juga, saya yakin, masih banyak dari kita yang menganggap sama antara maksud “salah urat” dengan ‘terkilir.’ Padahal tidak demikian adanya.

Jika salah urat merujuk pada peregangan otot-otot leher di luar batas normal, maka keseleo atau terkilir lebih merujuk pada peregangan otot-otot pada persendian, seperti ligamen (pita mengkilap dan fleksibel dari jaringan ikat yang menghubungkan tulang dengan tulang) dan tendon (jaringan yang menghubungkan otot ke tulang).

Atau dalam bahasa yang lebih mudah dicerna, terkilir adalah terjadinya cedera pada otot-otot persendian.

Pada kasus kita, persendian yang dimaksud tentu saja persendian kaki. Gejala yang terasa seperti misalnya; rasa sakit, pembengkakan, memar, atau kesulitan menggerakkan bagian tubuh yang terdampak.

Untuk mengatasinya, kalian harus segera melepas keril, mengistirahatkan kaki dan mengangkatnya lebih tinggi dari bagian tubuh untuk mengurangi pembengkakan. Bila tersedia, gunakan Pain/Strain Relief Spray seperti yang biasa digunakan oleh paramedis dalam setiap pertandingan olahraga.

  • Acute Mountain Sickness (AMS) atau sering disebut juga dengan Altitude Sickness, umumnya disebabkan oleh kurangnya proses adaptasi (aklimatisasi) seseorang terhadap rendahnya kadar oksigen di ketinggian.

Akibat tidak memadainya proses adaptasi ini, pusing adalah gejala paling umum yang bisa kita kenali. Meski pusing juga bisa diakibatkan karena salah urat, kurang tidur, atau dehidrasi.

Ia biasanya akan muncul pada ketinggian 2,400 meter di atas permukaan laut (mdpl). Semakin tinggi gunung yang didaki, semakin tinggi pula peluang seseorang mengalaminya.

Seseorang baru bisa dikatakan menderita penyakit ketinggian (AMS) jika pusing yang dialaminya menyertai 1 atau lebih gejala, seperti; mual, muntah, kurang nafsu makan, lemah, mimisan, sesak napas, insomnia, hyperventilation (bernapas secara pendek, berlebihan, dan dalam), atau limbung/sempoyongan.

Banyak cara untuk mengatasi gejala AMS ini, di antaranya yaitu; mendaki secara perlahan, hindari konsumsi alkohol, minum yang banyak, hentikan pendakian bila penyakitnya bertambah parah, dan segera turun setidaknya 500-1,500 meter lebih rendah dari posisi ia berada.

 

 

Manajemen dokumen perjalanan

Jujur saja, saya kurang suka dengan poin ini. Dan rasa-rasanya, kalian pun demikian. Dari dulu, yang namanya dokumentasi, entah mengapa, selalu saya anggap sebagai kegiatan yang menyebalkan bin merepotkan. Ia tidak praktis. Terlalu berbelit-belit.

Manajemen dokumen perjalanan

Manajemen dokumen perjalanan

Namun demikian, terlepas dari ketidaknyamanan yang ditimbulkan dari tugas pengumpulan, pemilihan, pengolahan, dan penyimpanan informasi ini, sebenarnya ia memiliki manfaat yang banyak, seperti misalnya;

  • Acuan monitoring selama kegiatan berlangsung.
  • Mempermudah proses administrasi, analisa, atau review kegiatan di masa mendatang.
  • Mempermudah pihak-pihak berwenang, jika seandainya, amit-amit, terjadi sesuatu yang buruk pada kita selama masa pendakian.
  • Perpanjangan ingatan dan kenang-kenangan.
  • Warisan informasi bagi pendaki-pendaki lain setelah kita..
  • Aset personal mau pun komersial untuk mengisi konten blog pribadi, bahan menulis buku, referensi artikel di media-media komersial, bahan mengikuti ajang kompetisi, dan lain sebagainya.

Rentang dokumen perjalanan yang harus kita persiapkan tentu sangat beragam. Namun, khusus untuk kegiatan pendakian, biasanya ia termasuk:

  • Daftar nama anggota tim yang terlibat—ketua, anggota, nomor telepon, dan nomor telepon darurat kerabat masing-masing personil.
  • Kopi kartu identitas masing-masing anggota
  • Surat izin pendakian atau Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI)
  • Surat dokter atau surat keterangan sehat dari puskesmas/rumah sakit/klinik
  • Itinerary atau rencana perjalanan
  • Daftar perbekalan/logistik
  • Daftar perlengkapan yang dibawa
  • Daftar nomor-nomor telepon penting

Bila dianggap perlu, kalian bisa melengkapi dokumen perjalanan ini dengan susunan guide, porter, leader, sweeper, serta pembagian tim dalam beberapa kelompok kecil – jika group kalian relatif gemuk. Semakin lengkap, semakin baik.

 

 

Manajemen sampah yang baik

Pengalaman naik gunung telah berhitung tahun. Namun tak satu pun saya temukan gunung yang benar-benar bebas dari sampah. Di mana-mana pasti ada. Mulai dari jalur, sampai di sekitar area mendirikan tenda (camp site/pos/shelter). Entah besar, entah kecil, entah banyak, entah sedikit.

Kelola Sampah Dengan Baik

Kelola Sampah Dengan Baik

Walau tidak mesti, namun seringkali yang mengaku-aku anak Pecinta Alam lah yang justru merusak alam—entah mereka yang berada di bawah naungan bendera organisasi mau pun yang bergerak sendiri-sendiri.

Di gunung, selain tangkap tangan, untuk membuktikan siapa yang membuang sampah sembarangan, dan dari organisasi pecinta alam atau bukan, jelas tidak gampang. Tapi satu yang pasti, sampah yang berceceran di sana, merupakan hasil dari ulah para pendaki yang tidak peduli. “Kabar baiknya,” jumlah deposit sampah ini biasanya juga akan meningkat seiring ramainya musim pendakian, jambore, atau kegiatan-kegiatan pendakian massal.

Tidak tersedianya tempat sampah dan banyaknya ‘contoh’ salah terkait urusan sampah (di gunung), tetap tidak bisa dijadikan alibi pembenaran kita untuk bebas membuang sampah sembarangan. Ingat! Di gunung, status kita cuma tamu.

Selayaknya tamu, tidak sepantasnyalah kita merusak kediaman sang “tuan rumah.” Kalau posisinya dibalik, kita sebagai tuan rumah, apakah kita tidak akan marah kalau rumah kita sengaja dikotori sampah oleh para tamu yang datang?

Sebenarnya, membuang sampah di gunung itu diperbolehkan, asal… ia telah berbentuk poop yang kemudian diuruk. Masalahnya, siapa yang bisa mengunyah dan ‘mengolah’ sampah plastik dan kaleng untuk dibuang dalam bentuk poop? Saya pribadi jelas tak sanggup.

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya, sampah di gunung itu lebih banyak bersumber dari perbekalan/logistik para pendaki. Sisanya lebih kepada barang-barang yang telah rusak dan sengaja ditinggal/dibuang, atau barang-barang yang memang tak sengaja ketinggalan.

Nah, bagi kalian yang tidak ingin kerepotan dengan urusan sampah, beberapa tips di bawah ini bisa dipertimbangkan:

  • Pilih jenis perbekalan yang sedikit menyisakan/menghasilkan sampah/limbah.
  • Pilih jenis perbekalan yang tidak mudah basi, kering, dan ringan.
  • Hindari membawa makanan dalam kemasan kaleng atau plastik berdimensi besar dan berat.
  • Setiap makanan yang harus dimasak terlebih dahulu sebelum bisa dikonsumsi, umumnya bersifat basah dan mudah basi. Karenanya, masaklah seperlunya. Hindari masak berlebihan agar makanan tidak terbuang. Ingat! Kalau sampah kering saja kadang malas dibawa turun, apalagi sampah basah. Ya, kan?
  • Membawa plastik sampah (trash bag) wajib hukumnya! Ke gunung mana pun kita mendaki. Bila sampah sisa mendaki relatif banyak, distribusikan ke beberapa orang anggota tim, supaya beban kalian jadi lebih ringan.
  • Sebisa mungkin, hindari mendaki di musim hujan. Karena di musim ini, sampah kering pun berpotensi menjadi sampah basah. Sementara sampah basahnya sendiri bisa berubah jadi sop sampah atau bubur sampah. Kalau sudah begitu, yakin masih mau dibawa turun?
  • Pisahkan antara sampah organik dan non-organik demi mempermudah proses daur ulang.

Sekali lagi saya mengingatkan; jangan lupa bawa turun kembali semua sampah yang dihasilkan. Terapkanlah prinsip zero waste. Toh ini untuk kita-kita juga – dan bergenerasi keturunan setelah kita.

 

 

Prinsip ekoturisme dan pentingnya menjaga alam

Gunung yang hijau, bersih, dan asri tentu menjadi idaman setiap pendaki. Sebaliknya, gunung yang kotor dan rusak akan membuat jera setiap pengunjung yang datang. Bukan hanya itu, ia juga dapat membawa dampak negatif terhadap keberlangsungan kehidupan alam dan masyarakat sekitarnya. Gunung bersangkutan akan kehilangan daya saing dalam merebut wisatawan, baik wisatawan domestik mau pun asing.

Terapkan Prinsip Ekoturisme dan Jagalah Keseimbangan Alam

Terapkan Prinsip Ekoturisme dan Jagalah Keseimbangan Alam

Bagi yang ‘terlanjur’ datang dan menemukan gunung idaman mereka ternyata tak sesuai dengan harapan, tentu akan kecewa. Dan kekecewaan, seringkali berujung pada hilangnya keinginan untuk kunjungan berikutnya.

Oke. Mungkin orang yang sama tetap akan datang untuk kedua kalinya, ketiga kalinya, dan seterusnya. Namun, jika ia tiba-tiba memiliki kesempatan yang lebih baik, gunung yang berkali-kali (terpaksa) ia datangi tersebut pasti akan ditinggalkan. Cepat atau lambat.

Jika gunung bersangkutan termasuk dalam jajaran lokasi wisata komersil yang telah dikenal luas oleh para turis mancanegara, maka kehancuran industri pariwisata setempat tinggal menunggu waktu kehancurannya saja. Sebab, saat ini, penyebarluasan informasi kerusakan ini tidak terbatas pada metode getok tular atau berita dari mulut ke mulut saja, tapi bisa menggurita ke seluruh dunia via platform social media, di mana siapa pun bisa mengaksesnya.

Sementara bagi penduduk lokal, kerusakan ini bisa jadi bencana sosial dan ekonomi. Pendapatan yang tidak menentu dapat memicu aksi saling sikut demi mendapatkan uang dari pengunjung yang datang.

Ditilik dari segi kelestarian alam, dengan semakin berkurangnya jumlah pengunjung yang datang, perambahan hutan dan perburuan liar boleh jadi akan kembali marak. Intinya, jika alam (lingkungan, tumbuh-tumbuhan, dan binatang) merana, cepat atau lambat manusia pasti akan ikut merasakannya.

Hindarilah aksi-aksi vandalisme. Terapkan prinsip-prinsip ekoturisme (ecotourism). Prinsip yang mengedepankan perjalanan wisata yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. Syukur-syukur dapat sekaligus meningkatkan taraf hidup penduduk lokal.

Praktek wisata ekoturisme ini bisa dimulai dari edukasi terhadap diri sendiri, kemudian sebarkan ilmu tersebut kepada orang lain untuk menghasilkan manfaat yang lebih banyak bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.

***

Alhamdulillah. Akhirnya selesai juga artikel ini. Benar juga kata pepatah, “Manusia boleh merencanakan, tapi Tuhan lah yang menentukan.” Padahal tips mendaki gunung untuk pemula ini, awalnya saya rencanakan/perkirakan hanya akan jadi sebanyak 1-2 halaman saja. Ternyata kebablasan sampai belasan puluhan halaman. Hahaha. Maafkan saya teman-teman. Toh, ini juga, kan, demi kalian. [BEM]