Ini adalah sebagian kecil cerita perjalanan panjang kami bertiga (saya, Ika, dan Fery) menjelajahi bagian timur Pulau Jawa. Sebuah perjalanan yang pada awalnya akan kami bawa hingga ke tanah Sumbawa, namun terpaksa ditunda karena terkendala waktu dan biaya. Adalah Gunung Bromo, yang berdiam dalam rangkuman amphitheater Kaldera Tengger – yang menjadi destinasi kami berikutnya.
Tidak hanya cerita dari kami bertiga, artikel ini juga berbalut fakta yang seringkali terlewatkan begitu saja, bahkan boleh jadi, belum pernah kalian dengar sebelumnya. Lalu, pengalaman seperti apakah yang ditawarkannya untuk kalian?
Ikuti terus ceritanya.
***
Berhari masa ‘survival” di Gunung Semeru telah berhasil kami lalui. Di atas bak mobil Jeep putihnya, Pak Puji sibuk mengatur posisi keril kami. “Biar gak mengganggu,” katanya, seraya menata tumpukan di pangkal bak sana.
Semua orang telah siap pada posisi masing-masing. Ika memilih duduk di depan, sementara yang lain, pilih menumpang di bak belakang. Alasannya sederhana, supaya leluasa menikmati sejuknya udara, juga, demi kemudahan melayangkan pandangan sejauh-jauhnya saat di perjalanan nanti.
Pukul 16.25 sore. Saatnya kami meninggalkan Desa Ranu Pani. Salah satu dari sekian banyak desa bertemperatur rendah di kompleks Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Sebuah desa yang pernah disambangi turunnya salju pada tahun 1984 dahulu.
Jalan menurun menuju pertigaan Jemplang, sebagian konbloknya telah rusak. Dengan jarak yang terpaut sejauh 6 kilometer (Ranu Pani – Jemplang), waktu tempuh yang dibutuhkan relatif singkat, yaitu, hanya berkisar 15 menit saja.
Penanda paling mudah yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui letak pertigaan Jemplang adalah adanya sebuah bangunan pos berwarna hijau di bagian kanan jalan, dengan menara pandang setinggi 10-15 meter di sampingnya. Sementara, tikungan serupa putaran bersudut 45 derajat dibelakangnya, berperan sebagai entry point dari Lumajang (Ranu Pani) ke Cemoro Lawang/Ngadisari vice versa.
Lepas dari persimpangan, bagian jurang akan berada di sebelah kiri jalan, sementara tebing kalderanya (crater rim) akan berada di sebelah kanan. Bisa dibilang, pada bagian ini, kami sedang melipiri tebing kaldera Gunung Tengger Purba setinggi 100-120 meter, dengan variasi kemiringan antara 25-45 derajat hingga ke savana di dasar kaldera sana.
Bagi kami yang berdiri di bak belakang, dahan dan ranting yang melintang di sepanjang jalan harus rajin-rajin diperhatikan. Posisinya yang kadang terlalu rendah—bahkan sampai menyentuh atap kendaraan—tentu bisa membawa petaka bagi siapa saja yang tak waspada.
Lebar jalan yang hanya muat untuk satu mobil, jelas merepotkan, apalagi bila terjadi ritual papasan di tengah-tengah perjalanan. Untungnya hal ini baru kami alami pada area terbuka menjelang savana. Sehingga, dari setiap pihak yang terlibat, secara sukarela menyisihkan separuh jalan, memberi ruang bagi sang lawan.
Membelah “Lautan Pasir” Kaldera Tengger
Kami baru tiba di dasar Kaldera Tengger—pada peta bertitel “Tengger Gebergte” bertarikh 1914, keluaran Wagner & Debes Geogr.Ansalt, Leipzig, lokasi ini dahulunya bernama Roedjaq.
Dinding-dinding kaldera berukuran masif menjulang tinggi di ujung depan, kanan, dan belakang kami. Sementara pagar raksasa di bagian barat hingga utara tak nampak akibat terhalang Gunung Widodaren di sebelah kiri kami. Bila di Bantengan sebelumnya kami berperan sebagai penonton, maka di sini, giliran kamilah yang ditonton.
Bukit Teletubbies di sebelah kiri, begitu hijau menyegarkan mata. Sementara ilalang di kaki-kakinya tampak menguning beradaptasi dengan musim. Kini, ngarai yang terlihat dari Bantengan sebelumnya, telah berubah menjadi jalan raya pasir raksasa.
Bagi wisatawan dengan Bahasa Inggris sebagai mother tongue, mereka biasa menyebut lautan pasir ini dengan Sand Sea atau Sea of Sand. Sementara lidah-lidah kolonial menyebutnya dengan Zand Zee. Dan, untuk kita orang Indonesia, bisa menyebutnya dengan Lautan Pasir atau Segara Wedi saja.
Hembusan angin yang meniup butiran-butiran pasir kaldera, ketika suara-suara lain tak lagi ada, seringkali membuat tempat ini disebut dengan “Pasir Berbisik,” karena suara yang ditimbulkannya seolah sedang menyampaikan sebuah pesan, lewat bisikan-bisikan mistis dari dunia berbeda, bagi telinga siapa saja yang bersedia mendengarkannya.
Beberapa kendaraan terlihat lalu-lalang. Mayoritas mengambil arah yang berlawanan dengan kami. Kalaupun ada yang searah, Revolutions per minutes (RPM)-nya terlalu tinggi untuk bisa disaingi Jeep tua milik Pak Puji. Akibatnya, kami selalu menjadi pecundang yang terpaksa menghirup terbangan debu dari kendaraan sang pemenang. Di tempat ini, menggunakan masker dan kacamata adalah penting adanya.
Erupsi Gunung Bromo (2,392 m) pada tahun 2011 silam, selain menyebabkan kegelisahan pada wajah-wajah masyarakat Tengger, juga turut mengubah wajah lantai kaldera setelah amarahnya mereda.
Lantai Kaldera Tengger di bagian barat mengalami ‘keretakan’ sedalam 1-2 meter, dan berliku-liku sejauh 7 kilometer. Di musim hujan, retakan ini akan berubah menjadi sungai, akibat deposit air yang menggenang. Sementara pada musim kemarau, ia menjadi parit yang siap mengancam nyawa siapa saja yang mengabaikan keberadaannya, saat berkendara di sekitar mereka.
Jalur pasir ini cenderung bergelombang, sehingga membuat mobil yang kami tumpangi beberapa kali sedikit tergelincir. Bila memungkinkan, ambillah jeda yang agak lama di tengah bentangan kaldera, karena panorama alam yang disajikannya terlalu impresif untuk dilalukan begitu saja.
***
Beberapa orang tampak memacu motornya dengan wajah fokus ke depan. Tujuannya (lagi-lagi) berlawanan dengan kami—ke arah Jemplang/Ranu Pani. Sebagian motor yang mereka tumpangi, telah berubah tampilan layaknya motor trail sejati. Sementara sebagian besar lainnya, terlihat biasa-biasa saja. Kalaupun perlu dimodifikasi, umumnya antara shock absorber yang ditinggikan, atau ban yang telah berganti dengan motif kembang tahu.
Dari sekian banyak motor yang melintasi kami, mayoritas didominasi motor berjenis batangan. Pertimbangan mereka tentu saja karena tenaganya yang dianggap lebih mumpuni membelah lautan pasir ini.
Dari kain sarung yang dikenakan, menyiratkan bahwa mereka masih bagian dari masyarakat Tengger. Ya. Kain sarung adalah identitas kedua yang paling mudah dikenali dari mereka—setelah Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Tanpa diikat, sebagian mereka menyampirkan kain sarung begitu saja pada bahunya (sengkletan). Sementara yang lain memilih mengikat kedua ujung kain sarung setelah dikaitkan ke leher, kemudian membiarkan bagian lidahnya menjuntai di punggung belakang (kekaweng).
Berdasarkan catatan sejarah, masyarakat Tengger mengakhiri masa isolasinya di dataran tinggi ini pada akhir abad ke-18. Seiring dengan semakin pesatnya pertumbuhan perkebunan, dan dibangunnya Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang membentang sejauh 1,000 km dari Anyer ke Panarukan, oleh Gubernur Jendral Herman Willem Daendels pada tahun 1808, dinamika kehidupan mereka pun ikut berubah.
Salah satu perubahan besar yang terjadi adalah dengan terbentuknya “sabuk kopi” pada paruh kedua abad ke-19, dikarenakan semakin menjamurnya area perkebunan kopi yang berkembang pesat di sekitar Gunung Bromo pada saat itu.
Secara sosiologis, Tengger tidak bisa dikategorikan sebagai sebuah suku. Ia sepenuhnya berada dalam entitas yang berbeda. Menurut R. W. Hefner, dalam buku berjudul, “Ritual and Cultural Reproduction in Non Islamic Java,” sebutan Wong Tengger akan berbeda konteks dengan sebutan Wong Ngar (orang-orang dataran rendah). Ia lebih kepada sebuah identitas sosial ketimbang klasifikasi kesukuan.
***
Jalur perlintasan kami, yang sebelumnya dominan di sebelah kiri—bersisian dengan perbukitan—kini cenderung melebar ke arah kanan. Pada jarak kurang lebih 1.2 km di sebelah kiri, terlihat gundukan pasir berukuran masif yang kita semua mengenalnya dengan Gunung Bromo. Gunung yang menjadi titik sentral hikayat Roro Anteng dan Joko Seger.
Kini, mobil yang kami tumpangi telah merapat ke tebing kaldera pada arah jam 1 Gunung Bromo. Berikutnya, jalan aspal menanjak di depan sanalah yang akan membuka perkenalan kami dengan Desa Cemoro Lawang.
Hingga titik ini, kami telah berkendara sejauh 1.5 jam melintasi bentangan pasir Kaldera Tengger (Jemplang/Ranu Pani – Cemoro Lawang/Ngadisari). Walau jaraknya mencapai 10 km, jalur perlintasan kami tadi, seringkali ditempuh dengan berjalan kaki (trekking) selama 4.5-6 jam oleh beberapa pendaki.
Penginapan
Secara administratif, penginapan kami—koordinat: -7.922145,112.96577—berada di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. Dalam kesehariannya, penginapan ini adalah rumah warga yang masih ditinggali. Namun, karena dianggap berpotensi ekonomis tinggi, penduduk setempat biasanya akan menyewakan rumah mereka, kemudian untuk sementara waktu mengungsi ke rumah para kerabat, atau rumah sementara yang sengaja didirikan manakala ada tamu yang menyewa.
Suhu air tanah di sini, jelas tak terpengaruh waktu. Walau malam telah berganti siang, dinginnya masih saja menusuk tulang.
Untuk mensiasati kondisi ini, dalam setiap ritual mandi, saya selalu menggunakan strategi ‘nyicil,’ yaitu, mandi dengan cara membersihkan sedikit demi sedikit per ruas tubuh. Atau bila di-breakdown, akan terlihat seperti ini urutannya:
- Ujung-ujung jari kanan hingga siku lengan kanan
- Siku lengan kanan hingga pangkal lengan kanan
- Ujung-ujung jari kiri hingga siku lengan kiri
- Siku lengan kiri hingga pangkal lengan kiri
- Ujung-ujung jari kaki kanan hingga lutut kaki kanan
- Lutut kaki kanan hingga pangkal paha kanan
- Ujung-ujung jari kaki kiri hingga lutut kaki kiri
- Lutut kaki kiri hingga pangkal paha kiri
- Kepala hingga leher
- Badan
Badan sengaja dipilih terakhir, karena area inilah yang paling luas dan paling sensitif terhadap suhu air yang begitu dingin.
Penting gak sih?
Sepertinya penting, teman-teman. Mau tahu seberapa pentingnya kelakuan absurd saya di atas? Mari kita tengok pengetahuan di belakangnya—yang boleh jadi, belum pernah kalian ketahui.
Air adalah konduktor paling efektif yang dapat memindahkan/menghilangkan suhu panas tubuh 25 kali lebih cepat dari udara. “Kabar baiknya,” pada saat terjadi pemindahan panas tersebut, temperatur air hampir tidak terpengaruh sama sekali oleh suhu panas yang ditransmisikannya. Terbayang kan, betapa hebatnya konduktor alami ini?
Saat kita mandi, suhu panas pada setiap bagian tubuh yang mengalami kontak langsung dengan air, akan ikut terbawa/terbuang bersamanya. Proses inilah yang kemudian disebut dengan konduksi.
Semakin dingin airnya, mekanisme penghilangan panas tubuh ini akan semakin cepat. Belum lagi kalau dikombinasikan dengan proses bernapas yang juga ikut berpartisipasi mengeluarkan suhu panas tubuh ketika kita menghembuskan napas. Bila hal ini terjadi, gejala paling mudah yang bisa kita kenali adalah kedinginan, menggigil, mati rasa, dan kesulitan koordinasi gerak, terutama di bagian jari-jari tangan.
Metode pertahanan alami yang pertama-tama dilakukan tubuh ketika kita merasa kedinginan adalah mengurangi sirkulasi darah ke bagian lengan dan kaki. Tujuannya untuk menahan agar suhu panas yang tersisa di bagian-bagian vital tubuh, seperti jantung dan paru-paru, tidak banyak berkurang.
Begitu suhu panas pada organ-organ vital tadi turun ke batas toleransi minimum yang dapat diterima tubuh, kita akan mulai menggigil. Dengan menggigil, itu artinya mekanisme pertahanan alami kita sedang berusaha memproduksi panas agar temperatur pada tubuh kita kembali ke kondisi normalnya.
Jadi, tujuan membersihkan kedua lengan dan kaki terlebih dahulu kemudian menyiram kepala yang disusul dengan badan, adalah untuk memperlambat proses pendinginan tubuh, sehingga ritual mandi ini bisa dilakukan ‘sedikit’ lebih nyaman, dari awal hingga akhir, secara sempurna.
Sebab, bila pada awal-awal mandi, langsung menyiram seluruh badan, maka bisa dipastikan, bagian jari-jari tangan saya akan menjadi lebih dingin dari sebelumnya dan berakibat pada mati rasa, yang berujung pada kesulitan mengkoordinasi gerak telapak dan jari-jari tangan. Dengan sulitnya koordinasi gerak ini, hasil akhirnya tentu saja, rentang waktu mandi kita yang lebih lama, dan bisa jadi, tingkat kebersihan yang dicapai menjadi kurang sempurna.
Sekarang, kalian tahu kan, alasannya? 😀
Pagi di Cemoro Lawang
Malam telah menghilang secepat kejapan. Dinginnya pagi berpadu silau cahaya mentari, berhasil memaksa saya membuka mata—walau belum sepenuhnya. Hutang tidur tempo hari belum juga lunas. Sepertinya, hari ini saya terpaksa berhutang lagi.
Otot-otot kaku di sekujur tubuh, saya paksakan bergerak. Tungkai lutut yang dibiarkan tertekuk lama, terasa kram akibat dingin yang menusuk tulang tadi malam. Matahari yang mengumbar cahayanya di luar sana menjadi pilihan pertama saya untuk menghangatkan tubuh yang sedikit membeku, sekaligus memaksa mata agar tetap terjaga.
Di teras depan, Fery berusaha menahan kantuk. Wajahnya terlihat kusut, seperti sedang memikirkan hutang yang tak juga tertutup.. Garis-garis di wajahnya terlihat jelas, sampai-sampai membuat ia jauh lebih tua dari umurnya. Setua Desa Walandit, yang menjadi cikal bakal masyarakat Tengger saat ini.
Menurut Johannes Gijsbertus (Hans) de Casparis, pada buku berjudul “Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno” Jilid II, keluaran Penerbit Balai Pustaka (halaman 190), desa Tengger tertua ini telah ‘berganti’ nama sebanyak dua kali. Pertama, namanya menjadi Desa Blandit (1918-1923). Dan yang kedua, namanya berubah lagi menjadi Desa Wonorejo—nama yang masih bertahan hingga saat ini. Bila kalian mencarinya pada peta, maka letak administratif desa ini akan berada di Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Di kejauhan sana, setiap ruas jalan Desa Cemoro Lawang kembali mengemban tugas, menunjang aktifitas masyarakat Tengger yang menggeliat di atas punggung-punggungnya. Tak hanya kendaraan, kuda pun ikut lalu-lalang membantu sang majikan mencari uang.
Tekanan darah (ter)tinggi
Ada satu hal yang menurut saya sangat luar biasa dari orang-orang Tengger ini. Sekitar 1 tahun yang lalu, seorang teman yang kebetulan berprofesi sebagai bidan—masih aktif sampai saat ini—dalam Tim Pencerah Nusantara, yang mendapat tugas dinas di Desa Tosari, Pasuruan pernah bercerita…
Di tempatnya mengabdi, ia menemukan rata-rata penduduknya memiliki tekanan darah yang begitu tinggi. Rata-rata tekanan darah mereka melebihi ambang batas normal yang hanya 100-140/60-90. Dan, tahukah kalian berapa rekor/angka tertinggi yang pernah dicatatnya?
290/120!
Hebatnya lagi, warga Tengger tersebut masih hidup hingga saat ini!
Penggunaan garam dan Monosodium Glutamate (MSG)—penyedap rasa—berlebih, sering mengkonsumsi makanan berkadar lemak tinggi, ditambah kebiasaan minum kopi dan merokok yang tiada henti, disinyalir menjadi faktor utama penyebab hipertensi mereka. Karenanya, tak heran bila kemudian banyak dijumpai kasus penderita stroke yang berujung kepada kematian, akibat kebiasaan tidak sehat ini.
Pada beberapa tempat, kondisi ini akan diperparah dengan ancaman penyakit diabetes akibat tingginya konsumsi gula—tentu kalian mahfum kan, bahwa masyarakat Jawa terkenal suka sekali dengan makanan/minuman yang manis-manis.
Sebagai tambahan saja, pada tahun 1905-1906, Jurnal The Strait Times Annual pernah menyebut Desa Tosari dengan julukan, “The Mussoorie, or the Darjeeling of the Netherlands Indies.” Keduanya (Mussorie dan Darjeeling) adalah suatu wilayah perbukitan yang begitu indah di India sana. Di mana kata Darjeeling sendiri, bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, akan bermakna “Dataran petir ” atau “Ratu perbukitan.”
Menuju Gunung Bromo
Jalan masuk menuju Desa Cemoro Lawang/Ngadisari sedang dalam perbaikan. Mesin molen beton berukuran kecil tampak mengokupasi separuh badan jalan. Para pekerjanya pun tak mau ketinggalan, sibuk mereka lalu-lalang hingga ke tengah jalan.
Selepas gapura selamat datang Cemoro Lawang, kotoran kuda banyak tersebar di sepanjang jalan aspal menurun—menuju lautan pasir. Setiap gumpalnya berbaris rapi di pinggir kanan, juga kiri. Tak satupun yang menghadang di tengah jalan. Dalam kondisi mati angin, eksistensi mereka memang tidak mengganggu, tapi begitu angin mulai bertiup ke arah atas, aroma yang dibawa terbang bersamanya, kemudian masuk ke saluran pernapasan, membuat saya agak mabuk kepayang. @,@
Kepungan awan yang melingkupi dunia bawah lantai kaldera telah berlalu disapu waktu. Tanda kami datang terlalu siang untuk bisa menyaksikan teater alam tersebut. Setiap ojek motor yang kebetulan melintas, tak pernah jera menawari jasa mereka. “Ojek Mas, Mbak, 30,000Rp aja ke Gunung Bromo.”
Sebuah tawaran yang selalu saja berbuah tolakan dikamuflase senyuman, dengan jawaban, “Enggak Pak. Terima kasih.”
Perjalanan ke timur yang masih beberapa hari lagi, memaksa kami sedikit ketat menerapkan strategi, terutama dalam hal finansial. Lagi pula, pemanja mata di sekitar jalan Cemoro Lawang terlalu sayang kalau cepat-cepat dilewatkan. Kiranya, Jakarta boleh iri dengan sejuknya tempat ini.
Dibandingkan dengan kawasan selatan—yang (lebih) banyak ditumbuhi tanaman menghijau—kawasan utara Kaldera Tengger, terlihat lebih gersang. Maklum saja, karena di bagian utara inilah Gunung Bromo bersemayam. Seringkali erupsi tentu akan membawa dampak pada kehidupan tumbuh-tumbuhan di tempat ini. Berulang kali mereka mati akibat hawa panas erupsi, untuk kemudian hidup kembali seiring masa yang terus berganti.
Ini adalah kali kedua saya menginjakkan kaki di segara wedi (laut pasir/sea of sand). Jejeran mobil-mobil pribadi dan bus pariwisata yang dulu terlihat, tak lagi nampak di areal parkir yang terletak sekitar 400 meter di bagian utara Pura Luhur Poten. Padahal, pada awal tahun 2010 yang lalu, mobil-mobil berplat hitam, plus bus travel (Elf) yang saya sewa bersama beberapa teman, masih bisa masuk dan parkir di sana.
Hal ini berkaitan dengan dikeluarkannya pengumuman dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) pada Maret 31, 2010 silam—Pengumuman No: PG.234//21/BT-1/2010—yang hanya membolehkan Jeep/Hardtop 4×4 WD (milik warga sekitar) saja yang bisa masuk ke area laut pasir Gunung Bromo. Peraturannya sendiri mulai diterapkan pada Oktober 1, 2010.
Kalaupun ada “kendaraan pribadi” yang boleh masuk ke kawasan laut pasir, biasanya, itupun hanya mobil-mobil berplat merah milik pemerintah. Sah-sah saja, karena merekalah pihak pengelola, pemangku kepentingan yang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan taman nasional ini.
Kali ini, saya sengaja tidak ke Puncak Gunung Penanjakan—yang menurut Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan No. 12 Tahun 2010 Pasal 39 (2) merupakan kawasan rawan bencana gempa bumi dan tanah longsor. Alasannya, selain sudah pernah ke sana, kekuatan finansial yang tersisa saat itu, memang sedang meratapi nasibnya di balik saku celana. Sedih deh.
Saat berkunjung ke Penanjakan beberapa tahun silam, saya pernah mendengar seseorang mengatakan, bahwa salah satu lokasi terbaik di dunia untuk menikmati matahari terbit itu, dahulunya pernah digunakan sebagai basis stasiun pemancar radio militer tentara kita. Namun sayangnya, hingga saat penulisan artikel ini berlangsung, tak satupun bukti yang dapat mengindikasikan kebenaran informasi tersebut bisa saya temukan.
***
Lalu-lalang mobil dan motor selalu saja menerbangkan debu-debu pasir halus yang terlelap diam di lantai kaldera. Kadang, tebalnya hampir menyerupai asap tabunan sampah di pembuangan akhir Bantar Gebang. Bedanya, kepulan ini akan terasa menyiksa bila ia masuk ke mata. Setegar apapun kalian, dijamin netes eluh ning pipimu (baca: menangis).
Beda halnya dengan orang-orang Tengger, ekspresinya terlihat biasa-biasa saja walau terbangan debu menerpa wajah-wajah mereka. Tak salah kiranya bila Franz Wilhem Junghuhn, seorang botanis berkewarga-negaraan Jerman, memuji mereka dengan mengatakan, “Human, botanical or animal superiority is determined by elevation. The excellent Tengger people live at an elevation of between 5000 and 7500 feet.”
Di kanan jauh, Pura Luhur Poten yang dibangun pada tahun 2000 silam, tampak begitu kecil, mengawal Gunung Batok (2,470 m) yang posturnya berkali lebih besar. Warna coklatnya seolah pudar, tersamar oleh ribuan butir pasir kaldera yang menempa setiap inci dindingnya dari masa ke masa. Sementara raksasa di belakangnya, tampak lebih menggoda dengan warna hijau yang menyala. Bukti chlorophyll masih berfotosintesa.
Di antara kelima ‘anak’ Kaldera Tengger, hanya sang raksasa lah (Gunung Batok) yang memiliki bentuk paling simetris. Berbeda dengan keempat saudaranya yang lain, yaitu; Gunung Bromo (2,392 m), Gunung Widodaren (2,641 m), Gunung Watangan (2,601 m), dan Gunung Kursi (2,581 m).
Dua noktah kecil nun jauh di sana, perlahan menampakkan wujud aslinya. Keduanya bergerak ke arah kami dengan kecepatan konstan. Tidak cepat, juga tidak lambat. Tiap kali ia menjejak, tiap kali pula kepulan debu terangkat. Dari sarung yang digunakan, menandakan keduanya adalah warga Tengger. “Naik kuda Mas (ke Gunung Bromo)?”
Ah, pengojek kuda rupanya.
“Enggak Pak. Terima kasih,” jawab kami dengan senyum tersungging, semanis madu.
Sampai di titik ini, setengah perjalanan telah kami lalui. Dari kejauhan, Gunung Bromo tampak begitu gersang. Tingginya yang mencapai 200 meter dari tempat kami berdiri, jelas mengintimidasi. Urat-urat kakinya begitu kekar dengan posisi saling silang, seolah mengisyaratkan besarnya kekuatan yang sedang ia tahan.
Untuk mencapai tangga di ujung sana, kami harus menjejaki pasir berkemiringan antara 25-35 derajat. Jalur ini kembali mengingatkan saya pada jalur summit attack Gunung Rinjani beberapa tahun lalu. Walau tak begitu panjang, pasir gemburnya jelas menambah beban pada urat-urat kaki kami ketika berjalan.
Napas kembang kempis yang masih saja dihela, memaksa kami mengambil jeda, sebelum mengerjakan pe-er berikutnya; meniti 250 anak tangga berkemiringan 45 derajat sejauh kurang lebih 100 meter, di depan sana.
Di bibir kaldera Gunung Bromo, para pekerja yang jumlahnya tak lebih dari hitungan jari tangan, terlihat sibuk mengikis gunungan deposit pasir, sisa erupsi kecil beberapa bulan sebelumnya—awal tahun 2012. Mereka terlihat kerdil layaknya orang-orang Pygmy, dari tempat saya berdiri.
Dari setiap cangkul yang mereka hempaskan selalu saja membuat butiran-butiran pasir ringan beterbangan. Sesekali, diperiksanya, adakah pengunjung—yang sedang meniti anak-anak tangga menuju caldera rim Gunung Bromo—terkena imbas dari pekerjaan mereka.
Proses itu selalu dilakukan secara berulang-ulang dan bergantian. Parameter utama lemparan pasir dari cangkul mereka adalah kondisi angin. Bila hembusan angin mengarah ke tangga titian, di mana banyak pengunjung berada, mereka segera mengambil jeda. Namun, begitu arah angin bertiup ke bagian lain, atau absen berhembus, sesegera itu pula pekerjaan mereka lanjutkan.
Sebagai tindakan preventif guna mengetahui level kemiringan yang terjadi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) pernah memasang sebuah alat bernama Tiltmeter dalam radius 1 kilometer dari kaldera Gunung Bromo.
Sayangnya, pada Maret 2011 silam, alat yang berfungsi untuk mengukur perubahan semu level horizontal sebuah struktur ini telah hilang dicuri. Namun demikian, bukan berarti aktifitas monitoring menjadi terhenti, karena PVMBG masih memiliki beberapa alat yang dapat digunakan untuk memantau kegiatan Gunung Bromo ini.
***
Kami mulai menapaki setiap anak tangga yang telah ada sejak tahun 1901 silam. Menurut sebuah artikel pada Koran The Sunday Oregonian, Portland bertarikh November 24, 1901, tangga ini dibuat dengan tujuan untuk membantu Gubernur-Jendral Hindia-Belanda yang memerintah pada saat itu (Willem Roosenboom?) agar lebih mudah ketika mendaki menuju crater rim Gunung Bromo.
Pasir erupsi masih menutupi sebagian besar pijakan, sehingga menyisakan sebagian kecil area yang bisa diinjak. Begitu berpapasan dengan pengunjung lain, ritual mengantri, selalu saja kami lakoni. Pilihannya, antara mereka, atau kita yang lebih dulu melangkah, tergantung pada kesepakatan tenggang rasa sekejap dari kedua belah pihak.
Butuh 20 menit untuk sampai di tempat, di mana Jaya Kusuma—anak ke-25 pasangan Roro Anteng dan Joko Seger—mengorbankan dirinya demi keselamatan kedua orang tuanya, ke-24 saudaranya, dan seluruh masyarakat Tengger.
Kesedihan dari keluarga yang ditinggalkan, dan keharuan masyarakat yang mengantarkan persembahan diri Raden Kusuma (sebutan lain Jaya Kusuma) berabad silam, kini telah bertransformasi menjadi ritual penghormatan masyarakat Tengger melalui upacara Yadnya Kasada, serta keceriaan dari wajah-wajah para wisatawan yang seringkali tidak mengetahui sejarah yang menjadikan tempat ini lebih bermakna daripada sekedar sebuah lokasi wisata.
Dan, tahukah kalian, bahwa Hubertus Johannes van Mook, seorang administrator Belanda pada masa revolusi kemerdekaan Republik Indonesia dahulu, memiliki versi berbeda perihal legenda masyarakat Tengger ini?
Ia menyebutkan bahwa orang yang pertama kali tinggal di kawasan Tengger adalah Kyai Oomah dan Nyai Oomah. Keduanya tidak kunjung dikaruniai seorang anak, setelah bertahun-tahun menikah. Namun, karena doa yang tiada putus, pada akhirnya sang dewa pun mengabulkan permintaan mereka.
Keduanya dikaruniai 25 orang anak, dengan yang paling muda dikorbankan di Gunung Bromo. Sementara ke-24 anak yang lain menjadi nenek moyang masyarakat Tengger yang kita kenal saat ini. Satu lagi, menurut Van Mook, istilah Tengger sendiri diambil dari nama anak tertua mereka.
Kira-kira, alur legenda mana yang kalian suka?
Ketinggian yang mencapai 2,392 meter, menjadikan gunung bertipe stratovolcano ini masuk dalam Zona Montana. Tambahkan ketinggiannya 8 meter lagi, maka gunung yang menjadi pusat gravitasi masyarakat Tengger ini akan berada pada Zona Sub Alpin.
Sebagai bahan perbandingan—khusus bagi para pendaki—elevasi Gunung Bromo ini kurang lebih sama dengan Shelter Kandang Badak—koordinat: -6.7772374, 106.9751966—di kawasan Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat.
“Riding around Batok. a distance of several miles, I suddenly came in sight of the Bromo, which Is still spitting forth fire and steam and volcanic stones. The mountain is of bare gray lava; Its foot and sides corrugated with streams and the wrinkles of the neck filled with volcanic sand. The crater Is like an irregular bowl and the whole looks like a mighty bowl as you stand at the foot and look at the volumes of vapori rising from it.” Kata Frank G. Carpenter, seorang traveler asal Oregon, Portland saat mengunjungi Gunung Bromo pada tahun 1901 yang telah lalu.
Sayangnya, 2 kali saya datang ke tempat ini, tak sekali pun waktunya bertepatan dengan tanggal 13, 14, atau 15 pada bulan Kasada, yaitu, hari-hari di mana Upacara Yadnya Kasada (Kasodoan) biasa dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Tengger. Hari di mana masyarakat Tengger mengorbankan sebagian hasil pertanian/peternakan/harta, sebagai bentuk penghormatan kepada Jaya Kusuma yang telah menyelamatkan nyawa mereka dari angkara murka Sang Hyang Widi Wasa.
Bila saja waktunya bertepatan, tentu kami (atau kalian) dapat melihat 2 kubu manusia yang saling melempar dan menangkap persembahan berupa uang, sayur-sayuran, ayam, hingga kambing, yang ditujukan bagi Kyai Kusuma di tepian kawah candradimuka Gunung Bromo.
Sebuah catatan militer berjudul “Military Report on the Netherlands Possessions in the East Indies” pada tahun 1919 menyebutkan bahwa kepercayaan yang dianut masyarakat Tengger, adalah serupa dengan filosofi animisme primitif (“Antu,” menyembah dewa-dewa). Sebentuk ideologi yang tidak hanya mengatur sisi keagamaan saja, tapi juga kehidupan mereka secara menyeluruh.
“Aduh Bem, kaki gw lemes banget,” kata Ika, setelah melihat begitu ngeri dan dalamnya ceruk melingkar tempat berkumpulnya jutaan liter cairan sulfur di bawah sana.
Fery, yang entah muncul dari mana, tak mau kehilangan momen berharga. “Ngeri gimana Ka? Begini yak… begini…,” kedua tangannya diangkat, sambil melakukan tarian pemanggil hujan—di tepian kaldera—yang entah dari Suku Indian atau bukan. Gerakannya tak beraturan. Terlalu berantakan untuk bisa dikenali.
“Eh, Fer! Ah! Rese lu Fer!… Ferrrr!!! Gw tambah lemes nih!” Walau tulang-tulangnya serasa lepas dari badan, Ika masih sanggup berteriak lantang.
Hahaha…
Sayangnya, saya termasuk orang yang tidak tega-an, karena itulah, gerakan Fery barusan, ikut saya lakukan. Lah!
Seorang turis asal Prancis terlihat sibuk dengan kamera medium format yang dibawanya. Tadinya berdiri, tapi kini, tidak lagi. Sambil berjongkok, ia sibuk menukar lensa fix ber-focal length sempit, dengan lensa fix ber-focal length lebar. Tas kamera digunakannya sebagai pelindung, menutupi sensor dari serbuan debu halus yang dihasilkan dari pijakan kaki wisatawan lain.
Persis di bibir kaldera Gunung Bromo yang berpagar pembatas setengah rusak, tertutup pasir, dan terlihat rapuh, ia siap membidik sasaran. Sang kawah pun telah siap menjadi korban. Tak lama kemudian, saya melihat suatu kejanggalan. Walaupun posisi bidiknya diusahakan mantap, vibrasi hebat di pergelangan tangannya jelas mempengaruhi stabilisasi kuda-kudanya. Ia menderita Tremor.
Gantian, kaki saya yang lemas sekarang. Saya tidak menyangka, karma mengerjai Ika yang baru saja, bekerja lebih cepat dari biasanya—di tempat ini.
“Let me hold you Sir.” Bahunya saya pegang erat-erat. Dia tidak begitu peduli.
Pada klik ketiga, ketika ia mengakhiri bidikannya, kekhawatiran saya ikut mereda. “Thank You,” katanya. Fiuh!
Bunga Edelweiss Jawa
Saat berkunjung ke kawasan Gunung Bromo, tak jarang kita akan menemukan beberapa penjual Bunga Edelweis di sepanjang jalur pendakian hingga tepi kaldera. Sebelum dijual, batang-batang bunga yang telah dipetik para penjaja—yang rata-rata kaum tua—tersebut, biasanya akan dipisah dalam jumlah batang tertentu, kemudian diikat menjadi satu.
Dari setiap fitoanatomi bunga—kecuali batang—ada yang dibiarkan begitu saja, ada pula yang telah diberi pewarna, sehingga menghasilkan panjang gelombang yang berbeda. Dengan kemampuan Ikébana (seni merangkai bunga) alakadarnya, kemudian mereka membentuk ikatan-ikatan tersebut menjadi sebuah rangkaian bunga yang sedap dipandang mata.
Willem Marius Docters van Leeuwen dalam bukunya yang berjudul Biology of Plants and Animals Occuring in the Higher Parts of Mount Pangrango-Gede in West Java, pada tahun 1933, menyebutkan bahwa bunga Edelweiss Jawa ini biasanya terdapat di area terbuka pada ketinggian antara 1,600-3,000 meter di atas permukaan laut.
Masyarakat Tengger mengenal bunga ini dengan sebutan Tanalayu, yang berarti (media) turunnya wahyu/petunjuk. Sedangkan, dalam bahasa latin (ilmiah), Edelweiss Jawa disebut dengan Anaphalis Javanica. Atau, kita bisa menyebutnya dengan Senduro saja. Pada ritual keagamaan seperti Yadnya Kasada, bunga ini biasanya dijadikan sebagai pelengkap sajen/sesaji.
Kata ‘Edelweiss’ sendiri, sejatinya berasal dari dua suku kata dalam Bahasa Jerman, yaitu ‘Edel,’ yang berarti mulia, dan ‘Weiss,’ yang berarti putih. Jadi, bila diterjemahkan secara bebas, bunga abadi ini melambangkan sebuah ketulusan tanpa embel-embel pamrih. Karena itulah, para kaum muda seringkali menjadikannya sebagai sebuah perlambang cinta sejati bagi pasangannya. Oh, so sweat.
Cornelis Gijsbert Gerrit Jan “Kees” van Steenis, seorang botanis asal Belanda, pada rentang tahun 1948-1954 pernah menyebutkan, bahwa spesimen Anaphalis Javanica yang ditemukan di Gunung Tengger ini memiliki mahkota berwarna putih dengan serat bulu halus (tomentum) pada cluster putik/benang sari yang berwarna kekuningan. Menurutnya, bunga ini sangat berbeda dengan spesimen sejenis di manapun, dan termasuk ecotype yang bersifat lokal.
***
Banyak yang bilang tumbuhan ini dilindungi undang-undang. Walau lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999, tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa menyebutkan beberapa jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi, sayangnya, saya tidak menemukan Anaphalis Javanica disebutkan.
Atau jangan-jangan, ‘perlindungan’ itu datang dari kedua undang-undang di bawah ini?
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan
Bagian Kelima
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Pasal 50 ayat 3, huruf m yang menyebutkan:
Setiap orang dilarang: mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
Dan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009
Tentang Kepariwisataan
Bagian Ketiga
Larangan
Pasal 27
(1)
Setiap orang dilarang merusak sebagian atau seluruh fisik daya tarik wisata.
(2)
Merusak fisik daya tarik wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah melakukan perbuatan mengubah warna, mengubah bentuk, menghilangkan spesies tertentu, mencemarkan lingkungan, memindahkan, mengambil, menghancurkan, atau memusnahkan daya tarik wisata sehingga berakibat berkurang atau hilangnya keunikan, keindahan, dan nilai autentik suatu daya tarik wisata yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
***
Lalu bagaimana dengan kasus masyarakat Tengger yang kadang, masih saja memetik/memperdagangkan Bunga Edelweiss Jawa yang katanya, dilarang ini?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita harus melihat masalahnya dari berbagai sudut pandang. Untuk itu, mari kita mulai dari sisi masyarakat Tengger:
- Pertama. Kehidupan masyarakat Tengger telah berlangsung (sangat) jauh lebih lama, bahkan sebelum kawasan Bromo Tengger Semeru ditetapkan menjadi sebuah taman nasional. Dengan kata lain, secara tradisional, merekalah ‘pemilik’ sesungguhnya wilayah yang sekarang kita kenal dengan TNBTS ini. Melarang memetik Bunga Edelweiss yang notabene tumbuh di ‘pekarangan’ rumah mereka, akan sama artinya dengan perampasan hak atas kaidah-kaidah tradisional yang telah mendarah daging dalam keseharian mereka.
- Kedua. Sebagian besar ritual keagamaan masyarakat Tengger masih menggunakan Anaphalis Javanica sebagai salah satu pelengkap tradisinya. Karena dalam kearifan lokal mereka, bunga ini dianggap sebagai simbol mandhape wahyu (turunnya petunjuk).
- Ketiga. Terlepas dari ilegal tidaknya perdagangan Anaphalis Javanica, sebenarnya bisa dibilang, posisi masyarakat Tengger hanya sebatas pemanfaat peluang yang baik. Permintaan pasar (demand) bunga abadi yang tinggi dari para wisatawan, ditambah mudahnya pemenuhan permintaan (suply) tersebut, menjadikan mereka melihatnya sebagai alternatif pemenuhan kebutuhan ekonomi, atau sumber penghasilan sekunder keluarga.
Dari sisi konservasi, bila kegiatan memetik atau memperdagangkan Anaphalis Javanica didiamkan, maka ancaman yang akan terjadi adalah hilangnya sumber makanan bagi 300+ spesies serangga, serta hilangnya habitat hidup beberapa jenis lumut, lichen, dan cendawan.
Sementara, dari segi sosial-budaya, dengan punahnya keberadaan tumbuhan ini, maka sebagian besar ritual keagamaan masyarakat Tengger akan menjadi tidak sempurna. Dalam jangka panjang, bila ketidak-sempurnaan ini dibiarkan saja, tentu akan berimbas kepada krisis identitas masyarakat Tengger itu sendiri.
Nah, untuk menjembatani berbagai kepentingan yang saling berseberangan ini, solusi terbaiknya adalah dengan digalakkannya upaya penangkaran Anaphalis Javanica oleh masyarakat, dan legalisasi pemerintah berkaitan dengan pemanfaatan hasil penangkaran tersebut, baik secara ekonomis (diperjual-belikan) maupun non-ekonomis (sebagai pelengkap ritual keagamaan).
Pulang ke Penginapan
Ika semakin jauh dari pandangan, menumpang ojek menuju penginapan. Sementara saya dan Fery masih harus berjibaku melintasi luasnya lautan pasir dengan berjalan kaki sejauh 2 kilometer. Siang ini tak ada lagi lalu-lalang wisatawan sejauh mata memandang. Jalur zigzag yang terlihat di kejauhan, terbukti berhasil memancing rasa penasaran kami berdua. Sepertinya, rute berangkat sebelumnya akan berbeda dengan rute pulang ke penginapan.
Butuh waktu sekitar 45 menit melintasi jalur pasir ini, dari kaki Gunung Bromo hingga tebing Kaldera Tengger.
Mungkin kalian akan bertanya, sementara ada pilihan yang lebih asyik—ojek dan kuda—mengapa pula kami pilih yang lebih sulit? Jawabannya sederhana. Karena biasanya, beginilah cara kami menikmati perjalanan, sekaligus belajar mengenali dan mencintai negeri INDONESIA yang kaya.
Atau, dalam bahasa yang lebih apa adanya, hal ini kami lakukan semata karena biaya telah tiada. Inna Lillahi wa inna ilaihi roji’un…
Kami telah sampai di pintu masuk jalur setapak zigzag. Saya memperkirakan ketinggian jalur ini mencapai 100 meter lebih, dari tempat kami berdiri. Kontur jalurnya tak jauh beda dengan jalur Gunung Semeru, dari Pos 3 hingga ke Pos 4. Begitu terinjak, semua debunya otomatis terangkat. Bagi yang berjalan di depan, tentu hal ini tidak akan menjadi persoalan. Tapi, bagi yang jalan belakangan, ya, harus ikhlas menerima cobaan. Sialnya, sayalah sang penerima cobaan tersebut. Hiks.
Beberapa jejak kuda terlihat di sepanjang jalan yang kami lalui. Tampaknya sang pemilik enggan mengambil jalur aspal karena jarak tempuhnya yang terlampau jauh. Mereka lebih senang potong kompas ambil jalur pintas. Tujuannya, apalagi kalau bukan pengurangan hitungan waktu secara signifikan.
Trekking menanjak sejauh 15 menit ini akan berakhir di depan Cemara Indah Hotel. Kalau kalian berniat mengikuti jejak kami, jangan lupa bawa masker ya. Terbangan debu hasil pijakan, seringkali terlalu tebal, sehingga kalau sampai masuk ke mata, perihnya jelas tak terkira. Sebaliknya, bila hari sedang hujan, lebih baik jangan paksakan lewat jalan pintas ini. Tanah berdebu yang menjadi basah, tentu akan membuat jalurnya menjadi licin dan berbahaya.
Di ujung jalan setapak (koordinat: -7.92155,112.963336), pemandangan ke arah Kaldera Tengger cenderung terbuka, sehingga titik ini bisa dijadikan sebagai lokasi sightseeing, atau pengambilan foto/video. Sebenarnya, pada jalur setapak di bawah sana juga terdapat beberapa titik ideal untuk kegiatan tersebut, namun kepulan debu yang sesekali tertiup angin, tentu akan menjadi gangguan utama yang harus rela kalian terima.
Satu lagi, lokasi ini tidak disarankan bagi penderita vertigo. Karena, konturnya yang cenderung curam di pinggir jurang, dikhawatirkan dapat mengancam keselamatan nyawa kalian.
Selesai di Cemoro Lawang, lanjutkan ke Baluran
Aktifitas packing telah selesai. Tiap inci penginapan kembali di-sweeping ulang untuk memastikan tidak ada barang yang ketinggalan. Setelah semua dianggap aman, kini tiba gilirannya kami pamit pulang.
“Tunggu di sini aja,” kata Bu Sugeng, ketika ditanya perihal informasi angkutan umum yang bisa mengantarkan kami ke tujuan berikutnya. “Biasanya mereka—Bison/Elf—lewat sini. Nanti supirnya saya kabari biar sekalian jemput ke sini,” imbuhnya lagi.
Benar saja. 15 menit kami menunggu, angkutan umum yang dimaksud, datang menjemput. Tak mau menunggu lebih lama, sang kondektur meminta semua keril kami, yang kemudian diungsikan ke bagasi jadi-jadian di bagian atap kendaraan. Alasannya, agar ruang kabin, bisa menampung lebih (ke)banyak(an) penumpang.
Saat segalanya telah siap, semua orang pamit pulang kepada Ibu dan Bapak Sugeng sebagai host penginapan. Sang supir pun kami daulat untuk segera berangkat.
Di dalam angkutan umum yang hampir tak menyisakan ruang untuk kaki-kaki panjang, saya mendadak teringat sebuah obrolan dengan seorang teman saat pendakian Gunung Semeru beberapa hari lalu.
“Nanti kalo jadi ke Bromo, jangan lupa mampir ke Sendang Widodaren, Om,” kata Panjang, yang entah ia sadar atau tidak, telah melontarkan saya puluhan tahun lebih tua ketimbang dirinya dengan sebutan ‘Om’ barusan.
“Di sana, kalau kita cuci muka pakai airnya, bisa bikin awet muda. Bisa nyembuhin penyakit juga. Pokoknya harus dicoba,” imbuhnya lagi dengan sedikit penekanan, layaknya menyampaikan surat wasiat yang setiap baris isinya wajib dilaksanakan.
Sayangnya, pesan itu benar-benar baru saya ingat manakala angkutan umum yang kami tumpangi telah melaju menuju Terminal Bayuangga, Probolinggo. Jauh dari Gunung Bromo. Maafkan saya wahai teman. Mungkin ini sebuah pesan tersembunyi agar kami kembali lagi ke tempat ini. Semoga. [BEM]
TRANSPORTASI
Dari Kota Malang
- Stasiun Kota Baru – Terminal Arjosari (angkot) = 3,000Rp – 5,000Rp
- Terminal Arjosari – Pasar Tumpang (angkot) = 4,000Rp – 5,000Rp
- Pasar Tumpang – Cemoro Lawang (sewa jeep) = 450,000Rp – 600,000Rp
Dari Kota Surabaya
- Terminal Purabaya (Bungurasih), Surabaya – Terminal Bayuangga, Probolinggo (bus) = 25,000Rp
- Terminal Bayuangga – Cemoro Lawang (angkot bison/elf) = 15,000Rp – 25,000Rp
CONTACT PERSON
- Pak Pudji (sewa jeep) = 0821.4040.3939
- Pak Sugeng (Penginapan Mak Buk) = 0821.3121.1391
PENGINAPAN
- Nama = Penginapan Mak Buk
- Alamat = Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo
- Koordinat Google Maps = -7.922145,112.96577
- Fasilitas = 1 Ruang Tamu, 2 Kamar Tidur, 1 Kamar Mandi, Listrik
REFERENSI
- E. M. Beekman. University of Massachusetts. Canadian Journal of Netherlandic Studies: Junghuhn’s Perception of Javanese Nature.
- Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan No. 12 Tahun 2010. Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten PasuruanTahun 2009 – 2049.
- NAUI Scuba Diver Handbook.
- Galih Widjil Pangarsa. Architectural Evolution in a Changing Hindu Tenggerese Community: The case of Wonokriti. Archipel, Vol. 49, 1995 Hal. 163.
- Frank G. Carpenter. World’s Greatest Volcano. The Sunday Oregonian, Portland, Nov 24, 1901.
- OFFICIAL TOURIST BUREAU Weltevreden (Batavia) —JAVA (1900). Java, The Wonderland – Guide and Tourist Handbook.
- H. J. van Mook (1916). Guide to Tosari and The Tenggermountains.
- Peta “Tengger Gebergte” (1914). Wagner & Debes Geogr.Ansalt, Leipzig,
- Dr C. G. G. J. VAN STEENIS (1948-1954). Flora Malesiana: An Illustrated Systematic Account of The Flora, Including Keys for Determination, Diagnostic Descriptions, References to the Literature, Synonymy, and Distribution, and Notes on the Ecology of Its Wild and Commonly Cultivated Plants – Volume 4 Part 1.
Panjang ya ceritanya…jadi pengen segera ke Bromo
Bagus nih dokumentasinya di gunung Bromo
Cerita perjalanan seru, detail pula, sangat membantu untuk mereka yang mau merencanakan perjalanan ke Bromo, sering-sering posting cerita perjalanannya ya.. 🙂
GIla beng postingan blog lu kayak lonely planet aja, gak sekalian dikasih peta? 😆
keren-keren fotonya, sukses semoga 🙂
terima kasih ya. untuk doanya juga… ^_^
weisss… tulisannya mantap bener, kumplit 🙂 semoga sukses ngontesnya ya.
Bromo emang keren ya, meski ada seorang teman yang pernah bilang nenek-nenek aja bisa sampe Bromo. Tapi aku tak perduli, aku tetep pengin ke sana lagi 😀
ehehe. terima kasih. do’akan saya menang keliling INDONESIA ya :p
wuuuooohhh moga bisa nyelam di pulau komodo ya bro
doain ya masbro. biar gak sia2 sertifikat kemaren. :p
jalannya udah terbuka mas Bambang, finalis 25 blogger, selamat 😀
hehe. terima kasih gung. lo juga lolos tuh. selamat ya. mudah2an kita bisa kepilih yang keliling INDONESIA! \m/_
hehehe…