Sarapan Pagi di Ranu Kumbolo

 

Akhirnya sampai juga kita di serial terakhir cerita pendakian kami bertiga ke Puncak Mahameru. Sebuah perjalanan, yang bahkan sejak dimulai pun sudah begitu akrab dengan masalah. Mulai dari kehabisan tiket kereta, terpaksa berpindah-pindah kota sampai 5 hari lamanya, ketinggalan angkutan sewaan ke Ranu Pani, nyasar mencari tebengan bermalam, sampai deg-degan bakal kehabisan uang di Ranu Pani.

Itu pun belum ditambah dengan berbagai masalah yang harus kami hadapi selama masa pendakian berlangsung (akan dibahas di artikel ini). Jadi, bagaimana kelanjutannya? Ikuti terus ceritanya…

FYI: artikel ini merupakan versi revisi per January 27, 2017 (versi pertama di-upload pada October 02, 2012). Perbaikan besar-besaran (sekitar 90%) terjadi pada pemilihan kata-katanya saja agar lebih enak dibaca, plus sedikit penambahan informasi sisipan. Sementara jalan ceritanya masih sama dengan sebelumnya.

 

***

SEMERU – July 02, 2012

***

 

06.30    Bangun pagi

Ranu Kumbolo pagi itu sangat dingin.  Jaket, sleeping bag, sarung tangan, dan kaus kaki masih membelit tubuh saya seakan kekasih tersayang yang tak pernah mau dilepaskan.

Berbekal separuh nyawa dan streching seadanya (baca: ngulet), pagi ini kami mulai dengan ritual masak-memasak dari dalam tenda—masak air.

Suhu udara di luar sana masih terlalu dingin. Mau keluar, rasanya tidak mungkin. Tubuh ini masih butuh adaptasi. Sebagai booster, segelas teh hangat harus segera dibuat. Mana tahu bisa mengumpulkan nyawa yang separuhnya lagi.

Jam istirahat tadi malam benar-benar kurang. Badan saya jadi gampang goyang kiri-kanan. Kadang brikden sedikit begitu terkena angin dingin biar kata cuma se-emprit. Untung ada kompor yang bisa dijadikan penghangat badan. Tapi tetap gak boleh ngantuk, kalau gak mau raup air mendidih.

Teh manis panas sudah di tangan. Waktunya sarapan. Di lantai tenda, bungkus kedua nasi putih kemarin, sungguh menggoda. Karetnya dua, padahal pedes juga enggak. Oke, dimaafkan. Yang penting masih bisa sarapan, perut kenyang.

Kalau kemarin malam lauknya orek tempe-teri plus rendang kering, bagaimana kalau pagi ini menunya kita ganti. “Ka! Keluarin lauknya.”

“Nih, Bem,” dengan cekatan, Ika menyorongkan wadah  lauk yang dipinta. Isinya luar biasa: rendang kering, plus orek tempe-teri—LAGI. Hmm… ya sudah lah, ya.

Hari ini adalah hari pertama pendakian Gunung Semeru kami. Dikelilingi hawa Ranu Kumbolo nan sejuk, sarapan sambil bermalas-malasan adalah nikmat Tuhan yang tidak mungkin saya dustakan. Cacing-cacing demonstran di dalam perut sana pun pada ikut senang, megap-megap kelimpahan berkah. Kayak apa nikmatnya? Gak bisa digambarkan dengan kata-kata.

Yah, setidaknya sampai kesadaran itu datang, bahwasanya nasi bungkus yang kami rayah bertiga ini adalah bungkus kedua dari HANYA tiga yang kami bawa. Padahal pendakian baru juga dimulai. Di depan sana masih ada beberapa hari lagi. Innalillahi…

Sejujurnya saya lupa logistik apa saja yang telah kami beli dan bawa dari Jakarta. Demi terciptanya kedaulatan pangan selama beberapa hari pendakian ke depan, stock opname persediaan makanan/minuman segera kami lakukan. Hasilnya dinyatakan: cukup. Cukup menyedihkan.

  • Beberapa botol air mineral
  • Sebungkus nasi putih
  • ¾ toples rendang kering
  • ¾ bungkus orek teri-tempe
  • I kaleng sarden
  • 5 bungkus Indomie
  • 2 bungkus Nutrijell
  • 1 bungkus Nutrisari
  • Beberapa bungkus teh celup
  • Beberapa bungkus kecil gula putih
  • Beberapa bungkus kopi
  • Bermacam makanan ringan/snack aneka rasa
  • Beras? Alhamdulillah, gak bawa (alasannya ada di SINI)
  • Sayur? Apalagi! Jangan ditanya
  • 3 calon korban kelaparan dengan skill makan level Piranha
  • Durasi pendakian yang masih beberapa hari lagi, dan…
  • Summit attack puncak Mahameru sebagai misi inti

Kelihatan, ya, kalau makanan pokok yang kami punya, ya, tinggal yang seekor itu: Critically-endangered-nasi-bungkus. Berdasarkan hasil SO ini pula, saya perkirakan hilal survival kami bakal menampakkan diri di langit Kalimati. Dan itu tinggal menunggu hitungan jam.

Untuk sementara, mari kita lupakan daftar barusan. Karena perkara yang sedang terjadi di depan mata saya saat ini jauh lebih penting. Boleh jadi hanya akan terjadi satu kali, dan tak akan pernah terulang lagi seumur hidup! Ya, hidup saya. mungkin juga dalam hidup kalian.

Peristiwa itu terjadi di dalam tenda. Saat proses packing—persiapan meneruskan perjalanan ke Pos Kalimati—tengah berlangsung.

Secara tidak sengaja, ekor mata saya menangkap beberapa objek mencurigakan dengan gradasi warna yang sangat menuntut perhatian; dimulai dari ungu, sampai ke merah jambu. Demi memastikan benda apa gerangan, skill spionase segera saya aktifkan. Saya memilih jalan kepura-puraan. Pura-pura ngobrol sama Ika, sambil sesekali melirik ke arah objek terselidik.

Hasilnya di luar dugaan: beberapa onggok celana dalam murahan kelas Tanah Abang.

Eh! Tapi, kenapa Fery yang pegang, ya?

Kok, Ika gak malu, sih, sampe celana dalem segala, dititipin ke Fery? Dijamah-jamah, lagi? Ihhh…

Kenapa juga warnanya pada binal gitu?

Genit garis keras?

Dan, imajinasi saya semakin liar saja…

Sebelum imajinasi ini jadi tak terkendali, sebuah pertanyaan melayang-layang mengisi kekosongan. “Itu celana dalem lu, Fer?” tanya Ika, penasaran. Telunjuknya menuding ke objek yang dimaksud.

Lah! Bukan punya Ika?

Berarti!!!…

“Iyeh,” timpal teman nyeni berdarah AB itu, datar.

Glodhak!

Dan dia tetap sibuk mengacungkan satu per satu daleman genit itu ke udara, sejajar matanya. Tak peduli penderitaan kedua temannya ini, yang terpaksa menanggung malu demi menyaksikan fitnah akhir jaman itu.

“Jadi, itu punya elu, Fer!?” saya butuh kepastian. Ini terlalu absurd untuk jadi kenyataan.

“Iyeh,” jawab Fery dalam lidah Betawi. “Jadi, gw kan gak harus cium-cium (catet: cium-cium!) celana dalem bekas gw kalo mau ganti. Biar kagak ketuker. Kan, warnanya beda-beda.”

“Kan, warna banyak, Fer! Kenapa juga warnanya harus nge-pink-ungu gitu? Kayak gak ada warna laen aja!” Ika protes keras, campur malu, campur geli, campur emosi. Dan suara saya terwakili.

Pertanyaan Ika cuma berbalas lirikan sekaligus senyum misterius. Mampus banget dah!

 

Tanjakan Cinta Ranu Kumbolo

 

10.30    Mulai trekking menuju Kalimati

Berbekal air mineral, teh manis hangat, beberapa makanan ringan, dan (tarik napas panjang)… tragedi celana dalam, kami lanjutkan perjalanan ke Kalimati.

Siang ini sinar matahari menyengat hebat. Hawa terasa panas dan kering. Debu-debu beterbangan tertiup angin. Berbanding terbalik dengan suhu pagi tadi.

Tanjakan Cinta adalah gerbang pertama yang harus kami lalui selepas Ranu Kumbolo. Mitosnya, kalau kita berhasil lewat Tanjakan Cinta tanpa bernapas dan menoleh ke belakang, maka segala keinginan yang berkaitan dengan angan-angan percintaan bakal terkabulkan.

Saya tidak percaya.

Tapi, kok penasaran juga, ya. Hmm…

Baiklah. Demi membuktikan benar tidaknya mitos ini, saya bersedia berkorban jadi kelinci percobaan untuk kalian.

Supaya percobaan ini berhasil, jarak dan kemiringan medan tanjakan mesti dikalkulasi terlebih dahulu. Dari hasil kira-kira diketahui: jarak = 100m, kemiringan = 30-45 derajat.

Waktunya berangkat.

Mulai tahan napas, pandangan fokus ke depan,  jangan lupa baca basmalah.

10 meter… gampang.

20 meter… aman.

30 meter… masih tahan.

Menjelang meter ke-40, seseorang di belakang sana berteriak-teriak, entah ditujukan pada siapa. “Mas/Mbak! Barangnya ketinggalan nih!”

Di depan gak ada orang. Yang lewat Tanjakan Cinta, ya cuma kami bertiga. Jangan-jangan pengumuman itu ditujukan ke trio absurd ini. Untuk memastikan, saya perlukan menoleh ke belakang. Gak ada yang melihat ke arah kami. Semua sibuk masing-masing. Terus yang manggil-manggil tadi siapa…

Bangkek! Gue dikerjain. Misi cinta, gagal total.

Dari tepi Ranu Kumbolo hingga ke puncak Tanjakan Cinta ternyata butuh waktu tempuh 15-30 menit. Artinya, tanpa dikerjain pun saya gak bakal berhasil. Dan gak bakal ada satu orang pun yang bisa melabuhkan cintanya lewat mitos ini. Siapa juga yang bisa tahan napas segitu lamanya? Diterima cinta, enggak. Meninggal, iya.

Di puncak “Bukit Cinta” pandangan saya terasa lapang. Oro-oro Ombo terbentang luas di depan. Cemoro Kandang masih jauh di ujung sana.

Sekedar informasi saja; dalam Bahasa Indonesia, oro-oro berarti padang atau lapangan atau dataran luas. Sementara Ombo berarti luas. Jadi gampangnya, Oro-oro Ombo berarti lahan terbuka berukuran luas yang tidak ditumbuhi pepohonan berkayu besar.

 

Oro-oro Ombo

 

Untuk mencapai Oro-oro Ombo, kita bisa menggunakan 2 jalur, yaitu; jalur cepat tapi terjal atau jalur lambat dan panjang (melipiri bukit hingga ke titik terendahnya).

Lantai Oro-oro Ombo berlabur karpet kuning, hijau, dan ungu. Karena bentuknya mirip, banyak orang yang menyangka “Si Ungu” itu dengan bunga lavender. Padahal bukan. Karena sejatinya bunga liar ini bernama Verbena Brasiliensis Vell (Brazilian Vervain)—sesuai namanya, tanaman ini berasal dari Brazil, Amerika Selatan. Uniknya, pada masa lalu, para ahli botani pernah salah menyematkan nama ilmiah tersebut pada tanaman Purpletop Vervain.

Tak bisa dipungkiri, keindahan warna bunga liar ini memang membuat lanskap Oro-oro Ombo bagai taman bunga di Belanda. Namun sayang, tanaman ini termasuk ke dalam jenis invasif, yang menjadi predator bagi tanaman asli TNBTS, yang sama merusaknya seperti Akasia di Taman Nasional Baluran.

Bunga liar ini sendiri memiliki siklus hidup antara bulan Januari-Agustus. Buahnya, yang berfungsi sebagai alat berkembang biak, sangat kecil dan lengket, sehingga gampang diterbangkan angin dan menempel di tubuh para pendaki maupun binatang. Itulah sebabnya, mengapa tanaman invasif ini sulit dimusnahkan.

Hmm, mungkin gak terlalu sulit. Tinggal import saja selfiewan-selfiewati sayap kiri plus kroni untuk foto-foto di sini, nanti juga mati sendiri. Macam kebun bunga Amaryllis milik Pak Sukadi dan Bu Watini di Gunung Kidul, Jogja, sana. Cukup kasih iming-iming eksistensi di republik maya, problem solved. Gak perlu herbisida sintetik, gak perlu bakar-bakaran. Dan kabar baiknya, it’s organic!

Tips untuk para fotografer yang berniat mengabadikan momen di tempat ini: bila waktunya memungkinkan dan cuaca sedang cerah, maka bersegeralah menikah. Jangan menunggu nanti, apalagi besok. Ingat! Gunung punya cuacanya sendiri, dan cenderung sulit diprediksi. Sekarang boleh terang, sebentar lagi bisa berkabut bahkan hujan.

 

Bunga Berwarna Ungu di Oro-oro Ombo

 

Jalur Oro-oro Ombo Siang Hari

 

Menjelang Cemoro Kandang

 

Istirahat di Cemoro Kandang

 

12.34    Cemoro Kandang

Baru sebentar masuk area Cemoro Kandang, Ika mendadak kehilangan kompresi. Semangatnya ngadat. Hasil diagnosa sementara: kelelahan akibat durasi perjalanan yang terlalu panjang (dari Jakarta), cuaca yang sangat panas, dan yang paling penting; habis bensin!

Bibirnya manyun-manyun menyabit ke bawah, seakan stroke ringan. Jalannya memang kencang, tapi agak goyang. Suara pada volume nol. Mulutnya tidak mengaduh, tapi hati dan pikirannya jelas gaduh.

Untuk mengejar waktu, kondisi ini terbukti ideal. Fase perjalanan kami jadi lebih cepat. Tapi, bagi yang paham, sebetulnya ini kondisi gawat. Kalau sampai meledak, dia bisa tiba-tiba melakukan hal apa saja. Entah meraung-raung di pohon, entah minta pulang wajib gendong. Serem pokoknya.

“Ya udah, Ka. Kita istirahat dulu dah,” Fery menawarkan keringanan.

“Iya, Ka. Kita nyante-nyante dulu di sini. Mau istirahat agak lama juga gak papa. Keluarin makanan dah, kita foya-foya,” timpal saya. Yang ditawarin senangnya bukan main. Sesuai perkiraan, sebetulnya dia kelaperan, tapi gengsi gak mau bilang.

1-2 bungkus makanan ringan, ludes diterjang tiga rahang. Wajah artis kita pun kembali ceria. Pertanda perjalanan ke Kalimati bisa dilanjutkan lagi. Dan, belum lama perjalanan dimulai, Radio Republik Ika kembali mengudara…

 

Oro-oro Ombo di Kejauhan Jalur Cemoro Kandang

 

Kalimati

 

15.30    Kalimati

Tanjakan Cinta, Oro-oro Ombo, dan Cemoro Kandang, yang hampir seluruh jalurnya berdebu, telah berlalu. Kalimati kini ada di bawah kaki saya. Kondisinya sedikit mirip dengan Surya Kencana, Gunung Gede, namun berukuran lebih kecil dengan tanah yang lebih berpasir.

Kami segera mencari lokasi mendirikan tenda. Tapi sebelum itu harus memperhatikan feng shui-nya terlebih dahulu. Biar tim kecil ini tetap bahagia sepanjang masa.

  • Hindari cahaya masuk-keluar secara langsung: Done! Dapat tempat yang teduh.
  • Pastikan jalan masuk terlihat rapi: Done! Gak ada sampah, lahan lapang.
  • Buang simbol negatif: Done! Boro-boro simbol negatif, beras aja gak punya.
  • Hindari pemasangan pintu kaca: Done! Tenda termasuk pintunya kain semua.
  • Hindari meletakkan toilet di sisi barat dan timur laut: Done! Kalimati lega, bisa beol di mana aja.

Tenda baru berdiri, dan perut kami mulai pada bunyi, lupa di-silent. Maklum, sudah telat hampir empat jam dari waktu makan siang. Biar tak menimbulkan kerusuhan, cacing-cacing di dalam perut sana harus segera diberi asupan. Untuk itu, bungkus ketiga nasi bekal dari Ranu Pani langsung dibongkar.

Ini adalah nasi bungkus terakhir kami. Kalau merujuk ke feng shui tadi, jangan-jangan ini dia simbol negatif itu. Karena ia lah yang bakal jadi penentu survival tidaknya kami ke depan nanti. Jadi, harus dibuang.

Tapi kalau dibuang, terus kita makan apa?

Ah, sebodo, lah! (buang)

Ya, enggak gitu juga, keles. Ngana pikir?

Karena ini nasi terakhir, harus pelan-pelan makannya. Harus dinikmati betul. Jangankan cuma 30 kali kunyah, satu suapan emut 5 menit pun saya sanggup. Apalagi kalau mengingat setelah ini kami bakal mengakrabi survival.

Dua hari lagi kami baru akan kembali ke Ranu Pani. Tapi hari ini—bahkan jam segini—pun logistik yang tinggal cuma air mineral dan makanan ringan seadanya. Predator yang mesti disuap berjumlah tiga. Jam 10 malam nanti harus summit attack pula.

Semoga Tuhan senantiasa memberi kami kekuatan. Kekuatan menghinakan diri, ngemis-ngemis ke tetangga kalau memang terpaksa. Aamiin…

 

Terang Bulan Purnama di Kalimati

 

19.00    Makan malam

Matahari telah menghilang diusir langit malam. Udara Kalimati malam ini dinginnya bukan main. Cadangan lemak di perut kami kembali sekarat. Tidak bisa tidak, 2 bungkus mi instan, sekaleng sarden, dan sebungkus nasi terakhir, terpaksa dikeluarkan.

Tak disangka, kemewahan sesendok nasi di rumah, betul-betul terasa saat diri jadi miskin begini. Mungkin ada baiknya makan sambil dihayati. Ah, saya jadi rindu pada Ranu Pani. Pada warungnya. Pada nasinya. Pada kopinya. Pada pisang gorengnya yang mahal itu…

 

20.00    Istirahat tidur

Dua jam lagi summit attack menjelang. Tak berapa lama setelah menyiapkan perangkat perang, Fery langsung rebahan. Sebentar mengorok, sebentar mendesis. Mungkin sedang memimpikan ular kadut lawan pangeran kodok. Yah, siapa yang tahu.

Memejamkan mata malam ini ternyata sesulit menanti jawaban ‘Iya’ dari calon kekasih tercinta. Ika, yang sedari tadi grasak-grusuk susah ngantuk, ikut menyeret saya ke dalam kubangannya. Dia tiba-tiba membuka kelas privat, mata pelajaran curhat.

Stamina saya lama-lama soak. Tapi Bu guru Ika gak ngerti-ngerti juga. Malahan, materi pelajaran berkali-kali dia ganti. Au ah, gelap.

 

22.10    Summit attack menuju Puncak Mahameru

Kepala agak keliyengan. Badan sedikit goyang. Pola tidur ayam barusan membuat stamina saya nge-drop. Sekarang, harus siap-siap summit attack pula. Dan, dengan bermodal kesadaran yang masih kusut, logistik muncak kembali kami urut:

  • 1 botol kecil nutrijel kuah nutrisari
  • 1 botol kecil air putih
  • 2 bungkus kecil oreo
  • 2 bungkus mie instan + 1 kaleng sarden. Lupa, sudah dimakan bertiga—3 jam sebelumnya.

Kok lebih mirip persiapan meninggal, ya, daripada persiapan muncak Semeru… hmm…

Saya dan Fery keluar dari tenda, merayapi gelap semesta. Ika pilih abstain. Alasannya: dingin! Alhamdulillah. Setidaknya bisa mengurangi okupansi persediaan makanan cemilan yang jumlahnya menyedihkan itu. Dan, sesuai kesepakatan api unggun sebelumnya, Fery segera mengetuk tenda tetangga untuk kemudian mendaki bersama.

Sebetulnya hanya Ranu Kumbolo sajalah tujuan kami pada saat itu. Kami tidak datang ke tempat ini sebagai pendaki. Murni cuma pengin hepi-hepi. Tapi, siapa sangka kalau ternyata Fery punya agenda tersembunyi. Rayuan mautnya terbukti mumpuni menggoda saya dan Ika melangkahkan kaki sampai Kalimati.

“Sampe Kalimati aja, ya. Gue gak mau muncak!” saya dan Ika bersepakat.

“Iyeh,” sahut Fery, renyah.

Di Kalimati, godaan setan jilid 2 kembali terjadi. Setelah mendirikan tenda, diajaknya saya dan Ika ke area yang lebih lapang, sehingga wuwungan Mahameru jelas kelihatan. Alasannya, cari sinar matahari, ngangetin badan. Gak taunya itu jebakan.

“Tuh, Dul. Tanggung kalih. Tinggal segitu,” Fery mulai menanamkan doktrin. Telunjuknya menuding puncak Semeru. “Kapan lagi bisa kemari? Jauh-jauh dari Jakarta. Ongkosnye aje udeh berape? Sewa Jeep berape?” lidah Jogja, naturalisasi Betawi.

Hati saya tetap menolak, tapi pikiran justru sepakat. Kalau dipikir-pikir lagi, alasan yang dia lontarkan ada benarnya juga. Taaiii kalih!… saya bimbang. Ika pilih gak ikutan, tapi masih menimbang-nimbang. And the rest is history.

Baru sebentar di luar tenda, jemari kaki dan tangan saya langsung mati rasa. Tulang pun bagai ditusuk-tusuk jarum. Thanks to hawa dingin dan angin. Dan, baru banget perjalanan dimulai, efek melek sejak pagi mulai ambil kendali. Antara sebentar, tubuh saya terasa ringan tak ber-gravitasi.

Memasuki areal hutan, semua itu pelan-pelan teredam. Di sini hawanya lebih hangat. Mungkin karena pepohonannya cukup lebat. Atau mungkin karena tak ada angin. Atau mungkin akibat detak jantung yang telah jadi lebih cepat, dan badan yang panas berkeringat.

Tim tetangga (asal Kota Malang), yang semula berangkat berbarengan, kini mulai menghilang di kejauhan. Saya dan Fery tak ambil peduli. Sesuai perjanjian bersama, pendakian ini kami bawa santai saja. Capek, berhenti. Kurang lama, tambah lagi. Intinya, sampe puncak, sukur. Gak sampe, ya nyusul.

 

23.24    Arcopodo

Jalur hutan Arcopodo sepenuhnya tanah berdebu. Saking tebalnya, mereka jadi gampang beterbagan walau hanya terinjak pelan. Begitu terus seakan tak pernah bosan. Tidak siang, tidak juga malam. Di depan sana, selimut debu tebal yang menghalangi pandangan dan mengganggu pernapasan, mulai mereda. Perjalanan kami lanjutkan.

Walau menurut cerita, Arcopodo terkenal spooky, tampaknya banyak juga yang tak peduli. Buktinya di sana sini banyak tenda berdiri. Malahan, setiap lahan datar yang saya temui selalu penuh terisi.

 

***

SEMERU – July 03, 2012

***

 

24:00    Kelik

Menapaki ruas jalur Arcopodo hingga batas vegetasi Kelik ibarat melintasi areal pemakaman. Walau tak banyak, beberapa nisan nampak terserak. Bukan. Ini bukan tempat persemayaman mereka yang telah berpulang. Hanya simbol, perpanjangan kenangan untuk kerabat yang ditinggalkan. Dan yang paling terkenal, siapa lagi kalau bukan Taufik P. Ganifianto.

Hah? Gak tahu? Bagaimana kalau Khelik (sering ditulis ‘Kelik’ saja)?

Untuk menghindari cidera otot kaki, ritme perjalanan tetap dipertahankan pelan. Karenanya, walau kontur medan relatif terjal, trekking malam ini tidak terasa berat. Cukup efektif.

Sebelum terlambat, kami perlukan kembali beristirahat. Rupanya 3-4 orang Tim Malang yang sebelumnya jalan duluan, masih tercecer di belakang. Mungkin tenaganya habis terforsir. Atau mungkin, sengaja tunggu trek di depan kosong sejauh-jauhnya, biar bisa langsung ngacir.

Bulan purnama masih setia di atas kepala. Dengan mata terpejam, saya bisa merasakan malam ini begitu tenang. Layak dinikmati lebih lama. Sama sekali tak terdengar suara. Yang ada hanya bebauan hutan. Dan aroma jagung bakar ini… (hirup napas dalam-dalam) benar-benar menggugah selera.

Hahhh! Wait! Jagung bakarrr!?

Sejauh yang saya ingat, tenda terakhir berjarak sekitar 15-20 menit di jalur bawah. Dan, demi jaga tenaga biar gak tumbang saat muncak, tak satu pun orang yang terlihat begadang. Semua tenda padam, menyatu dengan hutan.

Curiousity kill the cat. Saya mulai mencari dan terus mencari. Tetap tak berhasil menemukan sumber bau tadi.

Ha-ha-ha-ha… damn!

Dan, bulu kuduk sialan ini mulai pada bersekutu, meremang satu-satu macam kucing bertengkaran.

 

00.15    Jalur pasir ke Puncak Mahameru

Sepertiga pertama

Di bawah rembang purnama, puncak Semeru tenang mengundang. Sementara saya masih bertanya-tanya dalam hati sesulit apa bakalnya jalur pasir ini, beberapa orang pendaki justru telah sampai di tengah-tengah punggungan. Cahaya headlamp mereka tampak berkilatan seperti barisan kunang-kunang. Satu-dua mulai menjauh, meninggalkan kerumunan. Yang ditinggalkan, bukannya mengimbangi malah berhenti.

Puncak abadi para dewa, here I come!

Atas nama penghematan, headlamp sengaja saya matikan. Jalur masih terlihat jelas ditindaki cahaya rembulan. Bahkan pergerakan para pendaki di atas sana pun masih bisa saya ikuti dengan mata telanjang. Tak ada gunanya buang-buang sumber daya.

Saya baru melewati Cemoro Tunggal yang berdiri sendirian seperti dikucilkan. Fery semakin jauh di depan. Supaya tak ketinggalan, langkah saya harus dipercepat. Persetan dengan kemiringan medan yang 45 derajat. Dan, jutaan butir pasir di bawah kaki sana tak bosan-bosannya bergemeresak tiap kali terinjak.

Karakter jalur muncak mulai dari batas vegetasi Kelik hingga Cemoro Tunggal mengingatkan saya pada trek puncak Rinjani yang berpasir kasar namun relatif solid. Saya bisa melaluinya dengan mudah.

Sialnya, selepas Cemoro Tunggal, jalur pasir campur kerikil itu berubah jadi gembur. Terlalu gembur. Dari tiga langkah yang diambil, dua langkahnya pasti merosot mundur. Ini seperti naik lantai dua, pakai eskalator turun. Benar-benar butuh tenaga ekstra sekedar untuk bergerak maju. Itu pun untuk jarak yang tak seberapa.

Kerikil-kerikil usil semakin rajin nyempil di sela-sela antara sandal dan telapak kaki saya. Kesabaran saya mulai terkuras pelan-pelan. Bagaimana tidak? Mereka tak bisa diusir pergi hanya dengan kibasan kaki. Harus dikerjakan dengan tangan sendiri. Masalahnya, jalur pasir ini demikian curam, bahkan untuk menjaga keseimbangan pun butuh perjuangan. Meleng sedikit bisa ng-glundung, nyemplung jurang. Dan ini baru sepertiga jalan.

Untungnya Ika gak jadi ikutan. Gak kebayang kalau dia ngadat di tengah jalan atau minta pulang, apalagi sampai pingsan.

 

Sepertiga kedua

Kemiringan jalur kini tereskalasi. Sudutnya mencapai 50-75 derajat. Sungguh ini! Gak main-main. Fery, yang pernah dua kali datang kemari, saya persilahkan jalan di depan.

Pengalaman sepertiga medan sebelumnya sama sekali tak bisa dijadikan bekal adaptasi di jalur ini. Setiap langkah yang saya alih, selalu menuntut sumber daya lebih. Ya tenaga, ya kesadaran, ya keseimbangan, ya konsentrasi. Sementara lapar, kantuk, dingin, dan tipisnya oksigen terus saja membayangi.

Di satu titik jalan, kami dihadapkan pada dua pilihan – Kanan: jalur pendakian normal tapi terjal, atau Kiri: jalur landai lembahan tapi jarang dilalui orang.

Fery kebingungan menentukan pilihan. Saya iseng ambil keputusan. “Udeh, kiri aje, Fer. Kayaknya enak tuh!”

Tanpa pikir-pikir lagi, jalur sepi mulai kami jejaki. Sekali lagi saya mempersilahkan senior jalan di depan. Gak sekali pun boleh di belakang. Haram!

Saya terus membuntuti Fery dari jarak 5-10 meter. Dasar sial. Semakin ke depan, jalurnya semakin mencurigakan.

Satu kali Fery coba memanjat ke punggungan—jalur normal. Sayang gagal. Dia terpeleset mundur, seakan ada monyet iseng yang menarik kakinya. Perjalanan diteruskan. Begitu mendapati celah kemungkinan, percobaan kembali dia lakukan. Sayang, monyetnya masih di sana.

Dan, jalur lembahan ini semakin ke depan semakin dalam saja. Sementara jalur normal itu justru semakin jauh di atas sana. Tak mau terjebak perangkap yang kami buat sendiri, Fery memperkuat usahanya, lagi dan lagi dan lagi. Sial, tetap gagal. Mukanya berubah keputihan sekarang. Dia mulai panik. Saya justru bahagia bisa menyaksikan itu semua.

Rasain luh, Fer…

Fery hampir-hampir tak mengindahkan keberadaan saya. Dia terus mencoba dan terus gagal. Kali ini air mukanya jauh lebih panik. Sialnya, saya ikut terbawa. Dafuq!

Bukan. Penyebabnya bukan karena pengulangan yang tak pernah berhasil itu. Tapi… EKSPRESI MUKANYA ITU, LHO!!!

Demi keselamatan bersama, kali ini saya perlukan mengikuti contoh yang dia tunjukkan – sambil sesekali mengumbar motivasi biar pikirannya (juga pikiran saya) kembali tenang. “Bisa, Fer? Enggak? Coba yang itu. Kayaknya lebih gampang.”

Percobaan kesekian, panen besar. Tragedi kemanusiaan bisa dihindari. Kami segerakan istirahat di batuan besar terdekat. Apa daya, melanjutkan muncak belum lagi minat. Meredakan sisa ketegangan barusan, jauh lebih penting.

“Cemilan keluarin, Fer,” dia manut. Dan, obrolan soal ketegangan yang baru lewat, mulai mengambil tempat. Ah, indah betul Semeru malam ini.

“Noh! Udah pada mulai (muncak),” Fery menuding ke arah bawah dengan dagunya.

Dari batas vegetasi, jauh di bawah sana, titik-titik cahaya terlihat mengular rapi, melata perlahan ke arah kami. Sebagian buntutnya masih tertinggal di hutan Arcopodo, dan cahayanya kelap-kelip ditingkahi rongga pepohonan. Saya jadi teringat pada adegan ‘fire-worm’ di film The 13th Warrior. Waktunya melanjutkan perjalanan.

“Duluan, Mas,” sapa seseorang yang tiba-tiba nongol di samping.

”Oh, ya. Silahkan, Mas,” refleks, saya memberinya ruang. Rombongan di belakangnya rapat mengikuti.

Hah!? Dafuq! Cepet amat!!!

 

Sepertiga ketiga

Udah dibela-belain berangkat duluan, masih aja keduluan sama yang belakangan. Padahal bedanya 3-4 jam. Pingin nangis rasanya. Tapi, ya sudah lah. Yang penting dua per tiga jalur pasir sudah tercapai.

Bulan makin cemerlang di langit malam. Tapi mata ini makin redup saja. Kelopak mata saya layu, bagai digelayuti seplastik ubi Cilembu. Dipaksa melotot biar gak gampang terpejam, ujung-ujungnya malah kayak orang kesurupan. Dan badan ini, ah, kenapa juga harus sempoyongan begini. Dan lapar ini… haduh biyung

Sudut kemiringan jalur kali ini stabil di kisaran rata-rata 70 derajat. Tak boleh ada marjin error. Bahaya, bisa ng-glundung. Iya, kalau cuma ng-glundung. Kalau bonus almarhum?

Ritme perjalanan Fery semakin ke atas semakin pelan saja. Ajakan saya untuk mempercepat langkah, beberapa kali diabaikan. Sebagai veteran Semeru, dia tak merasa perlu memburu-buru waktu. Bahkan pada sekali kesempatan, disuruhnya saya jalan duluan. Dan, entah bagaimana, gelagatnya ini saya rasa-rasai sebagai bentuk ancaman. Bagaimana kalau sewaktu-waktu dia berubah pikiran, gak mau melanjutkan perjalanan?

Sebaliknya, ini adalah kali pertama saya. Terlanjur basah, saya tidak akan begitu saja menyerah. Setidak-tidaknya tim kecil ini tetap harus punya satu orang perwakilan gugur kewajiban.

Setelah melalui beberapa pertimbangan, diputuskan, estafet perbekalan—yang tinggal setengah botol air mineral itu—pindah ke tangan saya. Dengan begini, seandainya asumsi saya terbukti benar, dia bisa terbebas dari beban moral. Karena biar bagaimana pun perjalanan muncak itu jauh lebih berat dan butuh bekal lebih banyak, ketimbang turun kembali ke Kalimati. Dan, sebagaimana jemuran basah, Fery saya tinggal sendirian di belakang.

Dengan kondisi payah, saya paksakan terus melangkah. Di depan sana, dua puluhan lebih pasang sepatu makin gencar memproduksi debu tebal. Serbuk halus itu gusar beterbangan tak tentu arah. Yang jalan di belakang, tinggal kebagian apesnya. Pandangan saya agak terhalang, napas pun tambah ngos-ngosan.

Mau tahan napas, rasa-rasanya tidak mungkin. Dengan irama yang sudah sependek, seberat, dan secepat ini, kalau memaksa ditahan-tahan juga, takutnya malah koma. Amit-amit, jangan sampe! (ketok kepala, lanjut ketok-ketok meja.)

Sekiranya tahu kalau kondisinya bakal terus-terusan begini, tentu saya akan mempersiapkan masker dan kacamata kedap udara—kacamata biasa dianggap tak cukup mumpuni untuk menghalau debu segitu tebalnya—sejak dari Jakarta. Sayang, terlambat.

Fery semakin jauh tertinggal.

Rokvolll!!!… rokvollll!!!… satu teriakan keras mendadak terdengar dari arah atas.

Heh? Rokvol? Apaan tuh? Sambil membathin, saya mendongak ke arah sumber suara. Pemilik suara tak bisa saya temukan. Di atas sana terlalu banyak orang. Saya tambah penasaran. Dan, kenapa juga orang-orang itu jadi pada minggir-minggir semua begitu?

Satu suara lain melengking sama keras tak lama setelahnya. “Batuuuu!!!”

Hah? Batu! Anyinkkk!!! Saya baru sadar, kalau ‘rokvol’ yang dimaksud sebelumnya adalah ‘Rockfall.’ Reruntuhan bebatuan yang lepas dari kedudukannya dan meluncur bebas ke bawah di sepanjang tebing vertikal atau sub-vertikal. Karena panik, saya refleks bergaya macam kiper menunggu bola. Bukan untuk ditangkap, tapi untuk dihindari.

Saya terus menunggu datangnya batu dengan pikiran macam-macam dan detak jantung yang gak karu-karuan. Gimana bakalnya kalo batuny segede kepala? Atau segede kamu? Iya, kamu.

Batu yang ditunggu tak kunjung datang. Saya memilih tetap diam, sambil bersiaga memastikan kondisi aman. Di atas sana, orang-orang mulai pada melanjutkan perjalanan. Sepertinya, kondisi telah aman terkendali. Saya mulai mengikuti.

Omong-omong, gimana kabarnya Ika, ya?

Ah, semoga dia gak dijailin musang hutan…

Oia, adakah di antara kalian yang pernah lihat musang leher kuning (Martes flavigula) di TNBTS, yang katanya langka itu?

Sepertiga jalur pasir terakhir ini benar-benar sulit. Bahkan, sekedar untuk duduk di salah satu batu besar saja butuh kehati-hatian ekstra. Mau duduk, susah. Mau kembali berdiri setelah duduk, juga susah. Kemiringan medan seolah terus menunggu-nunggu kapan waktunya saya lengah. Demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, saya pilih istirahat sambil berdiri.

Jauh di bawah sana, Fery bertukar anggukan dengan seseorang. Bermodal senyum cemerlang, dia menyapa terlebih dahulu. Lawan bicaranya menyambut ragu. Fery terus memaksakan diri. Lawan bicaranya bercermin, mengikuti. Dalam sebentar ketegangan itu akhirnya cair juga. Keduanya mulai sering tertawa, entah apa yang jadi topik pembicaraan mereka.

Tak lama berselang, yang diajak ngobrol gopah-gopoh menyodorkan botol. Yang disodor, buru-buru menyosor. Ah! Saya baru paham sekarang. Soal rekayasa sosial, dia memang jagonysa.

Di atas sana, satu dua orang mulai menghilang dari pandangan. Summit attack mereka baru berakhir. Jerih payah mereka telah berbuah hasil. Sementara saya, masih di sini menyuburkan iri.

Jalur ngehek! Gak sampe-sampe! Kagak bakal gue ke sini lagi. Mau dibayar berapa juga.

Pada sebelah kiri jalur nun jauh di ufuk timur, fajar kemerahan mulai mengusiri malam. Pertanda kesempatan saya hampir habis. Dengan sisa waktu sesempit ini dan kondisi diri yang begini macamnya, rasanya tidak mungkin bisa menikmati sunrise di puncak, tepat waktu. Tapi saya masih punya doa. Eskalasi kekuatan terakhir yang bisa dimintakan manusia kapan saja kepada Sang Pencipta saat diri tak berdaya. Isinya: permohonan agar bisa sampai puncak Mahameru tepat waktu. Kalau bisa, sebelum matahari terbit.

Agar muncak Semeru edisi pertama (sekaligus yang terakhir) ini cepat selesai, untuk kesekian kalinya, seluruh kemampuan dan ketidakmampuan, saya kerahkan.

Alhamdulillah. Puncak Mahameru, titik tertinggi di Pulau Jawa, yang katanya puncak abadi para dewa itu, kini sudah berada di bawah kaki saya. Tepat waktu. Setepat matahari yang baru muncul itu.

Untuk doa yang terkabul, sebenarnya ingin betul saya melakukan sujud syukur. Tapi apa daya, urat-urat kaki saya terlanjur kaku semua. Gerak sedikit saja sakitnya bagai disiksa. Belum lagi harus mempertahankan diri dari hembusan angin yang begini dingin.

Oia, hampir lupa. Untuk kalian yang berencana mendaki puncak Mahameru, saya sudah menyusun tips & trik-nya di SINI. Jangan lupa dibaca ya. Sedikit banyak mudah-mudahan cukup membantu.

 

Sunrise di Puncak Mahameru

 

Kontur Puncak Mahameru

 

Cendawan Kawah Jonggring Saloko

 

05.36    Puncak Mahameru

Jerih payah yang keluar, lunas terbayar. Pemandangan dari puncak Mahameru seperti yang saya harapkan. Benar-benar memanjakan mata. Untuk mengenang beratnya perjuangan, saya perlukan menengok ke belakang. Tak disangka, masih banyak juga yang tercecer di sana. Entah karena telat berangkat, entah karena medan pasir yang begitu berat.

Posisi matahari makin tinggi, jauh di kanan saya. Tepat pada arah jam dua belas, jauh di bawah sana, hijau pepohonan tampak kekuningan disapu cahaya matahari pagi. Sedikit serong kanan, terlihat berturut-turut Hutan Jambangan, Cemoro Kandang, dan Oro-oro Ombo. Ranu Kumbolo tidak kelihatan, tertutup bukit di kejauhan.

Saya tidak boleh diam terlalu lama di tempat berangin seperti ini. Harus tetap bergerak untuk menghalau hawa dingin yang terus-terusan menusuk tulang.

Beberapa grup pendaki tampak beristirahat di area tengah puncak. Beberapa lainnya menikmati kemenangan dengan sight seeing dan berfoto-foto, kadang landscape, kadang wefie, kadang selfie—yang terakhir jumlahnya lebih banyak. Lumayan, buat kenang-kenangan.

Satu kelompok tampak sibuk mengurus seorang teman mereka yang tergeletak nge-drop. Di ujung sana, satu orang pendaki, nekat mengitari kawah Jonggring Saloko dari dekat. Padahal jelas-jelas dilarang. Karena antara 3-5 menit sekali kawah ini hampir selalu batuk disertai kepulan asap putih pekat.

Untuk siapa pun yang belum pernah menginjakkan kaki di puncak Mahameru, yang notabene gunung tertinggi di Pulau Jawa sekaligus gunung berapi tertinggi ketiga di Indonesia ini, maka bersegeralah. Setidaknya sekali dalam seumur hidup. Believe me, it’s worth the effort.

“Oooiiiii…” satu teriakan lantang mendadak terdengar dari arah belakang. Nadanya cempreng, kelas kaleng rombeng. Dan, dari sekian banyaknya manusia, mengapa intuisi ini juga yang merasa-rasai kalau panggilan itu ditujukan ke saya.

Saya menengok ke belakang. Intuisi saya terbukti. “Sampe juga lu ke atas, Fer. Gue kira lu males muncak.”

Ngehek, maen tinggal-tinggal aje!” kekesalan yang ditahan, menuntut pembebasan.

“Lah! Kan elu yang nyuruh gw duluan aja, tadi,” saya protes.

“Gw aus bener, tadi. Pengen minum, aer lu bawa. Akhirnya gw ngemis-ngemis dah sama siapa aja.” Setelah penderitaan diumumkan, dia lanjutkan dengan pamer kemiskinan. Kasihan. Sebagai teman yang baik, saya hanya bisa berempati lewat tawa sepuasnya. Sayang, Ika tidak di sini bersama kami. Yah, paling tidak trekking pole, keril, dan botol minum titipannya cukuplah mewakili.

 

Kami di Puncak Mahameru

 

In Memoriam – Soe Hok Gie dan Idhan Lubis

 

Tim Guru dari Pasar Tumpang Malang

 

Kami berkenalan dengan tim guru asal Tumpang, Malang, juga mahasiswa pecinta alam STEKPI, Jakarta. Di sela perkenalan yang singkat itu, tak sengaja ekor mata saya menangkap sesuatu yang mengganggu. Sambil mengobrol ringan, Fery asik mengunyah remah-remah. Tangan kirinya penuh cemilan, tangan kanannya sibuk memindahkan ke mulut. Entah dia dapat dari mana. Saya jadi bingung; mau minta, gengsi – gak minta, ngiri.

“Dapet dari mana, Fer?” Perut saya keroncongan, mendadak butuh asupan.

“Dapet dong. Gw gitu, lho!” Fery malah cengengesan, sambil pamer gigi Freddie Mercury. Ngehek!

“Nih, Bang. Masih ada,” seseorang tak dikenal, tiba-tiba menepuk pundak saya dari belakang. Tangan kanannya menyodorkan bungkusan plastik berisi cemilan persis seperti yang di tangan Freddie Fery.

Bangsat, malu gue!

“Tuh, dapet dari diye.” Merasa berhasil menjebak, Fery tertawa ngakak. Saya jadi pengin beli karung goni untuk menutup muka sendiri.

Melihat saya ragu, orang itu kembali menawarkan, “Silahkan, Bang, ambil aja. Kita masih punya banyak, kok.”

“Ah, iya. Iya. Terima kasih. Gak usah.” Untuk menutupi martabat yang kadung terinjak-injak, saya refleks menolak.

“Udah, gak papa, Bang. Ambil aja,” katanya lagi sedikit memaksa.

“Iya. Gak usah, udah. Terima kasih,” saya tetap menolak. Tapi, kenapa tangan sialan ini malah refleks bergerak. Dua kali gerilya, masuk ke plastik cemilan yang disodorkan. Ngehek! “Aduh, makasih, ya. Jadi gak enak, nih.”

“Iya, Bang, sama-sama.” Raut wajahnya menyiratkan penyesalan yang mendalam.

Terlanjur menyesal, tiga varian minuman lebaran lanjut dia tawarkan: ada Sprait, Panta, juga Kola-kola. Baik betul mahasiswa STEKPI ini. Mengingat kesempatan tidak datang dua kali, ayo Fer, kita manfaatkan selagi bisa. #Eh!

 

Turun dari Puncak Mahameru ke Kalimati

 

07.10    Trekking down ke Kalimati

Kami puas memamah sedekah. Makanan ringan yang mereka berikan, sedikit banyak kembali memulihkan tenaga saya. Saatnya trekking down.

Trek di depan, sepi. Belum ada yang turun kecuali kami. Satu dua pendaki yang tercecer muncak tampak mulai melepaskan harap. Beberapa sisanya masih tetap semangat.

“Elu aja sana yang muncak! Emang guah pikirin! Gak usah maksa-maksa! Guah mau turun sekarang! Capek!”

Nah! Cewek yang satu ini, masuk ke dalam golongan pertama. Panggilan ayah-bunda aku-kamu ayang-bebeb otomatis basi di jalur neraka ini. Yang laku cuma elu-gua. Sambil ndeprok di pasir, dia terus meratap, memaki-maki pacarnya. Tak peduli eksistensi Fery dan saya di dekat mereka.

Dibandingkan saat muncak, teknik turun gunung kali ini sedikit berbeda. Kalau sebelumnya lebih mengandalkan engkel dan ujung jari kaki, maka sekarang lebih banyak menggunakan tumit. Kerja dengkul pun terasa lebih berat sekarang, karena tahanan beban selalu jatuh pada kaki yang melangkah belakangan.

Kerikil-kerikil kecil di sepanjang jalan, kembali membuat ulah. Begitu rajin mereka nyangkut di sela-sela kaki. Mending kalau gampang dihalau. Susah! Lama-lama bikin saya naik darah.

Kalau cuma mengibas-ngibaskan kaki, dijamin mereka gak akan pergi. Benar-benar harus diambil pakai tangan sendiri. Karenanya, jika kalian, entah kapan, punya kesempatan menjajal trek neraka ini, sebisa mungkin hindarilah penggunaan sandal gunung.

Dan, sekali lagi… kami yang jalan duluan, tapi kami juga yang selalu tersusul dan ketinggalan di belakang.

 

Jalur Pasir Gunung Semeru

 

Cahaya siang mengesankan jalur pasir lebih curam dibanding tadi malam. Di ujungnya, jauh di bawah sana, zona merah bernama Blank 75, setia menganga, menunggu siapa saja yang tak waspada. Salah sedikit, minimal rumah sakit. Salah banyak, ya,  harus siap ketemu malaikat.

Saya melangkah dengan hati-hati. Namun tetap saja, pasir-pasir yang menutupi bebatuan, yang terserak di sepanjang jalur, terkadang membuat pijakan saya jadi licin dan berbahaya. Mengganggu keseimbangan. Terbukti, dua kali pantat saya bersimbah pasir. Di belakang sana, Fery pun njengkang-njengking lebih sering. Yah, walau bikin bokong ngilu, tapi sumpah, ini seru! Seenggak-enggaknya, kita berdua jadi punya bahan tawaan untuk melupakan kesulitan survival.

Setengah jalur pasir baru terlampaui, tapi urat-urat kaki saya sudah pada tegang semua. Bagaimana ini…

Saya terus membuntuti pendaki di depan. Langkah mereka kadang cepat kadang pelan. Tergantung kondisi medan. Dan, jutaan butir pasir yang mereka injak itu makin gencar memproduksi debu tebal. Angin membawanya terbang ke belakang, ke arah saya, dan terus berhembus ke arah puncak. Saya terpaksa berhenti, menjaga jarak.

Dari beberapa yang sudah dicoba, saya rasa 25 meter adalah jarak yang paling ideal, baik pada saat muncak, maupun prosesi turun. Walau tidak seratus persen hilang, setidaknya debu-debu pengganggu itu sudah banyak berkurang.

Biar dikira setia kawan, saya putuskan menunggu Fery yang masih tertinggal jauh di belakang. Yang merasa ditunggu cuma nyengir kuda, sampai-sampai gigi Poppy Freddie Mercury-nya kelihatan semua.

Fery sudah sampai. Perjalanan tak langsung diteruskannya. Dia memutuskan istirahat barang sejenak. Napasnya yang kembang kempis itu harus diredakan dulu. Biar gak kelihatan tuanya.

“Lanjut, Fer?” ajak saya, karena istirahat sudah terlalu lama.

“Ayok!”

Biar adil, kali ini saya biarkan dia memimpin perjalanan. Dan, semakin dia di depan, semakin saya ditinggalkan. Dasar anak linsang!

 

Batas Vegetasi Kelik

 

08.15    Sampai batas vegetasi

Lebar jalur pada batas vegetasi Kelik berkisar antara 1-3 meter, dengan jurang di bagian kiri dan kanan. Untuk jatuh ke dasar jurang sana, bisa dilakukan dengan cara ng-glundung di medan pasir berkemiringan antara 40-50 derajat sejauh 100 meter, kemudian dilanjutkan terjun bebas melompati tebing berketinggian setara Blank 75.

Untuk menghindari agar kejadian menyeramkan tersebut tidak terjadi, pengelola TNBTS telah menyiapkan tonggak-tonggak besi warna kuning sebagai pagar pembatas di beberapa bagian jalur—yang pada situasi tertentu tonggak-tonggak itu juga bisa digunakan sebagai fitur navigasi penanda arah.

Sayang, besi-besi ini seringkali roboh. Penyebabnya; kalau bukan karena kondisi alam, biasanya karena sering digunakan sebagai pegangan penjaga keseimbangan orang-orang yang lalu lalang. Dan, jika ditilik dari puing-puing sisanya, kerusakan ini tampaknya lebih diakibatkan oleh pemasangan pondasi pasak yang kurang dalam.

Rasa lapar kembali mendera perut kami berdua. Badan saya lemas bukan main.

“Gimana nih, Fer?”

“Mmm…” Fery pura-pura mikir. “Kalo kagak salah inget, tadi kan mereka bilang pada nenda di Arcopodo, tuh. Kita cari aja. Siapa tau punya makanan banyak.”

“Iya, kalo masih pada di sono.”

“Masih! Yakin, gw.”

“Hayuk, dah!” Saya tak punya jawaban lain kecuali turut mensponsori keyakinannya itu. Nothing to lose aja dah. Dapet sukur, kagak dapet, nyusul.

 

09.00    Sampai di Arcopodo

Alhamdulillah, jalan kehinaan kami dipermudah. Target yang dicari masih ada di lokasi. Beruntung mereka belum pergi. Demi kelancaran maksud dan tujuan, aksi basa-basi langsung kami skenariokan. Tak lupa, mata jelalatan mencari-cari target makanan.

“Sampe di sini (Arcopodo) kapan, Mas?” Fery buka perangkap.

“Kemaren sore, Mas,” jawab Mas 1.

“Owh… pake tiga tenda, ya?” Fery menghitung dengan matanya.

“Iya, kita pake tiga tenda.” Mas 2 ikut menjawab.

“Tadi (muncak) berangkat jam berapa?”

“Kita berangkat jam satu pagi, Mas. Makanya buka tenda di sini. Biar hemat tenaga,” sambut Mas 1 lagi.

“Ooowwwh…” sambil menjawab mata Fery terus beredar. Sebungkus plastik roti, terkunci.

“Ayo, silahkan, Mas. Dimakan roti tawarnya.” Modus pun terbongkar. Mampus!

“Waduh, terima kasih, Mas. Jadi gak enak nih,” Fery cengengesan. Dan saya khawatir, jangan-jangan Mas-nya itu menimpali dalam hatinya dengan; gak enak, dengkulmu mlocot. Persetan rasa malu, tangannya segera menyambar buruan tanpa rasa sungkan. Roti itu dikunyahnya lahap-lahap, seakan tak pernah makan selama hidupnya. Dan itu dilakukannya dengan natural. Sangat natural.

Tak mau rugi, saya ikut berpartisipasi. Tapi, baru menikmati beberapa gigit roti, saya segera mendapati sesuatu yang bikin ngeri.

Persis di depan mata saya, satu perbuatan tidak menyenangkan sedang terjadi. Sambil menikmati rotinya dengan begitu lahap, segumpal upil kenyal menggelayut liar di ujung lubang hidung kanan Fery. Hampir-hampir terjun bebas. Sebagian besar telah hitam mengeras, sementara sisanya masih abu-abu mulai tua. Semakin mulutnya mengunyah, semakin liar saja upil itu bertingkah.

Sering saya perlukan menoleh ke arah lain, sekedar untuk menelan dan mengunyah. Takut ujug-ujug muntah. Gak enak sama tuan rumah.

Sialnya, adonan setengah matang itu selalu menang menarik perhatian. Saya seolah dipaksa melihatnya lagi dan lagi. Sampai-sampai pikiran ini tak bisa tenang membayangkan apa yang bakal terjadi kemudian. Jatuh ke tanah? Atau jatuh ke roti gigitannya? Saya selalu berharap yang terakhir. Dan untuk itu, saya terus menunggu.

Lembar pertama roti tawar kami baru saja habis. Tuan rumah sekali lagi menawarkan kami roti yang sama. Kali ini lebih lengkap dengan susu coklat. Untuk perut yang kelaparan, tawaran ini jelas menggiurkan. Fery tak menyia-nyiakan kesempatan. Diambilnya dua lembar, diolesnya salah satu dengan susu, ditangkup, dan hap! Dia makan lebih lahap.

Sementara saya? Fenomena upil barusan membuat saya kehilangan selera. Tawaran kali ini terpaksa ditolak. Lagi pula, bagaimana bisa saya enak-enakan makan, sementara di Kalimati, Ika kelaparan.

Dan upil itu… ahhh, ingin rasanya menyingkirkan upil itu dari sana menggunakan sengget beracun.

Setelah dua kali tambah, wajah Fery terlihat jauh lebih sumringah. Dia sudah kenyang sekarang. Sebaliknya,  saya justru kembali kelaparan. Ya, kesempatan itu masih ada. Roti masih tergeletak di atas matras berikut aksesorisnya. Tapi sayang, saya tak bisa. Perut ini rasanya seperti mau meledak. Poop yang sudah dua hari ditahan, semakin menuntut pembebasan.

“Udah kenyang, nih. Terima kasih, yak.” Keheningan tiba-tiba pecah. Dengan upil yang masih bergelayutan di hidungnya, tanpa basa-basi, Fery pamit pergi. “Kita mau langsung turun ke Kalimati.”

Tuan rumah hanya bisa terpana. Mulut mereka menganga tanpa bisa berkata-kata. Sementara saya, bingung harus berbuat apa. Mau tetap tinggal, kebelet poop makin menjadi-jadi. Tapi mau pamit pergi, rasanya kok malu sendiri. Bangkek nih, Fery…

Dan, dengan rasa malu yang ditekan-tekan, saya terpaksa pamitan, seraya menyalami satu per satu tuan rumah yang ramah itu. Terima kasih, teman-teman. Maafkan kelakuan teman saya yang satu itu. Biar. Biar Tuhan yang bales.

 

Kalimati Siang Hari

 

10.30    Sampai di Kalimati

Dua belas jam lebih kami di luar tenda, akhirnya kembali juga. Mama Yukero (baca: Ika) terlihat sibuk masak-memasak. Entah masak apa, padahal logistik pun kami tak punya.

Kini kepala saya terasa semakin berat. Kondisi tubuh saya drop sejak start turun dari puncak. Karenanya, begitu sampai di tenda, saya putuskan langsung rebahan. Fery pilih temani Ika main masak-masakan. Dan, untuk waktu yang lumayan lama, obrolan soal muncak sayup-sayup tertangkap kuping saya.

Tiba-tiba… “Makan dulu nih Bem!” kata Ika dari luar sana.

“Iye, Ka. Ntar dulu dah. Nge-drop nih gue.” Kepala saya tambah berat walau sekedar untuk menjawab.

“Oh, ya udah. Lu rebahan aja dulu,” katanya, menasihati.

“Iye, Ka.” Lu kira dari tadi gue ngapain? Nguras empang?

Kalau boleh jujur, sebetulnya saya tak menyangka bisa sampai puncak Mahameru. Karena tujuan ke Semeru ya cuma pingin kemping ceria di Ranu Kumbolo saja. Sekedar hepi-hepi. Apalagi kalau mengingat modal muncak kemarin malam yang super minimal—2 bungkus mi instan dan sekaleng sarden yang dikeroyok bertiga. Dimakannya sore pula.

Konsekuensinya jelas: sepulangnya dari puncak, wajah dan penampilan saya jadi lebih mirip gelandangan ketimbang pendaki betulan. Fery lebih parah lagi.

Dan, jalur itu… ahhh… pokoknya ngehek, lah! Cukuplah ini jadi yang pertama, sekaligus yang terakhir. Kayak kamu gitu. Iya, kamu.

 

10.45    Gagal tidur nyenyak

Upaya saya untuk memejamkan mata selalu gagal. Keheningan yang diharapkan tak kunjung datang. Dari luar tenda sana, satu-satunya stasiun radio spesialisasi talkshow, disetel dengan volume yang mengganggu pendengaran: Radio Republik Ika.

Saya terus berdoa semoga siarannya segera bubar. Sial, malah tambah panjang. Ika seakan tak pernah kehabisan materi. Pokoknya, ad-da’ aja yang dibahas. Yang ini habis, yang itu dia mulai. Dia tak sadar sudah menjajah kuping saya. Saya nyerah.

“Tadi pagi, pas lu pada kagak ada, gw kan mau masak. Eh! Aer abis,” kata Ika. “Ya udah, gw siap-siap deh mau ngambil aer ke Sumber Mani. Dua botol gede cukuplah, gw kira, yak!” lanjutnya lagi berapi-api. Semoga gak sampai membakar tenda kami.

“Karena gw gak tau tempatnya, gw nanya dong sama pendaki lain yang ada di sekitar tenda kita. ‘Mas, arah Sumber Mani ke mana, ya?’ begitu gw bilang.

“Mas-nya jawab, ‘Oh, jauuhh, Mbak!’ Terus dia nanya; ‘Emang butuh berapa banyak?’ Ya gw bilang aja, lumayan banyak, sih, Mas. Eh! Tiba-tiba dia minta satu botol kosong yang gw bawa. Katanya, ‘Ya udah, sini botolnya, Mbak. Kita masih punya banyak nih.’”

“Gak mungkin lu dikasih begitu aja, Ka,” kata Fery curiga. “Pasti pake trik lu, ya? Elu kan bulus, Ka.”

Untuk kecurigaannya itu, saya membathin, ‘Aamiin.’ Karena biar bagaimana juga, bulusnya Ika itu satu level lebih tinggi dibanding Fery. Mereka berdua ini bulus kuadrat.

“Iya, sih. Muka gw melas-melasin gitu. Terus jalan gw lemes-lemesin.”

TUH, KAN!

“Tapi, masak cuma satu botol doang!” protes Ika. “Gw kan butuh paling enggak dua botol gede, buat masak, sama buat bekel kita ke Ranu Kumbolo entar.

“Eh, udah gitu, gw ngeliat temennya satu, lagi sakit. Gw tanya aja, ‘Itu temennya sakit apa, Mas?’ Dia bilang; ‘Diare, Mbak. Dari tadi buang-buang air melulu. Lemes dia. Ini makanya kita mau pulang.’

“Gw inget-inget, kita kan punya Norit. Makanya tadi gw coba tawarin ke dia. ‘Nih, Mas, saya punya Norit. Ambil aja, kasihan tuh temennya.’ Eh, dia malah bilang gini; ‘Wah, Mbak, terima kasih banyak, ya. Eh, itu tadi botolnya satu lagi mana? Sini, biar saya tambahin lagi.’

“Asikkk… akhirnya dapet air banyak, kan, gw! Gak perlu jauh-jauh ke Sumber Mani segala. Weeekk…” tutup Ika, bangga, seraya memamerkan ekspresi wajahnya yang nyebelin itu.

Tapi, sebagai temannya, saya turut bangga mendengar keberhasilannya menipu korbannya hanya dengan bermodal lemes-lemesin badan dan Norit di tangan.

Saya sampai tak habis pikir. Baru dua hari mendaki, tapi survival sudah ugal-ugalan begini. Ya, makanan lah kekurangan. Ya, air lah kehabisan. Ya, perut lah kelaparan. Ya, tongkrongan lah macam gelandangan. Entah jadi apa kami ini kalau besar nanti.

Dan, kesadaran saya akhirnya hilang juga…

 

14.00    Bangun siang

Panasnya udara di dalam tenda membuat saya kembali terjaga. Suhu Kalimati siang ini amat menyengat dan kering. Berbeda 180 derajat dibandingkan tadi malam. Mungkin karena efek musim kemarau.

Masih dengan kepala berat dan badan yang tidak karu-karuan, saya paksakan diri keluar tenda, siapa tahu keadaan bisa jadi lebih baik. Dugaan saya meleset. Di luar, panasnya malah lebih gila. Bahkan Indomie dan kopi jelly yang sebenarnya menggiurkan itu, sampai malas saya sentuh. Kondisi diri dan udara seperti ini praktis membuat segalanya jadi tidak menarik.

Satu hari sebelumnya…

“Nah! Di sini aje, nih. Enak, adem.” Fery menunjuk calon lokasi tenda kami yang terlindung dari sengat matahari langsung. Di bawah bayang-bayang pepohonan.

“Iya, nih. Adem kayaknya,” Ika setuju.

Dua lawan satu, saya kalah. “Oke! Ayo Fer kita diri’in tendanya.” Yakin dengan pilihan mereka berdua, saya tidak memerlukan pengecekan ulang. Yang penting tenda segera didirikan, dan kami bisa istirahat lebih cepat.

Tenda sudah berdiri.

“Wah, adem juga ya di sini.” Saya dan Ika membanggakan lokasi pilihan Fery.

“Iye dong, gw gitu lho!” Fery jumawa.

Kembali ke hari ini. Saat siang telah menjelang…

Kenapa jadi panas kayak gini, ya? Perasaan kemaren adem

Saya segera memeriksa pepohonan di sekitar: jumlahnya masih sama, belum ada yang ditebang. Posisinya pun masih tetap di tempatnya masing-masing. Posisi tenda juga masih sama kayak kemarin. Gak bergeser sedikit pun. Aneh…

Saya terpanggil untuk mendongak ke atas…

Heladalah! Ini dia gara-garanya! Gimana gak panas? Lha wong persis di atas tenda kita kosong melompong kayak stadion.

Walau pepohonan di sekitar berdaun sangat lebat, tetap saja percuma kalau posisinya malah melingkari (sejauh radius rata-rata: 3 meter), bukannya melindungi tenda kami dari terpa cahaya matahari langsung.

Untuk menurunkan tensi, Indomie tadi pagi yang sudah sebesar tali sepatu ABRI itu saya sikat juga pada akhirnya. Hari semakin sore. Kami mulai berkemas-kemas untuk kembali ke Ranu Kumbolo.

 

Dari Kalimati Bersiap Menuju Ranu Kumbolo

 

15.21    Mulai trekking menuju Ranu Kumbolo

Waktu telah menunjukkan hampir pukul setengah empat sore. Tapi sinar matahari masih saja segarang tadi siang. Jalur setapak di depan jadi terlihat lebih kering dihimpit ilalang menguning dan debu-debu jalanan yang liar beterbangan.

Satu grup pendaki lain berangkat dalam waktu yang hampir bersamaan dengan kami. Langkah mereka cepat. Dalam sebentar mereka telah menyusul kami, kemudian menghilang di kejauhan.

Perut saya seketika bergejolak. Tanda panggilan alam harus secepatnya ditunaikan. “Gue kebelet nih, Fer.” Dan gejolaknya semakin menjadi manakala saya melihat muka teman yang satu ini.

“Iye. Sama nih, gue juga,” balasnya, latah.

“Poop di mane nih enaknya, ya?”

“Ah, gw tau! Kita pup di Jambangan aja, Bem. Tempatnya enak. Pokoknya mantep, dah!” promosinya penuh semangat. Philip Kotler mah lewat.

“Wah, boleh juga, tuh!”

Dan, dengan modal kebelet, langkah kami makin cepet…

 

16.30    Jambangan

Menjelang Jambangan, kami melihat kembali tim pendaki yang sebelumnya menyusul kami di depan sana. Semakin lama jarak kami semakin dekat, hingga akhirnya mengekor persis di belakang mereka.

Ayoh! Jalan terus lu pada…

Jalan terus…

Sedikit lagi…

Akkk! Mereka berhenti istirahat saudara-saudaraaa…

Rencana pup di Jambangan langsung berantakan. Target lokasi pup dianggap tidak steril. Saya dan Fery terpaksa menunggu mereka hengkang. Entah sampai kapan.

Akibat jalan setengah-lari dari Kalimati tadi, isi perut yang semula ada di tengah, kini telah bergeser jauh ke bawah. Persis di depan pintu gerbang kemerdekaan. Efeknya bikin gaya jalan saya setengah ngengkang. Soal rasa, jangan ditanya. Gelisah pokoknya, sampai ubun-ubun kepala.

Lima menit berlalu, mereka belum mau pergi juga. Saya tambah gelisah. Dan tahukah kamu? Dalam kondisi kebelet akut seperti ini, lima menit itu bagai selamanya.

Menjelang menit kesepuluh, akhirnya mereka pergi juga. Alhamdulillah… lebih lama sedikit, mungkin bisa kuning ini muka.

Kesempatan tak boleh disia-siakan. Saya dan Fery segera bergerilya mencari lokasi yang dianggap strategis: terhalang dari penglihatan orang-orang, tapi tidak menutup pemandangan—khususnya pemandangan ke puncak Mahameru. Selain itu, lokasinya juga harus nyaman, dengan lahan yang mudah digali dan diuruk kembali. Last but not least, tak ada hewan liar yang menonton dari dekat. Terutama yang bertaring, apalagi yang berbisa. Gak lucu, kan. Lagi enak-enak berak, tiba-tiba kantong menyan kita disikat.

Tempat berak sudah didapat. Jamban alam ini sungguh tanpa bandingan. Saya segera melakukan persiapan; jongkok tenang-tenang, tarik napas dalam-dalam, mata dipejam, dan… ahhh… nikmatnya luar biasa.

Eh! Ngomong-ngomong, puncak Semerunya mana ya?

Di depan gak ada. Saya cari ke kiri dan kanan, juga gak ada. Sigoblog! Saya salah arah. Puncak Mahameru-nya malah di belakang. Pingin balik badan, ngeri kesalahan. Adonan di bawah sana bisa benyek kalau saya sampai kepeleset.

Sejatinya, belum pernah sekali pun saya pup di gunung. Walau pun terasa, biasanya bakal saya tahan sekuat tenaga. Setidaknya, sampai turun kembali dan menemukan toilet untuk merelakannya. Tapi, karena Gunung Semeru itu terbukti indah, sekali ini nyoba kan gak ada salahnya.

Untuk kalian yang punya masalah serupa (tak terbiasa pup di gunung), saya punya cara yang mungkin bisa dicoba, yaitu; (1) sebelum mulai mendaki, usahakan pup terlebih dahulu, (2) setelah pup, kurangi porsi makan. Selang-seling jadwal makan berat kalian dengan makanan ringan berkalori tinggi seperti energy bar dan sejenisnya.

Selesai beol, perut saya terasa plong. Pikiran pun kembali tenang tanpa beban. Sayangnya, tidak dengan teman yang satu itu…

“Oiiiii… Bemmm!!!” Dari balik semak-semak, Fery memanggil sambil berteriak. Saya menoleh ke arah sumber suara, tapi tak terlihat siapa-siapa, kecuali rerimbunan alang-alang berbatang tinggi.

“Ngapa, Fer!?” Semoga dia tidak sedang mengajak saya bermain petak umpet. Apalagi sampai ngundang berak bareng.

“Ambilin gw tisu lagi, dong! Tisu gw kurang, nih!”

“Hahahahaha…” saya dan Ika sontak ngakak tiada habisnya.

“Tisunya abis, Fer.”

“TAI KALIH!!!”

“Hahahahaha… lu butuh berapa?”

“Ambilin gw dua aja!”

Baiklah, permintaanmu Om Jin kabulkan. Saya segera mengambilkan dua lembar tisu yang dimintanya. Sial, posisinya berak sulit saya lacak. “Di mana lu?”

“Di sini!”

“Di sini, mane? Berdiri lah dikit!” Fery manut. Saya menerabas ilalang untuk mendekatinya. Tiga meter lagi sampai…

“Udah, di situ aja! Lempar sini tisu-nya!” dia panik.

“Yang bener nih, Fer, lempar aja?” saya pura-pura terus mendekat. Kesempatan ngerjain gak datang dua kali. Sayang kalau sampai disia-sia.

“Iye, bener! Udeh, sinih! Lempar aja! Cepettt!!!” dia tambah gelisah. Mungkin karena sebagian knalpotnya masih becek mulai lengket-lengket.

“Ya udah. Nih, gue lempar, yak!”

Dan, tisu itu pun terbang ke arahnya. Tapi sayang…

“Hahahahaha, sori Fer! Kagak sengaja! Beneran dah! Hahahahaha…” saya tak kuat menahan geli demi menyaksikan kebodohan sendiri. Saya lupa memperhitungkan kadar beratnya dua lembar tisu yang saya lempar, yang akhirnya malah jatuh persis 1 meter di depan saya. Dan itu berarti kurang 2 meter lagi dari posisi jongkok Fery.

“Udah! Biar gw ambil sendiri!”

“Eh, jangan dong. Biar gue ambilin.” Saya menyorongkan tangan, sambil pura-pura melangkah maju ke depan.

“Udah, sana!”

“Iyak, iyak! Gue pergi! Hahahahaha…”

 

Di Oro-oro Jambangan Kami Bertiga

 

16.55    Melanjutkan trekking dari Jambangan

Ritual buang sial baru kelar. Setelah berfoto sebentar, kami lanjutkan kembali perjalanan ke Ranu Kumbolo dengan diiringi hujan abu ringan. Tidak seperti sebelumnya, selepas bongkar muatan, trekking kali ini terasa lebih ringan dan nyaman.

 

17.11    Cemoro Kandang

Cemoro Kandang sore itu dihiasi dengan jalan yang berdebu dan langit yang tahu-tahu berubah kelabu, seakan bakal turun hujan.

Menjelang Oro-oro Ombo kabut tipis mulai turun, dan dengan cepat berubah pekat. Jarak pandang yang tersisa tinggal 5 meter saja. Selebihnya sama sekali tak kelihatan. Kira-kira seperti inilah jenis halimun yang gampang bikin orang tersesat.

Headlamp yang sebelumnya telah dipersiapkan, segera saya keluarkan. Buat jaga-jaga, mana tahu kondisinya bakal semakin parah.

Saya segera memakainya. Dan, satu detik lagi sampai di kepala… “Bem! Headlamp lu, gw pake sinih!” sambar Ika.

Sendiko dawuh, Ndoro Kanjeng Juragan!” Sabda pandhita ratu tan kena wola-wali. Diiringi perasaan tertekan, headlamp segera berpindah tangan.

Baru selang sebentar, langit bertambah gelap, kabut pun semakin pekat. Menyusuri jalur Cemoro Kandang – Oro-oro Ombo tanpa penerangan perorangan, jelas merepotkan. Walau begitu, saya justru senang. Yah, hitung-hitung melatih ketajaman penglihatan.

Mumpung masih relevan, saya mau sharing sedikit nih. Untuk melatih ketajaman mata, setting normal yang biasa saya gunakan saat menulis suatu artikel untuk kedua blog saya, kira-kira seperti ini:

Alternatif pertama: (1) Buka aplikasi Microsoft Word, (2) Ubah “Zoom Level”-nya ke 100%, (3) Atur jarak antara mata dengan layar sekitar 50-70cm, dan yang terakhir (4) Ubah Font menjadi Cambria, ukuran 7 point.

Kalau datang kumat, saya kadang menggunakan ukuran font yang lebih kecil lagi (5 point), entah  untuk menulis artikel atau sekedar membaca-baca. Tapi, lebih sering dikisaran 6-7 point. Ukuran nyaman bagi mata saya.

Alternatif kedua: (1) idem, (2) Ubah “Zoom Level”-nya ke 60%, (3) idem, dan yang terkahir (4) Ubah Font menjadi Cambria, ukuran 11 point.

Ada yang penasaran mau coba?

Sekedar catatan: untuk yang tidak terbiasa menulis atau membaca dengan setting seperti ini dijamin langsung bikin kepala pusing—saya pernah meminta beberapa teman untuk mencobanya. Bahkan untuk yang bermata normal sekali pun bakal maju mundur melihat layar sekedar untuk memastikan kata-kata yang diketik atau dibacanya tidak salah. Dengan membiasakan diri menulis dan membaca dengan pengaturan seperti ini, selain lebih tajam, saya juga merasakan kalau mata ini jadi lebih awas.

Kembali ke Oro-oro Ombo…

Selepas Cemoro Kandang, rata-rata jalur setapak yang kami lewati berkontur datar dan panjang. Jejak cahaya dari senter para pendaki lain, agak jauh di depan sana, redup-redup tertangkap mata. Saya curiga, jangan-jangan merekalah orang-orang yang barusan mengacaukan rencana pup kami berdua. Hmm…

Pada jarak yang lebih jauh lagi, di punggungan bukit yang hampir berdekatan dengan Tanjakan Cinta, sebuah api unggun besar menyala berkobar-kobar. Di dekatnya, satu-dua cahaya senter tampak gelisah, terus berpindah tak tentu arah. Mungkin Jagawana, atau mungkin perwakilan tim yang menanti kedatangan teman-teman mereka yang masih tertinggal di belakang.

Bagi kami yang masih terjebak di kabut pekat, api unggun itu benar-benar sangat bermanfaat. Ia bagai lampu suar yang menjadi pedoman kami agar tidak tersasar.

Penyakit muncak saya kembali kumat. Persendian kaki ini terasa pedas seakan mau lepas.

 

18.45    Ranu Kumbolo

Ranu Kumbolo malam ini memberi kesan mistis. Semistis film Malam Satu Sukro yang dibintangi legend duet maut Bokir + Susana. Banyak suara, tapi tak kelihatan orangnya. Kalau pun terlihat, seringnya cuma sekelebat, kemudian kembali lenyap ditelan kabut pekat.

Dengan kondisi alam seperti ini, sumber penerangan (senter, headlamp, dan semisalnya), semahal apa pun harganya, seakan nyaris tak berguna. Ujung cahayanya hanya mampu meraih tak jauh dari sumbernya, itu pun dengan pola menyebar cenderung samar.

Saya tak menyangka penduduk Ranu Kumbolo bakal seramai ini. Dibanding malam sebelumnya, jumlah mereka malam ini berkali lipat lebih padat. Puluhan tenda tumpah ruah. Sebagian besar terkonsentrasi di sekitar bangunan pos.

“Bembiii… Bemmm… Bembiii…” sebuah bisikan misterius bertempo pelan, seketika terdengar memanggil-manggil nama saya. Dari sekian banyaknya manusia, kenapa juga harus nama saya yang dipilih!

Kecuali Ika dan Fery, tak ada satu orang pun yang saya kenal di sini. Yakin, 100 persen! Frekeunsi suara itu pun jelas bukan punya mereka berdua. Terus, siapa? Jangan-jangan… ah, semoga bukan.

Bulu kuduk saya mulai meremang. Suara itu semakin lama semakin dekat saja. Dan sekarang, terdengar persis di kuping kiri. Damn! Nyali saya tambah ciut. Gak mau nengok, tapi penasaran. Tapi kalo nengok, terus beneran setan, gimana? Ah, sebodo lah! Paling juga pingsan. Bismillah…

Diiringi irama jantung yang makin berantakan, pelan-pelan saya beranikan diri menoleh ke arah kiri. Mencari asal bisikan tadi…

Anak set-taaannnnn!!! Bikin takut aja!

“Elu, Pan?” kata saya pura-pura tenang. Jejak ketakutan barusan tidak boleh sampai ketahuan. “Gue kira siapa.” Dan, satu per satu, para penghuni kebun binatang itu mulai meneriakkan nama-nama mereka di dalam hati sana.

 

19.00    Rintik di Ranu Kumbolo

“Ke sini aja dulu, Bang. Ada teh manis panas, nih.” Taufan, kenalan dari Jakarta saat sama-sama ngantri tiket kereta, mengundang kami mampir ke tenda mereka. Undangan diterima.

Terus terang, saya lupa kalau punya janji dengan mereka, dan benar-benar tidak menyangka kalau ternyata, dia sengaja berdiri di pinggir jalur tadi hanya untuk menunggu kami. Salute!

Sesuai kesepakatan kami beberapa hari sebelumnya di Surabaya, begitu sampai di Semeru, kami akan saling mencari di antara dua meeting point; (1) Ranu Kumbolo, (2) Kalimati.

Namun, karena satu hari kemarin tak satu pun dari tim mereka menampakkan batang hidungnya di meeting point pertama, maka kami putuskan melanjutkan perjalanan ke meeting point kedua. Barangkali bakal ketemu di sana. Ternyata, tidak juga.

Teh manis panas yang dijanjikan, sudah disajikan. Fery, Ika, dan saya berbagi teguk dari gelas yang sama. Teh manis panas, campur rasa minuman keras. Supaya keakraban terjalin, atau lebih tepatnya, supaya tidak garing, kami saling berbagi kronologi seputar janji pertemuan yang gagal.

Tenaga kami telah pulih kembali. Waktunya pamit undur diri. Diiringi rintik kecil hasil karya kabut setempat, Fery dan saya segera mendirikan tenda. Ika jadi mandornya.

 

19.15    Makan malam?

Tenda kuning pinjaman telah berdiri. Kami segera masuk ke dalamnya. Untuk sementara ini kami hanya ingin rebahan, tak ada yang lain. Lelah perjalanan harus diredakan, kalau bisa sampai tak bersisa.

“Kita makan apa nih (malam ini)?” Ika memecah ketenangan malam.

Makan rumput enak kayaknya, Ka. Udah tau kita gak punya apa-apa, pake tanya-tanya segala.

“Emang kita masih punya makanan?” pertanyaannya saya jawab dengan pertanyaan.

“Masih, sih. Rendang kering sama orek teri-tempe, tuh. Tapi gimana makannya kalo gak pake nasi?”

Nasi… pandangan dan pikiran saya kompak mengawang-awang.

Waktunya survival sosialisasi. Tanpa perlu diperintah lagi, bersiap-siap kembali menyambangi tenda tetangga yang letaknya cuma di sebelah. Eh, siapa tau mereka masih punya nasi sisa. Kalau pun gak ada, basiannya juga gak papa.

Kalau percakapan sesi pertama tadi membahas kronologi seputar perjanjian yang gagal, maka percakapan sesi kedua kali ini lebih fokus pada obrolan remeh-temeh seputar perjalanan panjang, mulai dari Jakarta sampai Semeru. Kami tak pernah kehabisan materi untuk dibahas. Yang satu memulai, lainnya menimpali. Yang satu kehabisan bahan, yang lain melemparkan tema baru. Selalu begitu. Tak lupa, supaya misi sosialisasi tercapai, tiap ada sedikit celah selalu kami manfaatkan untuk menyisipkan sinyal-sinyal survival secara tersirat.

Sebelum genap satu jam, aktifitas social engineering segera kami sudahi. Misi terselubung telah dianggap mencukupi. Waktunya pamit pulang, sambil menunggu hasilnya dengan harap-harap cemas.

Tak lama kemudian…

“Om-om! Kakak-kakak!…” Taufan berseru-seru di luar tenda kami. Ika melongok keluar. “Kita ada beras, nih. Sori ya gak bisa ngasih banyak-banyak. Soalnya kita masih berapa hari lagi di sini. Segini gak papa, ya?” satu gelas berisi beras disorongnya.

“Wah! Terima kasih ya, Pan. Jadi gak enak, nih,” sahut Ika, akting. Tangannya buru-buru menyambar tawaran. Alhamdulillah, umpan kemakan.

“Iye, Pan. Jadi gak enak, nih.” Fery ikut menyambar, biar terkesan natural. Sementara saya, I’m part of their pack, jadi jangan salahkan saya kalau tambah bangga dengan skill tipu daya mereka.

“Sante aja, Om,” sahut Taufan ringan. “Oke, deh! Ane balik kandang lagi, ya.” Dia balik badan, pulang kandang.

“Sekali lagi, tengkyu banget ya, Pan!” Ika dan Fery teriak kompak.

“Oke, Om! Sippp!” jawab Taufan, semangat. Jempolnya diacungkan ke arah kami bertiiga.

“Lu masih ada makanan gak, Bem?” tanya Ika. Yang dimaksud dengan makanan di sini, tentu saja semua jenis lauk-pauk selain rendang kering dan orek-tempe-teri.

“Gak ada, Ka. Makanan kan di elu semua, bukan? Sama Fery juga, tuh?”

“Coba kita kumpulin makanan yang masih ada, yok!” Fery memberi ide. Kami segera menggeledah isi keril masing-masing, sambil berharap menemukan sedikit keajaiban tersangkut di sana.

Kopi…

Teh…

Sedikit snack…

“Lah, mane ma-ka-nan-nye!?” kata Fery dengan logat Betawi. Pertanyaan yang hanya bisa kami jawab spontan dengan tawa yang tiada habisnya. Tawa pedih.

Belum lama berselang, Taufan kembali datang. “Om, kita masak nasi kebanyakan, nih. Mau, gak?”

Enggak, Pan, makasih.

Ya mau lah! Gile lu, Ndro.

Beras pemberian masih utuh di tangan. Sekarang giliran nasi yang datang. Hmm, saya jadi curiga. Apakah ini buah kerja keras (baca: tipu daya) sebelumnya? Atau jangan-jangan, karena keadaan kami memang terlihat demikian mengenaskan, sehingga perlu dikasihani?

Alhamdulillah. Malam ini kami makan dengan menu lengkap. Selengkap menu normal di awal masa pendakian kemarin: ada rendang kering, orek tempe-teri, dan… nasi. Rasanya seperti de javu (mata berkaca-kaca).

Perut sudah kenyang. Kami bisa tidur lebih tenang sekarang. Rebahan. Mata dipejam, sambil menyungging senyum kemenangan.

 

***

SEMERU – July 04, 2012

***

 

05.30    Bangun pagi

Dalam keadaan setengah sadar, walau agak samar, saya bisa mendengar riuh suara para tetangga di luar sana. Hari tampaknya telah berganti. Untuk memastikan kebenarannya, saya perlukan sedikit membuka mata. Sesuai dugaan; kain tenda terlihat lebih terang dibanding tadi malam.

Rencana berburu sunrise pagi ini sepertinya bakal gagal lagi. Dinginnya udara Ranu Kumbolo sukses membuat otot-otot saya pada kaku semua. Badan ini malas bergerak. Mata saya masih sangat berat. Belum lagi ditambah hutang tidur yang belum juga lunas. Saya setuju dengan pesan Mbah Surip: bangun tidur, tidur lagi.

 

06.00    Bangun pagi (lagi)

Bonus tidur dirasa cukup. Sekarang saatnya keluar menghirup udara segar. Sebagai pemanasan, saya coba buka resleting tenda, dan mengeluarkan tangan barang sebentar.

Nyesss…

Dingin bukan main. Baru sebentar saja tangan saya sudah mati rasa. Resleting tenda saya tutup kembali. Saya butuh aklimatisasi ulang. Mindset “tahan dingin” andalan, selalu gagal berfungsi setiap baru bangun tidur seperti ini. Saya butuh paling tidak antara setengah sampai satu jam supaya ia bisa berfungsi kembali. Masalahnya, saya tidak bisa menunggu selama itu, karena hari ini adalah hari terakhir sekaligus sunrise terakhir kami di Gunung Semeru.

Sambil mengkondisikan diri dengan udara dingin, saya mempersiapkan tripod dan kamera. Fery dan Ika baru bangun. Rambut dan muka mereka acak-acakan persis gelandangan. Setelah semua dirasa siap, kami bertiga langsung berhamburan keluar seakan ayam piaraan baru dilepas majikan dari kandang.

Saya tidak menyangka hawa Ranu Kumbolo pagi ini bakal sedingin Puncak Mahameru kemarin. Rasanya terlalu menusuk tulang, hampir-hampir tak tertahankan. Ujung jari tangan dan kaki saya langsung kebas semua, mati rasa. Ini pun masih diperparah dengan kondisi kesehatan yang terus menurun sejak kemarin.

 

Kilau Keemasan di Selatan Ranu Kumbolo

 

Anak Lokal di Ranu Kumbolo

 

Penduduk Lokal Memancing di Ranu Kumbolo

 

Langit Ranu Kumbolo bagian timur sepenuhnya masih kelabu, sementara langit selatan mulai menguning keemasan. Di permukaan danau yang tenang, kabut sisa kondensasi semalam terus meliuk-liuk tertiup semilir angin pagi.

To my surprise, pada pinggiran danau, 50 meter di kanan sana, seorang anak kecil berkupluk, selonjoran dengan tenang setengah mengangkang. Kuat banget! Bathin saya.

Jaket setelan berwarna biru plus sepasang sepatu digunakannya untuk menghangatkan badan. Sebiji sarung diselempangkannya di pundak kiri. Tapi, dengan suhu sedingin ini, itu pun dianggap belum cukup. Satu kaleng bekas cat ukuran medium berisi bakaran ranting-ranting kering, diletakkan persis di depannya, pada arah jam dua belas. Di depannya lagi, delapan batang joran buatan menanti ikan memakan umpan. Agar tak repot memegang, masing-masing batang joran sepanjang rata-rata 30 cm itu dibenamkannya ke dalam tanah dengan jarak-antara sekitar sejengkal tangan orang dewasa.

Dia tidak sendirian. Dua orang dewasa ikut memancing bersamanya dalam jarak yang agak jauh berpencaran. Yang satu, berjongkok sejarak 20 meter darinya pada arah jam tiga. Satunya lagi, jongkok lumayan jauh di sisi danau yang berbeda, pada arah jam dua.

Bagi kalian yang belum tahu; setidak-tidaknya ada empat jenis ikan yang menghuni danau ini, di antaranya yaitu ikan mujaer, nila, mas, dan tambra. Tapi jangan harap umpan pancing modern kalian bakal dimakan, ya. Karena, menurut pengalaman penduduk lokal yang biasa mancing di sini, ikan-ikan di sini lebih senang dengan umpan nasi lumat dan rebusan mie instan.

Mengapa demikian? Kemungkinan penyebabnya adalah seringnya para pendaki yang membuang sisa nasi dan mie mereka ke danau. Sehingga ikan-ikan yang tinggal di dalamnya lama-lama jadi terbiasa dengan jenis makanan baru—yang tidak tersedia secara alami—tersebut.

Matahari mulai muncul di antara lembahan dua bukit, di timur Ranu Kumbolo. Tidak persis di tengah. Lebih condong ke kiri. Dan kini, memotret matahari secara langsung jadi lebih tricky. Begitu metering langit, tepat, frame bagian bawah malah gelap. Sebaliknya; begitu metering danau dan bukit, dapat, bagian langit malah terlalu terang. Overexposure.

Saya coba ambil nilai tengah metering keduanya: hasilnya tetap tak sesuai harapan. Mau ambil filter ND Grads (Graduated Neutral Density) di tas kamera, saya lupa kalau gak punya. Ya sudah. Cari angle lain saja.

Sebetulnya Ranu Kumbolo memiliki begitu banyak spot foto menarik. Deretan perbukitan di sekitarnya belum saya jelajahi. Terus terang, saya penasaran. Tapi sayang, kaki ini tak bisa diajak kompromi. Rasa sakit sisa perjalanan kemarin belum mau pergi. Walau tidak sakit pun sebetulnya saya tetap tak bisa menjelajah ke sana, dikarenakan waktu yang sangat terbatas. Kami harus segera kembali ke Ranu Pani, mengejar janji dengan Pak Puji.

 

Sarapan dan Packing

 

08.15    Sarapan pagi

Posisi matahari semakin tinggi. Kondisi saat ini kontras 180 derajat dibanding tadi pagi. Suhu udaranya terlalu panas dan kering.

Atas nama efektifitas kami bertiga mulai berbagi tugas. Ika kejatahan masak. Beras raskin hasil tipu daya kemarin segera diolahnya ke dalam nesting. Sementara saya dan Fery kejatahan mem-packing ulang barang-barang bawaan yang berantakan.

Di pinggir danau, agak serong ke kiri, beberapa junior mendapat hukuman dari senior mereka Entah apa kesalahannya. Di sekitar mereka, satu-dua orang serius menontoni, sementara selebihnya tak ada yang peduli.

Walau panas menyengat, aktifitas “Kampung Kaget” pagi ini terasa semarak. Ada yang mengobrol sambil bercanda-canda dengan temannya, ada yang berenang-renang di tepian danau padahal sudah jelas-jelas dilarang, ada yang jadi Upik Abu; mencuci perabotan kotor, ada yang baru datang, ada yang baru pergi (entah ke Kalimati atau Ranu Pani), ada yang memancing, ada yang menikmati pemandangan, ada juga yang cuma duduk-duduk sendirian di pinggiran kolam seakan dikucilkan teman-teman. Pokoknya mniatur sosial-budaya Indonesia, komplit di sini.

Packing baru selesai. Ika pun telah siap dengan senesting nasi hasil karyanya. Nasi yang… matang tidak, mentah pun tidak. Kletis gitu lah. “Rendang kering sama orek tempe-teri keluarin, Bem,” Ika tiba-tiba jadi atasan saya.

“Siap, Bang Jaja!”

*

Selesai makan, Ika kembali sibuk dengan urusan masak-memasak. Kali ini untuk memenuhi kebutuhan air minum selama perjalanan ke Ranu Pani nanti.

Sumber airnya dari mana?

Dari mana lagi kalau bukan dari “kolam renang” alami di depan sana itu. Kolam yang tak pernah marah walau sering dilempari sampah, diberaki, dikencingi, juga dibuat renang orang-orang. Slurpppsss…

Air sudah mendidih. Sekarang gantian Ika yang mem-packing barang-barang bawaannya. Tugas Fery dan saya; membongkar tenda Lafuma tercinta. “Fer! Bantuin packing, dong!” pekik Kanjeng Mami.

“Iyeh, Ka.” Yang dipanggil, manut. Berani membantah, sama dengan menebar maut.

Dan, semakin siang, Ranu Kumbolo semakin sepi saja ditinggalkan para penghuninya.

 

Bersama Tim Kereta Dari Jakarta

Bersiap Menuju Ranu Pani

 

10.50    Mulai trekking ke Ranu Pani

Cek-ricek-kroscek sudah dijalankan. Setelah yakin seluruh barang bawaan kami aman, perjalanan segera dimulai. Tapi sebelum itu, harus berdoa dulu:

“Pokoknya, ntar, begitu sampe Ranu Pani, kita bales dendam! Makan yang banyak. Kalo kurang, nambah. Masih kurang? Nambah lagi.”

“Aamiin…” usap muka, lanjut jalan.

 

‘Pintu Masuk’ Jalur Ayek-ayek

 

Jalur Menuju Pos IV Semeru

 

Ranu Kumbolo di Kejauhan

 

11.30    Pos IV

Kami istirahat di Pos IV. Jantung rasanya seperti mau copot, padahal perjalanan baru juga mulai. Terlalu lama berdiam di satu tempat membuat otot-otot saya pada kaku semua. Mesti adaptasi ulang. Sangat tidak menyenangkan.

Di pertengahan jalan sebelum jalur menanjak ke Pos IV, sebetulnya kami melewati persimpangan jalur Ayek-ayek, yaitu jalur yang biasa digunakan penduduk setempat untuk pergi-pulang Ranu Kumbolo – Ranu Pani. Tapi, karena tak satu pun dari kami bertiga yang pernah lewat sana, liur penasaran itu terpaksa kami telan. Gak berani ambil resiko. Kalau mau nekat sebenarnya sih bisa-bisa saja. Bisa seketika tenar di kalangan Tim SAR.

Perjalanan dilanjutkan. Jalur menurun berkontur terjal sudah menunggu di depan. Begitu sampai di sana… astaghfirullah, dengkul old school ini jadi rajin bunyi.

Kalau boleh jujur, melewati jalan tanjakan seterjal apa pun, dengan rasa sakit seperti ini, saya masih sanggup. Asal jangan dihadapkan dengan jalan menurun seperti ini. Rupanya Ika punya sindrom yang sama. Sementara Fery, paling jago pura-pura. Padahal saya yakin dia senasib juga.

Saya jadi ingat satu cerita:

Sekali waktu, saya pernah mengalami cidera dengkul kanan bagian luar—pada otot halus di sekitar Lateral Collateral Ligament (LCL)—sampai setahun lamanya, gara-gara memaksakan kaki yang sakit waktu perjalanan turun dari Merbabu. Niat turun Selo, malah nyasar ke Dusun Bentrokan, Desa Wonolelo, Magelang, dengan jarak tempuh sekitar 11-12 jam. Berangkat sebelum waktu Dzuhur, sampai di dusun antara jam 11-12 malam.

Sudah diterapi ke mana-mana, gak sembuh-sembuh juga. Untungnya Ika mantan atlet hockey nasional tahun jebot. Jadi dia kenal dengan Wak Salmon, official non-medis yang biasa menangani cidera pemain Timnas Hoki Indonesia. Karena waktu itu saya berencana mendaki Rinjani rute Sembalun-Senaru yang trek-nya lumayan caem, maka mau tidak mau cidera ligamen ini (kita anggap saja begitu) harus segera sembuh.

Kebetulan pada saat itu Ika dan satu teman lainnya juga punya problem serupa. Cidera menahun yang tak kunjung sembuh walau sudah diurut ke mana-mana. Jadi kami putuskan pergi ke Bandung, mendatangi rumah sang therapist paruh baya yang setelannya mirip-mirip Alex Komang itu.

Promosi Ika: Wak Salmon ini jago banget! Sampai-sampai pemain yang cidera sangat parah saat pertandingan—mengerang kesakitan sampai gak bisa jalan—bisa sembuh saat itu juga. Setelah diterapi, pemain tersebut bisa kembali main membela tim setengah jam kemudian, seolah tak pernah cidera sama sekali. Saya gak terlalu percaya. Tapi gak ada salahnya mencoba.

Pasien pertama: Pasus. Keluhan: jari telunjuknya tidak bisa menekuk sempurna bertahun-tahun lamanya akibat tertimpa bola saat bermain basket.

Wak Salmon meraba-raba tangannya, mulai dari jari yang cidera sampai ke pangkal lengan. ‘Dokter’ iseng-iseng bertanya. ‘Pasien’ sigap menjawab, malah sampai kebablasan curhat. Dan, “HIYAAA!!!” Pasus tiba-tiba menjerit, jari telunjuknya mendadak dipelintir. Saya dan Ika kaget sekonyong-konyong koder.

“Dah. Coba digerakin jarinya,” perintah Wak Salmon, datar.

Pasus menurut, menggerak-gerakkan jari telunjuk. “Eh! Udah bisa ditekuk. Hehehe. Makasih, Wak.”

Yang bikin saya takjub, proses memijat itu berlangsung tidak lebih dari lima menit! Hebatnya lagi, Wak Salmon seakan tak mengeluarkan sedikit pun tenaga dan pikirannya. Sekarang saya baru percaya.

Pasien kedua: Ika. Keluhan: cidera lutut saat sedang latihan hockey. Dia tersenggol pemain tim lain saat lari men-dribble bola. Karena pada saat itu bending-nya kurang kuat, terbanglah dia ke luar lapangan. Efek jangka panjangnya, lututnya selalu terasa sakit tiap kali digunakan untuk menuruni tangga. Durasi keluhan: 2007-2011.

Sama seperti Pasus, Wak Salmon cuma meraba-raba sekitar bagian yang cidera. Tiba-tiba;

Krek!

“Aakkk!!!”

Krek (lagi)

“Akkk!!!”

Dua kali bunyi ‘krek,’ dua kali teriak ‘aakkk!,’ terapi pun selesai. Tak sampai 10 menit.

Sekarang tiba giliran saya. Segala hal yang dianggap perlu diketahui Wak Salmon, langsung saya beritai. Wak Salmon segera memeriksa dengkul kanan saya dan sekitarnya, mencari-cari letak kesalahan ototnya di mana. “Coba tengkurep,” katanya. Saya menurut.

“Kaki kanannya lurusin,” instruksinya lagi. Sambil tetap menekan titik tengah pantat kanan saya dengan jempol kanannya, digenggamnya dengkul kanan saya dari bawah menggunakan telapak tangan kirinya, kemudian diangkatnya tinggi-tinggi sampai terdengar bunyi ‘klik.’ Terapi pun selesai.

Apakah hasil yang saya dan Ika inginkan sesuai harapan? Tentu harus diuji dulu.

Hasil tes baru keluar setelah saya selesai mendaki Rinjani. Kesimpulannya: cidera tersebut benar-benar sembuh. Pokoknya, keahlian Wak Salmon tak perlu diragukan lagi. Recommended pake banget!

 

12.20    Pos III

Sesampainya di Pos III, ritual istirahat kami jalani kembali. Tak lama berselang, sepasang pendaki  asal Padang, datang. Perempuannya sudah berhijab. Yang laki-laki, mungkin belum siap. Misi mereka: mendaki gunung-gunung yang berketinggian lebih dari 3,000 mdpl, dalam waktu satu bulan. Start dari Rinjani, finish di Semeru. Rute perjalanan sengaja mereka pilih dari timur ke barat. Journey to the west. Sun Go Kong. Monkey King.

Sesuai rencana awal, Semeru menjadi gunung keempat sekaligus penutup misi utama mereka sebelum kembali ke kota asalnya. Artinya, strategi mendaki yang mereka terapkan adalah satu minggu satu gunung.

Obrolan singkat itu segera berakhir. Mereka pamit melanjutkan perjalanan. Keril mereka berukuran hampir sama, antara 70-90 liter. Walau begitu, saya tetap tak melihat adanya emansipasi wanita di sana. Buktinya, si lelaki tetap kejatahan beban paling berat. Itu bisa dinilai dari suara mengernyit-ngeryit yang selalu keluar dari keril Eiger si lelaki tiap kali dia ganti langkah. Suaranya sangat mengkhawatirkan, keril itu bisa jebol di jalan.

Begitu mereka hilang dari pandangan, kami bertiga kembali melanjutkan perjalanan.

 

13.32    Pos II

Jalur dari Pos III ke Pos II relatif landai. Tidak butuh effort banyak sebagaimana perjalanan berangkat dari Pos III ke Pos IV. Dan, seperti yang sudah-sudah, strategi berhenti di tiap pos tetap kami lakukan. Termasuk di pos ini. Kami tidak memburu waktu. Lagi pula dengan begini kami bisa menghindari kelelahan di jalan.

Sejak Pos III, Ika kami paksa jalan lebih cepat—kalau perlu terbang, terbanglah. Alasannya? Pengen maksa aja. Nanti ketemu lagi di Pos II. Dan, saking cepatnya, begitu Fery dan saya sampai di Pos II, ternyata Ika gak kelihatan batang hidungnya. Jangan-jangan dia betulan terbang.

Di Pos II kami berdua sengaja istirahat agak lama. Bekal yang tersisa sekarang tinggal setengah botol kecil air putih rasa plastik, hasil rebusan Ika. Di pos ini, kami jumpai beberapa grup pendaki yang datang dan pergi silih berganti. Sebagian ke Ranu Kumbolo, sebagian lainnya ke Ranu Pani.

Pertanyaan-pertanyaan standar, semisal; “Dari mana, Mas?”, “Berapa orang?”, “Baru mau naik apa mau turun?”, “Masih jauh, Mas?”, “Banyak yang nenda, Mas?”, dan lain sebagainya tak bosan-bosannya kami jawab. Biar terkesan akrab.

Tak lama kemudian, suasana mendadak hening. Semua orang mulai kehabisan bahan pertanyaan. Karenanya, kami pamit melanjutkan perjalanan.

Belum juga selesai saya bersiap-siap, Fery sudah melangkah secepat kilat macam sedang kebelet berak. Dia semakin jauh, dan menjauh. Dan, entah mengapa, intuisi saya meyakini kalau ini pasti akal-akalan lagi. Karenanya, sebagai teman yang baik, tentu saya akan mendukung gelagatnya itu.

Karena sudah terpaut jarak yang demikian jauh, saya terpaksa menyusul Fery dengan jalan setengah berlari. Begitu sampai persis di belakangnya, tanpa dia menoleh, “Ayo, Bem. Buruan!”

Tuh, kan!

Kalau boleh jujur, sebetulnya persendian kaki saya rasanya seperti mau copot semua. Tapi, demi keberhasilan tipu daya bersama, sekali lagi, saya harus rela berkorban. “Oke, Ferrr!”

Jauh di belakang, saya bisa merasakan kalau umpan kami dimakan.

“Wuihhh… dia lari!”

“Woiii!!! Dia lari, tuh!”

Beberapa orang bergantian meneriaki kami dari Pos II. Mereka takjub. Kami pura-pura tak dengar, juga tak menengok ke belakang. Biar gak ketahuan. Dan kaki ini rasanya tambah gak karu-karuan, saya sudah gak tahan.

Begitu sampai di belokan, dan Pos II tak lagi kelihatan, “Dah! Kite jalan santei lagi. Udah kagak keliatan, kan?” Fery lupa baru berbuat dosa.

“Aman!” dosa tipu daya dikali dua.

“Hahahahaha, begoooo!!! Toss dulu, ah.” Dengan kaki terpincang-pincang kesakitan, perjalanan itu pun kami lanjutkan dengan tawa setan penuh kemenangan.

 

14.05    Pos I

Pos I hampir menjelang. Melihat kami datang, Ika tempak kegirangan di kejauhan. Dari gelagatnya, saya berani pastikan, kalau dia baru menang akal-akalan lagi. Entah akal bulus apa kali ini, kita lihat nanti.

Benar saja. “Gw punya aer donggg…” Ika memberitai kami penuh jemawa. Botol kecil berisi air putih itu dipamerkannya tinggi-tinggi kepada Fery dan saya, sejajar matanya.

Karena sudah paham, saya pura-pura penasaran. “Dapet dari mana, lu?”

“Tadi ada anak-anak Malang, ketemu di jalan. Gw tanya deh mereka, ‘Mau turun ya, Mas?’ pas mereka bilang, iya, wah, kebetulan nih, dalem hati gw. Langsung aja gw todong, ‘Mas, punya aer, gak? Saya aus banget nih. Air minum dibawa temen-temen saya. Mereka jauh banget, masih pada di belakang.’ Eh! Ternyata dikasih sama mereka, sebotol. Ya gw sikat. Hehehe.”

Begini, saya akan memberi sedikit klarifikasi:

Sebetulnya dalam perjalanan ke Ranu Pani kami masih punya sisa air setengah botol kecil. Tapi, karena cukup gurih—rasa plastik kresek—Ika dengan belagunya menolak meminumnya. Karena itu pula botol air diserahkannya pada saya dan Fery. Padahal modal trekking kami bertiga ya cuma itu. Itu pun dia sendiri yang masak. Sungguh  ter-lha-lhu.

*

Ika baru selesai mendongeng. Obrolan ringan kami segera beralih pada para mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang, yang ternyata mereka semua juga berasal dari Jakarta.

Dan dari kelimanya, cuma satu orang itu saja yang penampakannya selalu mengundang perhatian, juga pertanyaan. Mukanya berada di persimpangan antara dua gender yang saling berseberangan. Suaranya, laki banget. Tapi potongan rambut, postur tubuh, dandanannya, dan gerak-geriknya justru sebaliknya.

Ah, sebodo lah. Bukan urusan saya.

Kami melanjutkan perjalanan. Sekali lagi, Ika kami biarkan jalan duluan. Kali ini langkahnya jauh lebih cepat. Baru sebentar saja dia sudah menghilang ditelan tikungan jalan, dan di lebatnya pepohonan.

Berbeda dengan Ika, tempo perjalanan Fery dan saya masih sama: santai sesantai-santainya. Sambil menunggu peluang, siapa tahu ada yang bisa dikadalin lagi. Sayang, tak kami temukan satu pun calon kadal hingga menjelang jalan aspal.

 

Menjelang Jalan Aspal Ranu Pani

 

Jalur Aspal Menjelang Pos Ranu Pani

 

Ranu Pani

 

15.20    Ranu Pani

Jalan aspal sudah ada di bawah kaki saya. Artinya, 575 meter lagi kami sampai di Pos Ranu Pani—pengukuran menggunakan aplikasi Wikimapia.

Garis finish tinggal 100 meter di depan. Tapi, kenapa juga para pendaki yang sedang duduk-duduk di warung sebelah kiri itu, terus mengikuti kami dengan matanya? Hmm, jangan-jangan mereka terpesona melihat kami bertiga. #PositiveDrinking

Sesuai rencana sebelumnya, balas dendam tetap harus ditunaikan. Pada salah satu warung yang posisinya lebih tinggi dari jalan, di sebelah kanan, sepiring nasi segera saya pesan sebagai main course. Appetizer-nya: semangkuk bakso. Sementara dessert-nya: segelas teh manis panas.

Wuihhh… surga dunia. Saya makin gak sabaran menunggu pesanan datang!

Nasi pesanan, datang duluan. Bisa dipahami, karena cuma pesanan ini yang proses penyajiannya paling singkat, tanpa perlu diracik lagi. Tinggal pindahkan dari bakul ke piring, langsung bisa antarkan. Teh manis panas menyusul. Dan yang terakhir…

“Nih, Bem, bakso lu.” Setelah menyimpan satu porsi untuk dirinya sendiri, Ika menyorongkan semangkuk bakso pada saya, dan semangkuk lagi pada Fery.

Posisi pesanan segera saya setting. Mangkuk bakso taruh di depan, sejajar badan. Piring nasi, mengapit di sebelah kanannya. Sementara gelas teh panas, mengapit di sebelah kirinya.

Aksi dendam segera dilancarkan. Mereka semua pasti akan saya habisi. Ha-ha-ha-ha…

Sebagai pemanasan, kuah bakso saya cicip sedikit.

Slurpsss…

Uah, segerrrr…

Sendokan pertama dimulai. Sebutir bakso kecil, lengkap dengan kuahnya cepat berpindah ke sendok, lanjut ke mulut. Supaya nikmatnya berasa, saya sengaja mengunyahnya pelan-pelan. Sebelum ditelan, satu sendok nasi menyusul kemudian. Rasanya pecah! Kombinasi bakso plus nasi paling enak sepanjang sejarah.

Sendokan kedua, rasanya makin nikmat. Saya lanjutkan dengan sendokan ketiga. Langsung kenyang. Set-tan! Kemauan gak sebanding dengan kemampuan. Dan, dengan segala daya yang tersisa, ketiga pesanan itu akhirnya saya habiskan dengan ngap-ngapan.

*

Setelah kenyang, kami kembali melaporkan diri ke Pos Registrasi Ranu Pani. Itinerary pendakian telah sesuai dengan susunan acara yang dijadwalkan. Datang hari ini, pulang hari itu. Ini sampahnya, itu surat ijinnya. Sekian, terima kasih.

Barang-barang yang sebelumnya kami titipkan di warung Pak Gareng, kami ambil kembali. Supaya ringkas, sebelum melanjutkan perjalanan ke Cemoro Lawang, kami lakukan packing ulang. Tak disangka, dari lima bungkus yang kami bawa, ternyata masih terselip sebungkus Indomie di dalam keril sana. Terus, waktu dicari-cari kemarin malam, doi nyelip di mana!

Dan, selaku menteri keuangan, Ika segera bertugas membayar seluruh tagihan makanan:

  • Nasi putih 2 bungkus = 10,000 Rp
  • Gorengan 9 biji = 6,000 Rp
  • Bakso Malang 3 mangkok = 18,000 Rp
  • Air mineral 2 botol kecil = 6,000 Rp
  • Teh manis panas 4 gelas = 8,000 Rp

 

16.25 – 17.45    Dari Ranu Pani ke Cemoro Lawang, Bromo

“Katanya kalo udah disewa, suka-suka kita Jeep mau digimanain aja! Mana buktinya!” Ika misuh-misuh akibat adanya perubahan biaya sewa mendadak. Dia menganggap nilainya tak sesuai kesepakatan semula. Padahal tiga hari yang lalu sudah deal di angka 400,000 Rp untuk perjalanan dari Ranu Pani ke Cemoro Lawang. Kenapa sekarang jadi 600,000 Rp?

Saya dan Fery cukup paham dengan perubahan biaya sewa yang dilakukan Pak Puji—pemilik kendaraan 4WD putih yang disewakan. Contact Person: 0821.4040.3939.

Let me explain:

Tiga hari yang lalu kami baru sampai di Ranu Pani. Berdasarkan rencana, setelah selesai mendaki Semeru, target lokasi kami berikutnya adalah Desa Cemoro Lawang. Nah! Supaya tidak repot mencari-cari mobil sewaan lagi, maka diputuskanlah kembali menggunakan jasa Pak Puji.

Biaya sewa kendaraan 4WD dari Ranu Pani ke Cemoro Lawang, Bromo, sepengetahuan saya pada saat itu memang 600,000 Rp/mobil. Karena Pak Puji melihat kami cuma bertiga, biaya sewa itu pun dikuranginya menjadi 500,000 Rp. Dan, setelah proses tawar menawar yang panjang, akhirnya diperoleh kesepakatan bersama di angka 400,000 Rp (atau 133,000 Rp/orang).

Hari ini, di tengah-tengah obrolan dengan beberapa pendaki lain di sekitar warung Pak Gareng, kami berkenalan dengan 5 orang teman baru asal Bandung yang punya tujuan serupa: Bromo. Karena mereka belum mendapatkan kendaraan sewaan, maka kami pun menawarkan.

Dalam pikiran kami bertiga waktu itu, lumayan juga nih, ongkosnya jadi lebih murah: 400,000 Rp / 8 = 50,000 Rp/orang. Kalau perlu biaya sewanya kita bebankan ke mereka semua. Kita menang banyak! Hehehe. #DevilSmirk

Penambahan personil segera dikomunikasikan dengan Pak Puji. Ika maju paling depan. Sidang, deadlock. Kesepakatan dianulir. “Kalo berdelapan, ya, 600 ribu. Normalnya segitu,” kata Pak Puji tak mau rugi. Ika nge-gas, karena merasa dibohongi. Sementara Fery dan saya berada di antara keduanya. Kami paham sudut pandang mereka berdua.

Supaya persoalan tidak meruncing—yang ujung-ujungnya bisa merugikan kami semua—Ika kami tarik mundur. Fery dan saya berbagi sudut pandang. “Gak papa lah, Ka, 600 ribu. Dibagi delapan kan masih lebih murah juga. Jatohnya 75 ribu satu orang. Kita tetep untung 55-60 ribuan.”

“Ya, tapi kan…”

“Hush! Udeh, ah.”

Walau setengah rela, akhirnya Ika mengalah juga. Alhamdulillah. Dan, perjalanan ke Cemoro Lawang dilalui Ika dengan mulut terus memberengut. [BEM]

 TAMAT