Lokasi pembuatan terasi atau trassi di Jawa Tengah (1920-1925), Koleksi Tropenmuseum

Lokasi pembuatan terasi atau trassi di Jawa Tengah (1920-1925), Koleksi Tropenmuseum

Di kehidupan keseharian masyarakat Indonesia, terasi selalu terasosiasi dengan yang namanya sambal. Padahal sebenarnya banyak sekali varian makanan yang juga menggunakan penguat cita rasa tradisional ini. Mulai dari tumis kangkung terasi, ayam dan nasi goreng terasi, cah kangkung terasi, telur bumbu terasi, tumis sawi hijau terasi, hingga ikan bandeng bakar terasi. Daftar ini bisa semakin panjang tergantung daya kreatifitas sang juru masak.

Tapi siapa bakal menyangka kalau ternyata sejak tahun 1886, tiga tahun setelah Gunung Krakatau meletus, cerita tentang terasi telah menjelajah keliling dunia lewat tulisan seorang wanita asal London, Anna Forbes (Annabella Keith), “Insulinde: Experiences of a Naturalist’s Wife in the Eastern Archipelago.”

Kesempatan berkeliling dunia didapat Anna lantaran pekerjaan suaminya, Henry Ogg Forbes, yang seorang naturalis. Sebagai seorang istri yang baik, sudah menjadi kewajibannya mendampingi suami ke mana pergi.

Tidak hanya terbatas pada berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, Anna pun turut mendampingi suaminya dalam setiap tugas dan pekerjaan. Maka tidak mengherankan jika kemudian keduanya sering berbagi kisah yang sama, walau dalam sudut pandang yang berbeda. Henry dari sudut pandang ilmuwan, sementara Anna dari sudut pandang seorang pejalan atau traveler.

Dari Inggris, keduanya berangkat ke wilayah kolonial Hindia Belanda (East Indies) menggunakan kapal Queensland. Butuh waktu selama 41 hari perjalanan laut untuk sampai di pantai Batavia. Itu sudah termasuk singgah selama satu hari di Colombo, Ceylon (sekarang Sri Lanka. Sebelum menjadi Ceylon, nama kuno Sri Lanka adalah Sarnadib/Sarandib/Serendib).

Cukup banyak tempat di nusantara yang pernah disinggahinya, mulai dari Batavia – Bogor – Surabaya – Makasar – Kupang – Timor – Banda – Ambon – Poso – Waai – Tanimbar – Manado – hingga kembali lagi ke Surabaya.

Kepindahan dari negara 4 musim ke negara tropis 2 musim seperti Hindia Belanda, jelas bukan perkara mudah bagi Anna. Terbukti, hampir-hampir tak ada malam yang dia lalui tanpa badan menjadi demam. Karena ini pula, ketakutan akan terjangkit malaria tak bisa lepas dari pikirannya. Namun demikian, dia tetap pilih untuk bertahan.

Adalah Ambon, tempat di mana untuk pertama kali Anna mengenal terasi. Istilah trassi dia dengar pertama kali lewat mulut Kobez, sang juru masak di rumah dinas tempatnya tinggal.

“Apa itu terasi?” tanya Anna.

It is,” jawab Kobez, “a vile odour which permeates the air within a wide area of the market-place proceeds from a compound sold in round black balls.”

“Apa aku pernah memakannya?”

“Tentu Tuan, ini enak sekali.”

“Bodoh!” respon Anna, sengit. “Kau mau meracuniku dan membunuh dirimu sendiri!?”

Kobez tak menyangka bakal mendapat damprat dari majikannya yang tiba-tiba saja menjadi galak. Anna menganggap terasi ini adalah campuran ekstrak benda-benda busuk yang sangat menjijikkan. Jangankan untuk dimakan, bahkan untuk dilihat saja sudah sangat menjijikkan.

Jika ditelusuri lebih jauh lagi ke belakang, apa yang dirasakan Anna ini sekaligus mengkonfirmasi keterangan William Marsden satu abad sebelumnya. “(Bau belacan) ini memang sangat menusuk hidung dan sangat menjijikkan bagi orang yang tidak terbiasa.”

Tak terpengaruh makian dari sang majikan, dengan nada mantap Kobez menjawab, “Biar pun saya bakal kena penyakit gondok, Tuan,” seraya mengelus-elus kulit tenggorokannya, ”tapi (sumpah Tuan, terasi) ini enak sekali!”

Walau secara tidak sadar turut menikmati varian rempah-rempah ini, tetap saja Anna merasa telah dijebak. Bagaimana mungkin dia bisa mengkonsumsi makanan (yang dianggapnya) sampah itu, dan sekali pun tidak pernah tahu!?

Yah, suka atau tidak, begitulah adanya kehidupan, Na (Anna maksudnya). Kebenaran memang seringkali datang belakangan. Sekali waktu, pernah juga kebenaran datang duluan. Tapi sayang, dia malah dikira karyawan teladan. #Apasi

Hampir 2 abad sebelum perjalanan Anna dimulai, atau lebih tepatnya tahun 1697-1709, pernah pula terasi diabadikan dalam sebuah buku karangan seorang penjelajah sekaligus ilmuwan kelahiran East Coker, Somerset, Inggris; William Dampier—pada kesempatan lain, sering pula diceritakan sebagai seorang bajak laut.

Tidak seperti Anna yang pertama kali mengenal terasi dari tanah Hindia Belanda (East Indies), Dampier mengenal varian rempah-rempah ini dari Tonkin (pelesetan Dong Kinh), bagian paling utara Vietnam. Setelah masa Dinasti Le (Nha Hau Le)—dinasti terlama yang berkuasa di Vietnam (1428–1788)—berakhir, Tonkin kemudian berubah nama menjadi Hanoi yang sekarang kita kenal.

Bersama Kapten Weldon yang baru saja menjual budak yang dibawanya dari Benteng Saint George (benteng Inggris pertama di India), Dampier berangkat dari Aceh menuju Tonkin pada Juli 1688.

Peta Penjelajahan William Dampier di Hindia Timur

Peta Penjelajahan William Dampier di Hindia Timur

Dalam bukunya yang berjudul “A New Voyage Round the World – Volume I,” halaman 579, Dampier tidak menyebutkan istilah terasi atau trassi, tetapi balachaun. Di Indonesia, kita menyebutnya dengan belacan. Ya, namanya memang hampir-hampir mirip dengan salah satu spesies kucing hutan; Felis Bengalensis.

Lantas, apa bedanya antara terasi dan belacan?

Secara garis besar, keduanya sama saja. Sama-sama terasi juga. Hanya, pada belacan, rasa dan aromanya lebih ringan, warnanya lebih cerah, serta proses fermentasinya tidak se-lama proses fermentasi terasi.

“Belacan memiliki komposisi aroma yang kuat, namun demikian, ia merupakan hidangan yang sangat lezat bagi masyarakat setempat,” terang William Dampier.

Masih berdasarkan pada cerita Dampier. Masyarakat Tonkin membuat terasi/belacan dengan cara mencampur udang, ikan kecil, dan air garam ke dalam sebuah wadah yang terbuat dari tanah atau perkakas gerabah seperti bejana atau kendi.

Campuran ini kemudian didiamkan beberapa waktu hingga udang dan ikan menjadi lembek seperti bubur. Setelah menjadi lembek, air sisa fermentasi kemudian dipisahkan ke dalam wadah tersendiri. Nah! Udang dan ikan yang telah menjadi lembek inilah yang kemudian disebut dengan belacan. Sementara air hasil fermentasi tadi disebut dengan Nuke-Mum, dan bisa digunakan sebagai saus.

Sayangnya Dampier tidak menjelaskan, apakah Nuke-Mum digunakan sebagai saus yang khusus dicampur dengan belacan saat makan, atau sebagai saus yang bisa digunakan secara terpisah sebagaimana halnya saus sambal, saus tomat, atau kecap.

Dan satu lagi, dalam proses pembuatan belacan, oleh masyarakat Tonkin, ikan-ikan kecil tadi langsung dicampur tanpa dikeluarkan terlebih dahulu isi perutnya.

Sekarang mari kita bandingkan dengan cara membuat terasi di Indonesia…

Bahan dasar pembuatan terasi di Indonesia masih relatif sama dengan Tonkin, yaitu; udang, air, dan garam. Untuk membuatnya, pertama-tama cuci udang hingga bersih, kemudian rebus menggunakan air garam yang telah disiapkan. Setelah dirasa cukup, buang airnya, dan jemur udang rebusan tersebut di bawah sinar matahari langsung selama kurang lebih satu hari—bisa lebih lama, tergantung cuaca.

Udang yang sudah kering tersebut, kemudian dihaluskan. Boleh ditumbuk secara manual, boleh juga menggunakan blender. Taburi garam, kemudian ulangi proses ‘penggilingan’ sampai benar-benar sempurna. Agar bubuk terasi ini bisa dibentuk, campurkan air secukupnya hingga adonan menggumpal.

Terasi yang telah dibentuk sesuai selera ini, kemudian dijemur kembali di bawah terik matahari hingga terjadi proses fermentasi dan mengeluarkan bau yang khas. Sebelum bisa digunakan, setidak-tidaknya dibutuhkan waktu selama 2-3 hari penjemuran.

Bagaimana? Sangat berbeda ya, proses pembuatannya? Itu pun tidak bisa dijadikan patokan bahwa di seluruh wilayah di Indonesia memiliki proses pembuatan sama. Yang jelas, masing-masing daerah memiliki cara membuat terasi tersendiri, walau mungkin bakal ditemui adanya kemiripan antara satu dengan yang lain.

Bagi yang pernah belajar sejarah, tentu mengenal sosok Thomas Stamford Raffles, bukan?

Dalam bukunya yang berjudul “The History of Java – Volume I,” terbitan tahun 1817, halaman 98-99, Raffles juga menyinggung soal terasi. Oh, ya. Pada buku yang sama edisi kedua, terbitan tahun 1830, kalian bisa mendapati catatan serupa bergeser 10 halaman, yaitu pada halaman 108-109.

“Masyarakat Melayu jarang sekali menggunakan lada hitam,” katanya. “Mereka lebih sering menggunakan lombok sebagai penambah cita rasa nasi mereka yang hambar. Digiling/diulek dengan garam, berubahlah namanya menjadi sambel, (sebutan sambal ini berlaku, baik) dalam masyarakat Melayu mau pun masyarakat Jawa.”

Jika Raffles masih hidup, boleh jadi dia akan terheran-heran menyaksikan bagaimana tradisi nyambel ini masih bersifat universal dan tetap bertahan sampai sekarang.

Untuk memperkuat aroma dan tingkat kepedasannya, menambahkan terasi ke dalam adonan sambal adalah sesuatu yang saat itu lumrah dilakukan. Terasi ini sendiri paling banyak diproduksi di wilayah pantai utara Pulau Jawa, dan umumnya hanya digunakan untuk konsumsi masyarakat setempat saja.

Proses pembuatan terasi yang dipaparkan Raffles hampir sama dengan cara pembuatan terasi a la Indonesia yang sebelumnya telah disebutkan di atas. Bedanya, tanpa proses higienis awal seperti pencucian dan perebusan.

Jadi, setelah tangkapan udang kecil mau pun udang besar ditaburi garam, ia akan langsung dijemur hingga kering. Setelah kering, ditumbuk menggunakan alu/antan yang terbuat dari kayu. Setelah tingkat kehalusannya dirasa cukup, udang ini kemudian dilembabkan dengan sedikit air agar mudah dipadatkan dan dibentuk menyerupai keju-keju berukuran besar.

Tidak seperti Nuke-Mum di Tonkin, air sisa fermentasi terasi di Pulau Jawa masih harus diproses lagi, yaitu dengan cara diuapkan hingga cairannya mengental seperti jelly—yang kemudian kita kenal dengan istilah petis.

Yang lebih menarik lagi, ternyata kualitas ‘KW2’ juga berlaku pada yang namanya terasi. Jika terasi kualitas super anti laler dibuat dari udang, maka bahan pembuat terasi KW2 berasal dari ikan-ikan kecil.

Tidak hanya di Pulau Jawa, pembuatan terasi KW2 ini rupanya berlaku juga di Pulau Sumatra, sebagaimana penjelasan William Marsden dalam bukunya, “The History of Sumatra,” terbitan tahun 1784, “The black sort, used by the lower class is made of small fish, prepared in the same manner.” Di Pulau Jawa sendiri, terasi KW2 ini umumnya dibentuk menjadi bola-bola kecil yang kemudian disebut dengan blenyek.

Sebenarnya ada lagi versi cerita lebih tua yang menyinggung-nyinggung soal terasi ini. Yaitu ketika Pangeran Cakrabuana atau Pangeran Walangsungsang (anak Prabu Siliwangi), bersama dengan Ki Gedeng Alang Alang, membuka pemukiman baru di wilayah pesisir Cirebon pada April 8, 1445. Dalam catatan tersebut, para penduduknya menjadikan pekerjaan membuat terasi sebagai mata pencaharian mereka. Namun, karena saya belum bisa mendapatkan akses literatur (Babad Tanah Cirebon?) tersebut secara langsung, maka untuk sementara mari kita anggap informasi terakhir ini sebagai cerita hiburan saja. [BEM]