Panggung Utama Saung Angklung Udjo

Panggung Utama Saung Angklung Udjo

SAUNG ANGKLUNG UDJO (SAU) adalah passion. Setidaknya begitulah yang saya rasakan saat akhirnya berkesempatan mengunjungi sanggar seni yang berlokasi di Jalan Padasuka 118, Bandung, ini. Perkenalan pertama saya pada alat musik angklung terjadi bertahun-tahun silam, saat masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Mungkin kalian pun demikian. Jadi, kalau ditanya bagaimana rasanya saat memainkannya, terus terang saya lupa. Dan di saung angklung inilah, bayang-bayang masa kecil itu bisa kembali terkenang.

Berawal dari kecintaannya kepada angklung dan anak-anak, Udjo Ngalagena atau yang biasa dipanggil Mang Udjo, memulai ‘petualangan’ seninya. Pengetahuan lebih mendalam Mang Udjo tentang angklung didapatnya dari sang guru, maestro angklung Daeng Soetigna. Tak mau sia-sia, ilmu itu kemudian ditularkannya kepada anak-anak di sekitar rumahnya.

Area Parkir 1

Area Parkir 1

Area Parkir 2

Area Parkir 2

Pintu Masuk Saung Angklung Udjo (SAU)

Pintu Masuk Saung Angklung Udjo (SAU)

Dengan suka cita dan penuh kesabaran, anak-anak kecil itu dididiknya. Jumlah yang semula hanya terhitung jari tangan, lambat laun semakin berkembang dan berkembang. Sehingga akhirnya, pada tahun 1966 tercetuslah ide utuk membuat sebuah sanggar terbuka, supaya semua orang dapat menyaksikan permainan angklung anak-anak didiknya ini.

Tapi, jangan dikira sanggar terbuka ini adalah sebuah tempat sewaan berukuran luas yang memang dikhususkan untuk pementasan pertunjukan, ya. Bukan. Sejatinya sanggar terbuka ini hanyalah halaman depan rumah Mang Udjo—yang seiring waktu, ikut bertranformasi hingga menjadi seluas dan sebesar Saung Angklung Udjo seperti yang sekarang kita kenal.

Dahulu, karena ukurannya yang kecil, tamu yang datang pun masih sedikit, antara 1-5 orang saja. Bahkan kadang sama sekali tidak ada yang datang. Namun itu tidak lantas menyurutkan semangat Mang Udjo beserta sang istri, Uum Sumiati.

Berkat kerja keras dan ketekunan mereka, akhirnya, sejak tahun 2006 silam, mulai terjadi peningkatan jumlah pengunjung yang cukup signifikan – setiap tahun selalu ada peningkatan. Dengan rata-rata 2-3 kali pertunjukan digelar setiap harinya, kini sanggar seni yang didirikan Mang Udjo ini mampu menyerap hingga 500-1,000 orang pengunjung per hari. Jumlah tamu biasanya meningkat pada akhir pekan.

Self Service Welcome Drink

Self Service Welcome Drink

Menanti pertunjukan yang sebentar lagi akan dimulai

Menanti pertunjukan yang sebentar lagi akan dimulai

Hampir seluruh tempat duduk amphitheater Saung Angklung Udjo telah terisi. Yang terakhir datang, hampir-hampir grup kami. Paseban tempat digelarnya pertunjukan, lengkap dengan tarup-tarup dan teratak-teratak. Luasnya kurang lebih setara setengah lapangan sepak bola.

Asal pengunjung yang datang cukup beragam. Ada yang dari dalam kota (Bandung), luar kota (paling banyak Jakarta), bahkan ada yang dari luar negeri. Mayoritas datang dalam kelompok besar. Mulai dari siswa-siwi sekolah dasar hingga menengah, mahasiswa, komunitas sampai outing perusahaan.

Di samping itu, SAU juga mengadakan program tahunan berupa Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia (BSBI) yang merupakan bentuk kerjasama dengan Kementrian Luar Negeri. Setidaknya 15-20 siswa dari luar negeri diundang untuk mempelajari kebudayaan Indonesia selama 3 bulan. Di sini mereka akan diperkenalkan beragam budaya Indonesia mulai dari pencak silat, angklung, menari, hingga menari.

MC Saung Angklung Udjo Menyambut Para Pengunjung

MC Saung Angklung Udjo Menyambut Para Pengunjung

Pertunjukan siap dimulai…

Dari titik pusat paseban, pembawa acara menyapa pengunjung yang datang dalam berbagai bahasa. Mulai dari Bahasa Sunda, Indonesia, Inggris, Jepang, hingga Korea. Latar belakang berdirinya SAU hingga bertransformasi menjadi seperti yang sekarang, disampaikannya dengan gamblang, jelas, tanpa terbata-bata. Hapalannya benar-benar telah berada di luar kepala, dan dia melakukannya lewat alam bawah sadar.

 

Note:

Artikel ini—seperti artikel-artikel #SimplyIndonesia lainnya, lagi-lagi menjadi—sangat panjang (mencapai belasan halaman). Demi menghindari munculnya gejala kebosanan pada diri kalian, maka saya buat ia menjadi beberapa artikel berseri yang dipecah berdasar kronologis pertunjukan yang digelar oleh Saung Angklung Udjo, dengan urutan sebagai berikut;

  • Demonstrasi Wayang Golek
  • Helaran Khitanan
  • Tari Topeng Kelana (Klana)
  • Alunan Rumpun Bambu (Arumba)
  • Angklung Padaeng
  • Angklung Toel Orchestra
  • Bermain Angklung Bersama
  • Bermain dan Menari Bersama

Ok! Supaya tidak berlama-lama, mari kita bersegera masuki pertunjukan pertama…

 

Demonstrasi Wayang Golek

Diawali iringan gamelan Sunda, demonstrasi wayang golek didaulat jadi pertunjukan pembuka.

Dalam praktik yang sebenarnya, secepat-cepatnya, pertunjukan wayang golek bisa berlangsung selama 7-8 jam, antara pukul 8-9 malam sampai dengan pukul 4 pagi—rentang waktu pertunjukan yang lazim kita sebut dengan “semalam suntuk.” Dalam beberapa kasus khusus, malah bisa berlangsung sampai berhari-hari.

Demonstrasi Wayang Golek

Demonstrasi Wayang Golek

Tapi jangan khawatir, Saung Angklung Udjo tidak akan mementaskan pertunjukan wayang golek ini semalam suntuk. Mengapa? Karena beragam pertunjukan reguler-nya saja cuma dirangkum dan berlangsung selama 1.5 jam setiap harinya—mulai pukul 15.30 WIB sampai 17.00 WIB. Kalau dipentaskan semalam suntuk, lha, sing mbayar sopo?

Di balik panggung portable yang posisinya membelakangi panggung utama, dengan cekatan, tangan sang dalang memainkan wayang beralur cerita kekinian. Sebagaimana halnya kehidupan manusia, kisah yang diusung masih seputar pertentangan antara kejahatan dengan kebenaran.

Tuding (gagang tangan wayang), luwes dimainkan sang dalang. Selain untuk menghidupkan gerakan tangan wayang, sekali dua tuding ini juga dimanfaatkannya sebagai senjata.

Dalam adegan perkelahian, wayang-wayang itu tak jarang diputar-putar. Kadang dipental. Kadang malah sampai dilempar. Jadi, kalau atmosfer sanggar tiba-tiba berubah gempar dengan tawa penonton yang terpingkal-pingkal, ya, tinggal salahkan sang dalang. Selesai.

Wayang golek diyakini pertama kali ditemukan oleh Sunan Kudus, di mana ide dasar pembuatannya merujuk pada perkembangan wayang kulit di masa kejayaan Raja Erlangga (Airlangga) dari Kerajaan Medang Kahuripan. Maka jangan heran kalau bahasa pengantar pertunjukan saat itu—waktu wayang golek pertama kali dibawa ke Jawa Barat (Cirebon)—masih menggunakan Bahasa Jawa.

Penggunaan Bahasa Jawa dalam sebuah pertunjukan wayang golek berlangsung cukup lama. Setidak-tidaknya hingga tahun 1808-1811. Masa-masa di mana Herman Willem Daendels, Gubernur Jendral Hindia Belanda yang berkuasa pada saat itu, membangun Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) yang membentang dari Anyer hingga Panarukan. Dari Banten hingga Situbondo, Jawa Timur.

Berkat jalan raya inilah akhirnya wayang golek pun masuk ke Priangan. Supaya pesan moral yang disampaikan bisa diterima oleh masyarakat setempat, penggunaan bahasa pengantar pertunjukan pun segera bergeser. Dari yang semula menggunakan Bahasa Jawa, disesuaikan/diganti menjadi Bahasa Sunda.

Pertanyaannya; Mengapa pengantar berbahasa Jawa bisa diterima oleh masyarakat Cirebon, sementara masyarakat Priangan, tidak? Padahal keduanya masih termasuk dalam wilayah Jawa Barat?

Begini…

Secara geografis, letak Cirebon relatif dekat dengan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat. Jadi, kalau unsur budaya keduanya kemudian bertemu dan saling mempengaruhi satu sama lain, itu adalah suatu hal yang sifatnya natural.

Jika ditilik dari sisi linguistik, menurut situs Wikipedia, bahasa yang digunakan oleh masyarakat Cirebon merupakan percampuran antara Bahasa Jawa dengan Bahasa Sunda, dengan pengaruh terbesar dari Jawa. Maka tak heran jika pertunjukan wayang golek berbahasa pengantar Jawa pada saat itu langsung bisa diterima.

Kondisi tersebut berkebalikan dengan Priangan. Posisinya yang terletak jauh di titik pusat Jawa Barat, membuat Priangan lebih steril dari pengaruh unsur budaya luar (dalam konteks ini, budaya Jawa Tengah), sehingga jika tiba-tiba wayang golek berbahasa pengantar Jawa masuk ke wilayah tersebut, tentu tidak akan disambut. Supaya bisa diterima, bagaimana? Ya, harus mengubah bahasa pengantarnya menjadi Bahasa Sunda.

Jadi, kalau ditanya mengapa pertunjukan wayang golek berbahasa Jawa bisa diterima di Cirebon, jawabannya, karena di sana telah terjadi proses akulturasi. Lalu, mengapa di Priangan harus diubah menjadi Bahasa Sunda? Karena di sana terjadi yang namanya proses asimilasi.

Tidak seperti jaman sekarang, di mana demonstrasi wayang golek lebih condong ke arah hiburan, pada masa lalu, pagelaran wayang golek umumnya selalu berkaitan dengan aspek-aspek spiritual masyarakat setempat, seperti; ritual ngaruwat (ruwatan), upacara bersih desa, selamatan, dan upacara-upacara adat lainnya.

Namun demikian, walau kecenderungan pemaknaan yang terjadi saat ini telah bergeser, pesan moral yang dibawa dalam setiap pagelaran pertunjukannya dijamin tetap tidak ketinggalan.

Transliterasi kata ‘Wayang’ ke dalam Bahasa Indonesia akan menjadi ‘Bayang,’ atau “Bayangan,’ atau “Bayang-bayang.” Secara harfiah, jika dikaitkan dengan cara penyajian pertunjukan wayang kulit, penggunaan istilah ini sudah tepat. Tapi, jika diterapkan ke wayang golek? Hmm…

Penggunaan kata ‘Wayang’ pada “Wayang Golek” akan lebih tepat jika dimaknai lewat pendekatan kontekstual, yaitu kata ‘Wayang’ yang merupakan turunan atau berasal dari kata ‘Hyang.’

Hyang sendiri berarti suatu keberadaan spiritual tak kasat mata yang memiliki kekuatan supranatural dan bisa bersifat ilahiah mau pun roh leluhur. Di Indonesia, kata Hyang cenderung dikaitkan dengan Dewa, Dewata, atau Tuhan.

Dengan kata lain, kata ‘Wayang’ pada “Wayang Golek” akan lebih tepat jika diartikan sebagai upacara pemujaan kepada roh nenek moyang/leluhur atau kepada Dewata, yang dipimpin oleh seorang saman (dalang)—sebagai penghubung antara dunia profan dan supranatural—baik sebagai media pembebasan dari malapetaka mau pun sebagai media persembahan kepada para nenek moyang.

Dalam artian yang lebih universal, kata ‘Wayang’ bisa diterjemahkan sebagai bayangan mengenai kehidupan yang ada di alam semesta ini, yang menggambarkan keterkaitan kehidupan antara manusia satu dengan manusia lainnya, manusia dengan alam, juga manusia dengan penciptanya. [BEM]

Bersambung…