Harimau Sumatra (Panthera Tigris Sumatrae)

Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae)

Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae). Sebenarnya materi ini masih merupakan satu kesatuan dengan artikel pendakian Gunung Kerinci yang saat ini sedang dalam tahap penggarapan (>75%). Namun, karena cukup panjang, akhirnya saya putuskan untuk memisahkannya. Saya tertarik membahas materi ini, karena pada pertengahan jalan, saat trekking down Gunung Kerinci, antara Pos 3 sampai Pos 1, 4 kali saya mencium bau pipis mereka di keempat titik berbeda. Di kiri kanan, dekat jalur pendakian.

“Emang pipis mereka, baunya kayak apa?” Pertanyaan senada ini selalu saya dapatkan dari teman-teman sependakian yang tidak percaya. Karena menurut mereka, memang tidak tercium aroma apa-apa saat berada di jalur sana.

Apakah hidung saya terlalu sensitif? Entahlah. Tapi, berdasarkan pengalaman seharian penuh berada di sekitar kandang perawatan Harimau, Kebun Binatang Ragunan, dan mencium santer bau pesing pipis mereka, saya yakin, kalau aromanya masih sama. Menurut saya, aroma pipis mereka mirip dengan aroma pipis kucing rumahan. Bedanya, pipis harimau lebih menyegat di hidung. Mungkin karena volume urine mereka juga lebih banyak.

Saya dan Ragil, Kebun Binatang Ragunan

Saya dan Ragil, Kebun Binatang Ragunan

Pertanyaan berikutnya; “Apakah saya yakin 100%, itu benar-benar pipis harimau?”

Well, actually50:50. Alias, antara yakin dan tidak. Mengapa? Karena saya tidak melihat langsung pelakunya. Asumsi itu datang dari 4 “bukti penguat,” yaitu;

  • Kemiripan aroma urine.
  • Kesaksian Murdam, porter Basecamp Jejak Kerinci, yang pernah berpapasan langsung dengan induk harimau dan anaknya pada tahun 2009 silam di Pos 3 (harimau betina biasanya akan mengasuh 2-5 ekor anaknya selama 2 bulan).
  • Ketinggian Pos 1-Pos 3 yang berada pada 1,800-2,000+ mdpl. Berdasarkan jurnal ilmiah berjudul Crouching tigers, hidden prey: Sumatran tiger and prey populations in a tropical forest landscape karya Timothy G. O’Brien, Margaret F. Kinnaird dan Hariyo T. Wibisono, tahun 2003, rentang jelajah harimau, diketahui mulai dari ketinggian 0–2,000 meter di atas permukaan laut.
  • Waktu, saat saya berada di Pos 3 saat itu, sekitar pukul 17.00. Yang mana, berdasarkan dokumen berjudul, Tiger predatory behaviour, ecology and conservation, karya Seidensticker, J. dan McDougal, C., tahun 1993, diketahui, bahwa pada umumnya harimau liar berburu pada waktu-waktu sore menjelang malam hingga fajar. Namun, mereka juga punya kecenderungan berburu sewaktu-waktu, kapan pun kesempatan datang (oportunis).

***

Dalam 70 tahun terakhir, 3 spesies harimau telah punah. Dengan status Endangered, 5 spesies yang tersisa pun sepertinya sedang mengikuti jejak langkah yang sama dengan ketiga pendahulunya. Sementara 1 spesies lagi, Harimau Sumatera, yang secara genetik dan morfologi berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain, serta berukuran tubuh paling kecil (mencapai 2500 mm), kini menjadi ‘pemimpin’ paling depan dengan status siaga menuju binasa. Critically Endangered.

Harimau Bali (Panthera Tigris Balica), tahun 1912

Harimau Bali (Panthera Tigris Balica), tahun 1912

Seperti kita ketahui bersama. Dari 9 spesies harimau yang ada di dunia, 3 di antaranya berasal dari Indonesia, yaitu; Harimau Bali, Harimau Jawa, dan Harimau Sumatera. Sayangnya. 2 spesies pertama yang saya sebutkan, telah tiada:

  • Harimau Bali (Panthera Tigris Balica)—disebut Samong oleh masyarakat Bali—diyakini punah pada tahun 1940-an, dan
  • Harimau Jawa (Panthera Tigris Javanica/Sondaica), diyakini punah pada tahun 1980-an.

Nasib satu-satunya spesies harimau endemik Indonesia yang tersisa, pun, bisa dibilang mengkhawatirkan. Para peneliti memprediksi, bahwa Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) bakal menjadi predator besar pertama yang akan punah pada abad ke-21, JIKA, illegal logging, konversi lahan, perburuan liar dan perdagangan gelap tidak segera dihentikan.

Pada database IUCN Red List, Harimau Sumatra telah berada pada status Critically Endangered (CR)—termasuk kategori ancaman tertinggi—sejak tahun 1996 silam.

Berdasarkan perkiraan data statistik, dari 600-650 ekor yang tersisa pada tahun 1994, populasi mereka telah menyusut ke angka 400-500 ekor pada tahun 2004. Atau jika dirata-rata, kita kehilangan 15-20 ekor per tahun pada rentang waktu tersebut.

Namun demikian, kita boleh sedikit bernapas lega, karena pada Agustus 5, 2013 yang lalu, National Zoological Park yang terletak di Kota Washington, telah berhasil mengembang-biakkan 2 ekor anak Harimau Sumatera—dari induknya yang bernama Damai dan Kavi. Untuk videonya, bisa kalian lihat di sini.

Mari kita flashback ke masa lalu…

Dahulu, rimba belantara masih mendominasi lantai nusantara. Harimau pun tak terhitung jumlahnya. Kemudian, manusia, didorong oleh kebutuhannya, selalu mencoba mencari lingkungan baru yang dianggap lebih layak dan mampu menopang kehidupan mereka. Tentu saja, yang dimaksud dengan “lingkungan baru” pada saat itu, masih hutan hutan juga.

Begitu ditemukan, manusia segera membuka lahan. Babat alas dalam artian yang sebenarnya. Kemudian mereka mendirikan tempat tinggal. Hingga pelan-pelan berkembang menjadi sebuah perkampungan.

Kehadiran manusia di teritori kekuasaan harimau, tentu dianggap sebagai bentuk ancaman. Karenanya, sebagai penyusup wilayah kedaulatan, manusia-manusia ini harus segera disingkirkan. Mereka tunjukkan siapa yang berkuasa, dengan menyerang siapa saja yang ditemuinya.

Bagi manusia, sekali dua, serangan ini masih dianggap sebagai suatu kebetulan. Namun, karena kejadiannya terus berulang, lama-kelamaan, manusia mengganggap ini sebagai sinyal ancaman. Apalagi harimau yang pada mulanya hanya menyerang (untuk melukai) di dalam hutan, kini mulai berani memangsa manusia di pekarangan. Bahkan, sampai berani masuk ke dalam rumah.

Sebagai mahluk yang berakal pikiran, tentu manusia tidak akan tinggal diam. Untuk mencegah insiden ini berulang, setiap lantai rumah yang semula rata dengan tanah, kemudian ditinggikan—dibuat rumah panggung. Kalau perlu, membangunnya di atas pohon (rumah pohon) sekalian.

Jika itu masih dianggap kurang aman, benteng kayu atau bambu yang cukup tinggi dan kokoh, didirikan mengitari desa. Jika dengan cara ini insiden masih terjadi lagi, maka pilihan terakhirnya adalah bedol desa. Jadi tak heran, jika dalam beberapa catatan sejarah yang saya temukan, kerap menyebut harimau dengan julukan “man eater.” Pemangsa manusia.

Karena reputasi ini pula, beberapa desa yang letaknya di pesisir sungai, lebih menyukai jalur air sebagai sarana transportasi untuk berkomunikasi dan saling bertukar informasi antar mereka. Pertimbangannya, jalur hutan sangat berbahaya.

Walau banyak penduduk yang takut, tak sedikit juga yang bernyali besar. Bagi sang pemberani, mereka akan memburu balik sang pemburu. Hunters being hunted. Senjata, mulai dari parang hingga senapan, tak segan mereka sandang. Motifnya, apalagi kalau bukan balas dendam. Hutang nyawa bayar nyawa.

Harimau Jawa, Priangan Bandung Selatan, tahun 1920

Harimau Jawa, Priangan Bandung Selatan, tahun 1920

Cara berburu yang mereka gunakan, secara umum ada 2 macam. Ada yang berburu dengan menyerang langsung ke dalam hutan (secara berkelompok). Ada pula yang menggunakan perangkap.

Catatan paling awal perihal perangkap harimau Sumatera diperkirakan dibuat antara tahun 1627-1631. Pembuatnya adalah Gubernur Jendral Hindia Belanda kelima kala itu, yaitu Pieter de Carpentier, di mana konstruksinya meniru jebakan harimau yang ada di Pulau Jawa.

Saat itu, gairah monopoli dagang Verenigde Oostindische Compagnie (VOC)perusahaan dagang asal Belanda—di wilayah kekuasaannya, Hindia Belanda, sedang “hot-hot”-nya. Begitu pula dengan aktifitas “man eater” kita.

Karena mereka dianggap terlalu berbahaya, dan dapat mengganggu kepentingan operasional perusahaan, maka diumumkanlah operasi perburuan harimau secara besar-besaran, dengan iming-iming; uang.

Uang. Manusia mana yang tidak suka dengan ide ini. Apalagi jika kehadirannya justru menambah ‘kenikmatan’ cita rasa dendam. Masyarakat, yang pada awalnya berburu dengan latar belakang dendam, kini kian termotivsi. Perburuan semakin gencar mereka lakukan.

Sialnya, makna kata ‘harimau’ digeneralisasi oleh orang-orang pribumi. Sehingga macan kumbang dan macan tutul yang seharusnya tak tahu menahu, justru ikut terburu.

Masa perburuan berlangsung relatif panjang. Bertahun-tahun. Motif dendam, lambat laun bergeser ke motif uang, dan tampaknya motif itu masih berlaku hingga sekarang. Bedanya, kalau dulu perburuan dilakukan secara terang-terangan dengan mengharap imbalan, maka sekarang perburuan dilakukan dengan cara kucing-kucingan, dengan tujuan mencari kekayaan.

Bagaimana tidak? Di pasar gelap, setiap bagian tubuh harimau yang diperjual-belikan bernilai ekonomi (sangat) tinggi.

Mari saya beri gambarannya. Untuk setiap 17 kg tulang harimau yang diperdagangkan, keuntungan yang diraih bisa mencapai 10 tahun gaji rata-rata 14 negara asal harimau. Dan, perlu dicatat! Ini belum termasuk bagian tubuh lain.

Supply pada umumnya ditujukan untuk memenuhi 2 kelompok demand utama, yaitu sebagai bahan campuran obat-obatan tradisional, atau digunakan untuk tujuan-tujuan yang bersifat klenik, seperti kekebalan tubuh, kewibawaan, penglaris, dan yang sejenisnya. Sementara bagi para pemburu profesional, harimau yang didapat lewat jalan berburu, tentu bisa menjadi simbol prestise mereka. Maka tak heran jika di masa lalu banyak sekali ditemukan praktek perburuan liar atas dasar kebanggaan.

Saya punya sebuah cerita menarik. Seorang pemburu tradisional, dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Chris R. Sheppherd dan Nolan Magnus pada tahun 2004, mengklaim, bahwa selama 48 tahun ‘karir’-nya berburu (sendiri), ia telah menangkap tidak kurang dari 115 ekor harimau di alam liar, yang jika dirata-rata, maka angka itu setara dengan 2.39 ekor per tahun.

Jika pengakuan pemburu tradisional itu benar, maka pertanyaannya sekarang adalah; kalau SATU ORANG pemburu tradisional saja bisa menangkap hingga 2.39 ekor per tahun, lalu, bagaimana jika pemburu ini jumlahnya puluhan atau bahkan ratusan?

***

Dalam berburu, ada banyak metode yang biasa digunakan masyarakat, di antaranya yaitu; jerat kawat (kaki, kepala, dan badan), racun, senapan atau senjata rakitan, jebakan lubang, dan jebakan kandang.

Di lapangan, jerat kawat adalah tipe jebakan yang paling banyak digunakan. Karena selain lebih murah, pemasangannya pun terbilang cepat dan mudah. Bayangkan! Dalam sehari, seorang pemburu bisa membuat tidak kurang dari 60 jebakan tipe ini.

Metode yang paling jarang digunakan adalah jebakan lubang. Alasannya, selain membutuhkan banyak tenaga dan waktu (proses pembuatannya bisa mencapai berhari-hari), kemungkinan keberhasilan jebakan model ini juga jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan jerat kawat.

Masyarakat Sumatera banyak memasang jerat kawat dekat dengan area cocok tanam mereka. Ini dilakukan untuk menangkap binatang-binatang yang dianggap berpotensi merusak tanaman mereka, seperti babi hutan dan rusa. Masalahnya, selain jerat ini cukup kuat untuk menangkap ‘hama’ perusak tanaman tersebut, ia juga sanggup menjerat predator mereka. Harimau.

Berdasarkan laporan Flora & Fauna Internasional Indonesia (FFI-ID), dari total 12 harimau yang terperangkap secara tidak sengaja antara tahun 1999-2002, 10 di antaranya kemudian dibunuh atau mati (incidental killing). Sementara sisanya, berhasil meloloskan diri.

Untuk setiap individu yang berhasil meloloskan diri, hampir bisa dipastikan akan mengalami luka/cacat, yang tentu saja dapat mengganggu kemampuan berburu mereka di alam liar.

Artinya apa?

Artinya; karena “harimau bermasalah” ini bakal kesulitan berburu mangsa di habitat aslinya, maka sebagai gantinya, mereka akan berpindah ke target mudah. Siapa “target mudah” ini? Bisa anjing atau kucing, tapi yang lebih sering, binatang ternak. Di mana biasanya target ini bisa ditemukan? Tentu saja di pemukiman. Nah! Kalau harimau sampai turun ke pemukiman, kira-kira apa yang akan terjadi, teman-teman? Apakah:

  1. Ditanya, keperluannya apa.
  2. Diajak selfie
  3. Gak boleh terjadi! Ini pasti bocor! Bocor!
  4. Terserah sana mau apa. Bukan urusan saya.
  5. Nggg
Harimau Jawa (Panthera Tigris Javanica atau Sondaica)

Harimau Jawa (Panthera Tigris Javanica atau Sondaica)

Baiklah, mari kita lanjutkan.

Kabar buruknya, masalah yang dihadapi kucing besar kita, ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Ada satu lagi momok paling menakutkan, yang tidak hanya akan berimbas terhadap keberlangsungan hidup mereka, melainkan juga mangsanya dan binatang-binatang lain; Habitat loss.

Habitat loss seringkali terjadi karena adanya penebangan liar (illegal logging) dan konversi lahan (untuk industri, pertanian, perkebunan, atau pemukiman) . Kedua penyebab ini juga sangat berpotensi menimbulkan masalah berikutnya, yaitu terfragmentasinya habitat asli mereka.

Harimau adalah hewan teritorial, di mana ukuran dan lokasi teritori mereka biasa ditentukan berdasarkan habitat, jenis kelamin, banyaknya mangsa, dan umur. Jika ukuran teritori harimau yang bervariasi mulai dari 64-9,252 km2 ini terfragmentasi, maka peluang terjadinya konflik harimau-manusia, ya, tinggal menunggu waktunya saja. Ibarat bom waktu.

Mangsa semakin sulit dicari di teritori yang semakin sempit. Jumlahnya ikut tereduksi akibat adanya fragmentasi ini. Mereka jadi langka. Untuk mendapatkannya, tak jarang, harimau harus menyeberang ke teritori lain, melalui kawasan hutan yang telah terkonversi tadi. Dan, dari titik inilah asal mula konflik harimau-manusia biasanya terjadi.

Peter Boomgaard, seorang peneliti senior dari Royal Institute of Linguistics and Anthropology, Leiden, mencatat, bahwa konflik harimau-manusia di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) telah ada sejak tahun 1600-an.

Dan, tahukah kalian, bahwa habitat loss ini jugalah yang menjadi penyebab utama kepunahan Harimau Bali dan Harimau Jawa?

***

Cara berburu Si Belang hampir sama dengan cara berburu kucing besar lainnya. Pertama-tama, mereka tentukan calon korban, mengintai, kemudian mengendap-endap dalam senyap di antara lebatnya hutan dan semak-semak.

Sebelum menerkam, mereka akan mempersempit jarak. ‘Diusahakan’ sedekat mungkin. Tujuannya, untuk memberi faktor kejutan, supaya calon korban tak punya sedikit pun celah kesempatan melarikan diri, apalagi melawan. Begitu dirasa tepat, saat itulah eksekusi dilaksanakan. Jika serangan pertama gagal, maka tidak akan ada serangan kedua.

Bila calon mangsa telah melihat/mengetahui keberadaan mereka, maka rasio serangan mereka akan menjadi 50:50. Namun, jika sejak pertama, calon mangsa mampu memperlihatkan level dominasi yang lebih tinggi (dalam konteks calon mangsanya adalah manusia), maka niat menyerang akan dihentikan—dengan catatan; mereka tidak dalam keadaan putus asa (misal; kelaparan) atau merasa terancam. Intinya, kemungkinan serangan akan berkurang seiring dengan hilangnya faktor kejutan. Itulah sebabnya, mengapa mereka kadang disebut dengan predator oportunis.

Banyak cerita dan pengamat yang mengamini, bahwa harimau punya kebiasaan menyerang dari arah belakang atau samping. Belajar dari karakter ini, pada masa lalu, masyarakat di beberapa tempat di timur laut India dan Bangladesh, mensiasatinya dengan menggunakan topeng—yang merepresentasikan wajah manusia—di belakang kepala mereka saat berjalan di dalam hutan. Ini dilakukan untuk menghindari diterkam dari belakang.

Dalam rentang waktu yang cukup panjang, trik ini terbilang jitu. Sialnya, insting harimau tidak tinggal diam. Ia juga ‘belajar.” Lambat laun, mereka ‘mengerti,’ sehingga tidak bisa dibohongi lagi. Sehingga, setelah sekian lama, trik yang sama tidak lagi berguna.

***

Kurang lebih, begitulah sekelumit cerita tentang Harimau Sumatera kebanggaan kita. Jangan sampai satu-satunya spesies harimau endemik Indonesia yang tersisa ini kembali punah mengikuti kedua saudaranya. Mari kita jaga kelestarian mereka di alam liar nusantara. Karena, kalau bukan kita, lantas siapa? [BEM]

 

Nah! Bagi kalian yang ingin ikut berpartisipasi menjaga keberlangsungan hidup mereka, silahkan cek beberapa link berikut:

 

Note:

Simplyindonesia tidak berafiliasi dengan salah satu, salah dua, atau salah semua dari beberapa tautan terkait kegiatan konservasi Harimau Sumatera, di atas. Simplyindonesia hanya membantu mempermudah teman-teman sekalian yang ingin ikut ambil bagian dalam upaya pelestarian tersebut. Resiko dan tanggung jawab sepenuhnya ada di pundak kalian.

 

Thanks to:

Mas Prabu Dennaga (@Dennaga) untuk kebaikan hatinya, mengizinkan simplyindonesia menggunakan foto berjudul “Angry Tiger” karyanya.

 

Daftar Pustaka

  • Boomgaard, Peter, 1946. FRONTIERS OF FEAR: Tiger and People in the Malay World, 1600-1950. New Haven & London: Yale University Press.
  • Focus (Mei/Juni 2004) – Volume 26, Nomer 3. Sumatran Tiger on the Brink of Extinction.
  • Mills, J. A. dan Jackson, P., 1994. Killed for a Cure: A Review of the Worldwide Trade in Tiger Bone. TRAFFIC International, Cambridge, UK.
  • Sheppherd, Chris R. dan Magnus, Nolan, 2004. NOWHERE TO HIDE: The trade in Sumatran Tiger. TRAFFIC Southeast Asia.