Gunung Batu Jonggol mulai booming sejak awal tahun 2015 yang lalu. Popularitas, sebagaimana lokasi-lokasi wisata baru lain, diperolehnya via dunia maya lewat tangan-tangan gatal pecinta media sosial. Tapi tahukah kalian, kalau penyematan kata ‘Jonggol’ di akhir nama Gunung Batu sekarang adalah sebuah kesalahan?
Jika kita telusuri ke belakang, sebelum Mei 1999, penyandangan kata ‘Jonggol’ pada Gunung Batu adalah tepat. Karena pada saat itu Kecamatan Jonggol belum mengalami pemekaran.
Pada masa pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1999, Kecamatan Jonggol dimekarkan menjadi dua kecamatan, yaitu; Kecamatan Jonggol dan Kecamatan Sukamakmur.
Karena Gunung Batu kemudian masuk ke wilayah pemekaran, Kecamatan Sukamakmur, maka penyebutan yang lebih tepat seharusnya adalah Gunung Batu Sukamakmur – yang secara geografis lokasinya berada pada koordinat: -6.604184, 107.051931, di wilayah Desa Sukaharja, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kodepos 16830. (mana tahu ada yang punya sahabat pena di sana).
Pertanyaannya: Kalau sudah tahu salah, kenapa judul artikelnya masih “Gunung Batu Jonggol” juga?
Ada dua alasan yang mendasari: Pertama; demi kemudahan kalian mencari informasi (baik secara online maupun offline), dan yang Kedua; Suatu tempat itu kadang lebih dikenal lewat nama lama mereka, ketimbang nama barunya.
Dari Jakarta, jaraknya bisa dibilang dekat, bisa juga terbilang moderat. Tergantung pada titik berangkat. Mari kita ambil contoh. Jika kalian berangkat dari Cibubur Junction, Jakarta Timur, maka jaraknya akan terpaut sekitar 2 jam perjalanan. Tapi kalau kalian berangkat dari Kota Tua, Jakarta Utara, maka jarak tempuhnya bisa melar hingga 4-4.5 jam perjalanan.
Dengan kata lain, jika kita berangkat dari wilayah Jabodetabek, maka objek wisata ini termasuk kategori wisata one day trip, alias bisa dikunjungi dalam waktu satu hari, tektok.
***
Detil belok kiri-kanan perjalanan menuju gunung berbentuk sirip tuna ini, terus terang saya tidak mencatat. Rute yang saya ingat; dari depan gerbang Citra Indah City, belok kanan ke arah Jl. Raya Jonggol-Cariu. Kalau ketemu pertigaan ‘Y,’ ambil kiri arah Cariu. Begitu sampai di pertigaan Mengker, belok kanan. Nah! mulai dari titik inilah, saya pasrahkan segala urusan naik-turun, belok kiri-kanan, kepada teman seperjalanan bernama Pasus itu.
Sebetulnya, nama aslinya adalah Abdul, biasa dipanggil Adul. Tapi, karena saya terlanjur terbiasa memanggilnya dengan sebutan Pasus, maka untuk seterusnya, mari kita panggil dia dengan nickname itu saja.
Sejarah penyebutan nama panggilan ini sebetulnya agak nyeleneh juga. Bertahun-tahun lalu, pada saat pendakian bersama Gunung Merbabu, banyak teman yang baru saling kenal. Salah satunya, ya, Pasus ini.
Karena pada saat itu bertepatan dengan musim pendakian, maka tak heran kalau hampir semua lahan ideal untuk mendirikan tenda di beberapa pos pendakian telah sold out. Walau begitu, kami cukup beruntung, karena masih ada lahan sisa di pojokan sana dengan pemandangan ke bawah yang lapang lagi menyenangkan. Sialnya, kontur tanah yang tersedia miring semua, antara 5-15 derajat.
Dengan kemiringan seperti ini, kalau tidur dengan posisi kepala di atas kaki di bawah, malam ini selonjoran, besok pagi dijamin sudah merosot dengan kaki tertekuk semua.
Sebaliknya, kalau kita pilih tidur dengan pose anak durhaka (kepala di bawah kaki di atas), memang sih dari malam sampai pagi bisa tetap selonjoran, tapi lama-lama darah kita bisa arisan di kepala.
Bagaimana kalau posisi tidurnya miring, bagian paling rendah berada di kanan atau kiri kita?
Kalau ini kemungkinannya dua, kalau besoknya gak tumpuk-tumpukan macam sampah Bantar Gebang, ya, ng-glundung ke jurang setenda-tendanya.
Nah! Pada saat mendirikan tendalah, nama panggilan ini dimulai. Dengan jumlah rombongan mencapai 13-15 personil, kami sengaja bawa 4 tenda dengan variasi kapasitas 4-5 orang.
Karena pada saat itu, sebagian besar fraksi didominasi kaum hawa, jadilah Adam juga yang ‘kena’ getahnya. Dan, untuk urusan mendirikan tenda, adam satu ini (baca: Pasus) termasuk membara semangatnya. Entah karena sifatnya yang memang pengalah, atau buru-buru kepingin istirahat karena lelah.
Tenda pertama baru berdiri. Tapi begitu meleng sedikit, tenda ini tiba-tiba saja penuh terisi. Gak masalah. Masih bisa mendirikan lagi.
Tenda kedua, dengan dibantu beberapa teman sebagaimana tenda pertama tadi, kembali berdiri. Cepat-cepat dia cari kerilnya yang entah diletakan di mana. Begitu ketemu. Hap! Sekali lagi, tenda kedua ini lebih cepat terisi ketimbang pencarian kerilnya. Supaya tidak berubah wujud jadi Huluk, akhirnya dia putuskan ambil rehat barang sejenak.
Tensi darahnya kembali normal seperti sediakala. Waktunya mendirikan tenda ketiga.
Dengan dibantu teman-teman lain—masih dari jenis Adam—tenda ketiga dibongkar dari sarungnya dan digelar. Bilah-bilah frame dipasangkan ke slotnya masing-masing. Flysheet dibentang sebagai lapisan penahan angin dan hujan. Tak lupa, pasak-pasak besi ukuran ~20 centi, ditanam dalam-dalam di setiap pojokan.
Selekas tenda itu berdiri, selekas itu pula dua kejadian sebelumya terulang lagi. Tak peduli segesit apa pun gerakannya.
Mengalah pada keadaan, akhirnya sang teman ini melakukan sesuatu yang di luar dugaan.
“Yo wis kalo begitu. Saya tidur di luar aja pake sarung. Nyoh! Titip keril, yah,” Bahasa Indonesia-nya kental logat Jawa. Dari roman wajahnya terpancar, bukan ekspresi ikhlas, tapi lebih ke arah pasrah tanpa sedikit pun kesan amarah.
“Wiiihhh… Kopassus ini! Hahaha…” respon saya, refleks.
Di gunung ini berdiam diri agak lama saja dinginnya bukan main, apalagi kalau tidur cuma sarungan doang. Dalam kondisi berangin. Di luar tenda pula! Terus terang saya gak kebayang.
Kalian tahu, kan, kalau suhu Gunung Merbabu itu bisa mencapai 11 derajat celcius? Yah, setidaknya begitu menurut Komandan SAR BPBD Boyolali, Kurniawan Fajar Prasetya.
Karena tidak tega, dan secara kebetulan pula, tenda keempat ada pada saya, maka saya undanglah dia mendirikan tenda keempat bersama-sama, tanpa perlu takut kehabisan lahan seperti yang sudah-sudah. “Gile lu, Ndro! Di sini aja nih, sama kita. Masih muat! Hahaha…”
***
1 jam lebih perjalanan yang kami butuhkan dari Citra Indah City untuk sampai ke tempat parkir Gunung Batu – yang posisinya berada persis di seberang pintu masuk jalur pendakian. Kalau Pasus, sang pengendara, lebih memfokuskan perhatian pada jalan di depan, maka saya sebagai boncenger justru disibukkan oleh perasaan cemas (celana masuk) hingga bokong kebas. Bagi kalian para pemilik bisul baru, apalagi yang bentuknya telah menjadi lucu, riding seperti ini sangat tidak direkomendasikan.
O, ya. Bagi kalian yang berencana datang ke lokasi wisata ini dengan menggunakan jasa angkutan umum (angkot), jangan lupa siapkan waktu, tenaga, dan biaya yang lebih banyak.
Dari pertigaan Mengker sampai Gunung Batu, tak satu pun angkutan umum (angkot) saya temui di sepanjang jalan. Karenanya, besar kemungkinan kalian harus menyewa angkot atau pickup atau ojek dari sana. Semakin banyak jumlah rombongan kalian, tentu semakin murah biaya sewanya.
***
Di luar dugaan, ternyata tempat parkir ini sangat berbeda dengan beberapa foto yang sering saya lihat sebagai acuan, yang kebanyakan memiliki areal yang lebih terbuka, tak terhalang pepohonan, dan berlatar belakang Gunung Batu secara utuh.
Berdasarkan informasi yang diperoleh kemudian dari pemilik warung yang saya singgahi, tempat parkir (berdasarkan foto referensi) yang berada di pinggir jalan utama tersebut rupanya adalah tempat parkir Pos 1 yang lebih dulu ada. Sementara yang ini adalah tempat parkir Pos 2.
Menurut pengakuannya, Teteh bertubuh gempal pemilik warung ini telah berjualan di sini selama kurang lebih setahun. Itu artinya, tempat parkir Pos 2 ini seminim-minimnya telah berusia sekitar satu tahun.
1 mobil Avanza hitam dan ~10 motor tampak telah terparkir saat kami datang. Jika separuh dari total jumlah kendaraan ini ditunggangi 2 orang, berarti 16-17 orang telah mendahului kami mendaki. Itu pun belum ditambah dengan pengunjung yang datang dari areal parkir Pos 1. Untuk ukuran puncak Gunung Batu yang tidak seberapa luas itu, jumlah ini saya anggap cukup ramai.
Motor perang baru kami parkir. Seseorang yang semula ngerumpi santai di saung sana, segera menghampiri dan menyapa. “Kemping, enggak, ‘A?” tanyanya ramah macam baru jumpa sahabat lama.
“Enggak. Kita cuma liat-liat aja sebentar,” jawab Pasus, singkat dan padat.
“Lima belas ribu.”
What the!… adat keramahan timur yang baru saja ditunjukkannya, lenyap dalam sekejap ditelan penilaian saya. Parkir doang, 15 ribu! Oke, sip!
Nominal rupiah yang dimintanya saya bayar lunas, korting setengah ikhlas.
Kalau tarif parkirnya sebesar itu, lalu berapa tarif masuk per orangnya?
Ini masih jadi tanda tanya. Sepahit-pahitnya, saya sudah siap kalau terpaksa harus mengeluarkan uang sampai puluhan ribu rupiah untuk dua orang. Tapi, kalau dimintai sampai ratusan ribu, sedikit baku tinju mungkin perlu. #SodorinPasus
Tapi harus lihat-lihat juga. Kalau badannya kecil, lawan. Kalau badannya besar, ya jangan. Mendingan cium tangan, buru-buru pulang, malah lebih aman.
Sensasi masuk ke kebon orang, saya rasakan saat melewati gerbang masuk jalur pendakian. Pada jalur yang sering terinjak, rumput liar enggan tumbuh dan berkembang biak. Itulah sebabnya, mengapa jalur ini lebih didominasi tanah merah. Tidak seperti kerumunan rumput yang tumbuh subur di bawah rimbun ribuan pepohonan berbatang kecil di kiri-kanan jalan.
Jalur berkemiringan sekitar 30 derajat membuka perjalanan kami. Awalnya memang tampak mudah, tapi begitu dijejaki, rupanya lama-kelamaan berat juga. Semakin dipaksakan, jantung ini semakin kencang saja bekerja. Sinar matahari yang tidak menyengat pun berhasil membuat badan ini bermandi keringat. Napas saya hampir putus rasanya. Padahal sudah rutin berolahraga seminggu sekali.
Beberapa orang tampak berjalan pada arah yang berlawanan. Satu dua dari mereka menyempatkan diri menyapa seperlunya, sisanya pilih berlalu begitu saja – ada yang sambil mengobrol, pura-pura tidak lihat, sampai yang diam-diam menunduk macam lelembut.
Dari seluruh pengunjung yang pada saat itu kami temui, rata-rata berusia SMA. Sementara selebihnya diisi pengunjung mahasiswa dan (segelintir) pekerja.
20 menit trekking, kami tiba di lokasi mendirikan tenda. Ini berarti setengah perjalanan telah terlampaui. Sebagaimana pasangan modis yang gayanya sangat adventure itu, sebelum sampai di titik ini, kami juga butuh beberapa kali istirahat. Mungkin sebelumnya mereka juga sama seperti saya, terlalu meremehkan ketinggian Gunung Batu Jonggol yang ‘cuma’ 875 mdpl ini.
Lokasi kemping (camping ground) ini berukuran lumayan lapang dan memanjang. Menurut perhitungan saya, luasnya sekitar 1.5 kali ukuran lapangan badminton, dan mampu menampung hingga 10-15 tenda kalau dipaksa.
Bagi para adrenaline junkie, dari area kemping ke areal parkir sebetulnya bisa digunakan sebagai trek downhill sepeda. Tapi ingat! Harus punya kemampuan juga. Kalau gak punya, gimana? Ya, jangan coba-coba. Karena kalau sampai terjadi kesalahan, minimal nyangsang, maksimal dijemput Malaikat Maut.
Selain cukup lapang, area kemping ini juga sangat terbuka. Pepohonan berbatang tinggi yang tumbuh di sini masih terhitung jari (mayoritas pohon berbatang tinggi hanya tumbuh/ada di ketinggian antara 100-200 meter, pada bagian kaki gunung sana). Karenanya kita bisa melepaskan pandangan 270 derajat ke segala arah tanpa terhalang apa-apa.
Yang 90 derajat lagi ke mana?
Sudut pandang tersebut, tentu saja terhalang bagian puncak Gunung Batu yang lebih tinggi.
Awan kelabu semakin tebal di langit barat. Rongga awan yang semula lapang, yang menjadi celah sinar matahari meloloskan diri ke bumi, kian menit kian menyempit. Apakah ini pertanda akan turun hujan? Atau gejala wilayah pegunungan sore yang biasa? Entahlah. Yang jelas, waktu terus memburu.
Perjalanan menanjak semakin berat. Pada setengah perjalanan menuju puncak ini, hitungan istirahat terpaksa kami ambil lebih banyak.
Bongkah-bongkah bebatuan, mulai dari seukuran kucing sampai kambing, mulai sering saya temui di sepanjang perjalanan. Semuanya menyembul di permukaan tanah bagai kentang siap panen.
Di atas sana lagi, beberapa boulder seukuran perut sapi Sumbawa hingga seukuran perut kerbau Toraja tergeletak tenang di pinggiran kemiringan jalur pendakian. Tidak mengapa. Asal batu-batu besar ini tidak meniru gaya srimulat yang ujug-ujug jatuh terpeleset dari tempat duduknya itu. Nanti, bukannya ketawa, malah bisa game over, kita.
Satu grup kecil disusul satu kelompok besar mendekat perlahan pada arah berlawanan. Mereka turun memapasi kami, dan semakin menjauh ke belakang.
Kemiringan jalur berbatu di depan telah bertambah menjadi 65-70 derajat. Untuk alasan keamanan, tambang sebesar gagang pompa dragon, dibentang. Bukan sebagai pembatas jurang, melainkan tambahan pegangan demi kemudahan pendakian.
25 menit trekking ke depan, kesulitan jalur yang mesti dilalui semakin tereskalasi. Bagi mereka yang terbiasa panjat tebing, kondisi ini tentu dianggap biasa-biasa saja. Tapi bagi sebagian besar lainnya, berpegangan pada tambang niscaya diperlukan. Dan, sebagaimana komunikasi interkom era 80-an, jalur ini hanya bisa dilalui oleh satu orang pada satu waktu.
Dari puncak Gunung Batu Jonggol berbentuk setapak memanjang (~50 meter) dan berbukit-bukit, pemandangan luas terbentang. Kali ini genap 360 derajat ke segala penjuru arah tak terhalang apa-apa. Kondisi ini seketika mengingatkan saya pada Puncak Wayag, Raja Ampat.
Banyaknya pengunjung yang masih berdiam lama di sini membuat saya enggan mengeluarkan kamera. Karena sejak awal target saya memang bukan untuk memotret pemandangan, melainkan survei spot foto portrait terbaik.
Apa mau dikata, saya datang pada akhir pekan—hari Sabtu, tepatnya. Jadi, kalau ramai begini, ya, memang sudah sewajarnya.
Kalau ada yang bisa menahan saya berlama-lama di tempat ini, mungkin karena saya lelah. Terlalu lama rehat mendaki, ternyata berhasil membuat tubuh ini jadi manja. Terbukti, sepulangnya dari sini, paha yang sudah tidak sexy sama sekali ini malah dijangkiti linu hampir seminggu.
Entah datang dari mana, capung-capung itu semakin banyak saja jumlahnya. Sebagian beterbangan di atas kepala, sebagian lagi sejajar di depan mata. Walau satu-dua kadang terbang mendekat, tetap saja mereka sulit ditangkap. Tak heran, karena pada kenyataannya, mereka memang mampu terbang dengan kecepatan 30-60 km/jam. Bahkan ada juga yang mampu terbang hingga kecepatan 90 km/jam!
Dan, tahukah kalian? Menurut para ilmuwan, keluarga Odonata ini merupakan indikator alami udara dan air yang bebas polusi, lho.
Sangat kontras dengan kepercayaan anak-anak kampung pada masa kecil saya dulu, yang lebih mempercayai bahwa banyaknya capung yang beterbangan di sekitar kita, justru merupakan indikasi alam akan turunnya hujan.
Kalau jumlahnya sedikit, katanya cuma gerimis. Kalau banyak, kemungkinan bakal hujan lebat. Kalau jumlahnya sangat banyak? Ya, mending buka usaha capung goreng saja macam di Gunung Kidul, Jogja sana.
Warna langit yang semula biru, kini berubah jadi kelabu. Gumpalan awan hujan di langit barat terlihat semakin tebal dan pekat.
Capung dan awan menghitam… apakah benar ini pertanda akan turun hujan?
Atau jangan-jangan, ini cuma fenomena sore yang biasa?
Entahlah.
Kami bergegas turun. Tenggorokan yang sejak awal pendakian telah kerontang, berhasil menerbitkan dendam. Segelas teh hangat harus segera ditenggak. Karenanya jejak langkah terus dipercepat… ditemani serangga-serangga kecil yang beterbangan di sekian titik jalur pendakian. Gak papa. Asal jangan terbang masuk ke lubang hidung saja. Bikin emosi jiwa.
***
2 gelas besar teh manis pesanan baru datang. Satu panas, satu dingin. Panas dingin, macam orang meriang. Waktunya membasahi kerongkongan.
Slurpppss…
Wuahhh!!!
Ini teh, apa kolek? Manis banget! @,@
Segarnya teh manis yang sebelumnya terbayang, tidak menjadi kenyataan. Rasa haus memang hilang, tapi segar, tidak. Di luar ekspektasi saya, begitu coba minum air putih biasa, ternyata malah bukan main nikmatnya. Terkesan berlebihan memang, tapi ini sungguhan.
Dan sejauh yang saya ingat, seumur hidup, ini adalah kali kedua saya merasakan air putih yang begitu luar biasa nikmatnya. Yang pertama, pada jaman kuliah dulu. Saat buka puasa, setelah thawaf seharian di Mangga Dua Mall demi mencari selisih harga sparepart komputer yang lebih murah bangsa lima ribu rupiah—yang sialnya tidak pernah ketemu itu. [BEM]
Akses jalan menuju area parkir Pos 2
Ada dua lahan parkir yang bisa kita gunakan saat berkunjung ke Gunung Batu, yaitu area parkir Pos 1, yang berada di sebelah barat Gunung Batu, dan area parkir Pos 2, yang berada di sebelah utaranya.
Akses masuk jalur pendakian terdekat adalah melalui area parkir Pos 2. Sementara kalau kalian parkir di Pos 1, harus berjalan kaki terlebih dahulu sejauh kurang lebih 500 meter ke pintu masuk jalur pendakian.
Perlu dicatat juga, untuk mengakses tempat parkir Pos 2, tidak bisa melalui tempat parkir Pos 1—begitu pun sebaliknya. Jadi harus memutari Gunung Batu dulu ke arah timur sejauh kurang lebih 3 kilometer.
Kalau melihat dari kondisi jalannya—diperiksa Pasus—sebetulnya dari areal parkir dua ke areal parkir satu, vise versa, bisa dilalui kendaraan, baik roda dua maupun roda empat. Asal jangan roda satu. Berat!
Namun, alasan yang kami dapat saat mengutarakan niat pulang lewat areal parkir satu (dari areal parkir dua), baik dari pemilik warung maupun juru parkir, sama saja. “Gak bisa lewat situ. Jalannya parah. Sayang motornya, nanti rusak.”
Petunjuk ini mereka sampaikan dengan wajah bersungguh-sungguh. Anehnya, saya dan Pasus kompak punya pandangan berbeda. Kami merasa ada sesuatu yang disembunyikan, entah apa.
Dugaan paling gampang, tentu saja terkait masalah teritori. Wilayah kekuasaan. CMIIW.
Tidak seperti tempat parkir Pos 1 yang posisinya sudah terlihat dari jalan raya utama (Jl. Sukaharja), akses ke tempat parkir Pos 2 jaraknya masih sekitar 1 kilometer lagi dari jalan raya, dengan kombinasi jalan tanah berbatu (mobil + motor) dan jalan setapak tanah (khusus motor).
Kalau cara mengemudi atau berkendara kalian tidak ugal-ugalan, seharusnya “akses masuk” ini mudah ditemukan. Karena di pinggir jalan raya utama sudah terpasang papan penunjuk arahnya. Sebagai informasi saja, papan ini lebih mirip papan peringatan dilarang buang sampah bernada amarah yang seringkali diakhirkan dengan nama salah satu perwakilan kebun binatang.
Jadi, jika di kemudian hari nanti kalian datang ke sini, dan menemukan plang ini, dan merasa tidak yakin dengan petunjuknya, apalagi begitu melihat akses jalannya yang sangat tidak lazim (sepi, seperti jalan masuk ke kebun orang), ada kemungkinan kalian sudah berada di jalan yang benar.
Kendala utama akses ini adalah hujan. Jalurnya dapat menjadi licin dan berbahaya—terutama bagi kendaraan roda dua—bisa celaka kalau tidak waspada.
Kondisi area parkir Pos 2
Area parkir dua Gunung Batu relatif lapang. Saya perkirakan bisa menampung hingga 10-15 mobil dan 20-30 motor dalam satu waktu bersamaan. Sayangnya, lahan ini sebagian besar berlantai tanah. Sehingga begitu hujan turun, ia berpotensi menjadi becek dan licin. Karenanya, parkir di tempat ini setelah hujan tidak direkomendasikan.
Untuk memenuhi kebutuhan pendakian, di sini juga terdapat beberapa warung yang menyediakan mulai dari teh, kopi, air mineral, gorengan, beragam jajanan ringan, sampai makanan survival anak kosan saat tanggung bulan, which is; mie instan. Daya tampung masing-masing warung cukup bervariasi, mulai dari 5-10 orang.
Tips wisata Gunung Batu Jonggol
- Bagi kalian yang menginginkan hasil foto terbaik, sebisa mungkin hindari berkunjung pada akhir pekan atau high season (seperti hari-hari besar nasional dan musim liburan sekolah). Area puncak relatif sempit. Ia cenderung lebih cepat penuh sesak.
- Gunung Batu Jonggol menawarkan pemandangan matahari terbit dan tenggelam. Gak kebagian sunrise? Tinggal tunggu sunset. Ketinggalan sunset? Tinggal kemping, tunggu sunrise. Jangan khawatirkan hasil akhir. Setelah jadi foto, orang lain gak akan bisa membedakan mana foto sunrise dan mana foto sunset.
- Sebelum mendaki gunung ini, rajin-rajinlah berolahraga, terutama lari. Karena walau tingginya ‘cuma’ 875 mdpl, kontur jalurnya lumayan menguras tenaga. Intinya, jangan remehkan ketinggiannya yang “tidak seberapa.”
- Hindari mendaki pada musim hujan. Mayoritas jalur pendakian Gunung Batu adalah tanah merah, dengan kerikil dan bebatuan besar di beberapa spot, yang bila disiram hujan, berpotensi menjadi licin dan berbahaya.
- Sejauh yang saya ingat, ada 2 bagian pada jalur pendakian yang relatif sulit dilalui. Keduanya bisa kalian temui setelah lokasi kemping/camping ground. Yang ingin saya sampaikan adalah, jika suatu jalur terasa sulit dilalui pada saat kita mendaki, maka begitu kita turun ia cenderung akan terasa lebih sulit lagi. So, waspadalah!
- Untuk menghindari dehidrasi, sebelum memulai pendakian disarankan membawa bekal, minimal sebotol air mineral.
- Penggunaan sepatu/sandal gunung lebih disarankan. Khusus wanita; hindari penggunaan flat shoes.
- Setelah turun gunung dan beranjak pulang, ternyata kami tidak dikenai pungutan apa-apa lagi. Artinya, biaya sebesar 15,000 Rp yang pada awal kedatangan kami keluarkan, telah mencakup biaya masuk 2 orang dewasa (@5,000 Rp) dan ongkos parkir (5,000 Rp).
- Harga jajanan, walau sedikit lebih mahal tapi masih dalam batas normal.
- Jangan pernah meninggalkan kendaraan kalian tanpa ada yang menjaga. Untuk keterangan lebih lanjut, silahkan menghubungi contact person Pos 2 di nomor: 0877.7080.3022 atau 0878.7088.3112 atau 0838.1124.3097.
- Area parkir Pos 1 lebih dekat dengan jalan raya, tapi lebih jauh jaraknya dari pintu masuk pendakian(~500 m). Sebaliknya, area parkir Pos 2 lebih jauh dari jalan raya (~1 km), tapi lebih dekat dengan pintu masuk pendakian.
- Jika membawa kendaraan sendiri, pastikan mesin dan rem dalam kondisi prima. Karena jalan menuju lokasi memiliki kontur berbukit, yang pada beberapa titik cenderung curam dan terjal.
- Sebisa mungkin gunakan kendaraan bertransmisi manual—baik motor maupun mobil. Karena selain lebih kuat, kendaraan tipe ini juga menawarkan fitur engine break yang dalam keadaan darurat bisa digunakan sebagai rem cadangan. Mesin kendaraan bertransmisi otomatis sebetulnya juga bisa melakukan engine break, namun efeknya tidak seberapa jika dibandingkan dengan transmisi manual.
- Dari Cibubur Junction atau Cileungsi atau Citra Indah City, transportasi/kendaraan umum atau angkot hanya ada sampai pertigaan Mengker saja. Dari pertigaan Mengker ke Gunung Batu Jonggol harus ditempuh menggunakan kendaraan sewa macam angkot, mobil pickup, atau ojek.
- Setelah memasuki pertigaan Mengker, pedagang bensin eceran jarang saya temukan di sepanjang jalan. Kalau pun ada, letak antara satu dengan lainnya sangat jauh, bisa berkilo-kilometer. Karenanya, pastikan bahan bakar yang tersedia di dalam tangki bensin kendaraan kalian, mencukupi untuk perjalanan pergi-pulang. Kalau tidak yakin, bawa bensin cadangan.
- Akses jalan menuju lokasi wisata ini berbukit-bukit dan melewati daerah rawan longsor pada beberapa titik. Karenanya, tetaplah waspada saat berkendara, terutama pada saat hujan. Jika cuaca hujan, menunda waktu kunjungan lebih disarankan.
- Saat pulang dari Gunung Batu Jonggol, ambillah rute Jl. Wanajaya – Jl. Sukaraja Dayeuh yang akan berujung di pertigaan ‘Y.’ Tugas kalian: Cari dan fotolah (boleh foto rambunya saja, boleh selfie, boleh wefie – pokoknya bebas) satu-satunya rambu lalu lintas penunjuk jalan yang salah pasang. Seharusnya belok kiri sesuai jalan aspal, tapi yang ini malah dipasang plang belok kanan, padahal jelas-jelas tebing. Selain bisa jadi hiburan, sukur-sukur kalau foto ini juga bisa mendongkrak ketenaran akun media sosial kalian.
Adakah kontak pick upnya kak ?
Wah, maaf. Saya gak punya. Karena waktu ke Gunung Batu Jonggol, kita pake motor.
Punya contact number sewa pick up untuk ke gunung batu kak?
Kemaren ke gunung batu naik motor, jd gak punya kontaknya. Tapi saya barusan tanya sama temen tinggal di sana. Kalau dia punya infonya, nanti saya update di komentar ini, ya. Dan, kalo dalam seminggu gak ada update, anggap aja gak punya cp sewa pick up ya.
Wiih pegel pasti nulis nya om , saya tinggal di desa wargajaya ttangga desa sukaharja ( lokasi gunung batu ) route paling efektip naik kendaraan umum dari citra indah ke gunung batu . Inilah estimasi biaya paket terhemat..
– Citra – jonggol kota atau alun2 sekitar 3ribu
– naik angkot lanjut ke kebun danas 15ribu
– naik angkot di alun2 jonggol bisa tanya angkot yg ke sukamakmur via dayeuh jadi ga lewat mengker
– Dari kebun danas sekitar 3/4km ke puncak gunung batu naik ojek sekitar 15ribu
rumah saya ada di antara kebun danas-puncak gunung batu boleh mampir kerumah juga hehe IG girisuryana93
Pegel-pegel dikit, Om. Hehehe…
BTW, terima kasih banyak nih buat informasinya, Om Giri!
Pasti bermanfaat buat temen-temen yang lain.
Buat temen-temen yang mau ke Gunung Batu Jonggol, jangan lupa mampir ke tempat si Om, diundang lho. 😀
om Giri… apakah lokasi dekat dengan villa Gayo land kampung durian , sy ditawarkan kavling di desa sukaharjo kec sukamakmur ..bisa bantu info..tq.
Paragraf-paragraf pengantar di awal tulisan ini menggelitik, mau naik gunung kita berpikir penamaan gunung dan lokasinya wkwkwkwk. Selanjutnya khas, ada bumbu-bumbu komedi yang membuat tergelak hehehe.
Gunung ini makin ngehits ya, lumayanlah buat pemanasan sebelum ke gunung-gunung lainnya 😀
Ceritanya SOP 5w1h, Ki. Hahaha…
BTW, email ganti nih? Yang kemaren kenapa? Lupa password? 😀
Enggak mas, ini buat bikin pindahan dari selfhost ke wordpress biasa, jadi papanpelangi.me, yang dot net udah saya hapus soalnya gak paham selfhost wkwkwkwk.
hahaha, ngerendah aja nih…
Mas kalo masuk k pos 2 itu lewat mana ya ? Ada plangnya gak? Mobil bisa parkir di pos 2 gak? Makasih 🙂
Wah, kalo lewat mananya, saya bingung jelasinnya. Tapi ada plang-nya kok di pinggir jalan.
Patokannya begini aja:
– Kalo ngeliat tempat parkir 1 (Pos 1) ada di kiri jalan, berarti pintu masuk ke Pos 2 masih sekitar 15 menit ke depan.
– Kalo ngeliat Pos 1 ada di kanan jalan, berarti pintu masuk Pos 2 sudah kelewatan sekitar 15 menit di belakang.
Pos 2 letaknya lumayan jauh dari jalan utama. Tapi enaknya, begitu parkir langsung di depan pintu masuk pendakian.
Mobil bisa parkir di Pos 2, kok. Waktu saya ke sini, ada 2 atau 3 mobil yang parkir kalo gak salah inget. 🙂
sudah punya niat “naik-naik ke puncak gunung” loh saya, tapi nyali dan fisik belum siap 😦
Kalo begitu, Gunung Batu ini cocok untuk latihan. 🙂
saya ga diajak?
okeh, fine
Fine, ok. Hahaha…
foto dari ketinggiannya kereeeen. Jadi pengin ke sana juga. Tapi ngebayangin kudu trekking, langsung ngosngosan duluan 😂
Asiknya ke sini itu pagi atau sore pas sepi. Enaknya sih kemping + hari biasa kalo mau dapet foto yang relatif clean dari ‘gangguan.’ 😀