Pemandangan laut di sekitar Pelabuhan Sape

Pemandangan laut di sekitar Pelabuhan Sape

Pukul 13.05 kami selesai santap siang di Rumah Makan Seafood BBA Doro Belo. Setelah sebelumnya kami jajaki Desa Palama dengan susu kuda liarnya, kini tiba saatnya kami lanjutkan perjalanan menuju Labuan Bajo via Pelabuhan Sape. Feroza Fans Club Sumbawa mengiringi kami dalam kecepatan sedang cenderung kencang. 5 mobil mengawal di depan, belasan lainnya mengekor di belakang. Tanah merah memisahkan rentang aspal mulus dengan air pantai kecoklatan di sebelah kiri jalan. Atmosfer gersang masih mendominasi di sini.

Rumah Makan BBA Doro Belo

Rumah Makan BBA Doro Belo

Pelataran parkir RM BBA Doro Belo

Pelataran parkir RM BBA Doro Belo

Kondisi jalan Sumbawa 1

Kondisi jalan Sumbawa 1

Pinggir pantai Sumbawa 1

Pinggir pantai Sumbawa 1

Pinggir pantai Sumbawa 2

Pinggir pantai Sumbawa 2

Kondisi jalan Sumbawa 2

Kondisi jalan Sumbawa 2

Memasuki area kota, 1 Feroza dan 2 Terios yang melaju di depan, tiba-tiba “memisahkan diri.” Koordinasi yang diterima via Handy Talkie (HT) disalah-arti. Tak bisa disalahkan juga, ini murni miskomunikasi. Arahan datang dari 2 komando yang berseberangan:

  • Pimpinan Tim Terios 7 Wonders yang terselip di urutan ke-4 konvoi, menginstruksikan lurus terus menjelang perempatan di depan.
  • Sementara voorijder Feroza yang memimpin iring-iringan paling depan, pilih banting setir, belok ke kiri begitu menginjak perempatan.

Sebagai hasil akhirnya; 2 Terios di depan bingung dibuatnya. Keduanya pilih percaya pada apa yang tampak di depan mata. pengemudi Feroza ini pasti lebih menguasai medan Sumbawa ketimbang perangkat Global Positioning System (GPS) yang kami bawa sejak semula. Mungkin begitu pikir 2 pengemudi Terios, teman kami. Untungnya, baterai handy talkie masih penuh terisi, sehingga miskomunikasi bisa segera diatasi.

Convention Hall Paruga Na'e Kota Bima

Convention Hall Paruga Na’e Kota Bima

Pada salah satu ruas jalan, konvoi kendaraan belok ke kanan, halaman depan Convention Hall Paruga Na’e di Jalan Soekarno-Hatta, Kecamatan Mpunda, Kota Bima. Lokasinya persis di depan Panti Asuhan Yatim Piatu Nurul Mubin yang didirikan atas dasar akta notaris No. 584, tanggal 17 Juni 1985.

Nama “Nurul Mubin” sendiri diambil dari salah satu buku karangan Sultan Muhammad Salahuddin, seorang tokoh perjuangan pembebasan Bima dari belenggu penjajahan Belanda pada masa-masa kemerdekaan Indonesia. Sebagai bentuk penghormatan, nama Sultan Muhammad Salahuddin juga disematkan pada nama salah satu bandar udara di Kota Bima.

Mobil diatur sedemikian rupa, agar hasil foto sesuai selera. Semua orang berpose di depan jajaran mobil yang telah terparkir rapi. Tim Feroza Fans Club Sumbawa tak lupa membentang spanduk “pecel lele” putih yang berisikan ucapan selamat datang kepada Tim Terios 7 Wonders dan slogan bertuliskan “Mewujudkan pelopor dalam keselamatan berlalu-lintas.”

Toko cinderamata Mutmainnah, Kota Bima

Toko cinderamata Mutmainnah, Kota Bima

Halaman Hotel Mutmainnah

Halaman Hotel Mutmainnah

Ruang tunggu Hotel Mutmainnah

Ruang tunggu Hotel Mutmainnah

Beberapa kali jepretan telah diambil. Setelah bersalam-salaman ala arisan, kami pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Sape, dengan sebelumnya mampir ke toko cinderamata Mutmainnah—Sentra pengembangan industri kreatif tenun dan Batik Sasambo—di Jalan Gajah Mada No. 8, Bima, untuk membeli 1-2 buah tangan. Sekedar kenang-kenangan untuk dibawa pulang.

Kali ini hanya satu orang perwakilan Feroza Fans Club Sumbawa yang mendampingi—sisanya pilih tinggal sementara waktu di depan Convention Hall Paruga Na’e. Namun, karena terlalu lama mencari oleh-oleh yang tidak pasti, sang kawan ini, entah sejak kapan, pergi tanpa kami sadari.

Maafkan kami ya teman-teman Feroza Fans. Terima kasih untuk sambutan hangat kalian.

Sementara teman-teman lain sibuk pilih barang sana-sini, saya justru sibuk mengerjakan soal matematika bermodal angka-angka pada setiap label harganya. Niat belanja oleh-oleh untuk calon pacar tercinta yang entah siapa, terpaksa saya tunda. Penyebabnya apa lagi kalau bukan nominal harga yang gak kira-kira. Yah, setidaknya, satu lagi kesempatan gigit jari berhasil saya kantongi.

Masak cuma begini doang harganya se-anu. Di mana tau’ harganya gak sampe segituh. Kesah ibu-ibu PKK di bazaar curah (cukup murah) mengambil peran di relung hati yang terdalam.

Dari 24 orang yang lalu lalang di dalam toko kerajinan dan segala macam buah tangan, terpilihlah 1-2 orang ‘pemenang.’ Itu pun cuma beli 1 barang saja. Yang murah pula. Tak mengapa juga, yang penting judulnya ‘beli,’ bukan “gigit jari.” #pedih

Siang itu—pukul 14.00—matahari Sumbawa masih terik menyengat kulit. Wisata belanja pura-pura segera saja disudahi. Perjalanan ke Pelabuhan Sape kami lanjutkan kembali.

Tambak garam warga Sumbawa

Tambak garam warga Sumbawa

Melewati percabangan Kelurahan Nungga – Sape, memasuki Desa Maria di Kecamatan Wawo, melintasi tambak-tambak garam warga Sumbawa, dan akhirnya, 1 jam kemudian, sampai pula kami semua di Pelabuhan Sape.

Bangunan gapura menjulang tinggi mirip gerbang Torii di Jepang, membuka perkenalan saya dengan Pelabuhan Sape untuk pertama kali. Keempat tiang pancangnya berwarna biru, dengan atap segitiga memanjang dari asbes. Tingginya sekitar 5-6 meter. Tepat di bagian bawah atapnya terpampang plang bertuliskan “Selamat Datang di Pelabuhan Penyeberangan Sape.”

Pelabuhan masih tampak lengang siang itu. Kecuali manusia, tak banyak kendaraan yang lalu lalang.

Kendaraan-kendaraan penumpang, baik umum maupun pribadi terparkir tenang di bagian tengah, sementara truk-truk barang berbaris rapi di pinggir-pinggir area parkir. Untuk kondisi sebegini sepi, pelataran parkir pelabuhan terasa amat lapang walau tak sejauh mata memandang.

Di tempat ini, gema perpisahan yang sebelumnya hanya wacana, kian santer saja terasa. Tapi apa mau dikata, setiap pertemuan selalu bergandeng-tangan dengan perpisahan. Waktunya? Entah kapan. Tapi pasti terjadi. Seperti halnya kematian yang setia menjelang kehidupan.

Pelabuhan Sape 1

Pelabuhan Sape 1

Pelabuhan Sape 2

Pelabuhan Sape 2

Pelabuhan Sape 3

Pelabuhan Sape 3

Pelabuhan Sape 4

Pelabuhan Sape 4

Di pelabuhan ini, teman-teman driver yang berjumlah 6 harus berpamitan. Kembali ke Jakarta mengerjakan rutinitas seperti biasa. 11 hari kebersamaan, mereka tahan 1 jam lebih panjang sebelum perpisahan benar-benar datang. Seperti halnya kami, mereka juga berberat hati.

Sebenarnya saya hanya ingin bercerita apa adanya, tapi mengapa jadinya kok, malah nyemplung ke hikayat curhat begini. Galau-galau gak jelas. Ah, tak mengapalah, ya. Untuk sementara ini tolong dimaklumi saja. Karena, jelek-jelek begini, saya juga pernah ABG. Waktu itu. Entah berapa tahun yang lalu. Sekedar sebentar mengenang masa muda, kan, tak ada salahnya.

Baiklah, mari kita lanjutkan.

Kapal ferry yang sejak lama bersandar baru boleh dinaiki. Sekali lagi, kami langsungkan ritual berpamitan dengan teman-teman driver yang 6.

Pak Agam, sang menteri keuangan Sahabat Petualang memperlihatkan sejumlah tiket penyeberangan kepada petugas dinas di pintu dermaga Pelabuhan Sape. Kami langsung menuju kapal, sementara sebagian kecil peserta masih tertahan di area parkir, karena harus menunggu antrian masuk kendaraan.

Dari 7 Terios yang kami kendarai sejak Desa Sawarna, hanya 1 yang akan dibawa menyeberang hingga ke Labuan Bajo, bahkan mungkin yang pertama kali dan satu-satunya mobil yang akan dibawa hingga Pulau Komodo.

Pada dek penumpang, salah seorang Anak Buah Kapal (ABK) tak segan-segan menawarkan kamarnya untuk kami tempati sementara, dibarter dengan sejumlah harga yang relatif tak seberapa—100,000Rp/kamar/3 orang, kalau perlu 1 rombongan. Tapi jangan!

Mereka butuh tambahan pemasukan, kami butuh tempat untuk istirahat. Simbiosa mutual ini lahir dari keadaan saling membutuhkan.

Pemandangan laut di sekitar Pelabuhan Sape

Pemandangan laut di sekitar Pelabuhan Sape

Pemandangan alam di sekitar Pelabuhan Sape sangat memanjakan mata. Dari teritis dek penumpang saya bisa melihat ke arah mana saja yang disuka—selama tak terhalang badan kapal tentunya. Walaupun judulnya ‘pelabuhan,’ air laut di tempat ini masih membiru, tak ada warna kecoklatan apalagi hitam layaknya pantai-pantai pelabuhan di Pulau Jawa yang mayoritas telah terkontaminasi.

Membandingkan jumlah penumpang kapal penyeberangan di Pelabuhan Sape, Sumbawa, dengan penumpang di Pelabuhan Kayangan, Lombok, jumlahnya mirip-mirip. Tak begitu ramai, tapi tidak  sepi.

Pukul 18.00, kapal ferry mulai angkat sauh. Ijin berlayar dari pihak Angkutan Sungai Danau Penyeberangan (ASDP) Pelabuhan Sape telah dikantongi. Kapal siap berangkat. Berdasarkan perhitungan kira-kira, penyeberangan dari Pelabuhan Sape ke Pelabuhan Labuan Bajo akan memakan waktu sekitar 5-6 jam, tergantung kondisi cuaca.

Demi membunuh waktu tunggu, sebagian dari kami mengobrol tentang apa saja, sebagian yang lain memanfaatkannya dengan istirahat tidur, sebagian yang lain menggalau di pagar-pagar kapal, menatapi sunset yang itu-itu juga, dan sebagian yang lain bingung memikirkan cara melunasi hutang setoran catatan perjalanan yang diminta panitia—tulisan kali ini harus dimulai dari mana, dengan kata apa.

Untuk sebagian yang terakhir disebutkan, sebenarnya tidak bisa dikatakan ‘sebagian,’ karena sejatinya, ‘sebagian’ ini ya hanya saya seorang. Sedih memang.

Laut Flores malam itu relatif tenang. Guncangan akibat ombak besar hanya terasa beberapa kali saja di dek penumpang. Walaupun terasa panjang, pelayaran ini terbilang aman, hingga akhirnya kami tiba juga di Pelabuhan Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur pada pukul 23.45 malam.

Proses kapal sandar memakan waktu yang relatif lama. Puluhan penumpang cekatan menyandang barang-barang bawaan mereka. Di punggung, di bahu, atau di tangan kiri-kanan. Kerumunan penumpang yang memadat, membuat anak-anak tangga kapal nyaris tak terlihat. Layaknya ajang kompetisi, tiap orang adu cepat, merapat ke pintu keluar kapal. Sementara saya, memilih santai di belakang menunggu giliran. Tak kan lari gunung dikejar.

Butuh sekitar 30 menit lebih, mulai dari sandar hingga seluruh penumpang keluar kapal. Fasilitas penjemputan dari pihak penginapan yang telah menunggu lama, cekatan menyambut kami semua. 1 mobil pick-up untuk meletakkan barang-barang bawaan. 1 elf plus 1 mobil minibus untuk mengangkut orang. Ah, jangan lupakan 1 Terios di belakang.

15 menit persiapan telah selesai. Kami siap melanjutkan perjalanan. Pada dini hari yang sepi, dengan kecepatan pelan, 4 mobil melata dari lantai dermaga pelabuhan menuju penginapan Luwansa Beach Resort yang terletak di Jalan Pantai Pede, Desa/Kelurahan Gorontalo, Labuan Bajo. Jarak dari Pelabuhan Labuan Bajo ke Luwansa Beach Resort tidak terlalu jauh, hanya terpaut 15 menit saja. Kami tiba di penginapan persis pukul 00.45 WITA. [BEM]