Acara Corporate Social Responsibility (CSR) Daihatsu selesai pukul 12.30 siang. Bila merujuk pada agenda yang telah diberikan, maka pukul 13.00 – 18.00 nanti, acara akan dilanjutkan dengan eksplorasi Sade – Rembitan. Masalahnya, Desa Wisata Sade pun sudah selesai kami jelajahi pada awal-awal itinerary. Tak mungkin mengulang lagi kan? Wong bukan gagal ujian.
Mau melanjutkan makan siang, sepertinya juga tidak mungkin. Kami baru saja disuguhi makan besar di tengah-tengah acara CSR. Suguhan penghormatan yang semula saya kira hanya cemilan ringan, ternyata menyusul di belakangnya nasi bungkus daun pisang yang banyaknya gak ketulungan. Persis seperti belanja nasi padang yang dibawa pulang, tapi ditambah ¼ lagi.
Kalau untuk menghabiskan cemilannya saja sampai harus menahan napas, maka untuk menghabiskan main course-nya, saya hampir-hampir tak bisa bernapas. Lambung kiri-kanan kelebihan muatan. Kalian mau tahu isi cemilannya? Enggak? Baiklah kalau enggak. Berikut akan saya berikan daftarnya: #maksa
- Kare-kare. Makanan tradisional ini terbuat dari ketan, gula merah, dan santan. Panjangnya se-jari telunjuk orang dewasa. Tebalnya 2 kali tebal jari telunjuk orang dewasa juga. Bentuknya seperti rambut kusut yang rapi ditumpuk-tumpuk. Warnanya coklat kemerahan, persis warna gula merah. Menurut Pak Agam, kalau di Aceh sana, namanya kekarah. Puput, juga tak mau kalah, menurutnya, di Jogja sana, cemilan tradisional ini disebut grubi. Beda sedikit dengan nama salah satu grup band pop asal Indonesia.
- Tikin/Gelang-gelang. Terbuat dari beras, santan, dan garam. Icip punya icip, rasa dan bentuk kue kering yang kerasnya separuh batu ini sangat mirip dengan kue lanting. Bedanya, kue lanting berbentuk seperti angka delapan, sementara kue tikin berbentuk lingkaran macam kue cincin.
- Cirorot. Penganan yang namanya mirip seperti nama-nama daerah di tatar sunda ini terbuat dari ketan, santan, dan gula merah. Kulit pembungkusnya terbuat dari daun enau/aren. Kalian tahu kan kue lepet? Bentuknya seperti itu, hanya, cara membungkus cirorot dibuat mengerucut. Cara makannya pun unik, yaitu; pada bagian kerucut yang berdiameter besar, harus kita tahan menggunakan tangan kiri, sementara ujung kerucutnya didorong dengan tangan kanan ke arah dalam. Seperti merapikan antena tivi jadul setelah tidak dipakai lagi.
- Celilun. Terbuat dari singkong, santan, gula merah, dan garam. Menurut Puput (lagi) di Jogja, cemilan ini mirip dengan lemet. Pelan-pelan asal selemet.
- Puntik. Nah, kalau yang satu ini, tidak perlu dideskripsikan ya. Kita semua mengenalnya dengan pisang. Jadi, puntik adalah Bahasa Sasak Lombok untuk buah pisang.
- Nyiur. Ini juga sama. Dari Bahasa Sasak. Artinya kelapa tua. Sementara untuk kelapa mudanya disebut dengan kumbuk.
Ada satu lagi yang kurang. Segelas air mineral. Yang terakhir ini memang bukan cemilan tradisional, tapi posisinya tak kalah penting. Setidak-tidaknya ia bisa mengurangi siksa dunia manakala kita lengah mengunyah, dicekik cemilan sendiri.
Dalam pikiran saya, kalau semua hidangan ini tidak dihabiskan, ujung-ujungnya pasti terbuang. Apalagi pesan emak, jangan sekali-kali membuang makanan, karena itu pekerjaan sia-sia. Dan sia-sia itu temannya setan. Sialnya, gara-gara setan ini juga saya terpaksa jalan menuju kendaraan dengan penuh perjuangan. Kekenyangan. [BEM]
“o o siapa dia?” *ngakak guling-guling
itu kok kaya kremes ya
kalo dlm bahasa jawa namanya “blenger” yg mengakibatkan “kewaregen” hehehe…..