Pak Soimun, Mualim 1 KMP Trima Jaya 9

Pak Soimun, Mualim 1 KMP Trima Jaya 9

Seperti yang telah saya janjikan pada artikel sebelumnya, obrolan dengan nahkoda Kapal Motor Penumpang (KMP) Trima Jaya 9 saat menyeberang dari Pelabuhan Ketapang ke Pelabuhan Gilimanuk akan dibahas di sini. Seperti apa ceritanya? Ikuti terus kelanjutannya.

Di kapal ferry KMP Trima Jaya 9, 24 peserta Ekspedisi Terios 7 Wonders – Hidden Paradise terbagi menjadi beberapa grup. Sebagian tinggal di dek dasar untuk menjaga keamanan kendaraan, sebagian pilih berkeliaran di dek penumpang, sementara sebagian yang lain pilih naik hingga dek paling atas, bahkan masuk ke anjungan—atas seijin petugas yang berwenang tentunya.

Di kursi komando, duduk seorang pria paruh baya berseragam putih-hitam lengkap dengan topi hitamnya. Kumis tebalnya menimbulkan kesan seram bagi siapapun yang melihatnya. Sekilas, pria berkulit sawo matang ini tampak seperti orang yang tak suka banyak bicara (baca: pendiam), namun begitu ia mengembangkan senyumnya, jiwa bersahabat perwira kapal penumpang KMP Trima Jaya 9 ini bisa saya rasakan.

Suasana Ruang Kontrol Kapal

Suasana Ruang Kontrol Kapal

Mengisi Permohonan Penerbitan Surat Persetujuan Berlayar

Mengisi Permohonan Penerbitan Surat Persetujuan Berlayar

Adalah Soimun, nama bapak yang telah berprofesi sebagai pelayar samudra sejak tahun 1975. Namun, sejak tahun 1986—hingga saat ini—ia lebih memilih mengendalikan kapal penyeberangan rute Ketapang – Gilimanuk di bawah bendera PT. Pelayaran Makmur Bersama, dengan jabatan Mualim I.

Bila melihat pada struktur jenjang karir dalam dunia pelayaran, maka jabatan Mualim I (Chief Mate) yang ia pegang saat ini adalah jabatan tertinggi kedua setelah Nahkoda—perwira Departemen Dek.

Banyak suka-duka telah ia tempuh selama menjadi pelaut, “Dukanya ya paling, kadang-kadang, kalo cuacanya sedang tidak baik, harus selalu waspada. Sukanya, ya gak perlu sampai berbulan-bulan untuk ketemu keluarga (seperti profesi sebelumnya, sebagai pelayar samudra),” jelasnya.

Beberapa negara asia pernah dikunjungi Pak Soimun ketika ia masih sering melayari lautan lepas, sebelum bergabung ke perusahaan pelayaran tempatnya mengais rejeki hingga saat ini. “Malesia pernah, Singapur pernah, Vietnam juga pernah,” terang pria ramah yang pernah mengenyam pendidikan selama 2.5 tahun di sekolah pelayaran Pendidikan Perwira Pelayaran Besar (P3B), Semarang—sekarang telah berganti nama menjadi Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP)—ini.

Control Panel KMP Trima Jaya 9

Control Panel KMP Trima Jaya 9

Anjungan KMP Trima Jaya 9

Anjungan KMP Trima Jaya 9

Sambil mengobrol, dengan santai ia mengatur beberapa tombol dan tuas kontrol yang berada di hadapannya. Tak terlihat sedikitpun kesulitan di sana. Ia telah sangat terbiasa. Maklum saja, pengalaman melaut selama 38 tahun tentu bukanlah waktu yang singkat untuk bisa menguasai setiap fungsi kapal yang katanya ‘kecil’ ini—45.30  meter. “Yang gede itu panjangnya 125 meter, Mas,” terangnya pada saya.

Ukuran Kapal (Principal Dimensions) KMP Trima Jaya 9:

  • Length, OA = 45.30 m
  • Length, BP = 42.00 m
  • Breadth = 9.50 m
  • Depth = 3.70 m
  • Draft (Designed) = 2.70 m

Setiap label yang menerangkan fungsi masing-masing tombol dan tuas kendali, hampir seluruhnya menggunakan huruf kanji. Kalau ada yang menggunakan huruf latin, itupun hanya ada pada plakat berwarna hitam-putih yang menempel di salah satu area panel kendali bertuliskan, “New Resco Pilot PR-2000 – Tokyo Keiki.” Kalian tentu bisa menduga kapal ini buatan negara mana.

Walaupun rentang pengalamannya sangat panjang, ia belum pernah sekalipun menginjak tanah eropa. “Kalau berlayar ke Eropa belum pernah, Mas,” katanya. Ia lebih memilih berlayar antar negara-negara asia saja, karena jarak tempuhnya yang relatif singkat.

Berkaitan dengan pekerjaannya yang sekarang, ia punya jawaban nyeleneh, “Pelaut ini kan enaknya ngelenjeh (duduk malas-malasan—red), dibayar. Dari Sabang sampai Merauke tahu, tapi biaya, dibiayain, kan gitu,” sambil tertawa.

Beberapa kali menggunakan moda transportasi kapal laut (kapal ferry), membuat saya kadang-kadang bergumam heran, betapa hebatnya para nahkoda ini mengendalikan kapal mereka, terutama pada detik-detik akan bersandar di pelabuhan.

Nyatanya, proses memarkir kapal itu tidaklah mudah. Pada masa-masa pendidikan dahulu, Pak Soimun juga pernah merasa kesulitan saat belajar memarkir sebuah kapal berukuran besar. “Tapi, waktu itu belajarnya kan pakai simulator,” katanya. Namun, seiring waktu, pengalaman jugalah yang berperan paling besar mempertajam feeling-nya dalam mengemudi kapal, hingga saat ini. Tidak salah kalau banyak yang bilang bahwa pengalaman adalah guru terbaik.

Menurutnya, walaupun kemampuan ini telah dipelajari di sekolah, tidak lantas menjadikan karakter setiap orang dalam mengendalikan kapal menjadi sama. “Kalo orangnya karakternya gugupan, ya gugup terus. Kalo orangnya tenang, ya tenang. Ada yang sampai tua itu gugupan, karena memang udah pembawaannya. Ada juga yang santai.” Terang Pak Soimun menutup ceritanya  kepada saya. [BEM]