https://simplyindonesia.files.wordpress.com/2014/08/gua-grubug-gua-jomblang-perjalanan-penuh-pertaruhan.jpg

Gua Grubug dan Gua Jomblang

Flashback ke awal tahun 2010 silam, saat di mana Gua Jomblang (-8.031726, 110.639215)—yang terletak di sebelah tenggara pusat Kota Jogjakarta—belum setenar sekarang…

Saat itu, istilah backpacker atau backpacking baru-barunya booming di Indonesia, ‘menggantikan’ istilah “jalan-jalan, ”traveling, atau “main,” yang sebelumnya saya tahu dan lakukan sejak duduk di bangku SMA.

Jumlah operator caving Goa Jomblang saat itu baru terbilang satu-dua. Itu pun tidak resmi, alias based on request, dan dengan harga tawaran yang relatif mahal untuk ukuran kantong saya dan teman-teman; 550,000Rp per orang.

Kami segera mencari alternatif operator lain yang mampu menawarkan harga yang lebih terjangkau. Pencarian ini berhasil. Kami dapati Operator X sebagai operator pilihan, karena mereka bisa menawarkan harga yang jauh lebih murah; 150,000Rp.

Sebelum cerita ini dilanjutkan, ada beberapa catatan yang terlebih dulu ingin saya sampaikan:

  • There is a thin line between bravery and stupidity. Pengalaman “bertaruh nyawa” pada artikel ini adalah kombinasi keduanya. Jangan pernah mempertaruhkan nyawa kecuali dalam keadaan sangat amat terpaksa.
  • Dokumentasi foto pribadi, sementara absen di artikel ini. Tahunan dokumentasi foto perjalanan saya kompak rusak bersama harddisk yang tiba-tiba ngadat. Alhamdulillah, edisi Gua Jomblang & Gua Grubug termasuk di dalamnya.

Awal mula “taruhan nyawa”

Harga murah membuat kami lengah. Terbukti, begitu kami tiba di lokasi, tampak jelaslah belangnya operator ini. Peralatan caving mereka sangat minim.

Bagaimana tidak! Dari 8 orang peserta, harness yang tersedia hanya 3 buah! Sementara sisanya, diarahkan untuk membuat origami harness sendiri dengan menggunakan webbing yang telah disediakan. Padahal, untuk kegiatan turun-naik goa vertikal, peranan harness termasuk vital—selain rope, helmet, figure 8, ascender-descender, dan carabiner tentunya.

Perjalanan kami terlalu jauh untuk kemudian berhenti gara-gara masalah ‘sepele’ seperti ini. Apa mau dikata, karena harness sudah menjadi webbing. Maka, dengan membaca basmalah, webbing ini akan kami jadikan harness spesial (tanpa telur).

Ilustrasi kondisi Jalur VIP Gua Jomblang

Ilustrasi kondisi Jalur VIP Gua Jomblang

Briefing pengetahuan dasar caving diberikan setengah jam menjelang penurunan gua dilakukan. Rutenya terbagi menjadi 2 fasa; 25 meter pertama menyusuri tebing dengan variasi kemiringan antara 65-80 derajat, tanpa tali pengaman. Sementara 25 meter kedua menuruni tebing dengan kemiringan vertikal (90 derajat) dan membutuhkan skill teknikal. Rute ini sendiri biasa disebut dengan Jalur VIP.

“Kabar baiknya,” kami semua totally newbie. Karenanya pula, teori plus praktek teknik SRT (Single Rope Technique), otomatis baru kali ini kami jalani. Jadi, sekali lagi, kalau ada ungkapan, “There is a thin line between bravery and stupidity,” rasa-rasanya kalimat ini sangat tepat disematkan pada kami.

***

Dari 8 orang peserta, 7 telah berada di lantai gua. Saya pilih jadi orang yang terakhir turun. Bukan karena senang mengalah, tapi lebih ke arah fobia ketinggian (Acrophobia) jenis khusus.

Khusus pada diri saya, jenis fobia ini bisa datang dan pergi kapan saja. Sekarang boleh takut tinggi, tapi 5 menit nanti, bisa tiba-tiba berani. Dan 15 menit berikutnya, bisa kumat lagi. Pokoknya, seenak jidatnya saja.

Pilihan yang tersedia saat itu cuma 2;

  • Turun dan mengambil foto interior gua, seperti yang telah saya rencanakan sejak dari Jakarta, atau
  • Meratapi nasib di tepi liang gua, sambil menunggu teman-teman lain selesai berkegiatan. Serta mengorbankan tujuan, tenaga, biaya, waktu yang telah saya perjuangkan untuk ke tempat ini.

Setelah menimbang-nimbang untung-ruginya, opsi terakhir saya coret dari daftar pilihan, sehingga tinggal menyisakan opsi pertama; turun dan mengabadikan momen.

Untuk ini, saya mati-matian melawan ketakutan sendiri. Mendoktrin pikiran sendiri selalu jadi pilihan akhir yang paling saya sukai dan seringkali membuahkan hasil. Fear profit’s a man nothing. You can die anytime you want, but living take courage!

***

Saya telah bergabung dengan 7 teman lain di dasar gua. Tanah berbatu yang beratus tahun lalu menjadi atap goa itu, kini berada di bawah telapak kaki saya. Seiring waktu, lungsuran itu berdeposit membentuk sebuah bukit. Permukaannya kini lebat ditumbuhi pepohonan kecil, yang membuatnya bagai hutan mini yang terisolasi.

Kami mulai berjalan pelan menuju Gua Grubug (-8.028677, 110.638287). letaknya berada di utara dan terhubung lewat kanal gelap, 25 meter di bawah sana.

Sisa hujan kemarin malam membuat kombinasi tanah liat dan batuan karang tajam di lantai gua menjadi licin dan berbahaya. Salah sedikit saja bisa celaka, apalagi salah banyak, insyaallah nyawa taruhannya.

Sinar matahari hanya mampu menerangi sebagian area di sekitar mulut gua. Sementara pada lorong kanal yang lebih dalam, cahaya tak mampu meraihnya. Karenanya, jangan lupa membawa lampu karbit (carbide lamps/boom/acetylene gas lamps), headlamp, senter, atau sumber cahaya apapun jika kalian hendak bertandang.

Chamber penghubung kedua gua ini berukuran relatif luas. Berada di dalamnya, sepintas, seperti berada di dalam rumah Iglo Suku Eskimo dalam versi super jumbo yang diselimuti semerbak aroma guano.

Pada sebagian besar lantai chamber, telah terpasang berbalok-balok batu yang tersusun rapi. Letaknya saling berjajaran membentuk tapakan jalan yang memanjang. Selain bisa digunakan untuk tempat berpijak, ia juga berfungsi sebagai penunjuk jalan agar pengunjung tidak tersesat.

 

Penjelajah gua pertama: Siapa yang lebih dulu dari siapa?

Tidak lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai di ujung satunya (Gua Grubug). Hanya butuh sekitar 15-30 menit saja. Berdasar pengukuran kasar menggunakan aplikasi Wikimapia, jarak antara Gua Jomblang dengan Gua Grubug hanya terpaut sekitar 300-315 meter.

Dan tahukah kalian, siapa yang pertama kali menjejakkan kaki di Gua Grubug ini?

Mereka adalah sekelompok penelusur gua asal Belgia pimpinan Denis Wellens yang bernama Verbond van Vlaamse Speleologen en Alpinisten pada tahun 1982. Tujuannya tentu bukan untuk berwisata, melainkan untuk survei dan eksplorasi penelitian gua (Cave Science, 1983).

Dan, karena kedua gua ini saling terhubung satu sama lain, boleh jadi mereka jugalah yang pertama kali menjejakkan kaki di Gua Jomblang.

Ada isu menarik yang agak kontradiktif seputar fakta siapa yang lebih dulu dari siapa ini.

Dari beberapa situs yang saya telusuri, hampir sebagian besar satu suara, bahwa organisasi pecinta gua asal Jogja, Acintyacunyata Speleological Club (ASC) adalah yang pertama kali menjelajah Gua Jomblang, pada tahun 1984—klub ini sendiri dibentuk pada Januari 1, 1984.

Artinya, penjelajahan tersebut dilakukan pada tahun pertama kelahiran klub mereka, dan!… otomatis 2 tahun lebih lambat dari Denis Wellens dan kawan-kawan. Sehingga mereka tidak bisa disebut sebagai penjelajah pertama Gua Jomblang (dan/atau Gua Grubug?), bukan? CMIIW.

Lantas, dari mana situs-situs tersebut mendapatkan data mereka? Apakah melalui cerita dari mulut ke mulut? Hasil kopi-paste? Atau mendapatkan informasinya langsung dari nara sumber?

Saya telah melayangkan email kepada teman-teman ASC (asc_jogja[at]yahoo[dot]com) untuk mengkonfirmasi validitas informasi ini, namun sayangnya, hingga artikel ini diturunkan, belum pula didapatkan jawaban.

 

Tujuan utama penelusuran gua

Hampir tak ada tumbuhan yang hidup di dasar lantai Gua Grubug. Permukaannya melulu didominasi bebatuan. Dibandingkan dengan ketinggian pintu masuk VIP Gua Jomblang, gua ini jelas lebih dalam.

Bila diukur dari mulut gua di atas sana, kedalamannya mencapai sekitar 64 meter (Cave Science, 1983). Sementara bila diukur hingga sungai bawah tanah yang mengalir di bawah sana (Kali Suci), tinggal tambahkan saja angkanya dengan 25 meter (Cave Science, 1984).

Strukturnya mirip-mirip dengan cone pembatas jalan. Kosong di bagian dalam. Semakin ke pucuk semakin sempit mengerucut.

Dari permukaan yang sedikit menganga di atas sana, tercipta efek visual yang mempesona. Ketika cahaya mentari tersaring melalui celah pepohonan yang menggantung di tepiannya, dan dibawa kabut tipis hingga akhirnya mengusap lantai gua. Pemanja mata ini akan terus bergeser, kemudian menghilang secara perlahan seiring perjalanan siang.

Dalam dunia fotografi, berkas cahaya seperti ini dikenal dengan sebutan Ray of Light (ROL). Sementara di dunia para petualang—khusus untuk ROL Gua Grubug—sebutannya berubah menjadi light of god, light of heaven, cahaya tuhan, cahaya surga, atau apa pun juga boleh. Sesuka-sukanya saja. Sama seperti sebutan Bukit Pathuk, Jogja, yang kini berubah sebutan menjadi Bukit Bintang. Atau China yang sebutannya kembali berubah menjadi Tiongkok setelah sekian dasawarsa, walau pun tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap mindset “Made in China” saya.

Dari atap gua, curah air menetes bagai hujan gerimis. Menjadikan ROL Grubug kian dramatis.Waktu terbaik untuk menikmatinya adalah antara pukul 10.00-12.00 siang. Datanglah pada musim kemarau, jangan pada musim hujan. Karena selain kegiatan penurunan gua jadi lebih berbahaya, sinar matahari pun cenderung tertutup awan. Jadi, pastikan timing kalian, jangan sampai kelewatan.

4 tahun yang lalu, 2 buah flowstone besar berwarna kecoklatan yang berada di lantai gua, masih berkilauan ketika diterpa cahaya, dan terlihat semakin cantik saat air terpercik di seluruh permukaannya.

Dan, boleh jadi, kecantikan flowstone ini termasuk dalam salah satu parameter penilaian Denis Wellens dan kawan-kawan saat menyatakan bahwa Gua Grubug adalah gua terbaik yang mereka temukan di gugusan karst Gunung Sewu pada tahun 1982 (Cave Science, 1983).

Sistem Gua Grubug versi BCRA

Sistem Gua Grubug versi BCRA

Terkait flowstone Gua Grubug:

Sebagian situs/blog menyebut ‘bongkahan’ yang berada di dasar Gua Grubug ini dengan gourdam, padahal seharusnya ditulis terpisah menjadi “gour dam.”

Bila kita merujuk pada dokumen keluaran U.S. Environmental Protection Agency (EPA) bertitel “A Lexicon of Cave and Karst Terminology with Special Reference to Environmental Karst Hydrology,” EPA/600/R-02/003, Februari 2002, maka bisa dipastikan, istilah ‘gourdam’ (yang ditulis menyambung) tidak akan kalian temukan.

Lalu, seperti apa penulisan istilah ‘gourdam’ yang benar?

Agar kalian mendapatkan gambaran menyeluruh, berikut saya kopikan apa yang tertuang tepat di halaman 84, dari dokumen tersebut:

Gour. Flowstone deposit, normally of calcite, built up along the edge of a pool due to precipitation from a thin film of overflow water. Once initiated, by calcite-saturated water overflowing from floor hollows, development is selfenhancing, and the gours can grow into large dams many meters high and wide. Inside the gour pool, more calcite may be precipitated as crystals or pearls. Large flights of gours occur in many caves, with spectacular and well known examples around the Hall of Thirteen in the Gouffre Berger, France. Large travertine, gours can form in the open air, as at Band-i- Amir, Afghanistan [9]. See also rimstone barrage; rimstone barrier; rimstone dam.

Istilah ‘gour’ sendiri berasal dari Bahasa Perancis, dan kini banyak digunakan di Benua Eropa, serta sinonim dengan rimstone dam.

Namun demikian, ada pula yang menyebut 2 ‘bongkahan’ besar tersebut dengan ‘stalagmite.’ Jadi, yang mana yang benar:

  1. Flowstone?
  2. Gour (rimstone dam)? Atau
  3. Stalagmite?

Sedikit tambahan terkait stalagmite

Berdasar Kamus Oxford, stalagmite berarti sebuah gundukan, atau kolom lonjong yang naik dari lantai gua, dan terbentuk dari endapan garam kalsium yang dibawa oleh tetesan air (dari atap gua), serta seringkali bersatu dengan stalactite. Di mana, kata stalactite dan stalagmite sendiri berasal dari bahasa Yunani yang maknanya hampir sama, yaitu:

  • Stalagmite, berasal dari kata stalagma yang berarti setetes, sementara
  • Stalactite, berasal dari kata stalaktos/stalassein yang berarti menetes

 

Perjuangan panjang, mencapai permukaan

Setiap orang telah mendapatkan jatah yang sama untuk mengabadikan momen dengan latar bongkah flowstone. Icon idaman yang bisa jadi tanda bukti bagi siapa saja untuk menguatkan alibi bahwa mereka pernah ke Gua Grubug.

Waktunya kami pulang. Menyusuri kembali lorong gelap menuju Gua Jomblang.

Baru pukul satu siang waktu kami sampai di dasar Gua Jomblang. Dengan perkiraan 1 orang butuh 15-30 menit untuk sampai di permukaan, bila dikalikan 8, artinya total waktu yang kami semua butuhkan mencapai 2-4 jam (exclude pemandu).

Dengan kata lain, saat adzan Ashar berkumandang (sekitar pukul 15.00-15.30) seharusnya kegiatan penjelajahan gua ini resmi selesai, atau maksimal hingga pukul 17.00-18.30.

Tapi apa yang terjadi…

Tak lama setelah tiba di lokasi pemanjatan, 2 orang pemandu kami saling adu argumentasi, perihal simpul mana yang benar dan simpul mana yang salah. Glodhak!

Satu lagi belang operator ‘idaman,’ kelihatan.

Keki? Pasti! Tapi mau bagaimana lagi? Kami juga ikut berkontribusi menyumbang kesalahan, karena kurang teliti saat memilih operator ini.

Perdebatan mereka selesai. Seorang teman didaulat jadi pemanjat pertama. Sementara ia diberi penjelasan singkat terkait alat dan teknik memanjat, dalam formasi lingkaran, yang lain turut memperhatikan.

Sedikit ketegangan pagi hari, saat orang pertama melakukan penurunan (descending), kembali terasa menjelang detik-detik pemanjatan (ascending). Peralatan yang telah terpasang (frog rig) diperiksa berulang-ulang untuk memastikan keselamatan. Begitu dirasa siap, sang teman pun akhirnya memanjat, menggunakan metoda Frog Ascending System—kadang disebut dengan Frog Climbing System.

Setengah meter pertama: aman

Setengah meter kedua: masih terkendali

Setengah meter ketiga: tangannya kram! Hahaha…

Teman pertama, gagal. Segera diganti teman kedua.

Harness telah terpasang di badan. Khawatir lupa, penjelasan singkat teknik panjat kembali diberikan. Yang lain pun tetap tekun mendengarkan. Setelah siap, ia pun segera memanjat.

Tak dinyana, baru pada ketinggian sekitar 3 meter, tenaganya telah habis terkuras, sehingga sulit untuk melanjutkan pemanjatan. Kalau sudah begini, turun kembali adalah satu-satunya solusi.

Teman ketiga segera ambil posisi. Penjelasan singkat teknik panjat, lagi-lagi diberikan. Yang lain? Masih rajin pasang kuping. Tujuannya? Untuk memastikan kembali kebenaran teori yang telah dihapalkan, sehingga bila gilirannya tiba, ya tinggal prakteknya saja.

Ia mulai memanjat. Namun, sekali lagi masalah muncul. Setelah sekitar 2 meter, ia merasa ada salah satu simpul yang kendur, sehingga daripada membahayakan nyawa, ia pilih turun segera.

Operator kami butuh 15 menit untuk cek dan ricek alat. Pengecekan dilakukan secara mendetil, agar kesalahan fatal bisa diminimalisir.

Teman ketiga kembali memanjat. Sialnya, pada 2 meter yang sama, gantian ascender yang berulah. Alat ini stuck! Mengunci!

Dengan segala daya upaya, sang teman berusaha melonggarkan kuncian. Walau agak lama, untungnya berhasil juga. Namun, usaha ini tidak serta merta ‘gratis,’ problem solving di ketinggian cepat membuat tenaganya terkuras habis. Sehingga, mau tidak mau, ia harus kembali turun.

Usaha pemanjatan memasuki “masa reses.”

Jeda kali ini lebih lama dari sebelum-sebelumnya. 2 pemandu yang masih mendampingi kami di dasar gua, sibuk mencari jawaban dari kekacauan peralatan panjat mereka. Sementara 1 orang lainnya gelisah menunggu di mulut gua di atas sana. Dan kami… semakin meragukan peralatan serta kemampuan mereka.

“Ok, udah beres. Siapa yang mau duluan?” Tanya salah seorang dari mereka.

“Gw deh!” Seorang teman berpostur gempal tanpa ragu melangkah maju.

Karena sudah berkali-kali melihat dan mencoba mempraktekkannya sendiri, tanpa kesulitan, peralatan panjat ia kenakan.

“Masih inget, kan, tekniknya?”

“Masih!” mantap ia menjawab.

Namun demikian, sang pemandu tetap merasa perlu menerangkan kembali teknik ascending yang akan digunakan, seraya mengecek berulang-ulang frog rig dan harness yang telah dikenakan oleh sang teman.

“Ok. Siap?”

“Siap!”

“Ayo! Semangat!” Seru teman-teman lain memberi dorongan motivasi.

1-2 meter pertama, mudah saja ia lalui. Sayangnya, kejadian teman pertama kembali menimpa dirinya pada meter ketiga. Tangannya tiba-tiba kram. Tenaganya pun banyak terkuras dalam proses ascending. Ia disarankan untuk kembali turun. Tak tunggu nanti-nanti, saran ini segera diamini.

Setelah istirahat barang sejenak, ia turun secara perlahan. Namun sial, setelah ketinggian berkurang menjadi 2 meter, ascender ini mengunci lagi. Walau sudah mati-matian ia berusaha mencari cara melepaskan kuncian, tapi tetap saja, hasilnya sia-sia.

Pemandu kami pun meminta teman bertubuh gempal ini untuk coba membebaskan diri dengan cara melepaskan carabiner yang terkait langsung pada ascender.

Seharusnya cara ini mudah, namun karena sedikit gerakan saja bisa membuatnya bagai bandul yang mengayun liar, ditambah terlepasnya pijakan kaki dari footloops (akibat panik), serta habisnya tenaga, membuat proses ini jadi semakin sulit.

Dalam ingatan saya, tak kurang dari setengah jam waktu yang dibutuhkan sang teman untuk bisa membebaskan diri.

Mulai dari titik ini, saya jadi tidak peduli lagi—kepada mereka dan peralatannya. Bukan. Ini bukanlah suatu bentuk kemarahan, tapi murni tak peduli. Karena mau marah pun ujung-ujungnya cuma percuma.

Lalu, kenapa tidak ikut membantu?

Seandainya bisa, pasti telah saya lakukan sejak kejadian pertama. Sadar dengan pengetahuan seputar Single Rope Technique (SRT) yang sama dengan nol, adalah bijaksana bila saya tidak ikut campur dalam proses pemecahan masalah mereka. Apalagi tekanan dari teman-teman lain sudah sedemikian kencangnya. Tambahkan satu mulut lagi, maka lengkaplah “pasar malam” Gua Jomblang.

MindsetHope for the best,” segera berganti menjadi “Plan for the worst.” Jadi, seandainya saat itu terpaksa harus bermalam di dasar Gua Jomblang, barang 1-2 malam, hati dan pikiran saya sangat siap.

Intuisi saya mengatakan urusan ini bakal memanjang, karenanya saya pilih memisahkan diri barang sejenak dari kerumunan. Menuju salah satu ceruk besar dan luas yang terletak tidak jauh dari lintasan panjat tadi. Dengan sebelumnya, melemparkan satu pemikiran iseng, “Ya udah, kalo gitu kita telpon SAR aja…”

Dan tentu saja, ide ini langsung mendapat sambutan hangat dari para pemandu kami, “Eh! Jangan! Jangan!”

Hahaha…

***

Satu jam telah berlalu. Saya kembali ke dalam barisan. Dari scenery yang terbaca, operator kami masih belum menemukan solusi. Dan saya, pilih merapat ke kerumunan teman lain, sembari ikut mengamati.

15 menit telah berlalu. ‘Tampaknya’ mereka berhasil mengatasi permasalahan yang ada. Seraya berdiri di depan, salah satu dari mereka mangajukan pertanyaan, yang terasa bagai jebakan di benak teman-teman. “Ada yang mau nyoba lagi?”

Tak ada satu pun jawaban dari sisi lawan. Pandangan teman-teman memang ke depan, tapi pikiran mereka menerawang. Jangan-jangan, kejadian yang tadi-tadi masih akan terulang lagi. Preseden buruk yang telah terjadi beberapa kali membuat mereka tak lagi mudah percaya. Animo mereka menghilang.

Atau jangan-jangan, mereka saling menunggu bakal ada salah satu yang maju dan tak sadar kalau ia sedang ditipu? Yah, siapa yang tahu.

Ternyata, harapan teman-teman segera dikabulkan Tuhan. Satu orang tertipu mantap melangkah maju. Dan orang itu adalah… saya.

Damn!

Entah dari mana, keyakinan itu datang tiba-tiba. Intuisi saya mengatakan, bahwa setting peralatan kali ini akan berhasil. Untuk mengetahui kebenarannya, saya harus mencoba.

Frog rig telah berada pada posisinya. Berarti, tinggal memikirkan peralatan yang akan menopang tubuh saya selama proses pemanjatan. Saat itu, bukan harness yang saya kenakan, tapi webbing yang disimpul sendiri sebagai pengganti. Kalian masih ingat, kan? Harness yang tersedia dari operator hanya 3. Jadi sisanya, ya, menggunakan webbing semua. Itu pun dengan teknik simpul yang sesuai cara dan kepercayaan masing-masing.

Simpul seperti apa yang benar, terus terang saya kurang paham. Yang penting semuanya kencang dan saya yakin itu aman—walau sebagian teman yang menyaksikan hasil prakarya saya tampaknya masih meragukan.

Penjelasan singkat teknik panjat (ascending) sekali lagi diberikan oleh sang pemandu, demi memastikan hapalan yang sebelumnya telah dipelajari tidak keliru. Kini semuanya telah siap. Waktunya berangkat!

***

Sistem Gua Jomblang versi BCRA

Sistem Gua Jomblang versi BCRA

Seperti halnya objek wisata Gua Jomblang, fobia ketinggian saya pun, termasuk dalam kategori minat khusus. Dalam artian; selama masih merasa aman, dan/atau tidak melihat ke bawah, atau kedua kaki saya masih punya tempat berpijak—seperti saat berada di pesawat—maka rasa takut itu pasti lewat.

Lain lagi bila kondisinya seperti proses penurunan (descending) Gua Buni Ayu, Sukabumi, beberapa bulan sebelumnya…

Operator di sana memang menjamin bahwa peralatan dan teknik yang mereka gunakan aman. Namun, yang namanya dikerek dari ketinggian 0 ke kedalaman minus 30 meter layaknya ember sumur timba untuk pertama kalinya, tanpa adanya pijakan kaki, ditambah rajin betul curi-curi pandang ke dasar luwang, lambat laun membuat nyali saya ciut juga. Sumpah.

Bayangan takdir para telur ayam yang sengaja dibeli untuk kemudian dilempar ke oknum-oknum yang disinyalir sedang berulang tahun, terus berkecamuk di otak saya. Seandainya otak ini bisa diintip, mungkin isinya cuma fobia dan hapalan doa semua, di mana masing-masing ingin saling menguasai antara satu sama lain.

Jadi, kalau B. A. Baracus—dalam film The A Team—jadi fobia ketinggian gara-gara helikopter yang mereka tumpangi dibuat free fall oleh H. M. Murdock (HM untuk Howling Mad, bukan Haji Muhammad) dengan mematikan mesin, untuk menghindari rudal pencari panas yang ditembakkan musuhnya, itu masih ada pantas-pantasnya. Bisa dibilang keren, malahan.

Lah, saya? Jadi takut ketinggian cuma gara-gara simulasi ember sumur timba. Kerennya di mana?

***

Pelan tapi pasti, saya telah sampai di titik tengah tali kernmantle. Walau hanya terasa sedikit, ascender sempat mengalami 2 kali slip. Sialnya, anyaman harness jadi-jadian pun ikut-ikutan merenggang.

Di bawah sana, 7 wajah pucat pasi kembali menghangat penuh harap. Saya harus berhasil sampai di permukaan, karena itu bisa jadi tambahan amunisi untuk mengangkat kembali semangat mereka.

Saya kembali memanjat perlahan. Perjuangan tinggal separuh jalan. Baru menambah ketinggian sekitar 3 meter, ascender berulah semakin parah. Gigitannya baru didapat setelah turun beberapa centimeter lebih dalam dari titik gigit yang seharusnya. Siaga 3 tereskalasi ke Siaga 2.

Lebih waspada saya titi rentang tali panjat yang tersisa. Gejala slip masih terasa walau kadang datang, kadang hilang. Dan itu berlangsung hingga beberapa meter lebih tinggi.

3 meter menjelang permukaan, status Siaga 2 tereskalasi lagi ke Siaga 1. Slip kali ini benar-benar menguras nyali. Fobia saya pun ikut merangkak ke level puncak.

Setelah kaki yang terpaut pada footloops ditekuk, dan ascender digeser pada posisi yang lebih tinggi, serta acang-ancang angkat badan telah dilakukan, ternyata ascender bukan lagi slip, melainkan benar-benar tidak menggigit! Shit!

Detak jantung saya berantakan. Demi menyadari ketinggian tempat yang telah saya capai ini, beserta fobia sebagai bonusnya, otak saya refleks bermatematika, menghitung berat timbangan antara pahala dan dosa. Padahal, tak perlu dihitung pun, jelas ketahuan siapa yang bakal menang. Aduh Gusti, kulo nyuwun pangapuro

Beruntung, Croll (chest ascender) tidak pernah sekali pun bermasalah. Kalau ia ikut-ikutan bermasalah juga, berarti rentang kemungkinannya cuma dua: minimal patah tulang, maksimal berpulang.

3 meter tali kernmantle terakhir, saya lewati jauh lebih waspada lagi. Rapalan “Kalo jatoh gimana?” lebih banyak mengisi kolom dzikir saya ketimbang doa—yang seharusnya. Ah, hamba macam apa saya ini…

Pada beberapa langkah ascending, kadang saya butuh beberapa kali menaik-turunkan ascender pada tali panjat untuk mendapatkan satu gigitan mantap. Kalau yakin, terusin. Kalau belum, ulangi lagi.

Akhirnya, sampai juga saya di permukaan kedua, yang menjadi titik pangkal lintasan vertikal.

Berarti, sampai di titik ini, intuisi saya telah 2 kali terbukti. Mulai dari “urusan yang bakal panjang,” sampai dengan “peralatan yang bisa membawa saya ke permukaan.”

 

Akhir cerita anti-klimaks wisata

Dari atas, wajah lelah teman-teman terlihat lebih jelas. Namun raut pasrah mereka telah menghilang, berganti dengan harapan, begitu saya berhasil sampai di permukaan. Kalau saya bisa, mereka pun pasti bisa.

“Ati-ati! Ascender-nya sering ngelos!” Teriak saya lantang memperingatkan, saat mengirim turun frog rig yang sebelumnya digunakan.

40 menit setelah keberhasilan pertama, seorang teman akhirnya menyusul juga. Sayangnya, harapan tidak memberi jalan mulus. Karena setelah ini, masalah terjadi lagi – di bawah sana. Yah, apa mau dikata. Ada harga ada rupa. Tak salah kiranya, bila biaya murah berbanding lurus dengan pelayanan payah.

***

Setelah sekian lama, makan siang yang kami minta, akhirnya datang juga. Berbungkus-bungkus nasi yang entah dibeli dari mana itu, segera diturunkan ke dasar Gua Jomblang. Porsinya, 2+6. 2 bungkus untuk pemandu yang 2 orang, sementara yang 6, untuk teman-teman. Sisanya, untuk kami yang di atas. 1 untuk pemandu, 2 untuk saya dan seorang teman.

Kami berdua—yang telah sampai di atas—makan dengan perasaan tidak tenang. Racikan bumbu yang datar, membuat cita rasa makanan kami pun semakin hambar. Ia tidak bisa menggugah selera. Murni sebagai penghalau rasa lapar saja. Dan rasa-rasanya, ini berlaku juga untuk mereka yang di bawah sana.

Satu orang berpakaian caving lengkap tiba-tiba muncul di depan mata. Ia baru turun dari permukaan pertama. Refleks, mata kami saling adu pandang. Sayang, ia dari jenis kelamin yang sama. Coba kalau beda, mungkin bisa memberi sedikit rasa pada nasi bungkus ini.

“Mas, dari tim SAR, ya!?” tuduh saya penuh semangat, terstruktur, sistematis, dan masif. Orang yang dimaksud, tak lupa saya tunjuk.

Saya segera besar kepala. Hati saya dipenuhi riya. Siapa yang menyangka kalau ternyata teman-teman mendengar ide saya untuk menghubungi tim SAR.

Tapi anehnya, pahlawan ini malah pasang ekspresi bingung. “Hah? Tim SAR?”

“Iya Mas. Kita bla bla bla… ternyata pas mau naik, malah bla bla bla…” Tanpa perlu ditanya, saya jelaskan duduk perkara permasalahan yang kami alami. Tidak hanya panjang lebar, tapi juga tinggi.

Sang pahlawan tambah bingung. “Hah?”

“Lho, emang Mas-nya ini dari mana, ya?” tanya saya penuh curiga.

“Saya anggota mapala dari Universitas Anu, Mas. Kebetulan, kita lagi ada jadwal survey Gua Jomblang hari ini.”

Jeddaaarrrrr!!!

“Oh, begitu ya. Maap Mas, saya pikir tadi Mas-nya dari Tim SAR.” Makan siang segera saya teruskan dengan membalik badan. Saya anggap, kejadian memalukan ini tidak pernah terjadi.

Sang ‘pahlawan’ pun jadi semakin bingung…

Masa bodo, ah!

***

Di permukaan kedua, satu per satu orang mulai berdatangan. Dari pakaian yang disandang, bisa dipastikan kalau mereka adalah teman-teman dari sang-pahlawan-padahal-bukan tadi.

Mereka sibuk menyimpul tali kernmantle. Kemudian, satu per satu turun ke dasar gua. Soal kelengkapan peralatan gua, jangan ditanya. Bedanya dengan kami, antara surga dan neraka!

Di bawah sana, interaksi segera terjadi. Awalnya antar 2 orang, tapi lama kelamaan, percakapan itu melibatkan hampir semua orang. Entah apa yang mereka bicarakan, namun tampaknya harapan kembali datang kepada teman-teman.

Pahlawan-tapi-bukan tadi, kembali jadi pahlawan lagi. Mereka ikut membantu menyelesaikan permasalahan yang kami hadapi. Hingga akhirnya, satu per satu teman pun berhasil naik ke permukaan. Dengan orang terakhir… pada pukul satu malam! [BEM]

 


 

 

Ucapan terima kasih

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya haturkan kepada teman-teman mapala salah satu universitas ternama di Jogjakarta, yang telah membantu proses ‘evakuasi’ teman-teman saya. Semoga pahala atas kebaikan kalian dilipat-gandakan Tuhan. Amin. #SengajaNoMention

 

Tips wisata minat khusus Gua Jomblang

  • Transportasi. Agar lebih mudah, disarankan menyewa kendaraan sendiri, seperti yang kami lakukan. Boleh dari Jogja atau dari Wonosari. Semakin banyak orang, semakin murah pula harga sewanya.

Bagi yang ingin menggunakan kendaraan umum, juga bisa, tapi lebih susah. Kalian harus rela naik turun angkutan umum. Rutenya; dari Jogja ke Wonosari, kemudian disambung dari Wonosari ke Semanu. Kisaran ongkosnya antara 3,000Rp-5,000Rp per rute. Jangan lupa persiapkan dana tambahan, siapa tahu kalian kesasar dijalan. :p

  • Makan. Di sekitar jalan raya utama, sebelum masuk jalan desa, terdapat beberapa warung makan. Bekal makanan bisa kalian beli dari sini. Namun tidak ada jaminan kalau menu-menu yang tersedia bakal kalian suka. Karenanya, untuk mendapatkan menu yang sesuai selera, cari atau bawalah bekal makanan dari kota-kota terdekat (seperti Jogja atau Wonosari), saat warung makan masih banyak bertebaran di pinggir-pinggir jalan.

Bagi yang menggunakan jasa agen perjalanan, event organizer, atau sejenisnya, tanyakanlah pada mereka, terkait masalah konsumsi ini. Apakah biaya makan sudah termasuk dalam paket yang mereka tawarkan atau belum. Bila sudah, bisakah memesan menu sesuai permintaan. Bila belum, bisakah mereka menyediakannya. Dengan begini, kerepotan kalian akan sedikit berkurang.

Satu lagi. Sebelum memulai aktivitas penelusuran Gua Jomblang, ada baiknya makan terlebih dahulu. Karena aktifitas ini membutuhkan banyak sekali tenaga. Terutama saat kembali memanjat.

  • Menginap. Wisata ke Gua Jomblang bisa dilakukan dalam sehari (one day trip), tanpa perlu menginap. Namun, bagi yang membutuhkan, jangan khawatir! Tak jauh dari mulut Gua Jomblang tersedia sebuah penginapan bernama Jomblang Resort yang dikelola oleh Cahyo Alkantana, dan bisa mengakomodir kebutuhan kalian.
  • Pakaian. Jangan lupa membawa pakaian ganti. Aktifitas caving membutuhkan tenaga yang banyak dan akan membuat kita mudah berkeringat.
  • Operator caving. Carilah operator caving professional yang memiliki peralatan lengkap dan memadai. Pastikan standar keamanan dan peralatan perorangan terpenuhi. Ingat! Peralatan yang digunakan secara bergantian akan menambah waktu wisata yang dibutuhkan. Biarlah contoh ini kami saja yang mengalami, jangan kalian.
Peta Gua Jomblang

Peta Gua Jomblang

Peta Gua Jomblang dan Gua Grubug 1

Peta Gua Jomblang dan Gua Grubug 1

Peta Gua Jomblang dan Gua Grubug 2

Peta Gua Jomblang dan Gua Grubug 2

Lokasi

Gua Jomblang dan Gua Grubug terletak di Dukuh Jetis Wetan, Desa Pacarejo, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di mana Gua Jomblang berada pada koordinat -8.031726, 110.639215, dan Gua Grubug berada pada koordinat -8.028677, 110.638287.

*Koordinat berdasarkan referensi dari Google Maps

 

Jarak

  • Jogjakarta – Gua Jomblang = 40.7 km (25.3 mil)
  • Wonosari – Gua Jomblang = 8.6 km (5.3 mil)

*Pengukuran menggunakan aplikasi Wikimapia, dengan cara menarik garis lurus langsung antara kedua titik tersebut (point to point)

 

Catatan

  • Selama kata ‘Croll’ tidak disebut, artinya, semua ascender yang dimaksud dalam artikel ini adalah handled ascender
  • Email Acintyacunyata Speleological Club (ASC), asc_jogja[at]yahoo[dot]com, didapat dari halaman “ascindonesia.wordpress.com/kontak/”
  • Banyak yang bilang, kalau Gua Jomblang pernah dijadikan ladang pembantaian orang-orang yang dituduh terlibat Gerakan 30 September (G30S/PKI). Sayangnya, penelusuran saya terkait bukti otentik—kliping, foto, literatur, dan lain-lain—sejarah yang bersumber pada ‘katanya’ ini, selalu berujung pada jalan buntu. Jadi, tidak bisa saya bahas dan masukkan dalam konten artikel. Bagi teman-teman yang memiliki rujukan atau referensi terkait rumor ini, sudilah kiranya turut urun berbagi.
  • Gua Jomblang kadang ditulis dengan “Luweng Jomblang,” atau “Luwang Jomblang.” Keduanya (‘Gua’ maupun ‘Luwang’) merujuk pada maksud yang sama. Di mana, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘Gua’ berarti, liang/lubang besar. Sementara bila merujuk pada jurnal Cave Science (1983), kata ‘Luwang’ sinonim dengan kata ‘Sinkhole.’ Sinkhole sendiri, berarti area rendah atau lubang di permukaan yang terbentuk ketika tanah dan bebatuan terbawa oleh air yang mengalir, menurut Kamus Merriam-Webster.

 

Pustaka

  • Cave Science, The Transaction of the British Cave Research Association, Volume 10, Nomor 2, Juni 1983.
  • Cave Science, The Transaction of the British Cave Research Association, Volume 11, Nomor 3, November 1984.