Cengkeh dan Kayu Manis

Cengkeh dan Kayu Manis

Perkenalan rempah-rempah Indonesia di kancah dunia telah dimulai sejak lama sekali. Kapan waktunya? Tak ada yang mengetahui secara pasti. Ada yang bilang sejak zaman Dinasti Han, sekitar tahun 266 SM sampai 220 Masehi. Ada juga yang bilang, sekitar tahun 175-180. Tahun-tahun pertama cengkeh tiba di tanah Eropa. Atau yang lebih tua lagi; 2 orang arkeolog Italia, Giorgio Buccellati dan Marilyn Kelly Buccellati, istrinya, mengklaim, bahwa mereka telah menemukan butir-butir cengkeh (Syzygium aromaticum) yang diperkirakan berasal dari tahun 1700 SM, di Terqa (sekarang Tell Ashara), Syria. Pada salah satu situs penggalian purbakala mereka. Setidaknya, begitulah segelintir fakta-fakta sejarah hasil penelusuran beberapa literatur lawas yang berhasil saya temukan. Walau pun demikian, rata-rata literatur lawas lainnya juga ‘setuju,’ bahwa perkenalan rempah-rempah Spice Islands (Maluku/Moluccas) di seluruh dunia, terjadi (mulai ramai diceritakan) pada sekitar abad pertengahan.

Pada saat itu, siapa pun yang berhasil menguasai jalur perdagangan rempah-rempah, maka kekayaan yang berkelimpahan akan datang padanya. Contohnya, Portugis. Mereka (sekitar awal tahun 1500-an) adalah bangsa Eropa pertama yang berhasil menguasai jalur perdagangan ini. Dan sebagai ‘akibatnya,’ mereka menjadi bangsa terkaya di Eropa karenanya. Masakan-masakan Eropa pada saat itu, rata-rata memiliki rasa yang monoton, sehingga tak heran jika kehadiran rempah-rempah sebagai bumbu masakan yang memiliki citarasa dan aroma yang kuat, begitu diminati di sana.

Uniknya, walau termasuk komoditas primadona dunia pada saat itu, cengkeh (clove), sebagaimana fuli (mace) dan pala (nutmeg), bukanlah tanaman yang biasa digunakan penduduk Maluku sebagai bumbu masakan—padahal kepulauan itu merupakan satu-satunya tempat di dunia (saat itu), di mana tritunggal emas hijau tersebut berasal. Atau dengan kata lain; ada-tidaknya tanaman rempah-rempah ini, dianggap tidak menjadi suatu masalah yang berarti. Karena dalam pandangan kehidupan sosial mereka pada saat itu, masih banyak tanaman lain yang jauh lebih berguna dan berharga. Toh, tanah Maluku begitu subur. Sehingga ibaratnya, mau ditanami apa saja pasti tumbuh.

Mari kita putar waktunya jauh lebih cepat. Ke masa sekarang. Seiring perkembangan zaman, teknologi pun ikut berkembang. Teknologi telah membuka tirai dari segala hal yang sebelumnya tidak kita ketahui. Demikian halnya dengan cengkeh. Tanaman endemik Indonesia yang biasa digunakan pabrikan sebagai bahan pengawet makanan ini, pada awalnya hanya digunakan sebagai pemberi citarasa dan aroma pada masakan saja. Namun, belakangan diketahui kegunaannya, tidak terbatas sampai di sana. “Satu dari lima sifat antioksidan yang diteliti, cengkeh memiliki kemampuan tertinggi untuk mengeluarkan hidrogen, mengurangi proses peroksidasi lipid dengan baik, dan peredam kelebihan zat besi terbaik,” tutur Juana Fernández-López, seorang profesor asal Spanyol.

The Chemistry of Cloves

The Chemistry of Cloves

Selain antioksidan, beberapa peneliti dari Bandung pun menemukan, bahwa ternyata cengkeh juga memiliki beberapa fungsi alami lain, seperti; antiseptik, anti-inflamasi, dan antibakteri yang jika dikombinasikan, dapat dikembangkan sebagai obat anti-kanker. Pengembangan alternatif pengobatan kanker ini tentu saja begitu penting. Apalagi bila mengingat penyakit kanker saat ini telah menjadi demikian resisten terhadap obat-obatan yang ada dan dapat menimbulkan efek samping yang ternyata juga merugikan.

Dari segi pemanfaatan, tanaman endemik nusantara ini memiliki kemiripan dengan tanaman kelapa yang biasanya tumbuh di pesisir pantai. Selain buahnya, hampir seluruh bagian tanaman cengkeh juga berdaya guna. Di beberapa tempat di Indonesia, beberapa nelayan menggunakan minyak cengkeh yang dihasilkan dari gilingan batang, tunas, dan daun cengkeh yang kemudian disuling, sebagai pengganti sianida yang ramah lingkungan.

Mark V. Erdmann, seorang mahasiswa S3 dari Universitas California, Berkeley, yang mengkhususkan diri mempelajari ekologi terumbu karang di Indonesia, penasaran dan akhirnya mencoba mencari tahu, sejauh mana efektifitas sianida alami ini. Katanya, “Saya pertama kali menyadari penggunaan minyak cengkeh sebagai obat bius untuk menangkap organisme laut beberapa bulan yang lalu, ketika seorang rekan menyarankan agar saya menggunakan larutan minyak/etanol cengkeh untuk melumpuhkan dan menangkap stomatopod krustasea di rongga mereka dalam karang. Solusi ini sangat efektif dan sangat meningkatkan keberhasilan menangkap saya.”

Segelintir dari beragam tanaman rempah-rempah

Segelintir dari beragam tanaman rempah-rempah

Luar biasa, bukan? Padahal, sejauh ini, kita baru membicarakan satu jenis tanaman rempah-rempah saja—cengkeh—dan belum membicarakan saudara-saudaranya yang lain, semisal; kayu manis, jinten, pala (nutmeg), fuli (mace), lada, kapulaga, dan lain sebagainya.

Tapi, dari sini pun jelas tergambar betapa hebatnya tanah nusantara yang kita punya. Sejak perkenalannya berabad-abad yang lampau hingga kini, rempah-rempah Indonesia seolah tak pernah berhenti menggemparkan dunia. Mulai dari mendatangkan kekayaan yang berkelimpahan, sampai dengan kemampuan menyembuhkan berbagai macam penyakit. Tak heran jika kemudian seorang fisikawan nuklir asal Brazil, Profesor Arysio Nunes dos Santos, bersikeras meyakini bahwa Atlantis, negeri yang kabarnya subur, makmur, dan kaya itu, adalah Indonesia. [BEM]

 

Referensi:

  • [1], [2],
  • Manuel Viuda-Martos, et al. Antioxidant activity of essential oils of five spice plants widely used in a Mediterranean diet. Oktober 19, 2009.