[ DAY 0 ]
22.30 –Menuju Terminal Guntur, Garut. Dari Terminal Kampung Rambutan, Jakarta.
Dengan menumpang bus AC Ekonomi Wanaraja yang bertarif 35,000 Rp per-orang, kami menuju Kota Garut malam itu. Dari luar, bus yang kami tumpangi ini terlihat bagus. Tapi dari dalam, jelas kurang terawat. Katup AC melompong. Airnya bocor membasahi kursi penumpang di bagian belakang. Kursi penumpangnya pun ikut bergerak maju-mundur kapan pun kami bergerak. Supirnya ugal-ugalan mengendalikan bus selepas dari Jakarta. Gaya mengemudinya jelas membahayakan penumpang. Walaupun mungkin tidak semua supir armada ini melajukan bus secara ugal-ugalan, saya tetap tidak merekomendasikannya untuk anda, kecuali terpaksa.
Sambil melaju, kenek mengutip ongkos dari para penumpang. Semuanya mudah ditagih, kecuali satu orang yang kebetulan duduk disebelah saya. Beberapa kali ditagih, tetap tidak bereaksi. Pembawaannya tenang seolah tak ada beban. Beberapa orang penumpang berinisiatif membantu sang kenek menagih ongkos kepada orang ini, namun tetap saja ia tak bergeming. Kegaduhan yang terjadi jelas-jelas tak dihiraukannya. ‘Mati kali,’ ucap salah seorang penumpang disebelah sana dengan wajah datar. Ucapan penumpang tersebut sontak memancing gelak tawa dari penumpang lainnya, termasuk saya. Namun tetap saja, tak membawa perubahan.
Kegaduhan yang terjadi dibagian belakang, lama-kelamaan memancing seisi bus menoleh kearah kami. Semua orang diliputi rasa penasaran. Hikmat menyaksikan. Dari ketenangan yang ditunjukkan orang ini, saya menjadi berpikir, jangan-jangan ia memang seorang bintang pentas. Tetap tenang walau badai menghadang.
Tak berapa lama kemudian…
Orang tersebut tiba-tiba duduk tegak. Membuka matanya lebar-lebar dan mengedarkan pandangan keseluruh penjuru bus. Tatapannya penuh selidik. Semua orang terpaku tegang karena tatapan orang ini. Tak satupun yang bicara.
Ia merogoh sesuatu dari balik jaketnya. Semua orang menjadi semakin tegang. Saya pun demikian. Begitu tangan tadi keluar dari balik jaketnya…
Damn! Ternyata ia hanya mengambil beberapa lembar duit puluhan untuk membayar ongkos yang sulit ditagih sebelumnya. Kemudian, entah karena malu atau memang pembawaannya yang sok cool…, dia pun kembali tertidur pulas selevel pingsan—seperti semula. Dan, tentu saja kejadian ini disambut dengan riuh-rendah suara para penonton (baca: penumpang) layaknya menyaksikan tim kesayangan mereka menang pertandingan. Hahaha.
[ DAY 1 ]
04.00 – Terminal Guntur, Garut.
Sesampainya di Terminal Guntur, Garut, kami tidak langsung melanjutkan perjalanan ke Cisurupan. Aktifitas pertama yang kami lakukan adalah sholat Shubuh di musholla yang terletak diseberang terminal. Setahun lebih tidak ke Garut, musholla yang dulunya kecil ini, sekarang terlihat lebih luas dan indah. Sholat didalamnya terasa makin nyaman saja menurut saya. Fasilitasnya lengkap; tempat wudhu, tempat pipis, juga toilet. Musholla ini biasanya menjadi tempat transit favorit para traveller ketika menginjakkan kaki di Terminal Guntur, Garut.
Harap diingat! Beberapa kali saya ke musholla ini, beberapa kali pula saya mendengar dan menyaksikan beberapa orang kehilangan kerilnya ketika ditinggal sholat. Pelajarannya, jangan pernah tinggalkan barang bawaan lepas dari pengawasan dimanapun anda berada.
05.15 – Menuju Cisurupan.
Angkot menuju Cisurupan biasanya menunggu penumpang/ngetem disekitar gang masuk menuju musholla. Ongkosnya dipatok 7,000 Rp per-orang. Semakin gelap waktu keberangkatan kita, tarif angkot yang diminta pun akan semakin mahal, bisa mencapai 15,000 Rp perorangnya. Kalau anda termasuk orang yang baik hati, berangkatlah menuju Cisurupan ketika langit masih gelap. Yah, hitung-hitung memberdayakan perekonomian lokal, :p.
Untuk yang membawa kamera atau sejenisnya, pisahkan dari keril dan kumpulkanlah dalam satu tas kecil. Karena pada umumnya, keril-keril bawaan kita akan diikat dibagian atap angkot agar bisa memuat lebih banyak lagi calon penumpang. Tenang saja, para supir angkot ini telah menyiapkan tali tambang untuk mengikat keril-keril kita.
Saran saya, untuk yang bepergian di musim hujan seperti kami ini, pastikanlah posisi keril anda telah benar-benar aman sebelum masuk kedalam angkot. Bagian luar keril yang dilapisi rain cover menghadap keatas, sementara back system menghadap kebawah. Dengan begini, bila tiba-tiba terjadi hujan ditengah perjalanan, resiko keril dan seluruh isinya basah dapat di minimalisir.
Pernah melihat ikan teri diwadah kotak dari anyaman bambu? Bila jawaban anda adalah ‘ya’, maka bersiap-siaplah merasakan sensasinya. ‘Local wise’ para supir ini adalah, ‘selama angkot masih muat, angkut!’ Bayangkan? Iseng-iseng saya menghitung, ada delapan belas orang di angkot yang kami tumpangi. Supaya tidak emosi jiwa, saya meng-imajinasikan hal ini sebagai Wahana Ikan Teri di Dunia Fantasi.
06.00 – Pertigaan Cisurupan.
Sesampainya di pertigaan Cisurupan, sulit rasanya menggerakkan kedua kaki saya. Akibat menahan posisi ajaib selama berada di angkot teri barusan, urat-urat miskin disekujur kaki saya terasa sungsang, sulit sekali untuk digerakkan. Sungguh angkot sialan! *upsss, maaf kelepasan, ;p.
Pagi digerbang Desa Cisurupan terasa sejuk. Beberapa mobil bak terbuka dan ojeg, berbaris rapi dipinggir jalan. Pendaki-pendaki lain pun secara berkala terlihat berdatangan. “Ada 300 orang, baru naik keatas, pada mau nanem pohon disana katanya,” ujar salah seorang koordinator angkutan desa.
Berdasarkan informasi tersebut, walaupun di area parkir Gunung Papandayan terdapat banyak warung makan, kami tidak mau berspekulasi. Akhirnya diputuskan untuk sarapan disekitar pertigaan Cisurupan. Harga makanan disini relatif murah untuk ukuran kantong saya, semangkuk ketupat sayur dengan topping suwiran daging ayam yang hampir kulit semua, ditambah lontong dan cireng hanya dihargai 6,000 Rp. Murah bukan?
Dalam hikmat saya menyantap ketupat sayur, tiba-tiba terdengar sebuah kalimat dari mulut si ibu pedagang, ‘itu, inul-nya disitu.’ Hal ini tentu saja mengundang saya untuk membathin…
Apa urusannya Inul di Cisurupan?
Apa Inul juga ikut mendaki bersama kami ke Papandayan?
Apakah Inul memiliki hubungan darah dengan ibu yang asli Garut ini?
Jiwa kepo—mau tahu saja urusan orang—saya mendadak merasa terpanggil. Apalagi saya sudah menyandang gelar Master untuk spesialisasi Kepo. Seketika itu juga saya menghentikan ritual santap ketupat yang sedang lahap-lahapnya, kemudian mencari sosok ‘Inul’ yang dimaksud. Layaknya mata-mata ulung, seluruh indera saya siaga kesegala penjuru, tapi tak ada wajah Inul yang saya kenali. Tiba-tiba sang ibu menggenggam sesosok berwarna hijau dengan perawakan kecil. ‘Ini dek, inulnya. Kalo masih kurang pedes sambelnya,’ ujar sang ibu.
Argh, ternyata ‘inul’ yang dimaksud adalah buah cabai rawit. Beruntung saya tidak sampai mengeluarkan kertas dan ballpoint untuk meminta tanda tangan-nya tadi.
07.00 – Menuju Pos Registrasi Pendakian Gunung Papandayan.
Dari Cisurupan menuju Pos Pendakian Gunung Papandayan bisa ditempuh menggunakan mobil bak terbuka atau ojeg. Untuk mobil bak terbuka, bila jumlah kita lebih dari 10 orang, maka dikenakan tarif sebesar 10,000 Rp per-orang. Sedangkan bila jumlah kita kurang dari 10 orang, maka, per-mobil bak terbuka ini dikenakan tarif 100,000 Rp. Untuk ojeg dikenakan tarif 25,000 Rp per-orangnya. Sebuah tarif yang relatif murah untuk perjalanan menanjak selama 45 menit dengan kondisi jalan yang rusak di sana-sini.
Bila anda ke Gunung Papandayan pada musim hujan, carilah mobil bak terbuka yang memiliki kerangka bak tinggi, seperti mobil bak pengangkut sayur. Tujuannya, bilamana terjadi hujan dalam perjalanan menuju Pos Registrasi Pendakian, kita bisa menggunakan kerangka bak yang tinggi tersebut untuk menjadi landasan mengikat ponco atau matras sebagai tempat berlindung dari hujan.
Duduk dipinggiran bak sangat tidak saya sarankan, karena selain resiko terjatuh cukup tinggi,—apalagi ketika melewati jalan rusak—hentakan yang terasa dipangkal pantat, seringkali menjalar sampai ke ubun-ubun kepala. Emosi jiwa rasanya. Duduk dibadan bak pun sama halnya. Hanya menghilangkan resiko jatuh dari mobil saja.
Jongkok membuat kaki kram, sementara duduk bisa membuat gegar pantat dan encok kembali kumat, serba salah memang. Bila memungkinkan, berdiri selama perjalanan adalah pilihan terbaik, selain lebih mudah untuk mengontrol keseimbangan, dengan berdiri terbukti mampu mengurangi hentakan, ketika mobil melintasi jalan yang rusak.
07.45 – Pos Registrasi Pendakian Gunung Papandayan.
Sebelum melakukan aktivitas pendakian, kita diwajibkan mendaftarkan diri di Pos Registrasi Pendakian Gunung Papandayan yang letaknya diluar area parkir Gunung Papandayan. Untuk registrasi, per-orang dikenakan biaya sebesar 2,000 Rp, sebuah harga yang relatif murah tentunya.
Beberapa hal yang harus kita isi pada formulir pendaftaran yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan, Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat, Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah III, Seksi Konservasi Wilayah V yang beralamat di Jalan Pahlawan No. 42 Telp/Fax: (022) 2370 Garut 44151 adalah sebagai berikut:
- Nomor Urut
- Tanggal Masuk/jam
- Nama Ketua Regu
- Alamat
- Lokasi Kemping
- Nama Himpunan
- Jumlah Peserta
- Barang Titipan/No.
- Tanggal Rencana Pulang
Dalam formulir pendaftaran juga memuat beberapa ketentuan seperti:
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pasal 19
(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.
(3) Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi; mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Termasuk didalamnya; memotong, memetik, memindahkan tumbuhan, dan mengganggu satwa liar.
Ketentuan Pidana
Pelanggaran terhadap pasal 19 ayat 1 dan 3 dihukum dengan pidana penjara selama-lamanya 10 tahun dan denda 200,000,000 Rp (dua ratus juta rupiah.)
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan.
Pasal 9
(2) Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon –pohon dalam hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
Pasal 10
(1) Setiap orang dilarang membakar hutan kecuali dengan kewenangan yang sah.
Ketentuan Pidana
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan pasal 9 ayat (2) dalam hutan yang telah ditetapkan sebagai hutan lindung dan Pasal 10 ayat (1) dihukum dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau denda sebanyak-banyaknya 100,000,000 Rp (seratus juta rupiah.)
‘Apetizer,’ sudah.
Horornya ‘main course,’ juga sudah.
Sekarang tiba saatnya menyantap ‘dessert.’
Ada beberapa tata tertib yang harus dipatuhi selama berada didalam Kawasan Konservasi dan Taman Wisata Alam di Gunung Papandayan Timur ini, yaitu:
- Pengunjung kemping diwajibkan melapor kepada petugas Polisi Hutan (Polhut.)
- Selama berada didalam kawasan, dilarang melakukan aktivitas vandalisme, menyalakan api unggun, merusak tumbuh-tumbuhan, dan mengganggu satwa liar yang ada.
- Dilarang keras membawa senjata tajam, senjata api/angin dan alat berburu lainnya, minuman keras, narkotika, cat, spidol, dan pilox karena dapat mengganggu keindahan dan ketertiban.
- Sesuaikan lokasi dengan perlengkapan yang dibawa.
- Tidak membuang sampah disembarang tempat.
- Dilarang mendirikan tenda selain ditempat-tempat yang telah ditentukan.
- Membawa kembali sampah sisa aktifitas pendakian.
- Melapor kembali kepada petugas Polhut setelah selesai kemping.
Fasilitas yang tersedia disekitar Pos Registrasi Pendakian Gunung Papandayan yaitu; musholla, toilet, kios penjual makanan, dan tentu saja area parkir yang sangat luas. Kalau sedang beruntung, anda juga akan mendapatkan fasilitas lain berupa seekor kucing jantan bogel berpipi gembil dan berbulu bersih berkeliaran disekitar anda. yah, lumayan lah untuk hiburan sesaat, sambil menunggu waktu memulai pendakian. Tapi harap diingat! Kucing ini cuma untuk dielus-elus. Bukan untuk tujuan lain ya. Waspadalah! Waspadalah!
08.15 – Mulai mendaki Gunung Papandayan.
Bagi pendaki kelas kakap, untuk sampai ke Pondok Salada hanya membutuhkan waktu sekitar 2 jam perjalanan. Tapi bagi kami pendaki kelas capung ini, 5 jam perjalanan pendakian rasanya masih kurang saja. Atau mungkin karena faktor umur ya? Hemm, tidak, saya tidak boleh berprasangka buruk.
Area parkir Gunung Papandayan terlihat ramai ketika kami sampai disana. Mobil pribadi, bus, dan motor yang terparkir puluhan jumlahnya. Belum lagi ditambah pengendara, juga penumpangnya. Sebuah formula sempurna untuk meng-aktifkan mood ‘malas’ saya kembali bekerja. Untungnya Gunung Papandayan terletak jauh dari tempat saya tinggal, kalau dekat, pasti saya memilih pulang. Karena apa? Yaaa… capek ajah.
Ritme mendaki, sengaja kami buat santai untuk memfasilitasi pengambilan gambar dan video. Bisa dibilang, ini adalah pendakian perdana saya membawa 2 perangkat perang sekaligus. Kamera dan handycam. Repotnya bukan kepalang, seperti panitia karnaval Odong-odong rasanya.
Saking berlimpahnya spot sempurna sebagai sasaran bidik kamera dan handycam, tak jarang membuat otak saya berhenti bekerja bin hang, karena terlalu sering berpikir harus menggunakan gear yang mana (kamera atau handycam) untuk scene seperti apa—alibi sempurna menyalahkan gear, padahal setiap hari juga selalu begitu.
Dari pengalaman diatas, saran saya, bawalah alat perang sesedikit mungkin. Bila anda menggunakan kamera DSLR yang memiliki feature video, gunakanlah high speed memory card yang sesuai dengan requirement kamera tersebut—untuk mode rekam menggunakan feature video. Jangan lupa! Memory card dengan kapasitas yang besar. Dengan begitu, berarti anda sudah mengurangi kerepotan, juga bobot bawaan.
Sebenarnya ada dua jalur menuju Pondok Salada, yaitu melalui Hutan Mati dan melalui jalur longsor. Jalur longsor lebih panjang dari jalur Hutan Mati, karena kita harus turun-naik lembah, kemudian memutar melalui pertigaan Pangalengan-Tegal Panjang-Pondok Salada. Tenang saja, bagi para penghobi foto, jalur longsor tetap menawarkan pemandangan yang tak kalah indahnya dibandingkan dengan jalur Hutan Mati. Warna hijau tumbuh-tumbuhan dan merah-kuning tanah tempat berpijak mendominasi disepanjang jalur longsor.
Untuk memperkaya hasil ‘tangkapan’ kamera/handycam selama mendaki Gunung Papandayan, gunakanlah dua jalur berbeda tersebut sebagai jalur pulang dan jalur pergi. Berangkat melalui jalur longsor, pulang melalui jalur Hutan Mati, atau sebaliknya.
Pelajaran berharga lainnya, adalah selalu lakukan cek dan ricek terhadap barang-barang bawaan anda setelah beristirahat, atau buang air selama masa-masa pendakian. Kami bertemu seorang anak kecil yang baru saja menemukan sebuah smartphone, ketika ia sedang bermain-main bersama keluarganya di sekitar jalur longsor. Jangan sampai kejadian seperti ini menimpa anda.
12.30 – Pertigaan Pangalengan-Tegal Panjang-Pondok Salada.
Kaki gemetar. Napas tersengal. Mata berkunang-kunang. Cacing di perut pun telah menggemakan kumandang perang. Waktunya makan siang.
Ian dan Acha yang lebih dulu sampai di pertigaan terpaksa rela menunggu saya dan Adul yang belakangan sampai. Karena keasyikan mengabadikan momen, sampai-sampai lupa kalau logistik kami berada dikeril saya. Haha, maafkan saya teman-teman.
Menu pembuka pendakian Gunung Papandayan kali ini adalah 3.5 bungkus nasi putih ditambah orek teri-tempe buatan nyokap tercinta. Kalau di Jakarta saja rasanya sudah tiada tara, apalagi di gunung seperti ini. Ditambah rasa lapar yang menggebu-gebu, jadilah menu kami ini terasa luar biasa. Tidak percaya? Bagus. Percayalah hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Menu berupa nasi putih dengan topping orek tempe-teri memang terasa kering dikerongkongan. Beruntung, alam berbaik hati memberikan kuah-nya pada menu kami. Rintik. Alhamdulillah.
Dalam jumlah sedikit, kuah alam ini mampu meringankan kerja kerongkongan kami. Tapi begitu jumlahnya terlalu banyak, apalagi dalam partai besar, jelas membuat perut kami menjadi ngap (baca: begah, sebah.) Bagaimana tidak, standard operational procedure yang mengharuskan kami mengunyah makanan sebanyak 30 kali sebelum nyemplung ke kerongkongan, kini terpaksa langsung meluncur ke kerongkongan. Persis seperti minum susu. Apalagi penyebabnya kalau bukan hujan yang semakin deras. Belum lagi harus memakai jas hujan yang repotnya naudzubillah. Tambahkan pula dengan kesalahan berupa meletakkan jas hujan didasar keril sana. Arghhh!—sambil menjambak-jambak rambut tetangga.
13.00 – Pondok Salada. Acara bebas.
10 menit makan siang ala militer terbukti mampu membuat kaki saya melangkah sedikit lebih cepat. Ya, sedikit saja. Jangan banyak-banyak. Dua mangkok ya bang! Buat saya satu, buat pacar saya yang manis ini satu. Jangan pake sambel. Baksonya aja…. #apasi @,@
Dua puluh menit kemudian, kami tiba di Pondok Salada. Suasini (bukan suasana, karena saya telah sampai disini kala itu) di Pondok Salada siang itu ramai sekali. Mirip seperti pasar tumpah. Kami yang datang belakangan, menjadi kesulitan mencari lahan kosong. Untungnya, masih tersisa satu tempat yang bisa digunakan untuk peletakan batu pertama tenda kami. Walaupun kontur tanahnya agak miring, tapi letaknya cukup strategis dipusat bisnis (baca: dekat dengan sumber air.) Sebuah tempat yang, begitu malam menjelang, saya umpat sejadi-jadinya. Karena apa? Teruskan membaca…
Seusai hujan turun, kami langsung mendirikan tenda. Prosesnya sengaja dipercepat, maklum khawatir kembali turun hujan. Logistik segera kami keluarkan untuk didata ulang. Alhamdulillah, statistik logistik kali ini cukup menggembirakan—dalam artian yang sebenarnya—bila dibandingkan dengan logistik yang saya bawa ketika mendaki Gunung Semeru beberapa waktu lalu. Bila dilafalkan dalam bahasa yang sedikit lebih indah, maka logistik Semeru saya kala itu serupa dengan, ‘diajak syukur, gak diajak nyusul.’ Atau dengan kata lain, menyedihkan.
Siang cepat berganti malam di Papandayan. Sementara semua orang bersenang-senang diluar tenda menikmati alam, kami berempat justru terlelap tidur berselimut sleeping bag. maaf, revisi, hanya saya seorang yang tidak menggunakan sleeping bag. Bukannya tidak punya, tapi selalu saja malas membawa. Terlalu makan banyak tempat dikeril saya yang berukuran mungil, hehe.
Dalam perjuangan mencapai gelombang Alpha…
Kondisi udara yang dingin, ditambah derasnya aliran darah ke otak, membuat saya sulit memejamkan mata. Apalagi penyebabnya kalau bukan kontur tanah yang miring dan berundak-undak. Semakin dipejam, semakin pula mata saya terjaga. Seperti sekuriti profesional saja rasanya, tidur dengan kedua mata membuka. Pedihhh…
Karena niat awal memang untuk berbasah-basahan di Papandayan, alam pun akhirnya mendengar jeritan hati kami. Hujan turun lumayan deras menjelang tidur. Tenda bocor disana-sini. Karena rasa kantuk yang teramat sangat, malas rasanya membenahi. Akibatnya, kami terpaksa menggeliat layaknya jago silat untuk menghindari tetesan air hujan yang merembes kedalam tenda secara sukarela. Menyenangkan bukan?—damn!
Bagi anda yang berencana mendaki di musim hujan, berikut akan saya bagikan beberapa tips mendaki gunung di musim hujan:
- Jangan mendaki gunung di musim hujan! Repot. Yakinlah sumpah.
Masih nekat mendaki di musim hujan seperti kami? Baiklah, ini tips berikutnya:
- Beri perhatian lebih ke tenda yang akan dibawa dan digunakan. Pastikan tidak ada bocor disana-sini. Bila memungkinkan, lapisi ulang dengan menggunakan water repellent—yang banyak dijual di toko-toko outdoor. Kalau perlu, bawalah fly sheet tambahan. Jangan membawa tenda summer kalau tidak ingin menderita selama masa-masa pendakian.
- Bawalah jas hujan atau payung. Jas hujan yang sesuai standar pendakian pada umumnya memiliki bobot yang sedikit lebih berat. Harganya pun relatif mahal. Karenanya ada alternatif kedua, yaitu jas hujan plastik sekali pakai. Selain bobotnya yang ringan, harganya pun relatif terjangkau, umumnya dikisaran 5,000 Rp-15,000 Rp per-buah. Kedua jenis penangkal hujan ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, yaitu:
– Jas hujan berbentuk setelen atasan-bawahan. Cukup merepotkan ketika hendak digunakan atau dilepaskan. Jas hujan tipe ini tidak dapat melindungi keril dari terpaan air hujan, namun pergerakan kita menjadi lebih fleksibel. Gunakan rain cover untuk melindungi keril dari terpaan air hujan langsung—bila anda menggunakan jas hujan tipe ini.
– Jas hujan berbentuk ponco. Cukup praktis digunakan. Jas hujan tipe ini mampu menahan terpaan air hujan ke keril secara langsung. Ia hanya cocok digunakan pada lahan datar. Bila digunakan di hutan lebat atau dilahan miring, kemungkinan penggunanya terjatuh—karena menginjak lidah jas hujan yang menjulur dekat dengan kaki atau tersangkut ranting pohon—sangat tinggi, apalagi bila kontur jalurnya berundak-undak.
– Payung. Hanya cocok digunakan untuk kondisi temporer seperti mencari tempat berteduh yang jaraknya tidak terlalu jauh, juga untuk mengantisipasi hujan ringan.
- Gunakan dua buah rain cover untuk mengantisipasi hujan badai. Lebihkan ukuran rain cover sekitar 15-35 liter dari ukuran keril. Kadang kita membawa barang-barang yang diletakkan disisi luar keril seperti tripod, matras, trekking pole, dan lain-lain. Fungsi kelebihan kapasitas rain cover diatas adalah untuk mencakupi seluruh barang-barang tambahan yang diletakkan di luar keril agar tidak basah terkena air hujan.
- Gunakan sepatu waterproof. Bila tidak punya, gunakanlah sandal gunung. Bila tidak punya juga, pinjamlah kepada teman. Tidak punya teman? Berdoalah kepada Tuhan.
- Gunakan pakaian dengan bahan quick dry.
- Lebihkan sedikit jumlah pakaian yang dibawa, terutama pakaian dalam.
- Biasakan packing menggunakan kantong-kantong plastik kecil. Satu setel pakaian di satu kantong.
- Sebelum packing, lapisi bagian dalam keril anda dengan kantong plastik (sampah) besar.
[ DAY 2 ]
06.00 – Bangun pagi. Acara bebas.
Kontur tanah berundak-undak membuat pagi saya berantakan. Badan terasa remuk redam, seperti baru diserempet ribuan bajaj usang. Kapok. Tidak lagi-lagi saya kemping dimusim hujan seperti ini. Apalagi mendirikan tenda dilahan miring. Tidur dengan kepala dibawah, kaki diatas. Macam anak durhaka saja.
Sisa hujan malam tadi masih meninggalkan jejaknya pagi itu. Ditenda, juga disekitar camping ground. Hawa dingin membuat saya malas bergerak. Tapi hangat mentari diluar tenda terlihat lebih menggiurkan daripada bermalas-malasan didalam tenda. Saya pun memaksakan diri untuk keluar menyusul Ian dan Acha yang telah lebih dulu beraktifitas diluar tenda.
Langit terlihat berkabut dari Pondok Salada. Walaupun matahari telah meninggi, sinarnya lebih banyak terhalang kepulan asap Kawah Gunung Papandayan, dibagian timur sana. Sekelompok besar pendaki melakukan upacara, kemudian beranjak menuju Tegal Alun. Sementara kami berempat, lebih senang menikmati hidup dengan bermalas-malasan selama berada di Papandayan.
10.00 – Bersiap-siap pulang.
Setelah puas bermalas-malasan, masing-masing melaksanakan tugas tak tertulisnya. Saya mengambil air, Adul membakar sampah, Ian memasak, dan Acha membersihkan wadah. Setelah perut kami penuh terisi, dan seluruh tenda ter-packing rapi, selanjutnya adalah memulai kembali perjalanan pulang. Bersama dengan tiga orang tim dari Serang yang digawangi teman baru kami Nur Sodik yang asli Wong Solo.
10.40 – Menuju Pos Registrasi Pendakian Gunung Papandayan.
Perjalanan pulang kami pilih melalui Hutan Mati. Karena, selain aksesnya yang lebih dekat, juga demi memperkaya variasi foto plus video perjalanan kami.
Untuk mencapai Hutan Mati, kami harus melewati sumber air. Sebagian besar area disekitar sumber air, yang terletak di selatan Pondok Salada sangat becek tergenang air. Tanahnya liat, bercampur kapur. Bila sepatu anda tidak berbahan waterproof, sebaiknya dilepas terlebih dahulu. Kemudian digunakan kembali setelah sampai di Hutan Mati.
10.50 – Hutan Mati.
Diiringi Pepohonan Cantigi di kanan-kiri jalur Pondok Salada, akhirnya kami sampai di Hutan Mati. Tak ada dedaunan hijau disini. Hanya ribuan ranting kering akibat erupsi Kawah Gunung Papandayan beberapa tahun yang lalu. Lantai hutannya dilambari tanah liat bercampur kapur, juga bebatuan sisa erupsi. Dalam radius 1 kilometer dari Kawah Papandayan, tak ada pepohonan yang mampu bertahan hidup. Kalaupun ada tumbuhan menghijau, pasti ia tumbuh setelah erupsi.
Beberapa kali aroma belerang tercium dari tempat kami menjejak. Bila angin yang bertiup ke arah barat cukup kencang, aroma belerang ini juga bisa tercium hingga Pondok Salada. Baunya seperti separuh isi dunia ini kentut secara bersamaan. Menciptakan adiksi yang luar biasa bagi saya… #huek.
Sebagai lokasi foto prewedding, Hutan Mati saya anggap cukup representatif. Letaknya tidak terlalu jauh dari area parkir Gunung Papandayan. Rata-rata, kemiringan jalur menjelang Hutan Mati mencapai 45 derajat dan cukup licin oleh tebaran kerikil disepanjang jalannya. Disalah satu titik jalur, kemiringannya mencapai 75 derajat dengan ketinggian sekitar 4 meter. Tapi jangan khawatir, sesampainya di kawasan Hutan Mati, seluruh usaha anda tadi akan terbayar lunas.
Bagi yang berniat melakukan foto prewedding di Hutan mati, akan saya bagikan beberapa tips-nya:
- Jangan gunakan wardrobe sebelum anda mencapai Hutan Mati.
- Bawalah modular/portable changing room ke lokasi foto.
- Gunakan jasa porter untuk mengangkut perlengkapan foto anda. Anggaplah hal ini sebagai salah satu andil anda dalam memajukan perekonomian lokal.
- Tibalah di Hutan Mati lebih pagi. Fokuskan pada golden moments. Sunrise dan sunset.
- Datanglah ke Gunung Papandayan pada low season. Karena selain lokasi foto anda lebih steril dari lalu lalang pendaki lain, pilihan spot foto anda pun akan semakin kaya.
- Kecuali untuk mendapatkan efek-efek tertentu, hindarilah melakukan photo session pada musim hujan.
- Bawalah makanan dan minuman untuk persediaan selama photo session berlangsung.
- Bawalah kotak P3K bilamana terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
- Berhati-hatilah selama berada dikawasan Gunung Papandayan.
12.10 – Kawah Gunung Papandayan.
Jalur disepanjang Kawah Gunung Papandayan relatif landai. Kesulitannya hanya terletak pada tebaran bebatuan sisa erupsi yang terserak dimana-mana. Berhati-hatilah ketika melangkah kalau tidak ingin cidera. Tidak usah terlalu cepat. Santai saja, seperti sedang menikmati hidup.
12.20 – Pos Registrasi Pendakian Gunung Papandayan. Mandi-mandi.
Sesampainya di area parkir Gunung Papandayan, kami mengistirahatkan diri sejenak disebuah warung dengan minum teh manis, makan siang, dan menikmati gorengan. Siang itu, area parkir terlihat ramai oleh para pendaki yang baru saja turun gunung. Acha yang sudah tidak sabaran langsung melengos pergi menuju toilet untuk membersihkan diri. Sementara menunggu Acha, waktu kami lewati dengan mengobrol tentang apa saja didepan warung makan. Dan, begitu Acha selesai mandi…
‘Ok Cha, gantian jagain keril ya, kita mau mandi air panas dulu di sungai dibelakang sana,’ bilang Ian. ‘Sialan! Tau begitu gw gak mandi duluan tadi,’ jawab Acha keki. Hahaha. Ya sudah, terima nasib saja ya Cha.
Si ibu penjaga warung memberikan petunjuk arah menuju sungai kepada kami. Jaraknya sekitar 50 meter dari area parkir. Melintasi barisan pepohonan besar dibelakang warung. Begitu sampai dibantaran sungai, dengan semangat empat-lima, saya, Adul, dan Ian langsung mencari spot mandi terbaik di sungai ini. ‘Nah, disini aja nih, asik kayaknya,’ seru Ian berapi-api, namun tidak sampai membakar hutan disekitar kami.
Tapi, begitu kami hendak melepas pakaian…
‘Hyaa… itu appp… paaa???’ sambil mengarahkan jari telunjuk ke titik fokus objek, Adul mengundang rasa penasaran saya dan Ian. ‘Hahaha!’ Kami bertiga sontak tertawa. Kenyataan memang seringkali tidak seindah yang dibayangkan. Percobaan pertama kami mengenang masa-masa kecil dulu dengan mandi di kali gagal saat itu juga. Muntahan lahar dingin dari ‘kawah’ manusia yang entah siapa, terlihat duduk manis di pinggir sungai yang berair dingin ini—padahal katanya air panas, @,@.
Kami susuri kembali sungai kecil ini kearah atas. Akhirnya kami temukan lokasi ideal untuk mandi ala puteri raja. Walaupun tidak ideal-ideal banget sebenarnya. Sebab, tidak mungkin lagi kami susuri sungai ini lebih lanjut. Lima puluh meter kedepan sudah area terbuka. Diujung sana pun terdapat beberapa keluarga sedang bermain-main disungai. Memaksakan mandi di area terbuka sama saja dengan menawarkan diri untuk dibilang gila.
Karena badan rasanya sudah tidak karuan, tanpa cek dan ricek lagi, kami langsung membenamkan diri kedalam kubangan sungai yang dalamnya hanya sepangkal paha orang dewasa. Kalaupun pada akhirnya nanti alam memenuhi gizi kami dengan butiran pisang mengambang, kami coba untuk menerimanya dengan lapang dada—sambil harap-harap cemas, kami berdoa.
Sungguh, aktifitas mandi pun bisa menjadi haram kalau sudah begini urusannya, bagaimana tidak, kami terpaksa gambling dengan pisang mengambang. Dia, atau kita yang menang. Hanya itu rule-nya.
Selepas mencelupkan kepala kedalam kubangan, mata saya tiba-tiba saja terasa perih. Ah, mungkin karena kurang tidur selama beberapa hari, pikir saya. ‘Ini kok asem yah rasanya,’ tak lama kemudian Adul berkomentar. ‘Gimana kagak asem Dul, itu kan air belerang,’ jawab Ian cepat. Hahaha. Entah mengapa, kalau sudah kumpul-kumpul seperti ini, seringkali kebodohan lah yang menjadi teman setia kami. Kemanapun pergi.
Tiga puluh menit telah berlalu. Ritual puteri raja kami telah usai. Untungnya tidak satu pun Unindentified Floating Object menghiasi prosesi pesiraman kami. Alhamdulillah, kami menang judi melawan pisang. Eh, astagfirullah…
14.10 – Menuju pertigaan Cisurupan.
Langit Papandayan siang itu sedikit mendung. Karena mengejar jadwal keberangkatan bus ke Jakarta, selesai makan siang dan bersih-bersih, kami langsung menuju Cisurupan. Tarif mobil bak terbuka dari Pos Registrasi Pendakian Gunung Papandayan hingga pertigaan Cisurupan dipatok seragam. Bila jumlah kita kurang dari 10 orang, maka dikenakan ongkos 100,000 Rp per-mobil. Sedangkan bila lebih dari 10 orang, maka dikenakan ongkos per-orangnya sebesar 10,000 Rp.
Baru 5 menit kami berada diatas bak, rintik sudah mulai turun. Tambahkan 5 menit lagi, ia berubah menjadi hujan deras. Alhamdulillah, kami berkesempatan mandi untuk kedua kalinya. Tapi Adul, yang takut dandanannya luntur, cekatan mengeluarkan jas hujan. Ponco selebar tikar arisan itupun dibentangkan kesegala penjuru. Untungnya tepian kerangka mobil bak ini di design lebih tinggi—layaknya mobil bak pengangkut sayuran—jadi kami memiliki landasan untuk menahan ponco sebagai pelindung dari hujan.
Menjelang perkampungan warga…
Ditengah perjuangan kami berjongkok menahan keseimbangan, akibat jalan desa yang rusak, plus terpaan hujan yang semakin deras saja, seorang anak gadis desa tetangga, pecinta bala-bala, menyapa kami mesra.
‘Mbeeekkk…’
Sapaan yang berbuntut tawa dan membuat pipi kami merah merona akibat rasa malu sejadi-jadinya. Tapi setelah dipikir-pikir kembali… iya juga ya, kondisi kami pada saat itu memang mirip sekali dengan embek-wan dan embek-wati yang akan dijual di pasar—damn!
14.30 – Pertigaan Cisurupan.
Hujan telah mereda ketika kami sampai di pertigaan Cisurupan. Karena masih rintik, semua orang sigap mengangkut kerilnya ke tempat teduh. Baru saja saya meletakkan keril, ‘terminal a’ terminal…’ seorang warga, entah siapa, langsung menanyakan tujuan kami berikutnya. ‘Iya,’ sahut saya cepat. Baru menoleh sedikit, tiba-tiba keril saya telah lenyap dari pandangan. Panik? Pasti. Mata saya menjelajah kesegala arah, mencari-cari kemana keril saya pergi.
Tak berapa lama kemudian, mata saya menangkap sesosok keril yang telah lama saya akrabi. Tanpa menunggu lama, saya menghampiri si pencuri keril ini. Ternyata orang yang sebelumnya menanyakan tujuan kami. ‘Eh, pak! Pak!’ sambil mencoba merebut keril, saya meneriaki si bapak ini.
‘Saya kenek! Saya kenek!’ sahutnya panik.
Hoalahhh… slamet… slamet… saya kira orang jahat, tidak tahunya hanya seorang kenek ambisius. Saking ambisiusnya, sampai-sampai calon penumpang tidak mengetahui kapan barang-barang bawaannya telah berpindah tempat ke angkot tercinta sang kenek ini. Fiuh.
Setelah kami semua masuk kedalam angkot, disini pula kami menyadari sebuah kesalahan besar. Peletakan keril yang baru saja dilakukan kenek angkot tidak kami supervisi. Akibatnya jelas, semua keril basah terkena derasnya air hujan. Posisi back system keril yang seharusnya berada dibawah, justru diletakkan menghadap ke atas. Tujuan rain cover yang seharusnya menjadi pelindung, malah berubah fungsi menjadi penampung air hujan.
Didalam angkot…
Rintik hujan jelas membuat setiap pemilik keril gelisah. Semakin deras hujan yang turun, tentu membuat rasa gelisah tadi semakin parah. Apalagi ditambah lamanya waktu ngetem angkot yang kami tumpangi. Tambahkan lagi dengan seal jendela angkot yang bocor. Perfecto!
Masih belum puas? Tenang, kami masih punya menu derita lainnya, keep on reading ya… hiks.
14.45 – Menuju Terminal Guntur, Garut.
Berkaitan dengan kejadian-kejadian diatas, ada beberapa tips yang sebaiknya dilakukan sebelum naik ke calon angkot anda:
- Bila keril harus diletakkan diatap angkot, pastikan keril anda telah dilapisi rain cover dengan sempurna—back system menghadap kebawah, rain cover menghadap keatas. Kalau perlu gunakan rain cover ganda.
- Pisahkan barang-barang berharga anda di satu tas kecil. Terpisah dari keril.
- Sebelum masuk kedalam angkot, pastikan waktu keberangkatannya. Masih lama ngetem, atau langsung jalan? Terlalu lama didalam angkot yang sedang ngetem secara psikologi, akan membuat kita gelisah. Sama halnya dengan kegiatan menunggu calon kekasih yang belum pasti siapa. #malah curhat
- Naiklah kedalam angkot, ketika angkot tersebut akan berangkat. Atau ketika kursi kosong yang tersisa, sejumlah anda/kelompok anda.
- Pilih kursi yang dekat dengan pintu keluar/masuk. Sehingga, bila sewaktu-waktu terjadi keadaan darurat, kesempatan anda menyelamatkan diri menjadi semakin tinggi.
- Siapkan ongkos sebelum anda masuk kedalam angkot—uang pas lebih baik. Dengan melakukan hal ini diharapkan penumpang lain tidak terganggu, karena harus menungu anda mencari/mengambil uang untuk membayar ongkos angkot.
- Perhatikan bau badan anda. Selain mengganggu, bau badan juga mengundang fitnah. Dan fitnah itu adalah dosa besar kawan. maukah anda menjadi penyebab sebuah dosa besar? Tentu tidak kan, 🙂
Lima belas menit didalam sebuah angkot bocor sungguh bukan sebuah penantian yang mulia. Kabin angkot masih terasa lengang karena belum penuh penumpang,. Walaupun begitu, kaki saya sudah mulai menunjukkan gejala-gejala kram akibat sempitnya ruang kursi penumpang. Sebagai hiburan, saya menggunakan jaket sang supir untuk menadah air yang merembes masuk dari panel jendela. #rasain, emang enak…
Lantas, bagaimana dengan nasib teman-teman yang lain? Gelisah. Apalagi mereka tahu kalau keril yang diletakkan diatas angkot ini sebagian besar terbalik posisinya. Menadah air hujan. Mau komplain, supirnya tidak kelihatan. Mau membetulkan posisi keril, diluar hujan. Awalnya memang emosi jiwa, tapi lama kelamaan, ya sudahlah, ikhlaskan saja—walaupun terpaksa.
Setelah seluruh kursi terokupasi, akhirnya angkot ini berangkat juga. Ditengah perjalanan, beberapa kali sang supir mengangkut penumpang. Posisi duduk kami yang tadinya normal-normal saja, kini berubah menjadi abnormal semua. Menahan posisi ajaib terlalu lama membuat urat-urat pinggang dan kaki saya seperti ditarik-tarik belasan odong-odong. Pedih sekali rasanya. Penumpang lain pun bernasib serupa. Walaupun sok cool, meringis sekali-sekali perlu lah kiranya.
Sambil menahan posisi pinggang, saya mencoba ber-matematika. Jumlah penumpang di angkot tuyul ini totalnya adalah delapan belas orang. Sungguh sebuah pencapaian yang luar biasa. Luar biasa membuat emosi jiwa.
15.30 – Terminal Guntur, Garut.
Kami telah sampai di Terminal Guntur. Begitu memeriksa keril, hampir seluruhnya basah dengan sempurna. Setelah membuang air yang menggenang di rain cover dan memeras barang bawaan yang basah, kami lanjutkan menuju musholla diseberang terminal untuk menenangkan diri. Rintik hujan masih saja mengguyur Kota Garut sore itu. Selesai sholat, kembali kami menuju terminal antar kota.
16.00 – Menunggu bus menuju Jakarta.
Kondisi terminal sore itu relatif lengang. Penumpang antar kota dapat dihitung dengan jari. Bus AC Ekonomi Primajasa yang telah parkir dilokasi pemberhentian—didalam terminal—langsung kami serbu. Dari luar memang tampak biasa, tapi dari dalam, bus Primajasa dengan kursi 2-3 ini terlihat lebih terawat ketimbang bus Wanaraja yang kami tumpangi pertama kali.
Dari Terminal Guntur, bus Primajasa beroperasi mulai pukul 04.00-17.30 dan berangkat tiap 20 menit sekali. Kecuali hari Senin atau setelah hari libur bus Primajasa beroperasi mulai pukul 03.00. Singgah di Cileunyi arah Jakarta. Sedangkan dari Terminal Lebak Bulus, bus Primajasa beroperasi mulai pukul 05.00-21.00 dan berangkat setiap 30 menit sekali. Singgah di Cililitan/UKI arah Garut. Rute pergi maupun pulang, melalui Tol Cipularang.
Tarif Bus Primajasa jurusan Garut-Jakarta adalah sebagai berikut:
- Garut-Jakarta (Terminal Lebak Bulus) = 35,000 Rp
- Garut-Cileunyi = 12,000 Rp
- Cileunyi-Jakarta (Terminal Lebak Bulus) = 26,000 Rp
- Cicalengka/Dangdeur-Garut = 5,000 Rp
Bila anda tidak puas terhadap pelayanan armada bus Primajasa, PT. Primajasa Perdana Raya Utama pun telah menyediakan pelayanan SMS Pengaduan di nomor 0812.121.9545. Atau bila anda ingin mengetahui beberapa informasi penting, bisa menghubungi PT. Primajasa Perdana Raya Utama di nomor-nomor berikut:
Kantor Pusat:
Jalan Mayjen. Sutoyo No. 32 Cililitan
Telp: (021) 800.9545-800.9542 (Hunting)
Kantor Cabang Garut:
Jalan Merdeka No. 11 Garut
Telp/Fax: (0262) 540.860
16.15 – Menuju Terminal Lebak Bulus, Jakarta.
Selepas menikmati indahnya perpaduan alam ‘Dieng-Puncak’ disekitar jalan lingkar luar Nagreg. Dikursi belakang sana, seorang abg alay mulai menyanyi tidak tentu arah. Oh, Tuhan… cobaan apalagi ini…
Volumenya ditahan, seperti orang mengejan. Walaupun begitu, dalam kondisi kabin yang sepi, suaranya jelas sangat mengganggu. Kalau ia seorang juara Indonesian Idol, saya mungkin masih bisa menerima. Taaa… pii… dengan kapasitas suara layaknya odong-odong butut seperti itu… wiihhh… ingin rasanya saya melengkapi bus Primajasa ini dengan fasilitas kursi lontar. Sekali tombol ditekan, lenyaplah ‘Jayen’ ini dari pendengaran—mendadak berimajinasi.
21.00 – Terminal Lebak Bulus, Jakarta.
Sebagai tips penutup, berdoalah kencang-kencang kepada Tuhan sebelum anda ke Papandayan. Jangan sampai perjalanan kami yang ‘sesuatu banget’ ini terjadi pada diri anda. Waspadalah! Waspadalah! [BEM]
keren gan ceritanya hahaa btw saya mo nanya niihh ada gak biss dr bandara soeta yg langsung k terminal guntur garut???jadi gak perlu k terminal rambutan dulu
Hahaha… terima gajih, Ani…
So far, alhamdulillah gak ada ya setau saya–kecuali charter.
Jadi, mau gak mau ya harus ke Terminal Kampung Rambutan dulu. Eh, sekarang. ‘Dulu’ mah belom ada terminalnya. :p
maaf gan mau nanya, bis terakhir wanaraja ke garut jam berapa ya dari kampung rambutan? rencana mau kesana bulan depan
terimakasih
Bus terakhir dari Terminal Kampung Rambutan ke Terminal Guntur, Garut kayaknya gak tentu gan. Untuk artikel ini, kita berangkat sekitar jam 12 malam, tapi yang berangkatnya sebelum ini, bus terakhir sekitar jam 1 pagi.
Biar lebih aman, usahain maksimal jam 11 malam tim Agan sudah sampai di Kp. Rambutan.
Numpang komen ya……. Sy jd inget sktr thn 2001 ksana gak sengaja….. Gara2 mau ke gede-pangrango tp lg ditutup…… Asik utk wisata alam dan dulu dinginnya lumayan mantap…. Sempet ada ujan es…..
silahkan…
wah, ada hujan es di Papandayan!? baru tau nih. kirain cuma semeru aja.
Nice info ka…keren banget lah petualangannya kakak…Salam kenal dan salam lestari kak..
Oh ya, klau buat pemula yang perdana naik gunung di bawa ke papandayan lg musim hujan kaya srkarang bahaya ga kak? Aku baca info bisa dingin banget dan sering longsor… Tks ka..ditunggu masukannya ya kak
halo niyah nfs (need for speed?), salam kenal juga ya.
resiko mendaki di musim hujan relatif lebih tinggi daripada mendaki saat musim kemarau.
untuk pemula, sebenernya gak berbahaya, selama mereka mengikuti jalur yang ada + aturan2 yang berlaku di sana.
aku pernah membahas tips naik gunung untuk pemula di sini. mungkin bermanfaat sebagai informasi tambahanmu.
soal dingin;
ya. gunung papandayan itu dingin. tapi sepengalamanku, mendaki di musim hujan itu akan cenderung terasa lebih hangat ketimbang mendaki di musim kemarau. kalau pun merasa lebih kedinginan, biasanya karena pakaian yang basah atau kondisi tubuh yang memang kurang fit. aku gak tau ini berlaku untuk semua orang atau enggak, tapi aku dan sebagian teman2ku mengamini hal ini.
soal longsor;
ini sulit diprediksi. tapi banyak kejadian, longsor terjadi di musim hujan, terutama jika intensitas curah hujannya cukup tinggi.
ada bacaan menarik terkait tanah longsor ini: Landslide Recognition and Safety Guidelines
ekspektasi pemula yang baru belajar naik gunung biasanya cuma satu; pemandangan keren yang bikin penasaran.
rintangan selama masa pendakian (seperti; medan berat, hawa dingin, kemampuan fisik menurun, dlsb) umumnya luput dalam perhitungan mereka. well, seenggak2nya, aku dulu mengalami hal ini.
pertanyaannya;
kira2, apa yang akan terjadi kalau ekspektasi mereka, ternyata harus dibayar dengan rintangan2 itu (ditambah dengan hujan yang mengguyur terus-menerus)?
mungkin gak, mereka bakal rewel?
mungkin gak, mereka bakal kapok?
mungkin gak, mereka bakal jadi egois?
mungkin gak, mereka bakal menyusahkan anggota tim lain?
dan seterusnya… dan seterusnya…
kalau semua pertanyaan bernada negatif ini, jawabannya positif, maka kamu bisa bawa mereka. tapi kalau sebaliknya, lebih baik jangan.
perlu dicatat; mendaki di musim hujan itu jauh lebih repot ketimbang mendaki di musim kemarau.
last but not least… CMIIW. 🙂
Terimakasih sangat loh kak atas jawaban dan masukannya,
Alhamdulillah minggu lalu kami jadi berangkat ke Papandayan dan dapat pengalaman seru sekali. Walaupun harus ektra hati-hati dan juga sempet mati rasa karena kedinginan.
Sekali lagi terima kasih ya Ka 🙂
Kembali kasih Niyah.
Senang bisa membantu 🙂
Mas-mas yang selalu (berusaha) ceria di kondisi apapun…
Numpang tanya ya…
Saya punya rencana (dan impian) untuk mengunjungi semua gunung dan taman nasional di Indonesia (dan dunia….uuyy). Untuk perdana, dalam waktu dekat ini saya mau naik gunung papandayan dan berencana mo bawa Bumi, anak saya yg belum genap 3 Tahun (plus bapaknya). Kl menurut pandangan Bapak, kira2 aman dan menyenangkan ngga ya bawa anak kecil kesana ..secara saya juga rookie bgt dalam hal naik2 gunung (fyi, saya naik tangga penyebrangan aja ngos2an..)
Kemudian… jikalau saya bawa mobil pribadi.. apakah rute ke parkirannya itu smooth atau kaya jalanan di bekasi..(ahahah, padahal saya orang bekasi)… dan apakah parkirannya aman?
Demikian, mohon dijawab dengan serius ya..
Wassalam
Ps: Saya mo kesana tgl 25 ini… pas malam 1 suro, mo semedi… Yeay!
waalaikumsalam…
hahaha, boleh2 mbak. saya juga numpang jawab ya…
wah. cita2nya keren tuh. saya doain biar kesampaian ya. aminnn…
“menurut pandangan bapak”? saya masih belia lho mbak (ngaku2)
waktu naik Gunung Papandayan tempo hari, beberapa kali saya melihat beberapa keluarga bawa anaknya yang masih kecil2. sekitaran TK umurnya. jadi kalo mbaknya bawa Bumi yang masih 3 tahun, menurut saya aman2 aja. apalagi bawa bapaknya, yang (pastinya) jauh lebih tua.
sebagai tempat latihan kemping atau memperkenalkan anak pada alam, Gunung Papandayan itu permulaan yang bagus. karena medannya yang gak terlalu berat, “relatif dekat” ke basecamp atau area parkir, dan banyak sumber daya air. tapi, ngos2an sih gak mungkin enggak. pasti dapet, mbak. wong jalurnya berbukit. hahaha.
di gunung lain yang medannya jauh lebih berat dan panjang – semacam Gunung Gede – saya pun kadang menemukan keluarga yang membawa anak mereka yang masih balita. bahkan yang umurnya sekitar 1 tahun pun ada.
terakhir saya ke Papandayan, jalur dari pertigaan Cisurupan ke area parkir masih aman dilewati mobil pribadi. walau sebagian jalannya memang banyak yang rusak. tapi, kayak bekasi atau enggak, saya kurang paham. udah lama banget gak ke sana soalnya.
satu lagi. saat musim liburan datang, area parkir ini, gak jarang, sebagian besar isinya mobil pribadi semua, mbak.
hah? malam 1 sukro? kayak suzanna aja. hahaha.
Waaahhh makasih ya mas… responnya cepet kaya flash. Saya jadi terharu…. Makin bikin saya bersemangat kesana sambil bawa tongsis..
Btw, kira2 kl bikin skutel sama semar mendem repot ngga ya pas disana? hahaha
Oke deh mas… Nanti saya infoin ya kl udah dari papandayan… (ngga usah dijawab, ngga mau juga tetep saya kabari) hahahah..
Wassalam
PS : Bumi beratnya lebih dari 20 kilo.. mungkin nanti pulang dari papandayan suami saya brubah jadi agung hercules karena kebanyakan gendong Bumi (atau Ibu-nya Bumi)
bikin skutel sama semar mendem?
enggak lah mbak. enggak repot, sayanya. kan, mbak Lulu yang mau bikin. bukan saya. :p
ada ya, nginfoin maksa. hahahahaha… iya deh. ditunggu info paksa2nya.
untuk urusan gendong2an biar agung hercules aja deh urusannya. saya gak berani ikut2an. serem. badannya gede gitu. hiii…
Bro buat pendakian pertama kali kesana butuh guide gak sih? Jalurnya jelas kan?
Sebenernya jalurnya jelas bro, tapi ada beberapa bagian yang bisa bikin keder, yaitu;
– Di kawah
– Di hutan mati, dan
– Di pertigaan Pangalengan-Tegal Panjang-Pondok Salada.
Menggunakan jasa guide atau enggak, masing2 punya kelebihan dan kekurangannya, misal:
Sewa guide:
– Lebih cepat sampai di tujuan, karena gak perlu tersasar di jalur, tapi…
– Harus rela mengeluarkan uang
Tanpa guide:
– Bisa tanya arah sama pendaki-pendaki lain yang kebetulan lewat/berpapasan
– Ada peluang tersesat di jalur
– Gratis. dalam artian gak perlu bayar guide
Tapi kalo ente belum pernah ke sana. Saran ane sih, lebih baik pake guide.
Lebih aman. Apalagi kalo misalnya ente bawa rombongan komersil.
Kan, bisa buat jaga nama Event Organizer (EO) ente, sekalian. 🙂
Berarti bukan gak mungkin kan bro kalo jalan sendiri(tanpa guide) tetep bisa ke tempat yg dituju. Okelah kayanya mending tanpa guide aja, toh ane rencana pergi sama temen2 ane, kalo gak nyasar ya bagus, kalo nyasar ya buat pengalaman sekalian hehe
thanks bro
Betul banget bro. Hehehe.
Your welcome.
mas bro tanggal 21 juni 2014 tutup nggak pendakian ke gn. papandayan?
waduh. saya gak mantau terus perkembangan papandayan.
coba mbaknya telp ke sini aja: (022) 2370 🙂
Di sini nih, pendakian patah hati saya *info aja
Paling seneng di Hutan Mati, kecantikan yang misterius.
Saya juga berencana mau pre-wedding di sana bersama calon, doakan saya ya 😀
*calonnya mana, Mbak?
wihhh… patah hati…
emang keren ini hutan mati untuk prewedd.
saya doakan biar jadi ya sist.
biar langgeng hubungannya. dunia akherat. aminnn…
calon saya blom tau.
mungkin nanti pas pemilihan baru ketauan.
itu juga kalo gak golput. heee… 😀
Bro, ke Papandayan gak dapet summit ya?!
emang dilarang summit waktu itu bro.
pendakian cuma boleh mentok di Pondok Salada.
gak tau kalo sekarang ya?
plus, niat kita2 emang cuma untuk males2an aja sih, secara udah beberapa kali ke Gunung Papandayan.
Haha aduh mau ketawa tapi takut kualat juga pas ke Papandayan nanti. Thanks infonya yang komplit beserta penderitaan selama perjalanan XD
hahaha. gpp, ketawa aja.
kalo emang ‘kualat’ anggap aja hiburan.
yah, macem kita2 kemaren gitu. :p
Aduh jangan sampe deh X(
hahaha. gitu ya… :p
apa tanggal 28 juni dibuka untuk pendakian gunung papandayan? menurut berita tanggal 5 mei kmarin ditutup pendakian dikarenakan status gunung papandayan lagi naik..
Dibuka atau tidaknya pendakian Gunung Papandayan tanggal 28 Juni nanti, saya kurang paham masbro–maklum, bukan area kompetensi saya.
sampeyan bisa mampir ke site ini untuk memantau perkembangannya:
http://www.vsi.esdm.go.id/
atau…
kalau butuh data yang lebih akurat, bisa langsung ditanyakan ke:
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
Jl. Diponegoro 57, Bandung – Jawa Barat 40122
Tel: +62-22-727-2606
Facsimile: +62-22-720-2761
semoga membantu
Infonya bagus. lengkap. Sangat membantu. Makasih.
your welcome masbro.
senang bisa membantu… 🙂
Thanks bro informasinya.
Kira-kira kalo naik sendirian aman ga? Ada penginapan gitu ga dibawah?
Thanks
naik sendirian menurut saya masih aman bro, karena Gunung Papandayan kan pada dasarnya memang gunung wisata. nah, kalo penginapan, saya cuma tau ini:
SARI PAPANDAYAN
Jln. Raya Cisurupan No18, Km 17. Telp. (0262)-577632/576890 Hp. 081321433915
Garut – West Java
tapi gak tau persis room rate-nya berapa, mungkin nanti bisa dicek sendiri ya.
selamat mendaki Gunung Papandayan.
Wah pas banget minggu depan gue mau ke Papandayan
Tapi mau tanya deh, sebenernya kalo tek-tok sampe Tegal Alun aja bisa ngga sih? Misal kita start dari subuh
Dan apa di sana menyediakan jasa porter, in case ada yang butuh tenda/guide (pertanyaan titipan dari Tuan Putri yang enggan bawa barang berat di sebelah gue, Red)
Nice posting, iten lengkap, tips mantep, great blog
Salam Lestari
Thanks untuk komplimennya sist.
tektok sampe Tegal Alun bisa-bisa aja, tapi fisik harus kuat. umumnya pendaki yang mau ke Tegal Alun, taro barang-barang mereka di Pondok Salada, jadi gak terlalu berat pas nanjak. seinget gw, butuh sekitar 3 jam naik-turun Pondok Salada – Tegal Alun – Pondok Salada, tergantung kondisi fisik.
kecuali waktunya emang sempit, menurut gw sayang sih, ke papandayan tektok. yah, at least itu pendapat gw sebagai seorang penikmat alam (bukan pecinta alam.)
untuk jasa porter, gw blom pernah denger. mungkin bisa dikonfirmasi sama ranger setempat pas registrasi OR coba telp ke BKSDA Garut di (022) 2370, mungkin mereka punya infonya. fyi aja, rate porter sepanjang yang gw tau rata2 100,000Rp – 150,000Rp perhari.
titip salam buat Gunung Papandayan ya
Itu bener cuma 4 digit nomernya? ngga kurang satu digit (apa dua digit)? Haha
Iya, pelarian dari Gede-Pangrango yang masih tutup sampe April padahal udah ngebayangin foto ala ala pre-wed dengan pasangan imajiner gitu. Mudah2an di Tegal Alun kesampean dengan pasangan temporary si porter atau pendaki yang lewat :S
I bookmarked this post, soalnya reviewnya komplit banget, kece!
ahaha, memble tapi kece…
pendakian gunung gede-pangrango cuma ditutup sampe 31 maret 2013 doang sist. soalnya pertengahan april (13-14) nanti gw rencana nanjak kesana. dan registrasi online-nya pun bisa digunakan kok.
pasangan imajiner? haha, mudah2an ketemu ya. aminn… :p
soal 4 digit, awalnya gw juga sangsi. tapi itu jelas2 tertulis di form registrasi. mau tau bener enggaknya? coba deh tilpun sendiri. hahaha
bukan mau ketawa di atas penderitaan orang lain, maap.. tapi saya ngakak baca tulisan di atas.. walopun cobaan bertubi-tubi menghadang, tapi dihadapi dengan santai dan ikhlas.. selamat ya masbro.. dan terima kasih ceritanya.. akhir april mau ke papandayan juga (udah ga musim ujan kan ya..) pendakian pertama saya nih.. 🙂
gpp kok sist. ketawa aja. kita bisa ketawa itu, juga hasil dari berguru sama orang gila kok, hehe. liat deh, makin mereka ketawa, makin ringan kan hidup mereka? jadi tunggu apalagi, mari kita tertawa bersama saat ini juga. kenapa harus saat ini? karena minggu depan harga naik! #eaaa… :p
sekarang2 ini, musim hujan seringkali nyamar jadi musim kemarau, begitupun sebaliknya. susah diprediksi, apalagi di gunung.
kalo mau “bales” sih gampang, pura-pura siap menghadapi hujan aja, biar cuacanya ngasih cerah. soalnya kalo pura-pura gak siap menghadapi hujan, ntar cuacanya malah ngasih ujan beneran kan repot ya. #apasih @,@
numpang baca catpernya seru jg, makasih bgt jd tau ttg dunia petualangan, scra ini jg ga sengaja tiba” nemu baca’an yg seru ini… suatu saat nanti smg sy bs singgal ke papandadayan’nya jg… th’x mas bro…
* sekali” boleh lah saiyah ikutan jalan” petualangnya… spt’nya seru sekali yah…
salam lestari
Sama-sama masbro. Mudah2an sampeyan juga bisa keliling Indonesia ya.
Kalau mau ikut, boleh2 aja, silahkan, dengan senang hati… 😀
Saya mau mendaki Papandayan tanggal 19 Januari, Ini pendakian pertama saya, terima kasih ya atas infonya, bermanfaat sekali. Mohon doanya.
wah, sama kita. pendakian pertama saya juga papandayan – tahun ’97 yang lalu. semoga pendakian papandayan ente jadi pembuka pendakian2 yang berikutnya. goodluck masbrow.
Tulisannya terperinci banget. Makasih banyak infonya kak.
Terima kasih kembali Sarah, semoga infonya membantu ya.
ane mau tanya mas bro, papandayan kalo bulan januari pendakiannye ditutup kagak ye kaya gede-pangrango. mohon infonye, thanks
tergantung kondisinye masbrow.
ada dua kemungkinan gunung papandayan ditutup untuk pendakian:
1. tutup permanen. karena kurang promosi dan kurang terawat.
2. tutup sementara.
a. karena status gunung papandayan ter-eskalasi dari status normal ke waspada/siaga (baca: erupsi)
b. karena tanah longsor (ditebing kanan dan kiri kawah – sisa erupsi 2002.) biasanye sih sering kejadian dimusim hujan nih.
c. karena kebakaran hutan.
tapi beberapa kali pengalaman ane kesono, alhamdulillah belom sekalipun nemuin gunung papandayan tutup. point 2a sama 2b paling sering jadi penyebab papandayan tutup. untuk pastinya, ane biasanya sih pantau terus media2 pemberitaan umum sebelum berangkat.
pait-paitnya nih – kalo gunung papandayan emang bener2 tutup pas ente sampe sana – melipir aje ke cikuray. gak begitu jauh kok.
nyang no.1 moga2 ga terjadi
ok dah thanks berat nih mas bro atas infonye. ntar kalo ada yg mau ane tanyain lagi, jangan bosen ya
siap. silahkan tanya2. kalo bisa, pasti ane jawab. selamat mendaki. don’t forget to keep the world Green masbro.
mas, om, atau bang neh, klo mau ke papandayan lagi, atau pendakian kemana aja, gw ikutan yak. kabar2in ya. Pin gw 32799DE9 tolong di add ya. Thank you.
terserah mau panggil apa asal jangan om, berasa tua gw jadinya, eh eh eh.
btw, ente mas/mbak nih namanya multi-tafsir?
nah, soal add2-an, bukannya ga mau add pin BB ente, tapi hp canggih macem gitu emang ga punya.
hp dengan fitur sms plus telpon udah lebih dari cukup buat gw. maklum orang prasejarah.
kalo mau ikutan boleh aja, nanti gw kontak via email.
tapi ritme pendakian udah ga kayak dulu yang uber setoran.
sekarang lebih ke penikmat alam, alias super slow.
suka2nya aja alias gak ada target pasti. yakin masih mau ikutan bro/sist?
Lokasinya biasa aja, tapi yang membuat suatu trip itu luar biasa justru kekonyolan dan nasib sial selama di perjalanan 😀
jika digabung dengan teman perjalanan yang jauh dari waras, maka lengkaplah sudah =))
hahaha… setuju kiii… :p