Lobby Hotel Santika Mataram

Lobby Hotel Santika Mataram

Lepas makan siang di Rumah Makan Taliwang, Tim Terios 7 Wonders kembali melanjutkan perjalanan ke penginapan. Kalau kalian mengikuti cerita saya dari awal, pasti tahu kan arti kata ‘penginapan’ yang dimaksud? Ya. Dan, yang beruntung menampung tampang-tampang lusuh kami kali ini adalah Hotel Santika Mataram, Lombok. Selamat! Berarti, bukan hanya label AKAP (Antar Kota Antar Propinsi) saja yang kami pertahankan hingga saat ini. Tapi juga AKAS. Antar Kota Antar Santika.

Satu jam istirahat telah berlalu. Pak Endi kembali mengumpulkan semua peserta di lobby. Kecuali panitia, kami belum tahu hendak makan di mana malam ini. “Asik nih, jalan-jalan lagi. keliling Kota Mataram malam-malam.” Bathin saya seraya menghiraukan menu makanan.

Hotel Santika Mataram – Lombok

Jalan Pejanggik No.32, Selaparang Mataram

Nusa Tenggara Barat

Telp: +62370 617 8888

Fax. +62370 617 8777

E-mail: mataram.lombok@santika.com

Yak! Malam ini rules of the game-nya diubah sedikit. Masing-masing kita kasih 50,000(Rp), silahkan cari sendiri makan malamnya,” kata Pak Endi.

Perkiraan saya salah!

Pak Agam, sang menteri keuangan, langsung sibuk membagi-bagikan lembaran uang pecahan 50,000an. Seketika saya merasa seperti anak-anak panti asuhan. Panti Asuhan Terios 7 Wonders tepatnya.

Untungnya Hotel Santika (-8.582103,116.107376) terletak persis di depan alun-alun Kota Mataram, jadi saya pikir, pasti mudah mencari jajanan murah. Tinggal menyeberang jalan, beragam pilihan pun tersedia di hadapan. Palu gada. Apa lu mau gua ada.

Saya mengitari lapangan alun-alun Kota Mataram bersama beberapa teman. Kami terbagi menjadi beberapa grup kecil. Selama seleranya senada, di grup itulah dia berada. Masing-masing grup menyebar beda haluan. Dan, target grup kami malam ini adalah ‘Nasi!”

Satu persatu pedagang di sepanjang jalan kami perhatikan. Sialnya, kebanyakan hanya menjual minuman, seandainyapun ada penjual makanan, kalau tidak mie pangsit, pasti bakso. Nasi goreng pun tak ada.

“Di depan sana kali ada,” kata seorang teman. Karena kami masih optimis, kata-katanya itu tentu terdengar manis. Yah, setidaknya sampai di ujung jalan, di mana tak ada lagi satu pun pedagang makanan.

Semua membuka mata. Lirik kanan-kiri. Mencari rumah makan yang menjual nasi. Dan hasilnya; nihil.

Tak mau menyerah begitu saja, pencarian kami lanjutkan ke arah timur, menyusuri Jalan Catur Warga. Di seberang jalan sana, tampak beberapa orang duduk-duduk santai sambil diskusi. Curiga ini warung makan yang kami cari-cari dari tadi, semua menyeberang, mendekat ke lokasi. Dan betul saja… rumah makan!

Karena kali ini modalnya hanya selembar uang pecahan 50,000an, saya tidak berani asal pesan. Semuanya harus dikalkulasi supaya tidak tanggung rugi. Terkesan pelit ya? Hahaha.

Entah bagaimana dengan kalian, tapi bagi saya, yang namanya makan itu hanya salah satu dari sekian banyak proses melangsungkan hidup. Tak perlu kenyang, yang penting lapar hilang. Itu saja cukup. Jadi, buat apa pesan makanan mahal-mahal kalau fungsinya toh sama saja.

Soal rasa bagaimana? Pasti jadi bahan pertimbangan. Tapi yang namanya baru sekali datang, siapa sih yang bisa menjamin masakan yang disajikan rumah makan tersebut enak atau tidak? Lagi pula, siapa yang mau datang ke rumah makan yang sama untuk kedua kalinya kalau sudah tahu rasanya tidak menggugah selera—kecuali terpaksa lho ya.

 

Selamat! Saya salah kamar!

Walaupun belum larut, selesai makan saya langsung mengantuk. Takut kekurangan, saya dan Wira berinisiatif mencari air mineral botolan untuk cadangan di penginapan seandainya kehabisan. Kami berpencar di lobby utama. Keluar lift lantai 2, Wira ke arah kanan, sementara saya lurus ke depan. Kesadaran yang sudah hilang setengahnya, membuat saya merasa lorong hotel ini jauhnya naudzubillah.

213… 214… 215… 216… 2…

Sambil lirik kanan-kiri, saya menghitung dalam hati. Begitu berada di antara pintu 216 (sebelah kiri) dan pintu 217 (di sebelah kanan), saya benar-benar lupa, kamar saya yang sebelah mana. Damn!

Mau masuk, kunci gak bawa. Mau telpon teman sekamar, pulsa gak punya. Mau tanya ke bagian receptionist, jauhnya kok ya amit-amit. Ah, daripada pusing sendiri, lebih baik saya berspekulasi. Dan yang beruntung saat itu adalah (bismillahirrohmanirrohim) pintu di sebelah kiri—216.

Percaya diri separuh curiga, saya mulai ketuk pintu itu. 3 kali ketukan, tak ada sahutan. 3 kali ketukan lagi, sayup-sayup terdengar suara cekikikan dari dalam. Frekwensi suaranya persis sekali dengan Uci, teman semobil di Terios 7.

Ah, pasti ngerjain gw nih,” bathin saya. Bagaimana bisa berpikiran seperti ini? Karena, dalam perjalanan menuju penginapan sebelumnya, saya dan Uci sudah janjian untuk mengerjakan ketertinggalan posting artikel kami, di kamar saya. Kami telah merencanakan untuk begadang. Nah! Karena setahu saya, Uci doyan bercanda, gak ada salahnya kan, saya berpikiran seperti tadi?

Tempat menyelamatkan muka, dari kebodohan yang gak kira-kira

Tempat menyelamatkan muka, dari kebodohan yang gak kira-kira

Merenungi "nasib" sambil memandangi masjid

Merenungi “nasib” sambil memandangi masjid

Pintu kamar 216 saya ketuk kembali. Tak ada jawaban kali ini. Entah kenapa, lama-lama emosi jiwa rasanya. “Ngantuk-ngantuk gini malah dikerjain.” Tambah yakin dengan dugaan sebelumnya, pintu kamar saya ketuk lebih kencang lagi. Pokoknya bagaimana caranya, supaya siapapun yang berada di dalam, segera keluar.

Sambil petantang-petenteng macam debt collector menagih hutang, tangan kanan saya acungkan ke pintu, sementara tangan kiri saya tolakkan ke arah pinggang. Tambahkan dengan wajah mengantuk yang di-setting garang.

Setelah 3 kali ketukan kencang, akhirnya terdengar juga sahutan dari dalam. Walaupun sayup-sayup sampai, gendang telinga saya masih jelas menerima jawabannya. “Salah kamar Mas! Salah kamar!”

What the fff…!!!

Kegagahan yang baru saya pamerkan, tiba-tiba hilang entah ke mana. Dipicu rasa malu, saya langsung ngeluyur macam ayam sayur. Kali ini saya tidak berharap penghuni kamar itu keluar. Sangat tidak berharap. Begooo!… tak henti-henti saya tertawa geli, mengutuki kebodohan diri sendiri. Ya Tuhan… saya gak salah makan kan? [BEM]