Ekspedisi Terios 7 Wonders telah memasuki hari ke-10—Oktober 10, 2013. Ritual ukur jalan sebentar lagi akan kami ulang. Sebenarnya saya geregetan ingin menceritakan soal restoran menyebalkan tempat kami makan kemarin malam. Restoran mewah (semoga saya salah) dengan mutu pelayanan sangat rendah cenderung rebah berinisial WM di bilangan Jalan Senggigi. Tapi biarlah, nanti juga bangkrut sendiri. #ehh
Pukul 07.45 waktu Indonesia tengah. Usai sarapan pagi, kami bertolak dari Hotel Santika menuju Galeri Daihatsu di Jalan Ahmad Yani, Lombok. Selain beramah tamah dengan teman-teman di sana, agenda lain yang tak boleh dilewatkan tentu saja foto bersama. Hanya sebentar. 1.5 jam saja. Setengah jam lebih lama dari Audy atau Zaskia Gotik.
Hotel Santika Mataram
Jalan Pejanggik No. 32 Kecamatan Selaparang,
Mataram – Nusa Tenggara Barat 83121
Telp.: (62-370) 617.8888
3 kabupaten harus dilalui lagi hari ini. Mulai Lombok Barat, Lombok Tengah, hingga Lombok Timur. Bila dihitung-hitung, maka jarak dari Hotel Santika Mataram hingga Pelabuhan Kayangan, Kecamatan Pringgabaya mencapai 78 kilometer, atau sekitar 1.5 jam perjalanan lancar.
Pelabuhan Kayangan tampak sepi menjelang siang. Antrian kendaraan masuk ke pelabuhan hampir-hampir cuma kami. Suasana dek penumpang pun hampir sama. Masih banyak kursi yang belum terisi. Kondisi seperti ini terbawa-bawa sampai kapal lego jangkar.
Turis kulit putih terbilang jari tangan di Kapal Motor Penumpang (KMP) Nikin yang kami tumpangi. Jumlahnya kalah jauh dibandingkan pada rute Padang Bai – Lembar. Dibandingkan dengan wisata Pulau Lombok, apakah ini berarti wisata Pulau Sumbawa kalah tenar?
Sudah 45 menit waktu terbuang tunggu penuh penumpang. Akhirnya KMP Nikin berangkat juga meninggalkan Pelabuhan Kayangan. 100 meter di sebelah kiri, KMP Munawar Lestari begitu tenang tanpa penumpang. Jauh di sebelah kirinya lagi, Gunung Rinjani tampak gagah berdiri.
Riuh pengamen baru lenyap menjelang kapal berangkat. Menyisakan penumpang dan pedagang yang rajin betul lalu lalang. Segala jajanan murah tersedia di kapal ini. Tak perlu khawatir kelaparan selama di perjalanan. Nostalgia gerbong kereta Jawa kembali nyata di depan mata saya. Hmm, nostalgia… gaya betul.
Selat Alas siang itu begitu tenang. Tak ada ombak besar yang bikin saya tiba-tiba religius seperti dulu, saat menyeberang dari Jepara ke Karimun Jawa vice versa. Kami sangat menikmati perjalanan ini.
Di sana ada yang menebar canda untuk menuai tawa. Di sini ada yang berdiam diri tengok kanan-kiri. Di samping ada yang berkeliling membunuh pusing. Di tempat lain ada pula yang mencoba-coba tidur tak sadar sudah mendengkur. Ketimbang bosan dalam perjalanan, apapun akan kami lakukan.
1.5 jam mengarungi laut tenang, akhirnya sampai pula kami di Pelabuhan Poto Tano, Sumbawa Barat. Pukul 12.40 WITA tepat. Sebuah gapura belah menyambut kami di pintu keluar dermaga. Masing-masing mewakili kabupaten yang berbeda:
Kabupaten Sumbawa Barat diwakili paruh gapura sebelah kiri bertuliskan, “Pariri Lema Bariri,” yang berarti, segera untuk dibenahi bersama. Sementara Kabupaten Sumbawa diwakili paruh gapura sebelah kanan bertuliskan, “Selamat Datang di Tanah Samawa.” Samawa adalah nama asli Kabupaten Sumbawa, juga kependekan dari Sabalong Samalewa, yang artinya, membangun secara seimbang dan serasi—antara fisik dan mental spiritual. Dunia dan akhirat.
***
Semakin lama di jalan, rasa lapar makin gampang saya lupakan. Walau ritual makan sehari bisa sampai tiga kali, entah mengapa, perasaan saya selalu mengatakan kami terlalu sering makan. Lapar belum juga hilang, sudah ditimpa lagi dengan kenyang. Sampai-sampai tonjolan tulang-tulang iga saya menyerah juga. Perut pun sama. Yang tadinya cekung, cepat berubah cembung, jauh lebih mancung daripada hidung—yang bertipe minimalis ini.
Di Jalan Raya Lintas Tano KM 77, kami melipir ke kiri, Rumah Makan Sederhana. Tapi, baru saja makanan dipesan, Handy Talkie (HT) kembali berbunyi mengisyaratkan miskomunikasi. Kami salah berhenti, seharusnya bukan rumah makan ini. Masih di depan sana, entah di mana.
Demi menjaga perasaan pemilik rumah makan, yang sudah pesan disilahkan melanjutkan. Sementara yang belum, disarankan makan di restoran yang satunya lagi, maksudnya agar tim tidak tercecer dan berkumpul kembali. Pemberitahuan ini disampaikan Pak Agam pada level suara bisik-bisik tetangga.
Kami memasuki kondisi “win-win solution.” Bagi yang lapar, bisa segera menghalau rasa laparnya. Bagi yang belum, ini kesempatan untuk mempercepat proses pencernaan, kalau perlu, langsung masuk tahap pembuangan. Sementara, untuk grup yang sudah duluan di depan sana, mereka bisa menunggu kami sambil pesan makanan. Dan semua orang senang.
***
Sholat sudah. Makan siang pun alhamdulillah. Saatnya merapatkan barisan. HT di tangan kembali dimainkan. Dua tiga kali panggilan tak juga berbalas sahutan. Barangkali baterai mereka habis, atau jangan-jangan terlalu rentang dari jangkauan, karena nyatanya memang demikian. HT tua ini hanya mampu tebar sinyal kurang dari 1 kilometer saja.
Alat komunikasi segera diganti dengan handphone. Bukan. Bukan handphone saya. Soalnya tak ada pulsanya. Cepat lowbat. Fakir sinyal pula sejak keluar dari Pulau Jawa. Pokoknya handphone itu takdirnya derita semua. Jadi, mari kita percayakan saja kepada Pak Agam.
“Deket perempatan. Gak jauh dari situ,” kata Pak Agam, seraya melalukan informasi yang baru diterimanya dari seberang sana.
Masing-masing telah siap pada posisinya, kami segera berangkat. 5 menit kecepatan sedang, perempatan yang diharapkan tak kunjung kelihatan. Tambahkan 5 menit lagi, perempatan itu belum juga kami temui. Sebenarnya itu perempatan di mana sih?
Semua orang belum patah arang. Dan sebagai imbalannya, setelah 15 menit berlalu, perempatan itu akhirnya ketemu. Iring-iringan mulai berjalan pelan sambil memperhatikan kiri-kanan, supaya tidak kelewatan. Dan voila! Di depan sana, tampaklah 2 Terios putih terparkir di pinggir kiri. Dan rumah makan ini ternyata masih cukup jauh lokasinya dari perempatan.
Sepertinya Pak Agam masih menggunakan ‘satuan’ ukuran desa. Satuan yang mengharuskan siapapun mengalikan jarak yang diucap warga setempat, dengan angka 2 atau 3. Satuan jarak yang bernada; jauh ya jauh, deket ya jauh.
Adalah Rumah Makan Leni yang berada di Jalan Pendidikan, Kecamatan Alas, Sumbawa. Makanan di sini lagi-lagi daging-dagingan. Jadi, mau tak mau, pucuk pimpinan rombongan pesan daging juga pada akhirnya. Kalaupun ada sayuran, biasanya hanya kangkung yang bikin ngantuk itu. Yah, daripada cuma nasi putih saja, ngantuk pun tak apalah. Saya rela. Setidaknya, kerongkongan vegetarian ini masih bisa merasakan sekecap nikmat dunia.
***
Hampir ashar waktu makan siang kelar. Perut yang kenyang tentu membuat perjalanan menjadi tenang. Kami melata lagi di aspal hitam Sumbawa. 1 jam 20 menit, Gapura Selamat Datang Sumbawa Besar yang mengangkangi jalan, baru kami lewati. Terus melaju di Jalan Garuda, menuju Jalan Bypass KM 3.
Di tempat ini, jejak musim kering belum juga hilang disapu hujan. Ke manapun mata memandang, yang tertangkap cuma hamparan sawah dan bukit gersang.
Kami baru melampaui Jalan Simpang Boak, melewati Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Provinsi D. I. Sumbawa. Kiranya kami baru saja memasuki sebuah desa di mana warganya dominan menggunakan otak kanan. Dari yang saya perhatikan, hampir tak ada nomor rumah yang berurutan, walau jelas-jelas bersebelahan. Entah sudah berapa banyak tukang pos gegar otak karenanya.
“Nanti kita cari peternak lebah—madu Sumbawa—sambil jalan. Kalo ada kita mampir.” Begitu yang saya ingat dari kata-kata Pak Endi. Dalam pada itu, langsung pula ditunjuk Bang Udin sebagai sing mbaurekso tanah Samawa untuk menunjukkan pada kami, ada di mana posisi peternak ini.
Sabda pandhita ratu tan kena wola wali. Titah langsung diterima tanpa banyak tanya.. Bang Udin segera meluncur ke depan meninggalkan rombongan. Sambil menunggu laporan, tim beriringan dalam kecepatan pelan.
Hampir setengah jam Bang Udin menghilang tanpa pesan. Pada salah satu ruas jalan, ia terlihat memacu mobil dari arah yang berlawanan. Informasi langsung dikonfirmasi. Hasilnya: nihil.
Demi mengobati kecewa hati, pada salah sebuah desa yang entah namanya apa, ndilalah lupa tanya, iring-iringan menyeberang ke arah kanan, memasuki tanah lapang—atas ijin kepala desa tentunya. Pak Endi butuh memperkaya video footage sebagai modal laporan begitu ekspedisi selesai.
Keramaian yang tiba-tiba praktis membuat warga desa berkeluaran. Mereka penasaran, ada apa sih gerangan?
Sementara panitia sibuk menjelaskan panjang lebar perihal maksud dan tujuan, saya dan beberapa teman, malah asyik-asyikan jeprat-jepret kiri-kanan. Persis seperti apa yang Ralph Waldo Emerson katakan:
“Never lose an opportunity of seeing anything beautiful
For beauty is God’s handwriting.”
Selain bentang alam yang indah, desa ini juga memiliki harta karun yang tak ternilai harganya. Pendidikan karakter anak-anak mereka sangat luar biasa. Bayangkan! Anak-anak ini lebih memilih menolak pemberian yang tak bisa dibagi rata di antara mereka, ketimbang saling berebutan nantinya.
“Enggak Kak. Gak usah. Daripada nanti rebutan,” begitu kira-kira jawab mereka, saat menolak pemberian mainan berupa pistol gelembung sabun dari Mumun. Memang hanya seorang saja yang menolak pemberian ini, tapi ekspesi wajah mereka semua menyiratkan jawaban senada yang tak mengada-ada. Lalu, bagaimanakah dengan kita?
Ruas jalan terbaik sepanjang road trip
Hampir pukul 18.00 waktu setempat saat kami beranjak pergi. Begitu memasuki Jalan Lintas Sumbawa, segalanya berubah gelap dan sepi. Untungnya iring-iringan selalu berkoordinasi, sambil sesekali melempar banyolan di sepanjang perjalanan. Walau kadang terasa garing, yang penting sepi hilang, kekompakan datang.
Dalam gelap, 3 ekor sapi tampak rileks beriring-iringan. Bukan di tepian, tapi di tengah jalan. Sepertinya mereka khilaf mengira dirinya kendaraan roda empat, padahal cuma binatang ternak berkaki empat. Tapi tak apa, kali ini saya maafkan mereka bertiga, asal mau berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Hal ini sekaligus menjadi isyarat pembuka agar kami selalu waspada di Jalan Lintas Sumbawa. Siapa tahu di depan sana, masih banyak khilaf-khilaf lainnya.
“Hati-hati! Hati-hati! Ada lampu gak ada motornya!” Toni, yang berperan sebagai voorijder, tiba-tiba mengisyaratkan tanda bahaya.
“Monitor!” jawab seorang teman begitu seriusnya, mewakili enam mobil di belakang. Semuanya begitu khusyuk. Tanda isyarat bahaya sempurna diterima.
Sementara saya, bingung dibuatnya. Antara harus tertawa, atau pura-pura tidak tahu saja, kalau sebenarnya aba-aba Toni tadi terasa ganjil di telinga. Ada lampu? Gak ada motornya? Lah kok bisa? Kayak ada yang salah, tapi di mana ya? Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini bahkan tak tergapai IQ saya.
Indikator jarak tempuh Terios 7 persis menera angka 2623 saat 2 ekor kuda milik warga melintas pada ruas jalan yang berlawanan arah. Warnanya yang coklat hampir-hampir membuat keduanya tak terlihat, tersamar dengan kondisi jalan yang begitu gelap. Tak ada pemiliknya. Hanya mereka berdua.
Berdua. Gelap-gelapan. Yang ketiga pasti setan.
***
“Ini jalannya lebih bagus dari pada Sirkuit Sentul.” Boski buka suara.“Serius Ki?”
“Serius. Liatin aja tuh,” katanya lagi, sambil menunjuk ke arah depan. “Jalanannya mulus banget. Aspalnya keras. Ban nge-grip, gak slip.”
Terus terang saya belum pernah berkendara di lintasan Sirkuit Sentul, jadi belum bisa membedakan antara aspal Jalan Lintas Sumbawa, dengan aspal Sirkuit Sentul. Tapi, untuk kondisi jalan Lintas Sumbawa ini, kata-katanya tadi saya amini. Aspalnya memang tak bergelombang, hitam pekat, dan mulus, seperti baru keluar dari bungkus.
Saya memang bukan ahli aspal, tapi kalau mau membanding-bandingkan kondisi jalan, mulai dari Sawarna hingga Sumbawa, baru kali inilah saya temui ruas jalan dengan kondisi yang sangat baik.
Konturnya meliuk-liuk di antara kaki bukit dan tepi laut. Kadang naik, tak jarang pula turun. Membelah lebatnya hutan. Para adrenaline junkie pasti suka sekali menjajal jalur ini dengan kecepatan tinggi. Saya pun demikian. Bukan. Saya bukan adrenaline junkie. Ini murni supaya dikira keren saja. Aslinya sih penakut. Wong pernah, ban belakang saya selip sedikit di tikungan, traumanya itu gak hilang-hilang. Mungkin ada 1-2 bulan.
Dengan modal tahunan pengalaman di arena balap slalom dan 2 sertifikat safety riding, Boski senang berbagi pengetahuan. Mulai dari istilah-istilah teknis, teori perbedaan cara mengemudi, sampai ke praktek racing line di tikungan—yang ia peragakan. In a safety manner tentunya.
Handling Terios pun terasa mantap melalap tikungan 45-80 derajat pada kecepatan 60-80 km per jam. “Gak ngebuang/melintir,” katanya.
Pada speaker HT, Toni tiba-tiba teriak penuh semangat. “Serasa di Monaco!”
Sementara Uci, yang sedari tadi ikut mendengarkan, lama-lama kewalahan mencerna informasi-informasi teknis yang baru disampaikan Boski. Sebagai akibatnya, muallah dia.
Kabar yang segera dilalukan kepada ketua rombongan, langsung dikonfirmasi. Mereka akan tunggu kami di lokasi yang memungkinkan untuk berhenti. Di tengah hutan, Terios 7 langsung menepi ke kiri jalan. Tak mungkin ke kanan, kan, jurang. Uci segera saja menggunakan kesempatan ini untuk menumpahkan segala uneg-unegnya. Dalam format cair. Yah, campur ampas-ampas sedikit lah.
Di Desa Banggo, Kecamatan Manggalewa, kami bertemu kembali dengan rombongan yang telah menunggu. Saat itu, segala perhatian langsung tercurah untuk Uci seorang. Pokoknya dia mau apa, tinggal sebut saja, langsung tersedia. Belum terlalu malam waktu itu, baru pukul delapan.
Rehat 15 menit telah dianggap cukup. Rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Melata di Jalan Lintas Sumbawa – Manggalewa. Setelah puluhan kilometer ditempuh, akhirnya kami temui juga lampu merah pertama—pada pukul 20.48 malam. Pada Jalan Soekarno Hatta No. 26, 1 kilometer dari batas Kecamatan Dompu, rombongan kembali menepi. Bukan karena Uci. Tapi lebih karena kami semua harus segera menunaikan kewajiban makan malam secara kekeluargaan, sebelum menuju penginapan—Aman Gati Hotel—yang masih 71 kilometer lagi jauhnya. [BEM]
Wah tournya dari mana kemana nih? Seru banget kayaknya, pengen foto siluet sama kuda juga. Rencana tanggal 17 besok mau bersepeda onthel dari jawa sampai ende. Ini tulisan cocok buat nambah wawasan medan selama perjalanan nanti. Thanks 🙂 Salam jalan-jalan.
waktu itu, kita road trip dari Sawarna sampai Labuan Bajo ‘doang.’
Wah, keren itu! saya doain rencananya terlaksana dengan sukses dan berhasil, Bro!
Bisa jadi satu buku sendiri, tuh, perjalanannya. 🙂
Salam.
Wah itu mah nggak pake “doang” udah awesome.
Oke, thanks. Amiin. 🙂
RM Leni atau sering disebut Warung Leni dekat dari rumah saya, jadi kangen sma rumah ni, hehe 😀
wah. simplyindonesia kedatangan teman asli Sumbawa nih, rupanya. hahaha.
salam kenal masbro. 😀