Tari Gendang Beleq, Tari Peresean, serta tari-tarian tradisional khas Lombok lain yang dipentaskan seorang bocah usia sekolah dan Amaq Temenges, baru saja usai. Sebagai penutup rangkaian kegiatan, panitia penyambutan mengajak Tim Terios 7 Wonders menjelajahi desa tradisional mereka—Desa Sade, Rembitan.
“Yak selamat siang, Mas, Mbak. Di Desa Sade Rembitan ini ada 150 rumah. Seluruh penduduknya adalah Suku Sasak Lombok. Ada 700 orang yang tinggal di sini. Dan dari yang 700 itu, (seluruhnya masih) satu rumpun keluarga. Satu keturunan. Satu saudara. Masih (menikah) sama misan dan sepupunya.” Pemandu kami membuka perkenalannya tanpa menyebutkan nama. Mungkin ia titisan William Shakespeare dalam wujud yang berbeda. Yang masih saja berpendapat tentang apalah arti sebuah nama.
Menurutnya, sistem pernikahan yang berlaku di desa ini menganut azas culik. Sebuah sistem kawin lari yang dianggap romantis oleh teman saya Mumun, yang saat itu juga ikut mendengarkan penjelasannya.
Tak perlu ritual lamar-melamar, selama sudah terjalin rasa suka sama suka, bawa kabur saja anak gadisnya (Merariq). “Makanya, orang tuanya, setuju gak setuju, kalo anaknya sudah diculik, harus dibawa kabur lari,” jelas pemandu kami.
“Tapi setelah kawin, mereka balik?” tanya Bang Ucok.
“Nanti ada proses-proses lebih lanjut di masyarakat Suku Sasak,” terangnya lagi. Yang jelas, apapun “proses selanjutnya,” akhirannya pasti Kantor Urusan Agama (KUA).
Pernikahan di Desa Sade tidak dibatasi hanya dalam lingkup desa saja. Siapapun boleh menikah dengan orang di luar perkampungan Sasak. “Tapi itu maharnya lebih mahal. Pake 2 atau 3 kerbo, Mas.”
Pekerjaan mayoritas Suku Sasak Sade adalah petani. Dalam setahun, panen hanya bisa dilakukan sebanyak satu kali. Tak ada sistem irigasi di desa ini, karenanya pula sawah ladang garapan mereka hanya mengandalkan air hujan—sistem pengairan tadah hujan. Sementara, sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pokok begitu masa panen berakhir, mereka biasanya melakukan pekerjaan sampingan; Menenun.
Kampung yang seluruh masyarakatnya beragama Islam ini merupakan induk dari 9 perkampungan Sasak yang ada di luar (Desa Sade).
Bagi yang baru menikah di Suku Sasak, mereka diharuskan membuat rumah di luar, karena lahan kosong yang bisa digunakan untuk pembuatan rumah baru tak lagi tersisa. “Makanya cuma 150 rumah yang akan tetap berdiam di sini. Sedangkan yang lainnya, nanti akan buat rumah di luar.” Sang pemandu menerangkan.
“Dan, yang Mas-mas dan Mbak-mbak duduki ini adalah merupakan bale pertemuan kami Suku Sasak, yang namanya Berugak Sekenam. Selain sebagai tempat pemecahan masalah, Berugak Sekenam ini juga digunakan kalo ada acara ijab kabul pernikahan di Suku Sasak dan sunatan.”
Dan saya baru sadar, kalau kami belum beranjak pergi dari bale ini sedari tadi.
“Mas, namanya siapa?” lama-lama saya penasaran juga dengan identitas asli Mister X ini.
“Saya Hariyadi, Mas,” katanya.
“Mas asli sini—Desa Sade?”
“Iya. Saya asli sini.” Kali ini frekuensi suaranya mengingatkan saya pada seorang da’i kondang. Ustad M. Nur Maulana.
***
Kami mulai menyusuri gang-gang sempit desa Sasak. Banyak yang menyambi berdagang cinderamata di area depan desa, mulai dari gelang, kalung, gantungan kunci, apapun. Pokoknya, selama ada aroma tradisional, itu yang mereka jual.
“Ini bukan (lantai) semen, tapi tanah liat asli,” tutur Hariyadi memecah sunyi, seraya menunjuk ke lantai rumah-rumah tradisional yang kami lalui. “Ini adalah bentuk penyimpanan padi Suku Sasak. Lumbung padi. Yang merupakan simbol dari Pulau Lombok. Dan ini dipake 5-6 keluarga satu lumbung padinya.”
Tak ada ketentuan perihal keluarga mana saja yang boleh mengokupasi satu lumbung padi. Selama masih cukup, mereka boleh ikut. Penempatan hasil ladang dalam lumbung pun dibebaskan, karena sistem yang diterapkan bersifat kekeluargaan. “Makanya untuk ukuran padinya mereka gak dibebanin, misalnya si A sudah habis padinya, nanti si B-nya masih ada sisa-sisa sedikit, nanti mereka bagi rata juga.”
Walau hasil panen yang setahun sekali itu tidak terlalu banyak—6-8 karung—masyarakat Suku Sasak tetap menyimpannya di dalam lumbung. Begitu persediaan di rumah telah habis, barulah mereka mengambil sisa simpanan di lumbung.
Yang boleh mengambil simpanan pun hanya kaum perempuan saja. Kaum lelaki tidak diijinkan. Pantangan. “Mereka juga punya pantangan-pantangan tersendiri,” terang Hariyadi. Ia menambahkan, “pantangannya seperti, ya, kalo yang laki-laki yang naik itu, nanti dikirain mungut (simpanan panen) yang lainnya. Makanya, yang perempuan kan dia yang sudah tahu. Makanya yang di atas itu yang nyimpen (dan ngambil) yang perempuan. Naiknya pake tangga.”
Pernikahan dalam Suku Sasak
Kembali ke masalah pernikahan dalam Suku Sasak. Setelah proses Sejati, proses selanjutnya adalah Nyelabar atau Selabar. Nyelabar adalah pemberitahuan kepada kedua orang tua si gadis, bahwa anaknya tadi malam dilarikan untuk diajak menikah. Tujuannya, agar pihak keluarga perempuan tidak merasa was-was mengetahui anaknya telah hilang dari rumah.
“Bangunan yang bentuknya kecil seperti ini, namanya Bale Kodong, Mas, Mbak, ya.” Kata Hariyadi. “Dan Bale Kodong seperti ini digunakan oleh pengantin pria dan wanita kalo dia selesai ijab kabul. Ya, dalam arti sebagai tempat honeymoon-nya juga Mas.” Ia melupakan ‘Mbak.’
“Ooooo…!” Dengan ekspresi nakal semua yang mendengar baku lirik.
“Makanya Mas, sama Mbak, kalo menikah sama Suku Sasak, nanti honeymoon-nya di dalam. Biasanya sih 4 hari. Paling lama 4 hari.”
“Ada yang lebih lama lagi?” Pertanyaan ‘pancingan.’
“Gak ada,” jawabnya, sambil tertawa-tawa. Tiba-tiba saya curiga, jangan-jangan dia pelakunya.
“Kalo kurang dari 4 hari?”
“Kurang dari 4 hari gak papa. Bisa 3 hari. 2 hari. Gak papa.”
“Itu simbol, apa memang harus?” tanya Bang Ucok.
“Memang harus. Biar gak ada yang gangguin gitu di dalam.”
“Dijagain gak?” Imajinasi liar melambari tanya nakal peserta lain.
“Hahaha…! Enggak dijagain. Makanya lampunya juga gak ada di dalam. Cuma ada di luar lampunya.”
Ah… cukup ya, bahasan Bale Kodong-nya. Takut kepingin.
Jadi, kalau kita runut, maka proses ritual pernikahan Suku Sasak Lombok akan tampak seperti ini:
- Sejati. Dilakukan setelah merariq (‘menculik’ si gadis). Pada tahap ini, pihak keluarga pria wajib memberitahukan kepada kepala desa/dusun perihal penculikan yang telah dilakukan anak laki-lakinya, melalui perwakilan keluarga yang telah ditunjuk—Pembayun. Kemudian, kepala desa/dusun, menyampaikan perihal ini kepada pihak keluarga wanita.
- Selabar. Pada tahap ini, keluarga pria, kepala desa, dan keluarga wanita berkumpul untuk mengkonfirmasi kebenaran berita yang telah diterima pada proses Sejati sebelumnya. Di sini pihak keluarga wanita berhak mengajukan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh keluarga calon mempelai pria, sekaligus menentukan waktu pernikahan setelah persyaratan-persyaratan yang diajukan tersebut diterima.
- Sorong Serah. Bentuk implementasi dari ritual Selabar yang sebelumnya telah dilakukan secara verbal. Tahap ini merangkum prosesi ijab kabul dan segala inti acara pernikahan.
- Nyongkolan. Begitu ketiga ritual di atas selesai dilaksanakan, kedua mempelai akan diarak keliling kampung. Tujuannya untuk memperkenalkan pengantin baru ini ke masyarakat, terutama pada kalangan kerabat dan masyarakat di mana mempelai wanita tinggal.
Pemintalan benang
Kami beruntung karena mendapati seorang nenek (papuk nine) sedang memintal benang di depan rumahnya. Bahan kapas pembuat benang ini merupakan hasil tanam di ladang. Dari sekian banyak jumlah masyarakat, hanya sekitar 8 orang saja yang menanam pohon kapas—untuk kebutuhan 1 kampung.
“Nanti yang punya kapas itu (minta tolong pemintalannya untuk) dikerjakan sama beliau.” Hariyadi menunjuk sang nenek yang tengah sibuk memintal. “Benang yang dari kapas itu diproduksi secara bersama-sama (menjadi kain). Mereka jadikan bentuk tenunan juga secara bersama-sama.”
Proses pemintalan dimulai dengan membuang biji-biji kapas, yang dilanjutkan dengan tahap penyaringan. Setelah semua tersaring lebih halus, dalam satu ukuran tertentu, kapas-kapas tadi dipisah-pisah menjadi beberapa gumpal yang siap untuk dipintal. Setelah menjadi benang, satu gulungan benang hasil pintalan ini biasanya disebut dengan satu tokal.
“Se-tokal lah bilangnya. Kalo meterannya, sekitar 2 meteran lebih Mas. Tapi, itu yang dipanjangin. Kalo satu per satu bisa lebih panjang lagi.” Hariyadi melanjutkan, “baru nanti setelah jadi benang, mereka itu di masyarakat Suku Sasak, mereka kasih pewarnaan. Warnanya juga mereka bikin dari warna alami. Ada mereka bikin dari tumbuhan, dari dedaunan, ada juga dari kulit kayu. Nama alatnya Arah.”
“Kalo yang itu namanya apa?” saya menunjuk ke arah alat pintal.
“Ya’ kaparan bai’?” Ia teruskan pertanyaan saya dalam Bahasa Sasak, kepada papuk nine yang sedang memintal.
“Ajo!” jawab sang nenek separuh teriak sambil menyisir mata Hariyadi, berakhir pada mata saya.
“Kalo yang ini, Ajo namanya.” Hariyadi mengulang. Khawatir pendengaran saya kurang.
Kotoran kerbau pun cukup
Bangunan tradisional di Desa Sade hampir sama bahan pembuatannya dengan rumah-rumah tradisional di daerah lain. Dinding anyaman bambu, pintu dari kayu, dan atap-atap dari jerami, rumbia, atau daun-daun kelapa. Bahkan sampai lantainya pun sama. Dari tanah (liat) juga. Bedanya, lantai rumah di desa ini telah dicampur dengan sekam padi.
Bagi kita, yang namanya kotoran binatang itu, standarnya digunakan sebagai pupuk tanaman, atau dibuang. Namun tidak demikian di Desa Sade. Kotoran binatang—khusus kerbau—digunakan sebagai campuran air pembersih lantai.
“Mungkin di tempat Mas atau Mbak ngepel-nya pake Superp**l atau Wip*l. Tapi, kalo di masyarakat Suku Sasak itu, ngepel-nya pake kotoran kerbo yang baru keluar dari rice cooker-nya. Itu sebagai pengendap debunya.”
Tolong kalian garis-bawahi, “RICE COOKER.”
“Kenapa dipilih kotoran kerbau?”
“Ya, kalo pake air kan nanti lebih gampang kering. Dan juga nanti kan bikin lecet (licin, kemudian luka terpeleset?) juga gitu. Nah, kalo kotoran kerbo itu dia menempel dan mengendap. Jadi, supaya lebih padat, lebih keras aja. Memang di masyarakat Sasak, kalo ada acara adat juga, mereka ngepel-nya tetep pake kotoran kerbo.”
Topik pembicaraan tiba-tiba berubah arah. Ia mulai menjelaskan perihal kamar tidur anak gadis Desa Sade. Bagaimana kamar tidur itu juga berfungsi sebagai kamar melahirkan. Sambil tak lupa mempersilahkan kami ‘menjelajah’ ke dalam salah satu rumah yang entah siapa nama pemiliknya, hingga ke bagian dapurnya. Tapi, baru sebentar beredar saya kembali ke luar. Maksudnya tentu saja untuk bertanya. Dan alhamdulillah-nya, pemandu kami telah tiada. Pergi entah ke mana. [BEM]
Well, gw pernah denger juga Bem, bahkan nonton di TV yg tentang penculikan mempelai wanita. Lalu, apakah wanitanya nggak tau kalo malam itu bakal diculik pengantin prianya?
Yg gw baca cuma pihak keluarga wanita dan kepala desanya aj.
Lalu yg ngepel pake tai kebo, apakah mereka berpikir yg penting lantai ga licin, bukan jadi bersih?
“It’s not just about the destination, but the journey”
Sayangnya, gw lupa tanya waktu itu Jos, soal wanitanya tau apa enggak.
Cerita soal cuma pihak keluarga & kepala desa aja yang tau aja, gw malah baru tau ini.
Nah, untuk yang tai kebo, itu tentang budaya dan apa yang sudah lama mereka yakini di sana.
Kadang, apa yang kita kira baik di suatu tempat, belum tentu dianggap baik di tempat lain. Bukan begitu?
informatif sekali, sukses 🙂
ini yang namanya “bilik bercinta” hahhhaa,,,kya yang diminta istri salah satu tahanan K*pK #eh……
wah. iya ya. bilik bercinta. saya kok gak kepikiran sih. #ea