Menghadapi dinginnya gunung, ini cara saya...

Menghadapi dinginnya gunung, ini cara saya…

Banyak teman yang bilang, saya ini tipe pendaki belagu. Naik gunung selalu hanya menggunakan pakaian seperlunya, dan tak pernah menggunakan sleeping bag pula ketika waktu istirahat tiba, padahal dinginnya naudzubillah.

Kalau boleh jujur, seharusnya bukan belagu, sih. Lebih tepatnya memang gak punya, masak mau maksa bawa juga.

Kenapa gak pinjam teman?

Boleh sih, tapi… “Tuker pinjem sama keril luh, ya,” katanya.

Lah! Terus saya pake apa? Karung?

Meminjam suatu barang kepada teman itu bisa dibilang susah-susah gampang. Contohnya, ya itu tadi. Karena itulah, saya putuskan untuk membeli sleeping bag juga pada akhirnya.

Sleeping bag merek Meuter sudah di tangan. Yang bisa dilakukan berikutnya tentu saja, Packing—karena keril telah siap. Masukkan sleeping bag yang baru dibeli ke kompartemen bawah. Kamera dan kroni-kroninya di kompartemen atas. Rapikan resleting. Selesai.

Lalu, pakaian, jaket, peralatan hiking, logistik, dan lain-lain, ditaruh di mana?

Oh, iya ya…

Masalah baru, muncul. Saya tidak memperhitungkan ukuran sleeping bag yang begitu banyak memakan tempat. Akhirnya, terpaksalah bongkar kembali kompartemen bawah, karena kompartemen atas sudah tidak mungkin diutak-atik lagi. Penuh terisi peralatan dokumentasi.

Bertahun sudah, saya menganut paham light hiking, karenanya ukuran keril saya pun relatif kecil—34 liter. Karenanya pula, saat musim pendakian tiba, saya harus pandai-pandai memilih antara barang-barang mana saja yang harus dibawa, dan barang-barang mana pula yang bisa dititipkan ke teman-teman lain. #eaa

Sleeping bag saya keluarkan dari kompartemen bawah. Satu per satu pakaian dan aksesoris seperlunya saya masukkan ke dalam keril, hingga kompartemen bawah terpadati. Rapikan resleting, dan packing pun selesai (lagi).

Tapi sekarang, masalah berganti. Sleeping bag saya tidak bisa dimasukkan.

Akhirnya, daripada bongkar-bongkar lagi, saya putuskan sleeping bag ini disimpan di lemari saja. Masalah selesai. Sebagai alternatifnya, saya pinjam kembali sleeping bag milik seorang teman—yang berukuran lebih kecil. Untungnya boleh, “Tapi, tuker pinjem sama keril luh, ya?”

Lah! Dia lagi.

***

Dari intro di atas, kelihatan ya, saya punya sleeping bag dan jaket gunung, yang, walaupun gak sophisticated- sophisticated amat, tapi cukup hangat. Masalah saya hanya terletak pada kemalasan membawa peralatan mendaki gunung yang memakan banyak ruang keril—dalam kasus saya, sleeping bag.

Sejak pertama kali dibeli, hingga saat ini, sang sleeping bag tak pernah terpakai sama sekali. Setelah bertahun-tahun, mungkin sekarang ia telah berubah menjadi sebuah benda pusaka yang terlalu keramat untuk sekedar dibawa ke mana-mana. Ia hanya boleh keluar pada saat terpaksa. Dalam artian, abang butuh uang, barang melayang.

Pertanyaannya: Kenapa sejauh ini, hanya sleeping bag saja yang saya titik beratkan?

Karena, sejauh dan selama apapun kita mendaki, sleeping bag jelas memegang peranan yang amat vital saat kita istirahat menutup hari—selain tenda dan pakaian hangat lain tentunya.

Saat ritual mendaki gunung, “Hope for the best, plan for the worst,” adalah salah satu prinsip yang selalu saya pegang. Berkaitan dengan suhu dingin, “Plan for the worst” saya adalah dengan mempersiapkan diri, menanam mindset ‘Tarzan’—mampu bertahan hidup di dinginnya hutan walau hampir telanjang—bahkan jauh hari sebelum ritual pendakian dilaksanakan.

Tujuannya, agar otak dan tubuh saya dapat menerima kondisi dingin gunung, seperti halnya saat saya berada di rumah. Di gunung, tapi feels like home. Dan mindset Tarzan inilah yang nantinya akan saya jadikan sleeping bag pengganti.

Lalu, bagaimanakah cara saya mencapai target tersebut? Ini dia langkah-langkahnya:

 

Memulai sejak dari rumah

Kata orang, “Pendidikan dimulai dari rumah.” Karenanya, saya pun memulai ‘pendidikan’ ini dari rumah. Alat-alat yang dibutuhkan cukup sederhana, dan selalu tersedia di rumah, jadi tak perlu lagi keluar uang. Cuma butuh sedikit kreatif. Dan, alat-alat itu adalah:

  • Kipas angin. Untuk simulasi angin gunung, sekaligus sedikit menurunkan suhu ruangan (kamar tidur). Kipas angin diatur pada putaran tertinggi.
  • Tikar. Untuk alas tidur, dari pinggang ke atas. Pinggang ke bawah, biarkan saja menyentuh lantai.
  • Ubin (kosakata klasik untuk lantai). Pada malam hari, lantai rumah akan menjadi dingin, sehingga cocok untuk mensimulasikan suhu dingin gunung, yang biasanya merambat dari telapak kaki.

Bagaimana cara menggunakannya? Ya, tidur saja menggunakan ketiganya setiap malam menjelang. Gampang kan? Lebih bagus lagi, kalau ada exhaust fan, atau pendingin ruangan (AC), sehingga simulasi aklimatisasi yang kita lakukan menjadi lebih optimal.

Di sini, saya sengaja tidak menyalakan pendingin ruangan. Karena apa? Karena saya gak punya. Sebagai solusi alternatifnya, saya biasa ‘memanfaatkan’ AC kantor, mall, teman, tetangga, dan lain sebagainya. Jadi, di manapun ada kesempatan (AC), di situlah waktunya latihan.

Pada titik ini hingga selesai masa pendakian nanti, sejatinya saya sedang merekayasa otak agar bisa menerima ‘standar’ baru, yaitu suhu dingin. Karena itulah, sensasi dinginnya harus dinikmati dan tidak boleh dilawan. Sebab kalau tidak, hasil akhirnya akan sama saja seperti tidak melakukan latihan ini.

Mindset, saya kondisikan untuk bisa menerima hawa dingin ini sebagai suatu hal yang biasa, sebagaimana saya terbiasa dengan suhu kota.

Kombinasi lain yang bisa dilakukan adalah mandi pada waktu-waktu, di mana suhu air bak mandi telah menjadi lebih dingin—biasanya antara pukul 01.00-04.00 pagi. Kadang saya tambahkan dengan tidur bertelanjang dada. Sebenarnya, sekalian ronda, lumayan juga, selain keamanan kampung terjaga, saya juga bisa dapat pahala. Tapi tidak saya lakukan, kampung saya agak seram, bekas gusuran kuburan, takut jumpa mbak kunti atau mas genderuwo.

 

Dalam perjalanan

Perjalanan ke luar kota biasanya membutuhkan waktu selama berjam-jam. Lamanya waktu tempuh ini, seringkali saya manfaatkan untuk mensimulasi aklimatisasi—dengan memanfaatkan sumber dingin yang banyak tersedia, entah itu dari alam (Angin Cuek), maupun buatan (Air Conditioner). Tentu saja, biaya yang dikeluarkan untuk menikmati masing-masing tipe ini berbeda-beda. Di mana tipe pertama lebih murah, sementara tipe kedua lebih mahal.

Agar hasilnya lebih optimal, bila memungkinkan, saya akan memilih kendaraan yang memiliki jenis AC kedua—Air Conditioner. Karena, selain besar-kecil debit udara dinginnya bisa kita atur sendiri (kecuali kendaraan dengan AC sentral), kendaraan umum berfasilitas AC, normalnya akan melarang siapa saja merokok di dalam kabin kendaraan tersebut – walaupun tidak selalu begitu pada kenyataannya. Pelanggarnya biasanya hanya orang-orang bodoh ignorance yang kampungan, yang senangnya mengambil hak orang lain secara dzalim. #CurhatColongan

Supaya rekayasa aklimatisasi ini berjalan dengan mulus, saya mengatur debit dingin AC secara gradual, hingga ke titik yang sedikit lebih dingin (tidak nyaman) ketimbang yang bisa diterima tubuh saya.

Maksudnya bagaimana?

Begini, diasumsikan, batas nyaman temperatur yang bisa diterima tubuh saya adalah pada suhu 21 derajat celcius. Maka, berkaitan dengan kasus ini, saya akan menurunkan temperatur AC-nya ke level 20 atau 19 derajat celcius. Pada kondisi di mana, tubuh saya menjadi sedikit tidak nyaman.

Pada transportasi umum, tentu sulit untuk mengetahui derajat celciusnya, apalagi kalau jenis AC-nya adalah AC sentral, di mana semua pengaturan dilakukan dari kontrol panel pengemudi. Kalau kasusnya seperti ini, cara mengakalinya, ya, tinggal bermain ‘rasa’ saja, dengan pakai-lepas jaket sebagai alternatif pengontrol suhunya.

 

Saat pendakian

Tidak semua kaki gunung bersuhu dingin, contohnya seperti Gunung Tujuh, di Jambi, dan Gunung Rinjani, di Lombok. Namun demikian, tak sedikit juga yang suhu dinginnya sudah terasa sejak kita berada di kaki-kaki mereka, seperti misalnya Gunung Semeru, di Malang-Lumajang dan Gunung Gede di Bogor.

Dari yang saya perhatikan, beberapa orang akan langsung menggunakan pakaian hangat (jaket, sweater, kupluk, dan lain sebagainya), begitu mereka tiba di lokasi pertama (pos registrasi) pendakian. Alasan terbesarnya, tentu karena dingin.

Apa yang mereka lakukan tidak salah, itu sudah menjadi naluri alamiah, saya pun kadang melakukannya. Tapi, khusus untuk perjalanan mendaki gunung, naluri tersebut sering saya kesampingkan, terutama untuk gunung-gunung yang memang terkenal dingin.

Kebiasaan saya adalah menghindari langsung menggunakan pakaian hangat. Tujuannya untuk mengeskalasi tahap simulasi aklimatisasi yang sebelumnya telah saya lakukan, ke level aklimatisasi sesungguhnya. Dengan peralihan bertahap dan halus seperti ini, hasil akhir yang diharapkan tentu saja peningkatan daya tahan tubuh saya terhadap suhu dingin gunung yang akan didaki.

Alasan lain menghindari penggunaan jaket selama proses pendakian—menuju basecamp/camp site—adalah, mengurangi pembakaran kalori secara berlebih, yang karenanya pula dapat menghemat tenaga. Beban (keril dan seisinya) yang dibawa saat mendaki gunung, ditambah jarak tempuh yang relatif jauh, saya anggap cukup untuk menghangatkan tubuh. Dan tak lupa, banyak minum untuk menjaga agar tubuh tidak dehidrasi.

 

Di basecamp/camp site

Aktifitas gerak di basecamp/camp site/ camping ground—setelah mendirikan tenda—biasanya tidak terlalu banyak. Paling banter, mengambil air ke sumber air. Itu pun, kalau sumber airnya terletak cukup jauh.

Tidak banyak gerak sama artinya dengan penghematan kalori. Sayangnya, penghematan kalori ini juga berdampak pada suhu tubuh yang semakin menurun. Bila sudah begini, sumber ‘penghangat’ tubuh internal satu-satunya yang tersisa hanyalah mindset Tarzan seorang.

Namun untuk bisa memanfaatkannya dengan kekuatan penuh, tubuh saya haruslah fit 100 persen. Karena, berdasarkan pengalaman, tubuh yang tidak fit membuat pikiran saya sulit untuk berkonsentrasi, sehingga mengakibatkan fokus otak terbagi-bagi, antara ‘memperhatikan’ bagian tubuh yang sakit, atau pencapaian mindset Tarzan tadi.

Dalam takaran ringan, tubuh yang tidak fit bisa mencaplok porsi konsentrasi yang cukup besar—antara 25-50 persen. Bila kondisinya seperti ini, saya pilih untuk segera menggunakan pakaian hangat, dan berlama-lama di tenda, karena olah mindset yang saya lakukan, seberapapun kerasnya, hanya akan berujung pada sia-sia.

Apalagi, bila kondisi tidak fit (kondisi yang mengindikasikan gejala akan jatuh sakit) ini diperparah dengan datangnya sakit betulan, seperti meriang, flu, sakit kepala, dan lain-lain. Maka, dijamin 100 persen, mindset Tarzan tidak lagi bisa saya gunakan. Dengan kata lain, olahraga pikiran ini akan gagal bila salah satu dari ketiga penyebab di bawah ini terjadi:

  • Kondisi tubuh yang tidak fit/drop atau sakit
  • Terlalu lelah, sehingga kesadaran berangsur menurun
  • Kegiatan fisik sama dengan nol, atau tidak ada sama sekali. Seperti pada saat mengantuk atau istirahat tidur malam sampai dengan 1 jam setelah bangun pagi di keesokan hari.

 

Tips

Sedikit tips dari saya berkaitan dengan pakaian hangat, khususnya kaus kaki dan sarung tangan. Usahakan tidak berlebihan memakai keduanya, terutama saat tidur di malam hari. Karena, lapisan kaus kaki dan sarung tangan yang terlalu tebal dapat mengganggu peredaran darah.

Selain dapat menyebabkan kram, aliran darah yang terganggu dapat membuat bagian telapak kaki dan tangan lebih cepat merasa dingin, karena suhu hangat dari bagian tubuh lain, yang seharusnya mengalir melalui darah, tidak terdistribusikan dengan baik ke bagian-bagian tersebut.

***

Bila kalian memperhatikan artikel ini sejak awal, tentu kalian tahu, kan, di mana letak ‘kekuatan’ saya dalam menghadapi dingin saat mendaki gunung? Ya. Pengaturan mindset adalah senjata utama saya. Saya lebih senang menitik beratkan pada optimalisasi kemampuan internal, ketimbang bergantung pada faktor eksternal. “If you can dream it, you can achieve it,” kata Criss Angel.

Yang terakhir dan tak kalah penting—selama proses persiapan sampai dengan kegiatan pendakian selesai—adalah, mengutamakan istirahat yang berkualitas dan cukup. Mana enak mendaki gunung dalam keadaan sakit, ya kan?

 

CATATAN:

  • Persiapan mengatasi dingin ini, biasa saya lakukan mulai H-30, H-7, atau H-3. Semakin jauh rentang waktunya, tentu akan semakin baik hasil akhirnya.
  • Semua proses ini lebih mudah dilakukan dalam keadaan fit. Sebab kalau tidak, tubuh akan mudah terpapar sakit, seperti masuk angin, gangguan pencernaan, pusing, dan lain sebagainya.
  • Cara saya menghadapi dingin saat mendaki gunung ini adalah berdasarkan pengalaman pribadi dan hanya berlaku sebagai hiburan dan informasi. Saya sangat tidak menyarankan kalian untuk mencobanya. Karena apa? Ya, capek aja. Hehe. Salam. [BEM]