Pantai Karang Hawu

Pantai Karang Hawu

Kami memasuki hari kedua (Oktober 2, 2013) ekspedisi Terios 7 WondersHidden Paradise. Perjalanan ratusan kilometer menuju Desa Sawarna, sehari sebelumnya ternyata cukup menguras fisik saya—juga beberapa teman lain. Padahal di bangku penumpang Daihatsu Terios yang terasa nyaman itu saya telah beberapa kali terlelap tidur—dalam perjalanan menuju Sawarna, namun tetap saja yang namanya kebiasaan baru membuat irama tubuh akan sedikit terganggu.

Tubuh saya harus segera beradaptasi menghadapi perjalanan yang masih begitu panjang selama belasan hari ke depan. Pagi ini, sebagian besar dari kami tidak sanggup bangun subuh – untuk menyusuri pantai berburu sunrise.

Walau perjalanan hari kedua menuju Kota Jogja baru akan dimulai satu jam lagi, namun pada pukul 05.00, semua orang sudah dibangunkan. Hal ini sengaja dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan gerakan lamban kami tiap kali memulai hari. Kalian juga begitu kan? 😀

Demi memburu waktu, siap atau tidak, tiap orang harus sudah siap pada pukul 06.00  untuk kembali melanjutkan perjalanan.

Sejuk pagi Desa Sawarna memancing Tim Terios 7 untuk membuka jendela begitu perjalanan dimulai. Sementara ini, dinginnya AC mobil harus rela mengalah. Di luar jendela sana, warga Sawarna terlihat sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Ada yang menjemur pakaian, ada yang menyapu halaman, ada pula yang duduk bermalas-malasan di kursi depan rumah meraka.

Odometer digital yang sebelumnya menunjukkan angka 236, saat kami memulai perjalanan, telah berubah ke angka 251 ketika jalan desa yang menjadi landasan melata 7 mobil Sport Utility Vehicle (SUV) kami mulai berkerikil di bagian kanan dan kiri. Beberapa kali kami disuguhkan jalan desa yang berlubang.

Untungnya, ground clearance yang cukup tinggi (200 mm) telah diaplikasikan pada kendaraan bertransmisi manual ini, sehingga, mudah saja bagi kami melalui hambatan jalan tadi tanpa kesulitan yang berarti.

Butuh waktu sekitar 50 menit sebelum akhirnya kami mencapai perbatasan Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat. Gapura selamat jalan Banten telah kami lewati. Gapura Selamat Datang Jawa Barat kami datangi.

Berjarak 5 menit dari perbatasan, mata kami disuguhi bentang alam yang cukup menawan di bagian kanan jalan. Jalur perbukitan ini cukup terbuka, karenanya kami bisa melihat lautan di bawah sana dengan leluasa. Bagi para pemburu fajar, tempat ini tentu bisa jadi salah satu sunrise spot yang menarik, karena posisinya yang cenderung berada di wilayah timur.

***

Pantai Karang Hawu

Pantai Karang Hawu

Pantai Karang Hawu

Pantai Karang Hawu

Sesampainya di tepi Pantai Karang Hawu yang terletak 13 kilometer di sebelah barat Pelabuhan Ratu, di Desa Cikakak, Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Tim Terios 7 Wonders singgah barang sejenak. Kesempatan ini dimanfaatkan sebagian tim untuk memenuhi “panggilan alam,” sementara sebagian yang lain memanfaatkannya untuk mengabadikan momen.

Menurut legenda, dari salah satu tebing batu di Karang Hawu inilah Nyi Roro Kidul melompat ke samudra untuk mendapatkan kembali kecantikannya yang telah hilang, namun ia tidak pernah kembali lagi.

Pantai Karang Hawu cukup menarik sebagai lokasi wisata alternatif, karena, selain memiliki perpaduan antara pantai pasir dan pantai karang, pada area di sekitar pantai juga terdapat berbagai fasilitas penunjang bagi para wisatawan, seperti; musholla, mini market, warung makan, persewaan peralatan surfing, dan lain-lain.

Cukup 10 menit kami singgah, untuk kemudian melata lagi. Pada kilometer 270, setelah jembatan kedua yang kami lalui, seorang turis asing tampak sigap menenteng papan surfing pada pedestrian desa di bahu kiri jalan. Dengan bertelanjang dada, langkahnya mantap menuju pantai terdekat.

Pada jalur perbukitan, walau tenaganya sedikit tertahan—maklum masih inreyen—Daihatsu Terios terbukti mampu melibas jalan-jalan perbukitan. Bila ditambahkan dengan skill berkendara sang driver, maka jalur off-road ringan pun sepertinya boleh lah ditantang.

Menjelang 82 kilometer lepas dari Karang Hawu, seluruh tim mampir ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) bernomor 34-41302 untuk mengisi kembali bahan bakar yang telah menipis. Butuh 33.2 liter untuk membuat perut Terios TX dari Tim 7 kembali kembung. Atau, bila dikonversi ke dalam bentuk mata uang, maka ia akan bernilai 215,816Rp.

3 jembatan telah kami lalui sebelum mencapai pertigaan Pasir Hayam—lokasi istirahat kami yang kedua. Kondisi jalan yang ramai dan berkelok, serta perbedaan kecepatan antar kendaraan membuat salah satu tim tertinggal di belakang. Sambil menunggu Terios 1, rupanya Uci sudah tidak sanggup lagi menahan mual yang timbul akibat jalan berliku sebelumnya. Ia keluarkanlah seluruh isi perutnya di pinggir jalan Pasir Hayam.

Setelah tim kembali regrouping, kami lanjutkan lagi perjalanan sampai bertemu kemacetan yang cukup panjang di depan Puskesmas Ciranjang. Dalam keadaan seperti ini, ada beberapa cara yang kami lakukan agar tidak mati gaya. Selain mendengarkan musik dan berbincang dengan rekan-rekan satu mobil, seluruh tim saling melemparkan canda melalui 7 Handy Talkie (HT) yang telah dipersiapkan pada masing-masing kendaraan, mulai dari Terios 1, hingga Terios 7.

Memasuki batas Desa Citatah, terlihat asap hitam yang mengepul dari punggung-punggung bukit kawasan karst Gunung Masigit di kejauhan. Asap ini sejatinya merupakan sisa pembakaran kapur hasil penambangan sebelumnya.

Aktifitas penambangan kapur di Gunung Masigit telah berlangsung sejak lama. Namun sejak 10 tahun yang lalu, ia berubah menjadi semakin eksploitatif, dari pertambangan tradisional, menjadi pertambangan yang bersifat kapital.

Bila hal ini terus berlangsung, bukan tak mungkin, sumber mata air yang menjadi tumpuan hidup warga sekitar akan terancam. Belum lagi ditambah dengan hancurnya situs-situs purbakala seperti Goa Pawon, sungai bawah tanah, dan lain-lain.

Truk-truk tua peninggalan jaman penjajahan Jepang, pengangkut batu kapur mentah terlihat sibuk lalu-lalang di lalu-lintas Desa Citatah. Bentuknya tak jauh beda dengan truk pengangkut batu kali yang ada di Jonggol.

Dari segi usia, truk-truk ini memang telah renta, tapi tenaganya tidak boleh dipandang setengah mata. Buktinya, walau bak-bak besi di belakang punggungnya seringkali dimuati beban berlebih, truk-truk ini tampak melenggang tenang walau harus melintasi jalan perbukitan. Semoga mesin Daihatsu Terios bisa setangguh ini.

Waktu telah menunjukkan pukul setengah satu siang di Padalarang, Jalan Raya Simpang. Perut saya tiba-tiba saja keroncongan manakala melihat papan billboard berlabel “Jupe Fried Chicken” di seberang jalan sana. Hahaha.

Sayangnya, bukan di sana tempat makan siang kami, karena selepas pintu tol Padalarang, Team Leader Terios 7 Wonders memberi aba-aba agar kami merapat ke sebelah kiri jalan, tepatnya di Warung Nasi Ampera cabang Kebon Kelapa, Soekarno Hatta.

Aktifitas pembetonan jalan yang mengakibatkan kemacetan membuat Tim Hidden Paradise sedikit kesulitan untuk menusuk ke kiri. Untungnya juru parkir warung nasi cekatan memberi bantuan, hingga hambatan jalan dapat kami lalui dengan ringan.

Di tempat ini, menu makanan semisal perkedel, bakwan jagung, lele goreng, lalapan, dan lain sebagainya, kami sikat sampai perut terasa ngap (baca: begah/sebah). Butuh waktu sekitar 1 jam lebih untuk normalisasi perut yang kekenyangan. Dan sholat Dzuhur berjama’ah adalah salah satu cara yang kami gunakan untuk mencapai tujuan tersebut.

Lepas makan siang, dekat dengan Stasiun Nagreg, Papan nama jalan ber-background hijau dengan tulisan putih memberitahukan informasi yang cukup menyenangkan, “Jogja 368 km.” Terbayang lah betapa jauhnya sisa perjalanan ini. Hiks.

Di Jalan Tasikmalaya No. 35, Malangbong – Garut. Kami kembali istirahat sejenak di SPBU bernomor 34-44101. Deposit air yang telah menjadi sampah, harus segera dikeluarkan agar tidak menjadi penyakit. Satu per satu kami antri di depan pintu toilet SPBU untuk mendapatkan giliran.

5 kilometer perjalanan, membawa kami masuk ke Kabupaten Tasikmalaya. Sebelum memasuki Kabupaten Ciamis, Terios 1 dan Terios 7 menepi di pinggir jalan. Kami menunggu 4 Terios lain yang masih tertinggal di belakang. Namun, karena yang ditunggu-tunggu tidak juga datang, pemimpin ekspedisi memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan, mencari meeting point yang lebih aman.

Akhirnya, setelah 1.5 jam, tim kembali regrouping di sekitar Jalan Raya Ciamis – Banjar. 4 Terios kembali merapat di halaman depan SPBU wilayah Banjar. Usut punya usut, ternyata, salah satu dari 4 tim yang tertinggal tadi (Terios 6) baru saja mengalami insiden kecil. Kaca spion kanannya patah akibat tersangkut keranjang motor pengangkut rumput.

Makan Malam di Pringsewu Kemrajen, Banyumas

Makan Malam di Pringsewu Kemrajen, Banyumas

Pukul 19.00 malam kami tiba di Banyumas. Sambil mencari restoran untuk santap malam, kendaraan dipacu menyesuaikan keadaan jalan, hingga akhirnya terpilih lah Restoran Taman Pringsewu di bilangan Jalan Raya Buntu – Sumpiuh KM 6, Kemranjen – Banyumas, sebagai tempat makan malam kami, sebelum tiba di Kota Jogja.

Terapi ikan (Ictioterapia)

Terapi ikan (Ictioterapia)

Di tempat ini, kami mendapati ‘mainan’ baru yang cukup menyenangkan. Terapi ikan (Ictioterapia) pada sebuah kolam di salah satu sudut restoran terbukti mampu menghibur semangat kami yang sudah kelelahan akibat panjangnya perjalanan.

Begitu telapak kaki saya masukkan ke dalam air, The Doctor Fish (Garra Rufa) atau yang biasa dikenal dengan ikan Nilem, akan memakan sel-sel kulit mati yang masih tertinggal di permukaan kulit. Pada awalnya, rasanya seperti disetrum dengan listrik bervoltase (sangat) rendah. Efek rileks yang ditimbulkan dari gigitan tiap-tiap ikan ini terasa menjalar ke seluruh tubuh saya. Dan, rasa inilah yang membuat saya rela menahan lapar lebih lama ketimbang teman-teman lainnya. Hahaha.

Relaksasi dirasa cukup. Saya menyusul teman-teman lain yang telah lebih dahulu santap malam. Lagi-lagi, makanan yang disuguhkan selalu tak lepas dari daging ikan maupun ayam. Saya yang sebenarnya vegetarian jadi-jadian pun bisa jadi semi-vegetarian bila begini urusannya. Tampilan mereka terlalu menggoda untuk disia-sia. Yah, daripada cuma makan nasi, memaksakan diri makan ikan, tak ada salahnya kan. 😀

Waktu hampir menunjukkan pukul 22.00. Itu artinya, 1.5 jam sudah kami santap malam. Sisa perjalanan yang lumayan panjang, terbukti mampu memaksa kami segera bergegas untuk tancap gas.

Isi Bensin di Jalan Diponegoro

Isi Bensin di Jalan Diponegoro

Pada jarak sejauh 414 kilometer, setelah pengisian bahan bakar terakhir, barisan Tim Terios 7 Wonders kembali masuk SPBU di Jalan Diponegoro No. 183, Kutoarjo. Kali ini, Terios 7 minum lebih banyak, yaitu sekitar 41.9 liter (272,415Rp). Bila dihitung rata-rata, dengan gaya berkendara yang responsif, maka konsumsi bahan bakar Terios 7 berada pada rasio 1:9.9 (km : liter).

Dari SPBU ini, sisa perjalanan kami masih 2 jam lagi. Walaupun tubuh terasa lelah, kami masih punya satu pe-er tambahan, yaitu mendatangi bengkel resmi Daihatsu di Jalan Magelang, Jogja, untuk memperbaiki spion Terios 6 yang rusak sebelumnya. Namun, karena hari masih malam, sudah pasti tak ada satupun mekanik yang bertugas. Bengkel hanya menyisakan karyawan berseragam satpam, yang sedang berjaga di bagian depan.

Karenanya pula, Terios 6 sengaja dititipkan, dengan harapan, besok pagi, begitu kami sampai kembali di bengkel ini, mobil telah siap untuk berangkat lagi.

Baru Tiba di Amaris Hotel, Jogja

Baru Tiba di Amaris Hotel, Jogja

Akhirnya, setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 19 jam, tepatnya pada pukul 01.15 dini hari, Tim Terios 7 Wonders sampai juga di Amaris Hotel (by Santika) di Jalan Diponegoro No. 84 Jogjakarta. Waktunya istirahat! [BEM]