Dermaga Pulau Menjangan

Dermaga Pulau Menjangan

Keindahan bawah laut Pulau Menjangan yang berada di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali – pelan tapi pasti mengembalikan nikmatnya sensasi snorkeling yang telah lama hilang. Sayangnya, perjalanan menuju Pulau Menjangan, yang masih termasuk dalam kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) ini tak seindah yang saya bayangkan. Benar-benar membutuhkan perjuangan. Tapi begitu saya sampai disana…

Destinasi Bali membuat saya frustasi. Ika, teman yang bertugas memesan tiket, dengan sukacita melakukannya secara suka-suka. Tiket pesawat gagal diterima gara-gara keberuntungan maya. Tiket yang semula dikira gratis ternyata telah didiskualifikasi.

“Tiket atas nama Anu, yang nomernya sekian, bagaimana statusnya Mas?” tanya Ika pada petugas yang sedang berjaga. “Oh, itu sudah hangus Mbak, karena gak dibayar-bayar sampai batas waktu yang sudah ditentukan.”

Dan akibatnya…

Saya terpaksa naik kereta. Karena, pada percobaan kedua mem-booking tiket pesawat, harganya sudah menggila. Dan asyiknya lagi, saya harus berangkat sehari lebih awal dari jadwal ketiga teman seperjalan lainnya. Damn!

Pemilihan kereta sebagai moda transportasi menuju Bali bukan tanpa alasan. Selain harga tiket Jakarta-Bali yang lumayan bikin lumanyun, posisi Pulau Menjangan yang letaknya di sebelah barat Pulau Bali, tentu menjadi pe-er tambahan bila harus ditempuh dari Bandara Ngurah Rai, Denpasar – 5-6 jam perjalanan.

Sebagai alternatif hemat, kami putuskan menggunakan jalur lambat – menggunakan pesawat untuk ke Surabaya (saya tidak termasuk,) kemudian menyambung kereta menuju Banyuwangi, disambung lagi dengan kapal feri menuju Gilimanuk, Bali. Dan saya… satu-satunya yang tua di kereta. @,@

 

Tragedi Stasiun Gubeng

Kereta Api Gumarang membawa saya kepada pagi hari Kota Surabaya. Sementara, pesawat Batavia Air yang menjadi andalan ketiga teman lain, dengan baik hati memberikan bonus waktu 1 jam tunggu. Sehingga, waktu kedatangan yang harusnya pukul 18.35, berubah menjadi 19.35. Dan ini artinya, profesi saya berubah menjadi Cowok Penunggu.

KA Gumarang (Bisnis.) Stasiun Senen, Jakarta – Stasiun Pasar Turi, Surabaya = 170,000Rp

Aktifitas menunggu, jelas bukan hobi saya. Apalagi harus dimulai dari pukul 07.00 sampai dengan pukul 20.00, wih, emosi jiwa rasanya. Tak mau rugi dua kali, saya ambil kursus kilat menjaga hati, yaitu dengan berkeliling Surabaya-Madura, ditemani seorang teman bernama Ruli.

Ruli yang tergabung dalam hifatlowbrain ini dengan sukacita menjadi penunjuk arah selama berada di Surabaya, hampir semua keperluan saya pun difasilitasi. Terima kasih banyak Masbro. Ini namanya buntung jadi untung. Walaupun mungkin, dari sisi sampeyan, terbalik keadaannya. Hee…

Karena catatan perjalanan keliling Surabaya-Madura terlalu panjang, terpaksa tidak saya ceritakan disini. Takut anda pingsan membacanya. Mungkin di lain waktu, bila ada kesempatan, saya bisa ceritakan kembali. #cross finger

Long story short…

Kereta Api Mutiara Timur Express menuju Banyuwangi hampir menjelang waktu keberangkatan. Walaupun sedang sakit, Ruli memaksakan diri mengantar saya ke Stasiun Gubeng – meeting point yang telah kami tentukan sebelumnya. Tanpa cipika-cipiki—karena kami lelaki sejati—Ruli pamit kembali ke kediamannya. Dan selepas kepergian Ruli, saya baru menyadari satu hal.

Masuk ke stasiun liwat mana ini!? Semua pintunya dikunci! Arghh!

KA Mutiara Timur Malam Express (Executive.) Stasiun Gubeng, Surabaya – Stasiun Banyuwangi Baru, Banyuwangi = 105,000Rp

“Oh, lewat sana Mas.” Seonggok suara tiba-tiba menjawab keluh-kesah saya. “Lurus, ada pom bensin belok kiri, terus belok kiri lagi. Jauh. Mari saya antar!” lanjutnya lagi.

Lirik kiri, lirik kanan… Oalah, ternyata suara seorang bapak, yang sedari tadi berada di sebelah saya. “Gak usah Pak, terima kasih, saya jalan aja.” Walaupun kurang cerdas, dengan tangkas saya menolak kebaikan hati sang bapak – yang notabene adalah tukang becak itu. #kabur

Jadwal keberangkatan kereta tinggal 5 menit lagi. Saya terpaksa berlari untuk mencapai pintu masuk utama Stasiun Gubeng, yang letaknya entah dimana. @,@

Pada belokan kiri kedua, saya melihat secercah harapan. Pintu masuk stasiun sudah di depan mata. Tapi, semakin dikejar, mengapa pula pintu itu semakin menjauhi? Sepertinya saya kualat kepada Bapak Becak tadi. Maap ya Pak, yang tadi gak sengaja.

Padahal baru saja mandi, tapi dipaksa berpeluh lagi. Hhh… hhh… napas saya tersengal. Hutang belum dibayar. Kaki gemetar. Ditambah lagi beban keril yang naudzubillah, vibrasi di kaki saya pun semakin menjadi. Ngehek!

 

Antara KTP dan tanda tangan

Pukul 21.10 Waktu Indonesia Bagian Gubeng. Kami berempat sudah berkumpul di stasiun. Keberangkatan Kereta Mutiara Timur Malam Express sedikit lepas dari jadwal rupanya – delay 30 menit. Sebuah keterlambatan yang sangat saya syukuri, karena saya butuh merelaksasi diri.

Setelah berlari (hampir) satu putaran stasiun tadi, jantung saya masih berdegup kencang, seperti jantung biduan jemuran dikejar-kejar ratusan fans di sekitar perumahan. Berantakan rasanya.

Pukul 21.40. Kereta Mutiara Timur Malam Express berangkat menuju Stasiun Banyuwangi Baru, Banyuwangi. Interior kereta kelas eksekutif ini terasa nyaman. AC-nya tidak terlalu dingin. Reclining seat-nya dilengkapi dengan sandaran kaki. Bila terasa mual, di kereta inipun tersedia kantong plastik untuk menampung segala unek-unek sereal kita. Pokoknya nyaman.

Di luar sana terlihat…

Hamparan sawah yang menghijau, siluet pegunungan yang berselimut kabut., hingga  kemilau jingga cahaya mentari. Sungguh komposisi sempurna bagi penikmat visual seperti saya. Dan keindahan ini, hanya akan kita dapatkan menjelang 3 jam terakhir perjalanan Kereta Mutiara Timur Malam Express menjelang Banyuwangi. Sayangnya semua itu hanya angan-angan, saya tidak sempat menyaksikannya, karena kami tiba di Stasiun Banyuwangi terlalu pagi –  pukul 04.25.

Stasiun Banyuwangi terlihat sangat lengang pagi itu. Hampir seluruhnya adalah penumpang Kereta Api Mutiara Timur Malam Express. Diantara kerumunan, terlihat turis asing yang hilir mudik dengan santainya, seolah sering ke tempat ini.

Sebagai informasi saja, PT. KAI menyediakan tiket terusan Surabaya-Banyuwangi-Denpasar. Dimana Surabaya-Banyuwangi ditempuh dengan menggunakan kereta, sementara rute Banyuwangi-Denpasar ditempuh dengan menggunakan bus AC. Jadi, bila kita berbicara tentang tiket terusan, maka skema tarif yang diberlakukan yaitu, untuk harga tiket kereta ditetapkan pada angka 105,000Rp. Sedangkan untuk harga tiket bus AC, dipatok pada angka 65,000Rp. Sehingga, harga tiket terusannya menjadi 170,000Rp.

Karena jarak antara Stasiun Banyuwangi Baru ke Pelabuhan Ketapang relatif dekat, kami memilih untuk berjalan kaki—selama 5-10 menit. Bila kita mengarah keluar Stasiun Banyuwangi Baru, letak Pelabuhan Ketapang berada di sebelah kanan, di seberang jalan.

Jalan masuk menuju Pelabuhan Ketapang cukup becek dan banyak genangan, maklum musim hujan. Jalurnya terbagi dua, yaitu jalur kendaraan dan jalur pedestrian.

“Boleh minta KTP-nya!” seorang petugas keamanan berseragam lengkap tiba-tiba meminta-minta kepada saya.

“Ehhh!”

Saya tidak menyangka akan ada pemeriksaan KTP di tempat sebecek dan sepagi ini. Karena, sepanjang pengalaman saya keluar-masuk pelabuhan penyeberangan orang, tak satupun ada ritual pemeriksaan KTP seperti di Pelabuhan Ketapang ini. Atau mungkin, karena ini adalah pengalaman pertama saya menyeberang via Ketapang ya, hmm.

Seraya memperlihatkan KTP, “Gak sekalian minta tanda tangan saya Pak?” tanya saya. Tapi hanya dalam hati. Bukan apa-apa. Ngeri! Kumis si bapak tebal merekah seperti lintah.

Lorong pelabuhan menuju loket pembelian tiket kapal feri begitu temaram. Di sana-sini banyak lampu yang dimatikan. Area terang hanya pada bagian-bagian yang dianggap penting saja. Dan loket pembelian, adalah salah satunya.

Harga tiket kapal feri jurusan Ketapang-Gilimanuk adalah 6,000Rp per-orang. Setelah membayar, kita akan diberikan sebuah kartu elektrik yang dapat digunakan untuk melewati ticket gates elektronik menuju pelataran pelabuhan.

Ticket gates, mati.

Petugas, tidak ada.

Hmm, asik juga nih bisa koleksi tiket kartu pelabuhan.

“Mas! Tiketnya kasih ke bapak itu!” tiba-tiba terdengar teriakan seorang petugas pelabuhan dari arah belakang. Gubrak!

“Siap Pak!” seru saya cepat. Bukan takdir saya menambah koleksi rupanya.

Dek Kapal Ferry - KMP Trisila Bhakti II

Dek Kapal Ferry – KMP Trisila Bhakti II

Jarak dermaga, tempat kapal lego jangkar tidak terlalu jauh. Hanya 5 menit berjalan kaki dari ticket gates. Lambung kapal feri berukuran kecil—KMP Trisila Bhakti II—terlihat sibuk menelan kendaraan-kendaraan yang datang. Dek penumpang dapat diraih melalui tangga besi yang berada di sisi kiri kapal. Kondisinya bisa dibilang tak terawat. Bangku rusak disana-sini tidak diganti. Sampah pun berserakan dimana-mana.

Banyak penumpang yang memilih berdiri di pinggir dek – supaya bisa menikmati suasana pagi di pelabuhan dan alam di sekitarnya. Saya pun melakukan hal yang sama. Sambil memperhatikan keamanan barang bawaan tentunya.

View menjelang Pelabuhan Gilimanuk

View menjelang Pelabuhan Gilimanuk

30 menit kami menunggu proses loading selesai. Setelah KMP Trisila Bhakti II angkat sauh, kami berangkat menyebrangi Selat Bali menuju Pelabuhan Gilimanuk, Bali. Dari referensi yang saya baca, untuk menyeberang dari Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi ke Pelabuhan Gilimanuk, Bali, rata-rata menyebutkan angka 45 menit. Tapi mengapa dalam catatan saya menjadi 55 menit ya?

 

Mundur perlahan ke Pelabuhan Banyuwedang

Untuk mencapai Pelabuhan Banyuwedang, dapat ditempuh menggunakan angkutan umum. Di Terminal Gilimanuk—terletak persis di sebelah kanan Pelabuhan Gilimanuk—preman terminal mengutip ongkos sebesar 15,000Rp per-orang, untuk tujuan Terminal Gilimanuk – Pertigaan Banyuwedang (air panas.)

Sebenarnya ongkos ini terlalu mahal, padahal normalnya hanya 10,000Rp – sepanjang yang saya tahu. Tapi, karena alasan mengejar waktu dan malas berurusan dengan preman terminal bernama Bang Kek tersebut, ongkos tembak tadi terpaksa kami turuti.

Tapi, baru saja 30 menit berkendara, kami dihadapkan pada masalah baru. Supir angkot tiba-tiba memundurkan kendaraannya, turun sejauh puluhan meter.

Ah, ternyata ada sebuah truk tronton “terparkir” menyilang, menutupi seluruh badan jalan. Dari posisinya, terlihat, sang supir kehilangan kendali. Truk tronton tua tersebut tak sanggup menghadapi jalan menanjak karena curamnya medan dan beratnya beban muatan.

30 menit kami harus menunggu, namun tak ada kemajuan sedikitpun. “Kalian turun disini ya,” ujar sang supir.

What!

“Jalannya nanjak. Mobilnya ndak kuat. Nanti naiknya di atas saja.” Imbuhnya lagi, dengan logat Bali.

Ooo! Saya kira apa…

Karena keadaan truk tronton yang tidak juga kondusif, sang supir memutuskan untuk menerabas melalui bahu jalan. Kami dan beberapa penumpang lainnya pun terpaksa berjalan kaki menyisiri jalan menanjak, mengikuti instruksi sang supir – untuk kemudian kembali melanjutkan perjalanan.

5 menit setelah Pelabuhan Lalang, kami tiba di pertigaan Banyuwedang (pertigaan air panas.) Dika (0852.3705.5565) dan seorang temannya telah lama menanti rupanya.

“Kok lama?” tanya Dika, guide kami selama trip di Pulau Menjangan.

“Iya tadi ada truk tronton malang di tengah jalan.” Jawab Ika cepat.

Setelah sedikit cuap-cuap ditambah perkenalan singkat, Dika kemudian angkat bicara, “mari, kita antar satu-satu. Gantian.”

Ya. Gantian. Karena motor yang tersedia untuk antar-jemput hanya ada dua, sementara penumpangnya ada empat orang. Kloter pertama diisi oleh Vera dan Lenny. Sementara saya dan Ika menunggu giliran kedua.

Pertigaan Banyuwedang terasa panas siang itu. Posisinya yang berada di pesisir tak membuat rimbun pepohonan terasa rindang. Panasnya tak tertahankan. Daripada berdiam diri di bawah terik matahari, saya dan Ika lebih memilih menyusuri jalan menuju pelabuhan, sambil menunggu giliran.

Rumah warga masih terlihat jarang di tempat ini.  Sebagian bernuansa Bali, dan sebagian tak jauh  berbeda dengan rumah perkotaan pada umumnya. Seekor Babi kecil terlihat berlari mengitari kandangnya di dalam kebun milik seorang warga.

10 menit berlalu, jemputan kami datang. Dari jalan raya utama dibutuhkan 5 menit berkendara. Jalannya separuh aspal mulus, dan separuh lagi tidak bagus.

Pelabuhan Banyuwedang

Pelabuhan Banyuwedang

Pukul 10.00 pagi. Hujan rintik mewarnai kedatangan kami di Pelabuhan Banyuwedang. Tak mau buang waktu, kami segera menyiapkan segala perlengkapan untuk snorkeling ke Pulau Menjangan. Disini terdapat 4 kamar mandi, namun hanya 1 yang berfungsi dengan baik. Di sebelahnya, terdapat 3 pancuran air yang dapat digunakan untuk prosesi bilas setelah snorkeling nanti.

Sebelum meneruskan cerita saya, kalian pasti ingin tahu kan, bagaimana cara untuk mencapai Pulau Menjangan? Baiklah, berikut ini panduannya:

Dari Surabaya

Stasiun Gubeng – Stasiun Banyuwangi Baru = 105,000Rp (Kereta – 7 jam)

Stasiun Banyuwangi Baru – Pelabuhan Ketapang = Gratis (Jalan kaki – 5 menit)

Pelabuhan Ketapang – Pelabuhan Gilimanuk = 6,000Rp (Kapal Ferry – 1 jam)

Pelabuhan Gilimanuk – Terminal Gilimanuk = Gratis (Jalan kaki – 5 menit)

Terminal Gilimanuk – Pertigaan Banyuwedang = 10,000Rp (Bus tanggung – 30 menit)

Pertigaan Banyuwedang – Pelabuhan Banyuwedang = Gratis (Jalan kaki – 20 menit atau antar-jemput guide – 5 menit)

Pelabuhan Banyuwedang – Pulau Menjangan = 330,000Rp per-kapal (Speedboat – 40-60 menit)

Dari Denpasar

Bandara Ngurah Rai – Terminal Ubung = 100,000Rp-150,000Rp (Taxi – 40 menit)

Terminal Ubung – Terminal Gilimanuk = 30,000Rp (Bus – 4-5 jam)

Terminal Gilimanuk – Pertigaan Banyuwedang = 10,000Rp (Bus tanggung – 30 menit)

Pertigaan Banyuwedang – Pelabuhan Banyuwedang = Gratis (Jalan kaki – 20 menit atau antar-jemput guide – 5 menit)

Pelabuhan Banyuwedang – Pulau Menjangan = 330,000Rp per-kapal (Speedboat – 40 menit)

 

Pedihnya ubur-ubur kumis

Butuh 15 menit, untuk menyiapkan segalanya. Seluruh barang bawaan—yang tidak perlu—sengaja dititipkan di ruang kecil yang berfungsi sebagai kantor pelayanan tamu. Sambil menyusuri jalan menurun menuju pelabuhan, kami pastikan semua barang untuk keperluan snorkeling di Pulau Menjangan telah aman terbawa.

“Kita jemput orang dulu ya, dari Mimpi Resort.” Ujar Dika.

Awalnya saya kira, satu kapal hanya dimuati satu grup saja. Ternyata, demi meringankan biaya sewa tersebut, kami digabung dengan grup lain. “Supaya biayanya lebih murah.” Tambah Dika lagi.

Sewa speedboat + Guide = 330,000Rp

Sewa alat snorkeling = 40,000Rp

Mimpi Resort di sebelah Pelabuhan Banyuwedang

Mimpi Resort di sebelah Pelabuhan Banyuwedang

Grup tambahan ini adalah sebuah keluarga kecil dengan dua orang anak perempuan. Dari penampilannya, seperti bumi dan langit bila dibandingkan dengan kami. Mereka menginap di Mimpi Resort, sementara untuk bisa snorkeling di Pulau Menjangan, kami harus ngesot-ngesot.

Menikmati perjalanan menuju Pulau Menjangan

Menikmati perjalanan menuju Pulau Menjangan

Dari Pelabuhan Banyuwedang ke Pulau Menjangan dibutuhkan waktu 40 menit menggunakan speedboat berukuran sedang. Kami termasuk beruntung, karena ombak masih tenang.

Sesampainya di dermaga Pulau Menjangan, terlihat sebuah speedboat sedang terparkir, yang dijaga oleh seorang guide. Dari barisan tabung aqualung di tepi speedboat,  bisa dipastikan, penumpangnya sedang pergi menyelam.

Pantai Pulau menjangan adalah tipikal pantai tebing. Bagian dangkalnya hanya sekitar 30 meter saja dari bibir pantai, lebih dari itu, langsung laut dalam (wall.) Dengan dipandu seorang guide yang entah bernama siapa, kami berempat menyisiri pinggiran tebing Pulau Menjangan. Sementara Dika, memandu keluarga kaya dari resort tetangga.

Pagi itu ombak masih tenang. Visibility-nya pun terbilang lumayan—25-30 meter. Dengan tingkat visibility seperti itu saja, pemandangan bawah laut di wall Pulau Menjangan sudah bisa kami nikmati, bagaimana kalau visibility-nya crystal clear—lebih dari 50 meter—ya? Hmm…

Sejak turun dari kapal, saya tidak melihat satupun ubur-ubur di sekitar lokasi snorkeling. Tapi entah mengapa, di sepanjang jalur snorkeling yang kami lalui, badan saya perihnya bukan main. Tidak mungkin gara-gara terbakar matahari, karena saya baru saja tiba. Keadaan ketiga teman lain pun tak jauh beda. “Kok kulit gw pada perih ya,” ujar Lenny. “Iya gw juga nih.” Vera mengamini. “Sama gw juga.” Ika tidak mau ketinggalan.

Sambil snorkeling, saya mencoba mengamati kondisi sekitar. Tapi, tak satupun ubur-ubur yang terlihat. Entah berukuran kecil, apalagi berukuran besar. Aneh.

Tempat yang dalam sama dengan phobia bagi saya. Begitupun dengan wall Pulau Menjangan, yang memiliki kedalaman hingga 30 meter lebih. Walaupun pada awalnya sangsi dengan keberanian diri sendiri, setelah saya hadapi, ternyata lama kelamaan ketakutan itu mulai menghilang. Atau jangan-jangan, rasa penasaran akan keindahan bawah laut di wall Pulau Menjangan lah yang berhasil menekan rasa takut saya, persis seperti rapling vertikal di Goa Jomblang beberapa tahun silam. Hmm…

Aneka warna terumbu karang, bisa kita jumpai disini. Dibawah sana, terdapat beberapa struktur goa kecil di sepanjang wall, yang membuat saya penasaran. Sedikit menjelajah saja, kita sudah berada diatas drop-off. Warna biru laut di permukaan berubah hitam legam dibawah sana – tanda laut dalam. Rata-rata lokasi snorkeling dan diving di Pulau Menjangan masih berada dekat dengan pantai, sehingga mudah untuk mengaksesnya.

Kabarnya, dua puluhan tahun yang lalu, Pulau Menjangan pernah menjadi salah satu lokasi diving terbaik di dunia – sebelum maraknya pengeboman ikan. Pada masa-masa itu, kehidupan bawah laut benar-benar rusak, nelayan pun terimbas dengan sulitnya memperoleh hasil tangkapan.

Namun, beberapa tahun ke belakang, para nelayan mulai menyadari arti pentingnya menjaga kelestarian alam. Karena lestarinya alam akan berdampak positif bagi kehidupan mereka, juga bagi industri pariwisata yang kini menjadi sandaran hampir sebagian besar nelayan di sekitar Pulau Menjangan.

Jenis ikan yang saya jumpai di lokasi ini sangat beragam jenis dan ukurannya, mulai dari yang berukuran kecil, hingga berukuran sedang. Mulai dari Clownfish, Stonefish, Pufferfish, sampai Pifish. Mmm, untuk ikan yang terakhir itu, sebenarnya adalah saya. Maaf, gak kuat nahan banget, maklum kebelet. #blushing

Melihat keindahan bawah laut Pulau Menjangan yang demikian, tentu sayang bila tidak diabadikan. Lenny yang selalu asik dengan kamera underwater-nya pun saya hampiri.  Untuk memastikan bahwa dokumentasi video terambil sempurna.

“Bagus Len video underwater-nya?”

“Gw cuma moto doang dari tadi, gak ambil video.” Jawab Lenny.

“Lah, kenapa gak ambil video. Kan kamera lu bisa buat video?”

“Emang bisa. Tapi gw gak tau caranya.” Tambah Lenny polos.

Blup! Blup! Blup!

Harapan saya tiba-tiba sirna.

Tak terasa, dua jam lebih kami snorkeling menyisiri tebing pantai Pulau Menjangan. Semakin siang, arus laut pun semakin kencang. Karenanya guide kami mengajak untuk segera kembali ke kapal. Sungguh dua jam yang sangat singkat. Sensasinya tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Pokoknya highly recommended! Sampai di suatu titik, dimana keadaannya berbalik 180 derajat.

Saya tiba-tiba meneteskan air mata, padahal, galau pun tidak. Dan, sumber rasa sakit itu berasal dari bagian kumis. Pedih sekali. Rasanya seperti Ratih Purwasih (baca: di sayat-sayat sembilu.) Pokoknya sangat tak terkira… tidaaak!!! #lebay

Padahal tidak ada yang janggal di sekeliling saya. Air laut pun masih biru dengan pesonanya. Dipicu rasa penasaran, mata saya terus menjelajah ke segala arah, berharap menemukan biang keladinya dengan segera. Dan benar saja. Saya melihat seekor ubur-ubur kecil sedang berenang riang sambil senyum-senyum manja—halah. Tapi mengapa cuma ada satu, padahal rasanya seperti disengat belasan ekor… atau jangan-jangan, sisanya adalah ubur-ubur siluman? Hiii…

Mau marah, jelas percuma. Saya tidak bisa bahasa ubur-ubur. Memaksa menggunakan bahasa manusia pun, bisa-bisa dibilang gila. Daripada emosi jiwa, saya memilih segera kembali ke kapal. Tak peduli lagi seberapapun indahnya suasana di bawah laut sana. Pokoknya saya ngambek. Titik! Dan kamu! Ngapain kamu baca-baca ubur-ubur saya! #eaaa :p

Sambil menunggu ketiga teman lain menyaksikan Dika mendemonstrasikan ring bubble-nya, saya membunuh waktu dengan memotret panorama di sekitar dermaga.

Kondisi di sekitar dermaga Pulau Menjangan bisa dibilang tidak terawat. Walaupun jumlahnya tidak banyak, serakan sampah masih bisa terlihat. Belum lagi sampah-sampah—mengambang—di lautan yang saya temui, dalam perjalanan menuju lokasi snorkeling kami. Sangat disayangkan.

Bagi teman-teman yang kemudian berkesempatan menyambangi Pulau Menjangan, ada baiknya selalu memperhatikan kebersihan lingkungan. Minimal, membawa kembali produksi sampah kita, untuk kemudian dibuang pada tempatnya. Tak hanya di Pulau Menjangan saja. tapi di mana-mana. Kalau saya bisa, anda pun bisa. Karena ini… INDONESIA KITA!

 

Air itu panas Jendral!

Sekitar pukul satu siang, semua telah berkumpul kembali ke kapal. Ombak terlihat tinggi, dengan arus yang relatif kencang. Sebelum kembali ke Pelabuhan Banyuwedang, Dika mengajak untuk melihat patung Ganesha di bagian kanan jauh dermaga – masih dalam satu kompleks Pura Menjangan.

Patung Ganesha di Pulau Menjangan

Patung Ganesha di Pulau Menjangan

Pura Menjangan

Pura Menjangan

Ingin rasanya berlama-lama snorkeling di Pulau Menjangan, tapi, karena waktu yang terbatas, ditambah jauhnya jarak ketiga destinasi berikutnya; Bukit Campuhan, Ubud, Nusa Lembongan, dan Ceningan, maka mau tidak mau, snorkeling ini harus kami sudahi.

Plus satu lagi alasan kami. Waktu operasional kendaraan umum dari Pelabuhan Banyuwedang dan/atau Pelabuhan Gilimanuk hanya sampai sore hari saja. Jadi, bila anda berkesempatan mampir ke tempat ini, pastikan waktu transit antar-tujuan anda masih berada di bawah jam operasional kendaraan umum tersebut – kalau tidak, bersiaplah merogoh kocek lebih dalam lagi untuk menyewa kendaraan menuju lokasi berikutnya.

Perjalanan pulang sedikit melambat dikarenakan tingginya ombak. Butuh 1 jam 10 menit untuk sampai kembali di Pelabuhan Banyuwedang. Setelah Dika mengantarkan si keluarga kecil ke Mimpi Resort, kemudian, barulah giliran kami.

Badan yang lengket plus kedingingan, adalah formula sempurna untuk munculnya sebuah perasaan tidak nyaman. Untungnya ketiga pancuran yang berfungsi sebagai tempat bilas di Pelabuhan Banyuwedang sangat mengerti kebutuhan kami.  Pancuran tersebut mengeluarkan air panas yang entah dari mana sumbernya.

“Ah, masak! – ada sumber air panas di pinggir laut?”

“Ah, iya! Gengsi dong!”

Ya, sumber air panas. Saya sama herannya dengan anda. bisa dibilang, ini adalah kali pertama saya menemukan sumber air panas yang letaknya di wilayah pesisir.

Dari hasil pencarian, saya menemukan, bahwa sumber air panas Banyuwedang merupakan salah satu dari 14 ladang panas bumi yang berhasil diidentifikasi di sepanjang Banda Arc (dari Bali di bagian barat, hingga Alor di bagian timur.)

Penasaran dengan Banda Arc? Silahkan baca sendiri artikel “Contrasting Geothermal Fields Along the Magmatic Banda Arc” oleh Roy D. Johnstone. Bukannya malas menterjemahkan. Tapi saya tidak sanggup menceritakannya panjang lebar kepada anda. Membaca judulnya saja sudah membuat saya pusing kepala, apalagi memaksakan membaca isinya… bisa n-jedot otak saya. @,@

Karena terlalu excited (atau lebih tepatnya, norak,) kami sengaja berlama-lama mandi. Dimana lagi bisa menikmati air panas setelah snorkeling, kecuali di Pelabuhan Banyuwedang ini, ya kan? Hee…

Akhirnya, kulit keriput jualah yang menyudahi petualangan air panas Banyuwedang kami. Dan, semakin ditahan, semakin geram saja para predator di dalam perut sana, mau tak mau, kami harus segera menjinakkannya. Adalah Menjangan Restaurant – Banyuwangi, Banyuwedang. Yang terletak persis di sebelah pancuran air panas kami sebelumnya – yang menjadi sasaran berikutnya.

Menjangan Restaurant - Banyuwangi, Banyuwedang

Menjangan Restaurant – Banyuwangi, Banyuwedang

Lahap menyantap hidangan di rumah makan ini memang membuat rasa lapar kami hilang, Tapi, seketika itu juga dompet butut kami meradang. Apalagi penyebabnya kalau bukan mahalnya harga seporsi makan siang. 35,000Rp paling murah cyiinhyuuk… T_T

Dari beberapa pengalaman diatas, saya akan berbagi sedikit tips bagi anda yang ingin berwisata ke Pulau Menjangan:

  1. Di Pelabuhan Banyuwedang, hanya terdapat satu buah warung makan. Karena harga perporsinya relatif mahal, belilah konsumsi (ringan/berat) sebelum anda menuju Pelabuhan Banyuwedang. Di Terminal Gilimanuk terdapat beberapa warung yang menyediakan aneka macam makanan ringan, anda bisa mencobanya.
  2. Datanglah ke Pelabuhan Banyuwedang lebih pagi. Karena, dengan begitu, kesempatan anda berlama-lama snorkeling di Pulau Menjangan akan semakin tinggi.
  3. Bawa handuk kecil, selendang, atau jaket untuk menahan dinginnya angin laut selama aktifitas snorkeling.
  4. Bawa sebotol kecil cuka untuk mengobati sengatan ubur-ubur. Ilmu ini saya ketahui dari seorang guide, ketika saya melakukan backpacking trip ke Raja Ampat setahun yang lalu.
  5. Alat snorkeling memang tersedia untuk disewa. Namun, bila memungkinkan, bawalah sendiri alat snorkeling anda – demi menjaga higienitas.
  6. Kecuali menggunakan kendaraan pribadi, pastikan waktu pulang anda masih dalam batas waktu maksimal kendaraan umum yang beroperasi – jam 4-5 sore, tergantung kondisi.
  7. Speedboat dapat dimuati hingga 10 orang, karenanya, maksimalkan jumlah teman seperjalanan anda, supaya biaya sewa kapal menjadi lebih murah.
  8. Jarak dari Pertigaan Banyuwedang ke pelabuhan cukup jauh, karenanya, pastikan jasa guide yang anda gunakan, memberikan pelayanan antar-jemput dari pertigaan ke pelabuhan pergi-pulang. Dan yang terakhir…
  9. Jaga selalu kebersihan lokasi wisata, dimanapun anda berada.

Makan siang telah selesai. Snorkeling di Pulau Menjangan pun telah usai. Kini saatnya kami meneruskan perjalanan. Setelah diantar—menggunakan motor—menuju Pertigaan Banyuwedang, perjalanan kami lanjutkan ke Terminal Gilimanuk, untuk kemudian menuju destinasi berikutnya… Bukit Campuhan, Ubud. [BEM]