Anak kuda Sumbawa

Anak kuda Sumbawa

Hari ini Tim Terios 7 Wonders Hidden Paradise resmi memasuki hari ke-11—Oktober 11, 2013. Berdasarkan itinerary, agenda hari ini akan diisi dengan mengunjungi Desa Palama yang terletak di Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima. Kami akan melihat proses pemerahan susu kuda liar Sumbawa, kalau perlu sekalian mencicipi rasanya.

Pukul 23.00 malam sebelumnya, kami tiba di Aman Gati Hotel. Kondisinya terlalu gelap untuk mengungkap kondisi sebuah tempat. Awalnya saya mengira penginapan ini sama seperti penginapan-penginapan sebelumnya – berada di tengah-tengah kota. Ternyata salah. Karena, begitu hari berganti pagi, saya baru menyadari kalau penginapan yang dimiliki I Gede Sudantha ini berada di tepian Pantai Lakey.

Pantai Lakey sendiri terletak di bagian selatan Tanjung/Pantai Hu’u. Tepatnya di Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu, Sumbawa. Pantai ini biasa digunakan untuk kegiatan berselancar (surfing), dan cukup terkenal hingga ke mancanegara dengan ombak kidalnya.

Halaman tengah Aman Gati Hotel

Halaman tengah Aman Gati Hotel

Aman Gati Bar & Restaurant

Aman Gati Bar & Restaurant

Setengah hati saya pergi sarapan pagi. Mata yang dipaksa membuka masih terasa berat akibat tidur yang selalu saja terlambat. Tapi, kondisi tubuh yang mulai tidak karu-karuan jua lah yang akhirnya berhasil memaksa saya berangkat sarapan. Tidak boleh sakit. Saya harus segera sehat, agar tidak menjadi beban teman-teman lain di perjalanan.

Aman Gati Bar & Restaurant terbagi menjadi 3 lantai; lantai dasar, lantai 1, dan lantai 2. Letaknya persis di depan Pantai Lakey. Bagian depannya terbuka menghadap ke arah pantai. Atap segitiga yang mengangkang tinggi mengesankan betapa luasnya tempat ini. Setiap lantainya dipisah dengan undakan berjenjang. Semakin ke atas, semakin pendeklah jarak antara lantai dengan atap.

Tiap lantai restoran ini dibuat seperti anak tangga. Kita bisa memandang ke setiap lantai, dari lantai mana saja. Selain kami, hanya 1-2 turis domestik yang terlihat pagi itu. Sisanya turis asing semua—yang tersebar di beberapa meja. Jumlahnya tak lebih banyak dari 2 kali bilangan jari tangan.

Sebagian besar teman-teman sudah selesai sarapan, tapi masih bertahan di meja-meja mereka. Membunuh waktu dengan bertukar cerita. Karena hanya segelintir yang tersisa, seharusnya sarapan pagi ini bisa lebih cepat (datang) daripada biasanya, pikir saya. Supaya bisa lebih cepat lagi, sengaja saya pesan nasi goreng, persis seperti pesanan 2-3 teman lain.

Baru 3 menit berlalu, seorang pelayan restoran membawa nampan berisi nasi goreng yang saya pesan. Luar biasa! Bathin saya. Pelayanan di restoran ini memang tiada duanya. Belum lama dipesan, makanan sudah datang.

Mata saya tak pernah lepas dari nampan di kedua tangan pelayan yang mengantarkan pesanan. Semakin lama, semakin mendekat pula ia ke arah meja saya. Langkahnya pelan tapi pasti. Saya pun siap menyambutnya. Tapi, apa yang terjadi selanjutnya langsung membuat galau hati saya. Ia tidak berhenti. Terus ngeluyur pergi ke salah satu meja di ujung sana yang isinya bule semua. Alhamdulillah.

Mungkin peruntungan saya berada di tangan pelayan kedua. Semoga.

Kali ini pesanan datang lebih lama. 10 menit kira-kira. Pelayan kedua datanglah ia. Percaya diri yang separuh tersisa, membuat saya sedikit waspada.

“Itu nasi goreng saya, Mas?”

Dia cuma senyum. Tak berkata apa-apa. Nasi goreng di nampannya diletakkannya di atas meja saya. Wah! Akhirnya sarapan juga.

“Yak. Terima kasih Mas,” kata teman semeja yang duduk di sebelah saya.

Lah!

Mungkin saya terlalu berprasangka baik. Hmm, baiklah kalau begitu. Sekarang saya coba berprasangka buruk saja. Supaya tidak emosi jiwa.

Setelah beberapa saat yang agak lama, pelayan ketiga datang pula. Kali ini saya abaikan kedatangannya. Saya sudah ikhlas. Kalau perlu, gak sarapan pun gak papa. Suer! Biar kalian disamber geledek.

“Silahkan, Mas,” kata pelayan.

“Ini buat saya?” Menatap penuh curiga. Tapi ikhlas.

“Iya,” katanya sambil mengembangkan senyum.

Dan saya…, bingung. Tidak tahu lagi harus berkata apa.

 

Teka-teki nyerah

“Yang belum kasih kunci kamar. Kuncinya langsung pulangin ke depan—resepsionis.” Pak Endi memberitai sebuah informasi. ‘Memberitai…,’ bahasa daerah mana ini?

Lah! Harus dibalikin Pak? Gak mereka ambil sendiri?”

“Enggak. Semua harus dibalikin sendiri.”

Walau Aman Gati Hotel termasuk penginapan bintang 3 di Sumbawa, nyatanya, rumah kunci berikut kunci kamarnya masih menggunakan teknologi nostalgia era tahun 80-an. Jenis kunci yang lubang rumahnya bisa kita gunakan untuk mengintip ke luar atau ke dalam, yang kadang-kadang dijadikan cicak untuk bersarang, bahkan sampai mengeram, kalau lama-lama tidak digunakan. Old skool lah pokoknya.

Dari sinilah awal munculnya pertanyaan, “mengapa harus dikembalikan?” Kalau kunci pintunya berupa kartu elektrik, saya bisa mengerti. Tapi kunci jadul ini?

Lobby resepsionis Aman Gati Hotel

Lobby resepsionis Aman Gati Hotel

Pelataran parkir Aman Gati Hotel Sumbawa

Pelataran parkir Aman Gati Hotel Sumbawa

Selesai briefing di pelataran parkir berpasir, pukul 07.47 kami siap berangkat. Diiringi lagu One Republic, “If I Lose Myself,” Terios 7 kembali berperan sebagai sweeper di belakang rombongan. Masih seperti hari kemarin, ternak warga sering kami jumpai di pinggir kanan dan kiri jalan, entah itu kambing, sapi, atau kuda. Yang herannya, rata-rata berwana coklat.

Perbaikan jalan di Sumbawa

Perbaikan jalan di Sumbawa

Pemandangan di tengah perjalanan

Pemandangan di tengah perjalanan

Kondisi jalan Sumbawa menuju Desa Palama

Kondisi jalan Sumbawa menuju Desa Palama

Selepas mengisi bensin pada 43 km perjalanan, tebak-tebakan kembali Pak Endi mainkan lewat Handy Talkie (HT):

“Di sekolah, semua anak ditanya sama gurunya, ‘siapa yang mau masuk surga? Angkat tangan!’ Semua anak, angkat tangan, kecuali Boski. Gurunya tanya lagi, ‘siapa yang gak mau masuk neraka? Angkat tangan!’ Semua angkat tangan, kecuali Boski lagi. Pertanyaannya; kenapa Boski gak angkat tangan?”

Nyerah!” tak perlu jeda, seorang teman refleks menjawab cepat. Yang lain pun refleks ngakak demi mendengar jawabannya.

“Hayo, kenapa Boski gak angkat tangan?” Pak Endi bertanya lagi begitu tawa berhenti.

Tak terdengar jawaban di udara. Semua takut menjawab teka-teki jadul itu. Takut rahasia usianya terbongkar. Karena siapapun yang bisa menjawab, hampir bisa dipastikan, dia manusia produksi tahun lama. Padahal, tak perlu takut pun memang demikian adanya.

Karena lama tak mendapatkan jawaban, akhirnya Pak Endi menjawab sendiri teka-tekinya, “karena kata mama, Boski harus masuk ABRI.” Semangatnya hilang, terasa dari jawabannya yang terdengar hambar.

Dan setelah jawaban terakhir ini, tak terdengar lagi teka-teki pada pengeras suara handy talkie. Keadaan berubah sepi. Maafkan kami ya Pak Endi. Tidak bermaksud apa-apa. Cuma, apa boleh buat, kadang gengsi usia memang bisa mengalahkan segala-galanya.

 

Menyaksikan “efek samping” susu kuda liar Palama

Gapura selamat datang Desa Madawau 10 menit lalu telah terlewati. Kami baru memasuki Desa Doro Luwu. Menyusuri jalan desa, perangkat digital macam GPS langsung bisu tak bersuara, karena itulah sejak lepas dari jalan raya, posisinya langsung tergantikan dengan pemandu lokal—2 orang pemuda desa yang semula saya kira preman karena berwajah garang, ternyata bukan.

Memasuki Desa Doro Luwu

Memasuki Desa Doro Luwu

Jalan kerikil desa

Jalan kerikil desa

Pembangunan jalan di desa ini tampak tak merata. Cukup bervariasi pada beberapa bagian. Mulai dari jalan aspal alakadarnya, jalan kerikil, sampai pada jalan aspal seutuhnya. Konturnya berbukit. Memandang lepas ke sekeliling desa, kesan yang tertangkap masih sama dengan kondisi Pulau Sumbawa pada umumnya; gersang.

Kondisi jalan aspal yang relatif baik, baru saya lihat di ruas jalan Desa Palama, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima. Maklum saja, masa pembangunannya masih pada tahun anggaran 2013. Pembangunan jalan tani sepanjang 1,000 m ini dikerjakan sepanjang 90 hari kalender atas dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) sebesar 270,934,000 Rp dari Program Nasional PemberdayaanMasyarakat – Mandiri Pedesaan (PNPM-MPd) dan dana swadaya masyarakat sebesar 2,190,000 Rp. Harga 1 rumah standard di Kota Jakarta bisa untuk mengaspal 1,000 m jalan di Sumbawa.

Akses jalan utama Desa Palama 1

Akses jalan utama Desa Palama 1

Akses jalan utama Desa Palama 2

Akses jalan utama Desa Palama 2

Anak-anak SDN Inpres Palama

Anak-anak SDN Inpres Palama

Belum terlalu siang waktu kami sampai di lokasi. Baru pukul 09.30 pagi. Jaraknya terpaut 55 km dari Aman Gati Hotel.

Kedatangan 7 kendaraan yang seragam, berhasil memancing perhatian warga sekitar. Anak-anak Sekolah Dasar Negeri (SDN) Inpres Palama—didirikan tahun 1978—pun tak mau ketinggalan. Dalam balutan seragam pramuka, mereka berhamburan keluar halaman sekolah.

Jalan Desa Palama

Jalan Desa Palama

Kami dipandu masuk ke tengah desa pada jalan peluran khas pedesaan yang seluruhnya telah rusak—ditemani 1-2 warga sebagai pemandunya.

Hampir setiap rumah di sini memiliki halaman yang luas. Kebanyakan dinding rumah mereka terbuat dari kayu dan bambu. Sementara dinding tembok hanya milik mereka yang mampu. Atau mungkin tidak begitu. Mungkin, yang memilih arsitektur rumah panggung sederhana khas Sumbawa memang sengaja mempertahankan tradisi turun temurun nenek moyang mereka, ketimbang harus mengikuti arus modernisasi.

Kuda Sumbawa

Kuda Sumbawa

Pak Hasan

Pak Hasan

Dari Pak Hasan, salah seorang pamong Desa Palama, saya mendapatkan banyak cerita tentang kuda-kuda Sumbawa berikut susu kuda liarnya. Tapi cerita itu tidak akan saya bagi di sini, melainkan pada artikel mendatang. Khawatir artikel ini terlalu panjang.

Di depan sebuah rumah berhalaman tanah, seekor kuda putih terikat tenang. Tubuhnya tampak kusam tak pernah dimandikan. Dekat kaki belakangnya, duduk berjongkok seorang lelaki tua paruh baya. Ia mengenakan peci hitam dengan batik hijau yang terkesan resmi. Tapi ia tidak hendak pergi. Hanya berdiam diri.

Begitu didekati barulah diketahui apa gerangan yang sedang ia lakukan. Tangan kirinya sibuk menadah, memegang gayung berwarna biru. Sementara tangan kanannya sibuk memijit-mijit sesuatu. Gerakannya selalu naik-turun. Apakah itu? Tentu saja memerah susu. Ah, kamu. Pake pura-pura gak tahu.

Menikmati susu langsung dari ‘pabrik’-nya jelas tak pernah ada dalam kamus saya. Rasanya bagaimana, gitu. Saya lebih memilih hasil olahan pabrik sebenarnya. Yah, walaupun sama-sama ‘pabrik’-nya, setidak-tidaknya saya tidak menyaksikan secara langsung proses ‘menjamah’ binatang-binatang malang itu.

Bagi mereka yang kuat ‘mental,’ tentu berani mencicipi. Awalnya pada ragu. Tapi, begitu satu berani maju, semuanya pun ikut meniru. Ah, saya melihat Indonesia di sana.

Ada satu hal lagi yang saya lihat, dan tidak dilihat teman-teman yang baru saja mencicipi susu kuda liar tadi. Sekarang mereka telah resmi menjadi saudara sesusuan anak kuda ini. Karena alasan itulah saya tidak berani mencicipi susu tadi. Mental saya belum siap menerima anak kuda Sumbawa menjadi saudara sesusuan. Yakin! Saya belum siap.

 

Selamat tinggal Desa Palama

Hanya 41 menit waktu yang kami punya di Desa Palama. Kini perjalanan harus dilanjutkan kembali. Perjalanan pulang tak melewati rute datang. Kami teruskan maju ke depan. “Lurus saja bisa, Pak!” kata seorang warga menunjukkan arah. Dan, pada arah yang ia tunjukkan, kami tinggalkan Desa Palama di belakang.

Kontur jalan desa masih saja berbukit. Jalan datar baru kami temui begitu menginjak jalan raya utama.

Sawah gersang Sumbawa

Sawah gersang Sumbawa

Tambak garam Sumbawa

Tambak garam Sumbawa

Kondisi jalan Sumbawa setelah dari Desa Palama

Kondisi jalan Sumbawa setelah dari Desa Palama

Belok kanan makan siang di Rumah Makan BBA Doro Belo

Belok kanan makan siang di Rumah Makan BBA Doro Belo

Pukul 11.09 saat kami belok ke kanan, mampir di Rumah Makan Seafood BBA Doro Belo di Jalan Lintas Panda Palibelo untuk makan siang. 1 meja telah terokupasi. Selain itu tak ada tamu lain lagi kecuali kami.

Restoran lesehan ini cukup luas dan terbuka di atas bukit. Meja-meja jati berbaris rapi di area depan. Karpet merah muda kecoklatan melambari seluruh permukaan lantainya. Sebenarnya restoran ini tidak murni lesehan, karena di area belakang rumah makan, masih terdapat banyak meja kursi untuk tamu-tamu yang malas melepas sandal-sepatu. Tinggal pilih mana suka.

Kali ini tak ada pesan sendiri-sendiri. Yang ada, pesan satu untuk semua.

Di tengah-tengah waktu menunggu pesanan datang, perwakilan Feroza Fans Club Sumbawa yang baru saja datang, menghampiri pemimpin tim, untuk menyampaikan maksud club-nya, agar bisa bergabung mengawal kami hingga Pelabuhan Sape, Sumbawa.

Itikad diterima baik. Kesepakatan akan diaplikasikan begitu rombongan selesai makan siang. Perwakilan ini pun pamit untuk bergabung bersama teman-temannya yang lain, yang telah mengokupasi bale-bale pada area bawah restoran di sebelah kanan.

Rumah Makan BBA Doro Belo

Rumah Makan BBA Doro Belo

‘Penyakit’ abadi tim ekspedisi kambuh lagi di restoran ini. Pesanan makanan lambat datang, padahal perut sudah keroncongan. Hmm, sebagai solusi penahan lapar sementara, minum 2 botol teh manis gratis sepertinya tak ada salahnya. Alibi. Mumpung dibayarin. #ehh

Begitu air teh manis pada botol kedua hampir habis, pesanan makanan akhirnya datang juga. Tanpa perlu aba-aba, semuanya langsung merangsek ke meja makan panjang di sebelah sana. Supaya terlihat akrab, ritual ‘rebutan’ kembali dimainkan. Bukan apa-apa, kalian tahu kan, dalam kondisi seperti ini, seringkali posisi menentukan prestasi. [BEM]