Jathilan 1

Jathilan 1

Di sela-sela kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) Daihatsu, yang bekerjasama dengan Forum CSR Kesejahteraan Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta, dan diikuti Tim Terios 7 Wonders – Hidden Paradise, panitia menyuguhkan hiburan tradisional berupa Tari Jathilan. Walau hanya diiringi alat-alat musik tradisional, pertunjukan seni yang mereka suguhkan tetap bisa dinikmati setiap panca indera saya. Padahal modal mereka cukup sederhana, hanya 3 buah Kenong yang berjejer rapi di tempatnya, sebuah Bonang, 2 buah Kempul, 2 buah Kendang, dan seperangkat drum modern.

Satu per satu penari Jathilan—yang semuanya kaum pria—mulai bergerak ke tengah arena. Gerak jingkrak mereka berhasil memancing setiap mata untuk segera mendekat kepadanya. Walau kombinasi nada dari gamelan yang dimainkan terasa berulang, gerakan para penarinya justru bertambah dinamis, mengayun kuda lumping ke sana ke mari, berikut cemeti yang menjadi pelengkap tari.

Jathilan 2

Jathilan 2

Jathilan 3

Jathilan 3

Paduan kemeja batik bercorak bunga emas, celana hijau yang dihiasi kain batik, ikat pinggang lebar yang menjadi tempat menyemat selendang kuning, serta kupluk panji pada bagian kepala tiap penarinya, membuat kostum Jathilan yang mereka gunakan, kembali mengingatkan saya akan kegagahan prajurit-prajurit jawa pada masa lalu.

Sementara, kuda-kudaan dari anyaman bambu yang menjadi pelengkap tarian mereka, sejatinya merupakan simbol kuda sembrani, yaitu kuda bersayap yang bisa terbang hingga ke awan.

Dalam tatar budaya masyarakat jawa, rangkaian gerak Tari Jathilan—kadang disebut dengan Tari Kuda Lumping—ini memiliki beberapa versi, seperti; cerita tentang pasukan berkuda Pangeran Diponegoro saat melawan penjajah Belanda, versi Raden Patah, juga versi Kerajaan Mataram.

Walau alur ceritanya berbeda-beda, namun intinya tetap sama, Tari Jathilan merupakan gambaran perlawanan masyarakat jawa terhadap penjajahan Belanda pada masa silam. Perlawanan ini ditampilkan melalui gerak tari dua orang yang saling berhadapan, kemudian saling serang menggunakan cemeti atau sebilah bambu.

Jathilan 4

Jathilan 4

Jathilan 5

Jathilan 5

Tari Jathilan berbeda dengan tari-tarian tradisional Jawa pada umumnya, karena tarian ini bisa berdiri sendiri, bisa juga digabungkan dengan jenis tari lain semisal Reog dan Barongan. Kata ‘Jathilan’ sendiri berasal dari gabungan kata dalam bahasa Jawa. Bila diurai, maka ia akan berbunyi, “jarane thil-thilan tenan,” yang artinya, kuda (yang) bergerak secara tidak beraturan.

Pada bentuk aslinya, gerakan tak beraturan tersebut biasanya datang dari roh halus yang merasuki tubuh penarinya. Namun, pertunjukan Jathilan yang saya saksikan kemarin, sepertinya merupakan kreasi baru. Para pemainnya telah meniadakan unsur-unsur magis seperti ritual pemanggil arwah dan penggunaan sesajen. Sehingga penari-penari yang kesurupan tidak bisa disaksikan pada saat pertunjukan berlangsung.

Sementara lantunan musik yang digunakan untuk mengiringi setiap gerak tari, yang seharusnya adalah gendhing Jawa klasik, kini telah berganti dengan lagu-lagu yang lebih modern dan cukup familier di telinga kita.

Pada awalnya, kesenian Jathilan seringkali diadakan di desa-desa yang berada pada lereng-lereng Gunung Merapi. Tujuannya, tak lain untuk menolak bala. Namun, seiring bergulirnya waktu, ketertarikan masyarakat—terutama kaum muda—terhadap seni tari ini, lambat laun kian pudar.

Jathilan 6

Jathilan 6

Jathilan 7

Jathilan 7

Kesenian tradisional masyarakat Jogja ini juga sempat terhenti dan hampir punah akibat bencana erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 yang lalu. Karena pada saat itu, seluruh peralatan yang biasa digunakan untuk pagelaran Tari Jathilan ikut musnah disapu wedhus gembel. Tak satu pun yang tersisa.

Kegiatan yang melibatkan para seniman Jathilan dalam CSR Daihatsu kemarin bisa dijadikan sebentuk upaya pelestarian dan pengenalan kembali Tari Jathilan yang menjadi kesenian khas masyarakat lereng Gunung Merapi. Dan, bagi Tim Terios 7 Wonders, ia telah menjadi kenang-kenangan yang bisa dibawa pulang. [BEM]