Suasana pagi di Pantai Jungut Batu, Nusa Lembongan

Suasana pagi di Pantai Jungut Batu, Nusa Lembongan

Sebenarnya saya lebih suka meng-gunung ketimbang melaut. Karenanya, ajakan snorkeling di Nusa Lembongan pun saya sambut setengah hati. Tapi begitu tiba di lokasi, dan ikut snorkeling bersama ketiga teman lainnya…, anggapan bahwa snorkeling “paling, ya begitu-begitu saja,” terbukti salah besar. Nusa Lembongan mampu meruntuhkan anggapan skeptis saya tentang snorkeling selama ini. Bagaimana bisa? Teruskan membaca.

Selama berada di Bukit Campuhan—Ubud, kami selalu berjudi dengan alam. Langitnya sebentar mendung, sebentar cerah, sebentar hujan. Sangat sulit diprediksi. Namun cuacanya berbanding terbalik—180 derajat, ketika kami menjejak di Pantai Sanur. Matahari bersinar garang di ubun-ubun kepala.

Area parkir mobil dan motor terlihat padat, jalanan pun sama. Hampir tak ada ruang kosong yang tersisa. Walaupun demikian, seolah tak ingin mengecewakan pelanggan, Pak Wayan Mudiana (supir kami) memaksa masuk hingga ke ujung jalan, persis di depan loket pembelian tiket. “Sebentar saja, nganter tamu,” ucapnya dengan logat Bali kental, ketika ditanya petugas.

Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Pantai Sanur. Kesan pertama, Pantai Sanur lebih mirip Pantai Ancol merger dengan pasar malam. Sekilas, sulit membedakan yang mana pengunjung, yang mana pedagang. Rasio-nya fifty/fifty. Beruntung, saya tidak mengambil pilihan “ask the audience,” apalagi “phone a friend.” Bagaimana bisa phone a friend, lha wong pulsa saja isinya doa semua. Doa semoga saya cepat-cepat punya uang untuk isi ulang.

Sebagai tempat melepas manyun, Pantai Sanur masih cukup lumayan. Tapi, sebagai tempat untuk menikmati alam, apalagi sambil merusak hubungan orang… hmm, lebih baik jangan.

 

Tiket yang mencurigakan

Tepat setengah dua siang kami tiba di Pantai Sanur. Dari Jalan Monkey Forest – Ubud, ke Pantai Sanur, membutuhkan waktu selama 1 jam perjalanan. Biaya sewa mobilnya masih standar Bali, di kisaran 200,000Rp – 250,000Rp. Semakin pandai kita menawar, tentu harganya akan semakin murah. Tapi ingat! Jangan seperti ibu-ibu di pasar, “kejam” untuk urusan tawar menawar—ampun ya bu, ini lagi ngomongin ibunya orang lain, bukan ibuku sayang, adinda mohon maap.

Mari saya beri contoh; harga ayam = 25,000Rp, ditawar 10,000Rp. Kalau gak dikasih, ayamnya dikata-katain, “ayam kecil begini mahal banget!” kalau gak dikasih juga, itu ayam dibanding-bandingin sama ayam di warung lain, “di warung anu lebih gede dari ini (sambil pegang ayam,) lebih murah bang!” begitu biasanya para ibu-ibu bilang. Bukan apa-apa, saya hanya kasihan dengan nasib sang ayam dalam genggaman, pasti sedih kan, dirinya dibanding-bandingkan dengan ayam lain? #malah curhat

Back to topic…

Karena kami membeli “tiket terusan,” Bukit Campuhan – Monkey Forest – Pantai Sanur, Pak Wayan memberikan harga spesialnya – 250,000Rp. Itupun atas pertimbangan saudara sebangsa, juga keuletan kami tawar menawar harga.

Optasal Office - Tarif Public boat dan Speedboat

Optasal Office – Tarif Public boat dan Speedboat

Hal pertama yang kami lakukan di Pantai Sanur adalah mencari tiket public boat /jukung – untuk menyebrang ke Nusa Lembongan. Sayangnya kami datang terlalu siang. Berdasar informasi, public boat hanya berangkat pada pagi hari saja. Karenanya, kami langsung menuju tempat penjualan tiket terdekat.  Optasal Office.

Ketika hendak membeli tiket di loket penjualan…

“Nanti saja belinya!” Jawab petugas loket .

Lah!

Selama perjalanan di Bali, baru kali ini saya menemukan pedagang yang tak butuh uang. Orang yang aneh. Sok aksi, saya coba menganalisa situasi. Ada beberapa dugaan sementara:

  1. Ia belum bisa memastikan penuh-tidaknya kapal yang akan berangkat jam 16.00 sore nanti. Karena baginya, jumlah penumpang sama dengan untung, atau malah rugi.
  2. Perbandingan harga tiket antara turis lokal dengan turis interlokal cukup signifikan, karenanya, ia baru akan menjual tiket speedboat kepada turis lokal macam kami ini, bila kuota minimal calon penumpang prioritas (turis asing) telah terpenuhi.
  3. Ia belum bisa memastikan kondisi cuaca pada saat jadwal keberangkatan nanti—January 2013 yang lalu cuaca seringkali tak menentu.
  4. Speedboat yang melayani rute kami—Jungut Batu—sedang mengalami kendala.

Masih berpikir positif, keempat dugaan tersebut saya kantongi sementara.

Karena dari Bukit Campuhan belum sempat makan siang, kami coba mencari jajanan khas Bali disekitar pantai. Sambil berjalan, mata kami terus beraksi—lirik kiri, lirik kanan. Sampai-sampai sulit membedakan, apakah kami sedang kelaparan mencari makan, atau justru maling ayam kesiangan.

Walaupun banyak warung makan, agak sulit bagi kami untuk menentukan pilihan. Khawatir harganya tidak “pocket catching.” Tapi, begitu melewati kantor polisi mini di pinggir gang, tumpukan nasi bungkus di atas meja, di warung tetangga, terlihat begitu menggoda. Apalagi setelah kami tahu, harga perbungkus-nya hanya 5,000Rp saja. Wuih, rasanya seperti mendapatkan nasi bungkus runtuh.

Tanpa banyak tanya, kami lucuti satu persatu karet pembungkusnya. Begitu terbuka menganga, jantung kami deg-degan dibuatnya. Air liur meleleh dimana-mana. Begitu juga dengan air mata, T_T. Nasinya memang terlihat berlimpah, tapi lauknya… jelas butuh sedekah. Imut, seperti sisa remah-remah. Nasib… nasib… #harga murah mau meriah, ngimpiii

“Bu, kelapanya berapaan?,” tanya saya.

“Kelapa doang 10,000Rp. Kalo pake es 12,000Rp,” jawab si ibu sigap.

Mahal juga ya harganya.

“Ada yang murah, cuma 5,000Rp,” ujar si ibu kemudian.

“Nah yang itu aja bu,” jawab saya penuh semangat.

“Tapi sisa-an orang. Mau?”

Glodak!

*kejadian ini hanya fiktif belaka. Jangan percaya ya! Waspadalah! Waspadalah!

Karena harganya kami anggap normal, saya langsung memesan empat butir saat itu juga. Daripada harus menjadi monster iler, gara-gara kepingin, tapi gak kesampaian, ya kan? #alibi tak tahan godaan

Setelah semua ludes, cacing-cacing dalam perut pun kembali berbahagia. Karena harus menyebrang hari itu juga,  kami kembali lagi ke Optasal Office – untuk memastikan ketersediaan tiket menuju Nusa Lembongan. Berkali disambangi, berkali pula kami dapati jawaban serupa. Tak mau tanggung rugi, kami cari operator speedboat lain. Harga tiket yang mereka (operator speedboat) tawarkan, ternyata lebih mahal dari Optasal. Antara 75,000Rp – 100,000Rp. Itupun setelah tawar menawar.

Loket pembelian tiket Lembongan Sugriwa Express

Loket pembelian tiket Lembongan Sugriwa Express

Setelah berjibaku dengan beberapa operator speedboat, akhirnya kami terdampar di loket pembelian tiket Lembongan Sugriwa Express. Harga awal yang ditawarkan adalah 100,000Rp. Relatif mahal. Apalagi mengingat “murahnya” harga 65,000Rp yang ditawarkan Optasal Office sebelumnya. Di tengah prosesi tawar menawar jatah kursi, seorang penjaga loket tiba-tiba melemparkan sebuah pertanyaan yang agak mencurigakan, “siapa yang bawa?”

Hmm, apa hubungannya, antara harga tiket dengan “siapa yang bawa?” Kenapa juga harus ada “yang bawa?” Seberapa besar pengaruh “yang bawa” ini terhadap harga tiket? Siapa pula si “pembawa” yang dimaksud? #pura-pura detektif mode: ON

Memang, banyak turis asing yang berwisata ke Nusa Lembongan. Tapi tak sedikit juga turis berambut hitam yang lalu-lalang Sanur-Lembongan. Kenapa tidak ada harga pasti untuk turis domestik? Kenapa pula harga yang di tetapkan melulu dalam kurs dollar? Bukankah disaat kunjungan turis asing sedang sepi, justru turis rupiah yang kuat mendominasi? Karena harga tiket turis lokal lebih murah, mungkinkah kita diperlakukan sebagai pelengkap kuota saja?

Bagaimanapun, saya berharap, seluruh elemen pariwisata di Indonesia selalu mengutamakan manusia-manusia Indonesia—yang sedang belajar mencintai negerinya—ketimbang mendewakan turis-turis mancanegara.

Singkat cerita, dari loket Sugriwa Express ini, kami mendapatkan harga “termurah.” 75,000Rp*.

Anda melihat tanda (*) disebelah kanan harga tiket barusan? Ya, itu artinya, syarat dan ketentuan berlaku. Apa syaratnya? Syaratnya adalah, kami harus membeli tiket return (pergi-pulang.) Tidak masalah, toh kami pasti harus kembali.

 

Transportasi ke Lembongan (Jungut Batu)

Bandara Ngurah Rai – Sanur (sewa mobil) = 250,000Rp

Ubud – Sanur (sewa mobil) = 250,000Rp

Sanur – Jungut Batu/Lembongan (public boat/jukung) = 65,000Rp

Sanur – Jungut Batu/Lembongan (speed boat) = 75,000Rp – 100,000Rp per-orang (turis lokal)

Lembongan Sugriwa Express

Sanur Office: (0361) 281.078 atau 0813.3719.7844

Lembongan Office: 0813.3717.4703

Jadwal keberangkatan speedboat

Sanur = 09.30 AM – 01.30 PM – 05.00 PM

Lembongan = 08.30 AM – 11.30 AM – 04.00 PM

Perbedaan mencolok antara speedboat dengan public boat

Sebelum naik ke speedboat, semua barang bawaan penumpang dikumpulkan di satu tempat, untuk kemudian dinaikkan ke dek atas speedboat – oleh petugas operator. Alas kaki pun sama, sebelum naik, dikumpulkan dalam satu keranjang. Tujuannya tak lain agar kabin kapal tetap bersih terjaga.

Di kejauhan, awan mendung terlihat menggelayuti atap Nusa Lembongan. Walaupun begitu, alasan terakhir—cuaca buruk—yang diutarakan petugas Optasal Office sebelumnya, masih saya anggap mengada-ada. Buktinya, dari beberapa operator yang kami sambangi, tak satupun yang memberi alasan “cuaca buruk.”

Interior speedboat Lembongan Sugriwa Express

Interior speedboat Lembongan Sugriwa Express

Exterior speedboat Lembongan Sugriwa Express

Exterior speedboat Lembongan Sugriwa Express

Interior speedboat Sugriwa Express cukup lumayan. Faktor keamanan pun diperhatikan. Pelampung tersedia dibawah kursi tiap penumpang, bilamana terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Kapal sepanjang 13 meter berkekuatan 600 tenaga kuda ini terasa lambat di tengah selat. Tapi, begitu melewati perahu jukung nelayan, kencangnya baru terasa.

Speedboat, 3-4 kali lebih cepat dibandingkan dengan public boat. Waktu tempuh yang seharusnya 1,5-2 jam (Sanur-Lembongan) bisa dipersingkat menjadi 30 menit saja. Pepatah lama berlaku disana – ada harga, ada rupa. Tapi jangan khawatir, public boat juga memiliki kelebihannya sendiri, ia memberikan kita bonus pelajaran sejarah bertajuk, “duduk lesehan.” Ya, lesehan, persis seperti di angkringan? Atau…  ibu-ibu pengajian? #eaa

 

Gambaran Nusa Lembongan

Dari kantor Sugriwa Express, penginapan Tarci Bungalows berjarak 5 menit mengendarai motor, atau 15 menit berjalan kaki menyusuri garis pantai Jungut Batu. Untungnya penginapan kami menyediakan fasilitas penjemputan gratis. Bayangkan kalau fasilitas penjemputan ini tidak ada, bukan cuma kami yang menangisi jaraknya, kantong pun terancam miskin seketika bila ojek terpaksa kami sewa.

Pantai Jungut Batu dilihat dari perbukitan Nusa Lembongan

Pantai Jungut Batu dilihat dari perbukitan Nusa Lembongan

Larik pelangi menjelang Hutan Mangrove Nusa Lembongan

Larik pelangi menjelang Hutan Mangrove Nusa Lembongan

Ujung jalan utama Nusa Lembongan - Hutan Mangrove

Ujung jalan utama Nusa Lembongan – Hutan Mangrove

Hampir seluruh garis pantai Nusa Lembongan “dikuasai” oleh barisan penginapan – mulai dari yang ramah sampai yang jahat terhadap isi kantong kita. Saking padatnya jumlah penginapan, jalan masuk antar-penginapan pun ikut merapat. Lebarnya, hanya cukup untuk dua motor, tapi lebih sering hanya cukup untuk satu motor saja. Kita tidak bisa melihat kearah pantai secara langsung, karena terhalang bangunan. Untuk bisa melihat ke pantai secara langsung, kita bisa pergi ke bagian ujung utara Nusa Lembongan, atau ke bagian selatan—area perbukitan (arah ke Nusa Ceningan.)

 

Melihat Santorini dari penginapan Tarci

Dari kantor Sugriwa Express, kami harus melalui gang-gang sempit untuk mencapai satu-satunya jalan utama di Nusa Lembongan. Disisi kanan-kiri jalan utama, rumah penduduk lebih mendominasi. Sementara di pinggir pantai persis, dikuasai barisan penginapan. Suasananya seperti di Karimun Jawa menurut saya. Pohon-pohon besar masih mudah ditemui. Saya memperhatikan ada 2 rumah makan, dekat dengan penginapan kami, tapi hanya Warung Made yang terlihat eye catching.

Tarci Bungalows - Agus Shipwreck Bar and Restaurant

Tarci Bungalows – Agus Shipwreck Bar and Restaurant

Menjelang penginapan, jalan tanah bercampur pasir mendominasi sepanjang gang. Karena ketersediaan lahan cukup terbatas, motor yang kami tumpangi pun harus diparkir di gang ini, bersama dengan belasan motor lainnya. Lalu, setelah memarkir motor, apakah kami sudah sampai di penginapan? Surprise! Ternyata belum saudara-saudara! Untuk mencapai penginapan, kami harus berjalan kaki lagi sejauh 50 meter, menyusuri gang yang berujung di Pantai Jungut Batu, kemudian sedikit belok kekanan. Fiuh!

Agus Shipwreck Bar and Restaurant

Agus Shipwreck Bar and Restaurant

Tarci Bungalows - Jungut Batu

Tarci Bungalows – Jungut Batu

Santorini-nya Nusa Lembongan

Santorini-nya Nusa Lembongan

Di area depan penginapan—menghadap pantai—terdapat Agus Shipwreck Bar & Restaurant, kolam renang, dan beberapa kursi malas. Karena posisi Pantai Jungut Batu berada dibagian barat Nusa Lembongan, kita hanya bisa menyaksikan sunset dari penginapan. Tapi jangan khawatir, disaat sunrise, walaupun matahari terhalang, pemandangannya tak kalah dramatis. “Mirip Santorini ya Bem?” ujar Ika, teman seperjalanan saya, sambil melihat kearah perbukitan di bagian selatan Nusa Lembongan.

Joni Rembo - Sekuriti Tarci Bungalow

Joni Rembo – Sekuriti Tarci Bungalow

Standard Room Tarci Bungalows, Jungut Batu

Standard Room Tarci Bungalows, Jungut Batu

Sayangnya kamar kami—standard room (250,000Rp)—berada di bagian belakang penginapan, jadi, untuk bisa menikmati pantai, harus berjalan kaki kearah depan terlebih dahulu. Ya, terima saja. Kamar murah mau didepan. Ngimpi

“Eh, naik becak juga murah, tapi kita bisa didepan,” seonggok suara tiba-tiba muncul.

Plak!!!

Sunset Dari Tarci Bungalows

Sunset Dari Tarci Bungalows

Begitu tiba pada pukul enam sore, kami langsung membersihkan diri dan kembali lagi ke pantai, untuk menikmati senja melahap sunset. Dari Pantai Jungut Batu, sunset kami berakhir pukul tujuh lewat lima belas waktu setempat.

Malam hari di Pantai Jungut Batu

Malam hari di Pantai Jungut Batu

Selama menikmati sunset, tak satupun terdengar jeritan dari cacing-cacing di perut kami, tapi begitu sunset selesai, teriakan mereka terdengar garang layaknya demonstran. Ini berarti… waktunya mencari makaannn…

Walaupun Tarci Bungalows memiliki restoran—Agus Shipwreck Bar & Restaurant—kami lebih memilih mencari makan di luar penginapan, sekaligus jalan-jalan malam. Apalagi, sore tadi, kami sudah menemukan warung makan yang cukup eye catching di pinggir jalan.

Menarik napas panjang…

Karena  ini adalah aib, mohon kiranya hanya kami dan anda saja yang tahu ya, jangan beritahukan kepada yang lain. Demi kemaslahatan umat, saya coba meluruskan kasus ini. Satu paragraf terakhir, sejatinya adalah alibi. Ya, alibi kami untuk menghindari makan malam di restoran penginapan. Bagaimana tidak, seporsi makanan berat harganya naudzubilah. Kalau SPBU Pertamina dimulai dari Nol, maka di Agus Shipwreck Bar & Restaurant dimulai dari 50,000Rp ya Pak/Bu.

Kalau memaksakan makan di restoran tersebut, bisa pulang dengan berenang kami ini. @,@

Perjalanan menuju Warung Made menjadi pe-er tersendiri. Jaraknya yang lumayan, jelas membuat lumanyun. Tapi begitu tahu harga per-porsinya, dijamin senyum anda kembali merekah. Harganya relatif murah, rata-rata 25,000Rp kebawah. Jadi, pilih mana? Pulang berenang? Atau jalan kaki dengan jarak lumayan? Waspadalah! Waspadalah! #apasi

Atmosfer Warung Made sedikit remang. Entah dibuat dari kayu apa, bobot meja-kursinya gak kira-kira. Untuk menggeser kursi saja, saya butuh tenaga extra. Tempat apa ini sebenarnya? Warung makan atau sasana olahraga?

Pelayanan di Warung Made cukup ramah, malah cenderung sok-kenal-sok-dekat dengan pelanggan. Haha. Tapi, itulah yang membuat kami ingin kembali lagi ke warung makan ini. Bila anda berkesempatan pergi wisata ke Nusa Lembongan, dan penginapan anda berada disekitaran Jungut Batu, saya sangat merekomendasikan Warung Made ini. Masakannya relatif lezat dan buka setiap saat, tapi bukan 24 jam ya. Warung ini akan tutup disaat hari-hari besar keagamaan, saat sang pemilik memiliki keperluan pribadi, atau ketika musim kunjungan sedang sepi.

 

Tarci Bungalows

Jungut Batu – Nusa Lembongan

Telp. 0812.3906.300 (pukul 08.00 – 22.00)

Email: info@tarcibungalows.com

2 buah Deluxe Room (@500,000Rp)

Ocean view, sebelah Agus Shipwreck Bar & Restaurant, air panas, bathtub, TV satelit, Wifi

5 buah Standard Room (@250,000Rp)

1 single bed + 1 double bed, disebelah taman bagian belakang, AC, Kamar mandi privat, shower

Pagi menjelang, hujan ditantang

Tak terasa, malam telah menjelang pagi. Niat hunting sunrise terancam gagal, karena hujan turun begitu deras. Tak mau kecewa dua kali, saya lakukan “sweet revenge” dengan kembali melelapkan mata. Rasain lu! #entah siapa “Lu” yang dimaksud.

Awan hujan di Nusa Lembongan

Awan hujan di Nusa Lembongan

Tapi, belum lama dendam terlaksana, hujan tiba-tiba berhenti. Ngenyek juga nih ujan. Dengan kadar nyawa 50 persen, saya paksakan bangun dan menyiapkan kamera serta segala perlengkapannya. Kemudian bergegas ke pantai. Lirik kiri-lirik kanan, akhirnya saya menemukan landscape “harapan.” Pasang tripod, setting kamera, dan menjelang klik ketiga… Alhamdulillah, kembali hujan… Damn!

Saya memaksakan hingga klik kedelapan. Kita lihat siapa yang menang, saya, atau sang hujan?

Byuuurr! Ah, ternyata sang hujan yang menang—untung tak ada sang kodok. Saya terpaksa mengalah dengan berlari kembali ke kamar penginapan sekencang-kencangnya.

 

Antara bunuh diri atau masuk ABRI

Kali ini hujan benar-benar berhenti. Walau awan hujan masih menggumpal, tiupan angin membawanya pergi ke arah timur. Merujuk pada agenda, ada dua tempat yang akan kami datangi hari ini. Mangrove Point dan Gamat Wall. Sambil menunggu petugas mempersiapkan kapal, kami bersantai-santai menikmati udara pagi – hingga merasa bosan, dan berakhir dengan duduk-duduk di bangku restoran.

Walaupun kami bukan kompeni, pagi hari tanpa secangkir kopi dan segenggam roti jelas “enggak banget.” Pilihan antara memesan makanan atau tidak pun cukup membuat mumet (baca: pusing—Jawa.) Memesan makanan, tak jauh beda dengan bunuh diri—masih ingat kan, mahalnya menu disini, plus minimnya dana kami?, tapi, dengan angin pantai yang bertiup kencang ditambah perut keroncongan, juga bisa membuat kami masuk ABRI (masuk angin – kerokan – badan loreng-loreng.) Serba salah memang.

Mau tak mau, kami harus memilih satu diantara dua. Dan akhirnya… dengan membaca Bismillah, kami beranikan diri meminang seporsi roti dan se-pitcher kopi, dibayar tunai. Bagaimana saudara-saudara? Sah? …Saaaahhhhhh!!!

Pagi hari saat perayaan Tumpek Landep (Otonan Besi)

Pagi hari saat perayaan Tumpek Landep (Otonan Besi)

Hampir lupa, saat kami berada di Jungut Batu, pas sekali dengan perayaan hari besar Tumpek Landep atau Otonan Besi. Perayaan yang diadakan setiap 210 hari sekali ini dimaksudkan untuk mensucikan segala perkakas kerja yang terbuat dari besi sebagai bentuk rasa syukur, agar selalu membawa keberkahan dan tercipta keselarasan antara pengguna dengan barang sandangannya.

 

Cara membuat ikan-ikan menghampiri, tanpa perlu roti

Tak perlu menunggu lama untuk menghabiskan makanan dan minuman yang tak seberapa. Layaknya ikan Piranha, tak sedikitpun kami tinggalkan sisa. Pas makanan lenyap, pas kapal siap. Kami pun berangkat snorkeling ke Mangrove Point.

Siap berangkat snorkeling ke Mangrove Point

Siap berangkat snorkeling ke Mangrove Point

Di bawah kapal, terlihat banyak petakan persegi panjang berwarna hitam. Belakangan saya ketahui, bahwa berpetak-petak lahan tersebut adalah pertanian rumput laut milik warga setempat.

Saat kami berangkat, ombak Pantai Jungut Batu relatif tinggi. Untuk surfing, boleh dicoba. Untuk lalu-lintas kapal… relatif berbahaya. Lalu bagaimana masyarakat Nusa Lembongan bisa keluar-masuk pantai tanpa celaka?

Masyarakat bahari Indonesia meyakini, bahwa ombak kesepuluh adalah ombak terbesar diantara sembilan ombak sebelumnya. Ini terjadi karena adanya dorongan angin yang membuat ombak-ombak tersebut saling tumpang-tindih. Tapi di beberapa tempat—secara konsisten—justru ombak kelima lah yang lebih besar. Untuk kasus kami, poin kedua lebih mengena. Setelah ombak kelima, biasanya ada jeda tenang selama beberapa menit. Dan jeda inilah yang ditunggu motorist kami untuk tancap gas, keluar dari garis pantai.

View dari area snorkeling Mangrove Point

View dari area snorkeling Mangrove Point

Dari Pantai Jungut Batu, butuh 10 menit  untuk sampai ke Mangrove Point. Karena relatif dangkal (3-5 meter,) visibility-nya masih cukup baik. sayang, sebagian besar karang disini telah rusak – memudar atau patah. Tapi, untuk jumlah ikan, wuih… seperti snorkeling di akuarium raksasa. Tak terhitung jumlahnya.

Saya coba mendekati ikan-ikan yang berenang bergerombol. Sialnya, semakin saya dekati semakin mereka menjauhi. Berkali-kali diperlakukan seperti OHIDA (dijauhi) tidak membuat saya jera. Walaupun merasa konyol, tapi tak ada salahnya mencoba. Mumpung… tidak ada siapa-siapa.

Terinspirasi dari cara memanggil kucing-kucing tercinta dirumah, saya coba menjentikkan jari ke arah ikan-ikan tadi. Tanpa menyebut kata “Pus” tentunya. Bisa tersinggung mereka nanti. Lagi pula, bagaimana cara ngomongnya, wong di dalam air jeh.

Percobaan pertama gagal – saya merasa konyol. Percobaan kedua, kembali gagal – saya merasa tambah konyol. Percobaan ketiga, juga gagal – saya merasa semakin konyol. Beruntung, saya ingat pepatah yang berbunyi, “Success is 99 percent perspiration and 1 percent inspiration.” Jadi, bila diterjemahkan dalam kasus saya, maka yang 1 persen adalah kucing, dan yang 99 persennya adalah konyol. Lha, ikannya mana? #absurd ya? Kok masih dibaca?

Kini, saya mencoba lebih giat lagi. Dan luar biasanya… Berhasil! Entah karena trik tersebut memang bisa diterapkan, atau karena ikan-ikan tadi merasa kasihan—melihat jerih payah saya? Who knows? Tiga kali saya mencoba trik yang sama, tiga kali pula saya berhasil. Ikan-ikan kecil tersebut menghampiri dan menggigiti jari-jari tangan saya. Tapi ingat! Jangan diterapkan pada ikan-ikan Piranha.

Sayangnya, trik saya hanya berlaku sebanyak 3 kali saja. Percobaan ketujuh dan seterusnya gagal semua.

“Koinnya habis kali Mas, coba masukin lagi,” suara yang sebelumnya terdengar, kini bergema kembali.

Plak!!! Lu kira main Ding Dong!?

Dari segala kelebihan-kekurangan, dan setiap kejadian yang saya alami, Mangrove Point dan Gamat Wall terbukti mampu meruntuhkan anggapan skeptis saya tentang snorkeling selama ini. Dan satu lagi – Pulau Menjangan. Walaupun banyak ubur-ubur “stealth”—tidak terlihat, tau-tau menyengat—tapi terumbu karangnya begitu berwarna. Salah satu lokasi snorkeling di Bali yang layak untuk dicoba.

 

Matic-snorkeling di Gamat Wall

Setelah puas menikmati keindahan bawah laut Mangrove Point, kami langsung meluncur ke lokasi snorkeling kedua. Gamat Wall. Namun, belum lagi puas menikmati keindahan laut disekitar Nusa Lembongan – Nusa Ceningan – Nusa Penida, mimpi buruk tiba-tiba terjadi.

“Kalian turun disini!” Ujar motorist speedboat kami. Eh!?  @,@

Kami tidak merasa memiliki satupun kesalahan pada si bapak, apalagi dendam lama. Bertatap muka pun baru sekali itu saja. Lagi pula, kami sudah melaksanakan kewajiban, dengan membayar penuh sewa perahu sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Kenapa tiba-tiba diusir – dipaksa turun dari kapal?

“Nanti saya jemput disana,” imbuhnya lagi.

Ealah, slamet… slamet… ternyata sudah sampai di lokasi T_T

Area snorkeling Gamat Wall

Area snorkeling Gamat Wall

Setelah saya amati kondisi sekitar, cukup beralasan memang. Arus laut di Gamat Wall relatif kencang. Posisi awal kita dijamin bergeser tanpa perlu mengayuh fin. Hmm, fitur “matic” tak hanya dimiliki kendaraan saja rupanya, snorkeling pun punya.

Tak mau buang waktu, saya menyusul ketiga teman lain yang sudah lebih dulu menceburkan diri. Perfecto! Warna biru dongker—merepresentasikan kedalaman laut—dari atas speedboat berubah menjadi biru jernih ketika saya berada didalamnya. Visibility-nya 30 meter lebih. Kondisi karang di Gamat Wall ini pun lebih baik daripada karang di Mangrove Point. Tebing miringnya memiliki kedalaman bervariasi, antara 2-7 meter, dengan lebar 10 meter. Sedikit menjorok keluar, langsung laut dalam.

Berenang di laut dalam atau bergelantungan di ketinggian, tak ada bedanya bagi saya. Benang merahnya cuma satu. From “pho” to “bia” – phobia. Karenanya, begitu terseret arus – ke bagian laut dalam, buru-buru saya keluarkan jurus “kepakan fin tanpa bayangan.” Pokoknya, bagaimana caranya supaya posisi saya bergeser kembali ke bagian dangkal, kemudian menenangkan jantung yang terlanjur deg-deg-an.

Ikan-ikan di Gamat Wall sangat bervariasi. Jumlahnya, sebanyak ikan yang saya jumpai di Mangrove Point. Ada yang berenang sendiri, tapi lebih banyak berkelompok. Dari Gamat Wall, pandangan ke Nusa Ceningan dan Nusa Lembongan sama sekali tak terhalang. Pengunjung yang saya jumpai, rata-rata adalah turis asing. Dan kebanyakan, mereka lebih memilih diving daripada snorkeling. Padahal bagi saya, snorkeling di tempat ini pun sudah ber-citarasa diving. #Alibi belum bisa diving

Ngomong-ngomong soal diving, saya punya cerita tersendiri. Pada jaman dahulu, kala Gajah Mada masih remaja, saya berhasil memenangkan sebuah kompetisi perjalanan sebagai finalis untuk kategori “Blogger.” Diantara 5 blogger terpilih, saya lah yang paling beruntung, karena dikirim ke Raja Ampat. Dalam itinerary, tertulis dua kali diving, yaitu di Manta Point dan Mioskon. Sedap!

Singkat cerita, pada malam H-1, saya mendapat briefing singkat tentang kegiatan esok hari.

“Sudah punya sertifikat?”

“Belum.”

“Tapi sudah pernah diving sebelumnya kan?”

“Itu juga belum.”

Guide saya bingung – sambil bolak-balik mengecek itinerary. Rasain! Hehe

“Terserah gimana caranya, pokoknya saya mau diving,” ucap saya singkat.

“Ya sudah, besok sebelum berangkat, kita tes dulu. Kalau aman, kita lanjut,” jawabnya sedikit ragu.

Dan… Tes hari H sukses besar. Walau awalnya degup jantung saya goyang reggae, tapi, semakin lama di air malah semakin pede. And the rest is history. Dua mimpi besar lunas saat itu juga; “pergi ke Raja Ampat,” dan “merasakan sensasi diving.” And the best part is… semuanya GRATIS!

Pelajarannya: One thing leads to another, begitu juga dengan mimpi. Apa yang kita kerjakan sekarang, bisa jadi mendekatkan, atau malah menjauhkan kita dari mimpi-mimpi terliar kita. Karenanya, pilihlah jalan yang benar untuk meraih mimpi-mimpi kita. By the way, kapan giliran kalian snorkeling di Nusa Lembongan? [BEM]