Tubing
Tubing merupakan salah satu kegiatan alam terbuka yang terbilang baru. Umumnya hanya dapat dilakukan pada sungai-sungai dengan aliran air yang tidak terlalu deras atau tidak memiliki jeram besar yang membahayakan. Bila rafting menggunakan perahu karet yang cukup kuat, tubbing justru memanfaatkan ban-ban dalam bekas kendaraan truk yang cukup besar.
Dalam aplikasinya, beberapa ban bekas tersebut bisa dikaitkan antara satu dengan yang lainnya sehingga menyerupai rakit, bisa juga digunakan secara terpisah alias sendiri-sendiri. Tubing sebaiknya tidak dilakukan di musim hujan, karena dikhawatirkan datangnya air bah secara tiba-tiba.
Bila berbicara Tangkahan, waktu yang baik tentunya adalah pagi hari, karena selain air sungainya telah surut, udara pagi yang masih sejuk tentunya menambah kenikmatan ber-tubing ria. Air Sungai Buluh yang memisahkan campsite dengan kantor pengelola ini cukup dingin.
“Dulu airnya lebih dingin lagi mas, sama lebih jernih dari ini”, ujar salah seorang warga yang saya temui. Bila disiang hari saja, air sungai ini bisa membuat saya menggigil sampai-sampai gigi-gigi saya meng-geretak, seperti apa dinginnya air sungai ini dijaman dahulu ya?, tanya saya dalam hati.
Saya harus melipir melalui pantai untuk dapat menaiki ban yang telah disediakan oleh sang “professor”. “Lho, kok pantai? Katanya tubing-nya disungai?”. Hahaha, jangan khawatir, cukup saya saja yang menjadi “korban” ungkapan ini. Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata kata “pantai” digunakan oleh penduduk Tangkahan untuk menyebut seluruh pinggiran sungai yang melandai, persis seperti pantai umumnya dipinggiran laut.
Ada beberapa ungkapan lain yang sering saya dengar dari mereka, seperti, mereka menyebut bus dengan “motor”, dan menyebut motor dengan “kereta atau Honda”. Persis seperti orang Jawa yang menyebut kendaraan “motor” dengan “honda”.
View dikanan kiri sungai seperti hutan, rumah penduduk, kebun kelapa sawit, dan “pantai” akan sering anda jumpai hingga aktifitas tubing selesai. Setelah satu jam perjalanan menyusuri sungai dengan kedalaman mulai dari semata kaki hingga 2.5 meter, tiba-tiba terdengar suara, “Kita ke air terjun dulu, disitu!”, ternyata seruan dari sang “professor” yang menjadi guide tubing saya, seraya menunjuk ke arah aliran sungai dangkal yang cenderung tenang dan tertutup rimbunan pohon.
Air terjun ini relatif kecil, dan terletak disebelah kanan sungai Buluh. “Jalan masuk” ke air terjun Buluh ini didominasi penuh oleh bebatuan yang sangat licin, walaupun kelihatannya sangat kasap (baca: anti-slip). Terbukti, sang “professor” njengkang, karena salah mengambil pijakan pada saat melangkah, padahal ia sering ketempat ini.
Air terjun ini juga memiliki kolam tampungan air dari sungai kecil diatasnya. Dengan ketinggian sekitar 10 meter dan debit air yang tidak terlalu besar, membuat tubuh serasa dipijat manakala berdiri tepat dibawah curahan airnya.
Setelah puas bermain di air terjun Buluh, tubing pun dilanjutkan kembali. Perhentian kedua adalah area sungai yang lebih dalam, sekitar 3 meter. Disini, anda bisa bermain air, berenang, atau bahkan mencoba memanjat pohon yang tumbuh di pinggir sungai untuk kemudian melompat ke sungai, sambil mengenang masa kecil dahulu kala.
Perhentian kedua yang merupakan wilayah desa Kuala Gemoh ini, juga menjadi titik akhir aktifitas tubing yang memakan waktu 3.5 hingga 4 jam tersebut. Selanjutnya, dari desa Kuala Gemoh, anda harus berjalan kaki menyusuri jalan-jalan desa, yang akan berakhir di Visitor Center, didesa Namong Geltus. Walaupun tubuh lelahnya bukan main, tapi kepuasan yang saya dapatkan sangatlah sepadan, apalagi ini adalah pengalaman pertama saya mencoba tubing ditempat yang masih sangat terjaga keasliannya ini. Karena saya telah mencobanya, kapankah giliran anda… [BEM]